INTEGRASI ILMU: PERLUKAH BAGI DOSEN ILMU-ILMU KEAGAMAAN?


Perlukah dosen yang mengampu mata kuliah keagamaan memahami konsep integrasi dan interkoneksi ilmu agama dengan ilmu umum? Jawabannya sangat perlu, bahkan wajib 'ain. Sama wajibnya dengan dosen yang mengasuh ilmu-ilmu umum. 

Jika seorang dosen ilmu keagamaan tidak paham konsep integrasi ilmu, maka secara ontologis ia akan memiliki pemahaman keislaman yang dikhotomik (dualistik). Hal ini sama seperti dosen ilmu-ilmu umum yang tidak paham konsep integrasi dan interkoneksi ilmu.

Apa bahayanya?

Bahayanya, ia akan menyampaikan pemahaman keislaman yang terkerdilkan kepada mahasiswa. Lebih parah lagi ia bisa jatuh kepada penyampaian pemahaman keislaman yang dapat diragukan bahkan ditolak oleh mahasiswa karena bertentangan dengan pemahaman saintifik yang sudah lazim kebenarannya. Contoh kasus untuk hal ini yaitu keraguan mahasiswa kepada penjelasan dosen agama pada suatu PTU tentang keharaman "minuman tuak" yang berbahan awal air nira segar. Poin pertanyaan mahasiswa adalah, "Mengapa air nira segar yang status hukumnya halal, setelah dipermentasi berubah jadi haram?". Terhadap pertanyaan ini, dosen yang bersangkutan menjawab dengan menggunakan dalil Al-Qur`an tentang khamar. Kemudian memberikan sedikit penjelasan bahwa keharaman "minuman tuak" karena memabukkan. Pertanyaan mahasiswa kemudian, mengapa dari zat yang tadinya halal, kemudia berubah jadi haram? Dosen berkata ---dengan suara agak membentak---,  "Kamu jangan terlalu banyak  pertanyaan."

Mengapa terjadi pemahaman yang kerdil seperti ini? Sudah pasti karena dosen yang bersangkutan belum memiliki kemampuan mengintegrasikan dan menginterkoneksikan pengetahuan keagamaan yang digelutinya dengan pengetahuan sains yang berkembang. 

Dalam kasus keharaman "minuman tuak" ini, maka seorang dosen agama dituntut memiliki pengetahuan (paling tidak pengetahuan konseptual) tentang proses kimia permentasi serta akibat-akibat kiamiawi yang ditimbulkannya pada kesehatan pisik dan psikis manusia. Tanpa pengetahuan saintifik seperti ini, maka ia akan terjatuh pada pengerdilan pengetahuan keislaman.

Dalam rangka penguatan integrasi dan interkoneksi keilmuan ini, dosen benar-benar ditantang agar memiliki kemampuan dalam pendekatan multidisipliner, interdisipliner dan bahkan transdisipliner, sehingga spektrum setiap materi kajian yang disuguhkannya kepada mahasiswa luas dan dalam.***

Gambar: Pelayanan praktik jurnalistik mahasiswa FDIK IAIN P. Sidimpuan.

EAZY PASSPORT: IMPLEMENTASI KERJA SAMA DALAM LAYANAN NON AKADEMIK





IAIN Padangsidimpuan bekerja sama dengan Kantor Imigrasi Kelas II Sibolga memberi layanan non akademik berupa kemudahan pengurusan paspor bagi sivitas akademika dan karyawan mitra kerja IAIN Padangsidimpuan bertempat di Aula Biro AUAK IAIN Padangsidimpuan. Layanan ini diinisiasi dan dikoordinasikan oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja sama, Dr. H. Sumper Mulia Harahap, M.Ag. Kegiatan ini bentuk realisasi program "Eazy Passport" Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham. Layanan yang diberikan tentu saja mengefektifkan dan mengifisiensi biaya dan waktu pengurusan paspor bagi dosen dan pegawai. Biasanya pengurusan paspor ke Kota Sibolga membutuhkan waktu perjalanan dan pengurusan lebih dari 10 jam. Ditambah lagi biaya transportasi dan konsumsi selama perjalanan. 

Dengan program Eazy Passport, para stake holders hanya butuh waktu 1,5 jam dengan tanpa biaya lain-lain seperti pengurusan yang biasa. Pada tahap awal ini, tidak kurang dari 50 orang yang melakukan pengurusan paspor. Sebagian berupa perpanjangan masa berlaku paspor dan sebagian lagi pengurusan paspor baru.

Program Eazy Passport ini akan memudahkan dosen dan pegawai dalam meningkatkan mobilitas kerja sama dan partisipasi dalam kegiatan akademik dan non akademik dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga luar negeri.***

Gambar: Suasana pengurusan paspor di Aula IAIN Padangsidimpuan 29/09/2020

RAKER PERENCANAAN: WUJUD FUNSI PENERAPAN MANAJEMEN PERGURUAN TINGGI YANG EFEKTIF

 





Rapat Kerja Perencanaan Kegiatan dan Anggaran IAIN Padangsidimpuan yang dilaksanakan dari tanggal 22-23 September menghasilkan berbagai rumusan penting untuk menjamin terselenggaranya kegiatan tri dharma perguruan tinggi pada tahun anggaran 2021. Di antara keputusan penting dimaksud adalah terumuskannya kegiatan rutin, prirotas dan pendukung selama tahun 2021. Di sisi lain, kegiatan strategis ini juga menjadi ajang gevaluasi pelaksanaan kegiatan dan anggaran tahun T.A. 2019. 

Rumusan penting dimaksud di antaranya rumusan pagu anggaran indikatif seluruh unit kerja, rekomendasi raker dan catatan penting penyempurnaan raker untuk tahun selanjutnya. Dalam pembahasan pagu anggaran indikatif, seluruh unit merancang kegiatan dan anggaran berbasis kebutuhan akreditasi prodi dan akreditasi institusi. Secara teknis, untuk memastikan basis akreditasi dalam penganggaran ini, panitia mengundang Lembaga Penjaminan Mutu untuk terlibat aktif sesi demi sesi pembahasan. Di sisi lain, untuk memastikan basis regulasi keuangangan, maka pembahasan pengajuan pagu anggaran masing-masing unit juga melibatkan Satuan Pengawas Internal. Panitia juga mengundang unsur pimpinan untuk terlibat aktif sebagai pembahas mulai hari pertama sampai hari terakhir. Dengan ikhtiar ini diharapkan pagu anggaran indikatif T.A. 2021 benar-benar sesuai dengan kebutuhan semua unit dan berbasis akreditasi prodi dan institusi.

Kegiatan ini dibuka oleh Rektor, Prof. Dr. H. Ibrahim Siregar, MCL dan ditutup oleh Dr. Anhar, M.A., Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan. Dalam arahan beliau menyampaikan bahwa personil yang diberi kepercayaan untuk mengemban amanah sebagai pejabat harus berlari kencang menyukseskan berbagai program dan kegiatan yang telah direncanakan. Jika jalannya lambat, maka kampus ini akan tertinggal oleh kampus-kampus lain yang juga memiliki progres yang cepat dalam mengejar kemajuan.***

_________________________________

Gambar: Raker Perencanaan Kegiatan dan Anggaran T.A. 2021

INTEGRASI ILMU: ILMU ITU NUR (CAHAYA) ALLAH

 


Ungkapan “ilmu itu cahaya” (al-‘ilmu nur) adalah ungkapan yang populer dari Imam Asy-Syafi’i. Selengkapnya beliau berkata, “Al-‘ilmu nurun, wa nurullahi la yuhda lil ‘ashi”. Artinya ilmu itu cahahaya, dan cahaya Allah itu tidak diberikan kepada pemaksiat/pendosa.

Dalam Al-Qur`an surat An-Nahal ayat 78 disebutkan bahwa ketika manusia lahir, manusia tidak mengetahui suatu objek apa pun. Tapi kemudian, Allah menjadikan bagi manusia pendengaran, penglihatan dan fu`ad (hati nurani). Dengan alat indera luar dan dalam itu, manusia menyerap ilmu pengetahuan. Begitu pun, alat-alat indera ini baru mampu menyerap pengetahuan setelah Allah SWT memberinya suatu kemampuan  (al-quwwah) untuk menyerap. Jika tidak, maka alat indera (luar dan dalam) dimaksud tentu tidak dapat bekerja dalam menyerap pengetahuan apa pun. Buktinya, tidak sedikit orang yang tuli, lalu dengan ketulian itu maka ia tidak dapat menyerap ilmu melalui pendengaran.

Pengetahuan apa yang akan diserap? Tentu saja pengetahuan tentang ayat-ayat Allah SWT. Ayat-ayat Allah itu secara garis besar dapat diklasifikasi ke dalam dua bagian yaitu ayat-ayat qauliyah (atau tanziliyah) dan ayat-ayat kauniyah. Ayat qauliyah artinya ayat berupa kalam atau firman Allah, sementara ayat kauniyah yaitu ayat berupa ciptaan Allah yakni alam dan manusia. Al-Qur`an berkali-kali menjelaskan bahwa firman suci, manusia dan alam semesta serta berbagai penomenanya adalah ayat Allah. Dalam perspektif paradigma teoantropoekosentris, ayat-ayat dimaksud dibagi kepada ayat ilahiyah, ayat insaniyah dan ayat kauniyah (istilah yang digunakan adalah al-ilahiyah, al-insaniyah dan al-kauniyah).

Secara bahasa âyât (dalam bentuk jamak) bermakna tanda-tanda. Dengan demikian ayat Allah artinya tanda-tanda Allah, yakni tanda-tanda kekuasaan, kebesaran, keagungan dan kemuliaan Allah. Dengan demikian, semua objek materi ilmu pengetahuan yakni kalamullah, manusia dan alam adalah ayat-ayat Allah. Pemahaman ontologis seperti ini mengantarkan kita kepada suatu keyakinan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara ayat qauliyah, insaniyah dan kauniyah, karena sama-sama bersumber dari Allah. Dalam bahasa lain, tidak ada pertentangan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Atau antara al-'ulumud diniyah (ilmu-ilmu keagamaan) al-'ulumul 'aqliyah (ilmu-ilmu rasional).


Mencari Cahaya Allah

Segala upaya kita dalam mencari dan menimba ilmu pengetahuan pada hakikatnya mencari dan menimba cahaya Allah. Melalui cahaya-Nya ini maka kita insya Allah akan tertuntun untuk sampai kepada sumber cahaya, yaitu Yang Maha Bercahaya. Oleh karena itu pencarian dalam disiplin ilmu apa pun harus mengantarkan pencarinya kepada sumber cahaya, yaitu Allah SWT.

Berdasarkan cara pandang demikian, maka setiap ilmu apa pun yang dipelajari, apakah ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu humaniora, dan terlebih ilmu-ilmu agama, mesti mengantarkan pembelajarnya kepada cahaya iman dan takwa kepada Allah SWT. Jika terjadi sebaliknya, yakni semakin jauh dari Allah, maka hal ini berarti ada yang salah dengan cara  kita dalam melihat objek-objek ilmu yang telah dibentangkan oleh Allah SWT.


Ilmuan yang Gagal Mendapatkan Cahaya Allah

Di tengah-tengah komunitas manusia, tidak sedikit ilmuan yang pintar dan cerdas, tapi ilmu yang dipelajarinya tidak mencahayai dirinya. Kondisi demikian ini banyak menimpa ilmuan yang menolak kehadiran Tuhan dalam bangunan ilmu dan bangunan berpikirnya. Mereka ini lazim disebut ateis. Kepintaran dan kecerdasan yang mereka miliki malah membuat gelap (zhulumat) diri dan peradaban umat manusia. 

Mereka ini ---meskipun dipuja-puji banyak orang--- sebenarnya adalah orang-orang yang tersesat dalam jalan ilmu pengetahuan. Penting digaris bawahi, tidak ada paradigma keilmuan dan pedoman lurus pengembangan ilmu yang lebih baik selain Al-Qur'an. Oleh karena itu, Al-Qur' an mesti diposisikan menjadi grand philosophy, grand theory, paradigma, dan konsep induk pengembangan ilmu. Allahu a'lam.***  

___________________________________

Gambar: Wisata Halal Bonjol-Pasaman 06/09/2020

INTEGRITAS PRIBADI PEGAWAI: BERDOSAKAH KITA KALAU BERINTEGRITAS BURUK?


Salah satu bentuk integritas yang masih belum berkategori baik sehingga tidak boleh terwariskan kepada generasi selanjutnya adalah masih lemahnya kita dalam memegang komitmen, janji atau nilai prilaku kerja sebagai pegawai (pegawai di sini maksudnya mereka yang bekerja pada institusi milik Negara seperti dosen dan pegawai administrasi). Komitmen atau janji itu tertuang dalam berbagai regulasi tentang disiplin pegawai yang telah dibaiatkan dalam sumpah jabatan. Salah satu janji atau komitmen kita adalah memegang teguh disiplin dalam bekerja. Kata disiplin, tentu saja tidak hanya terkait dengan menepati waktu dalam bekerja, tetapi juga menepati prosedur, aturan dan regulasi dalam bekerja. 

Seorang pegawai terikat janji kepada Negara untuk bekerja 37,5 jam selama lima hari kerja dalam seminggu. Dengan demikian ada 7,5 jam per hari. Namun realitasnya, bagaimana penyikapan kita terhadap janji atau komitmen itu? Secara faktual, berapa jam per harinya kita menunaikan janji kita kepada Negara?  

Perlu diketahui, janji kepada Negara berbeda dengan janji kepada pemerintah. Pemerintah hanyalah salah satu elemen dari Negara. Elemen lainnya adalah rakyat dan tanah air. Oleh karena itu, janji kepada Negara artinya janji kepada rakyatnya, tanah airnya dan pemerintahnya. Jika seorang ASN telah berjanji kepada Negara, maka itu bermakna bahwa kita telah berjanji kepada rakyat, pemerintah dan tanah airnya.


Nilai Prilaku Kerja yang Belum Berkategori Baik 

Faktanya, meskipun sebagian kita telah menunjukkan komitmen tinggi dalam bekerja, tapi masih banyak pegawai yang belum menepati komitmen disiplin waktu dalam bekerja. Semestinya setiap pegawai  menunjukkan pengabdian sejak menit-menit awal waktu bekerja yang ditetapkan. Tetapi realitasnya masih banyak dari kita yang memulai pekerjaan setelah 1 s.d. 1,5 jam dari jadwal masuk kerja. Sementara pada jam pulang, secara umum para pegawai pulang dengan tepat waktu. 

Pada hal, bukankah menit-menit awal itu sesungguhnya menit-menit "berharga" dalam mengawali pekerjaan. Suasananya masih tenang, udaranya masih sejuk dan pikiran serta badan kita masih segar. Tapi sayang, waktu yang berharga itu tergadai dan tergantikan oleh tradisi "kombursation" yang kontraproduktif dengan cita-cita kemajuan lembaga kita. Oleh karena itu, wajar sekali jika progres IAIN tetangga jauh lebih hebat dari kita. 

Di sisi lain, disiplin pegawai juga masih lemah dalam menepati dan mematuhi jadwal-jadwal pertemuan seperti rapat, workshop, seminar ilmiah, dan sebagainya. Jadwal dimaksud kelihatannya belum dipandang sebagai janji atau komitmen perilaku kerja yang mesti dipatuhi dengan baik dan disiplin. 

Hal lain, sebagian kita juga memiliki disiplin yang rendah dalam menunjukkan kepatuhan, misalnya ketika diminta menyahuti permintaan formal administratif berbagai data dan informasi yang dibutuhkan antar unit di lingkungan kerja kita.

Apakah Integritas yang Belum Baik ini Bernilai Dosa?

Sudah pasti. Hanya saja karena ustadz dan guru agama kita tidak pernah menyebut fikih tentang integritas kerja ini di bangku sekolah dan di ruang-ruang pengajian, maka tampaknya ruang kognisi kita masih kosong dengan perspektif nilai dosa terkait integritas bekerja ini. Semestinya, kita tidak perlu menunggu penjelasan ulama tentang perspektif dosa seperti ini, karena Allah telah menitipkan kepada kita al-furqan (kemampuan membedakan yang benar dan yang salah). Sebagai kaum beriman, kita dapat dengan mudah menimbang bahwa segala aktivitas kita bernilai pahala atau dosa.

Integritas buruk dapat menyebabakan mafsadat (kerusakan) bagi institusi kita dan bagi Negara sendiri. Dengan demikian nilai dosanya akan lebih besar ketimbang integritas buruk terhadap orang per orang di tengah pergaulan kita. Hal demikian ini, hemat saya, sangat mudah dan gamblang dipahami. Tidak perlu ---sekali lagi--- menunggu fatwa ulama besar tentang berdosa atau tidaknya. Saudara-saudaraku semua, kita mesti memohon ampunan  Allah semoga integritas yang belum membaik ini tidak menjadi penghalang kita melangkah menuju surga Jannatun Na'im. Amin.***

________________________________

Gambar: Monitoring kehadiran pegawai pada jam kerja pagi 11/08/2020

 


INTEGRASI ILMU: SUDAH BERSIHKAN KITA DARI SYIRIKISME ILMIAH BARAT?


 Dalam dunia ilmiah yang dipimpin oleh Barat ---terutama oleh Amerika--- saat ini, intelektual Muslim tidak saja mewarisi metodologi dan produk ilmunya, tapi juga asumsi-asumsi filosofisnya. Asumsi-asumsi filosofis itu pada hakikatnya bukan bagian dari apa yang disebut ilmiah. Mengapa? Karena asumsi-asumsi filosofis itu tidak dapat diukur dan dibuktikan. Hanya saja, oleh Barat dipandang sebagai kebenaran. Harus diakui, tanpa asumsi-asumsi filosofis semacam itu, maka apa yang disebut dengan dunia ilmiah tentu tidak akan terbangun. Istilah lain yang hemat saya cocok untuk sebutan bagi asumsi-asumsi filosofis itu adalah akidah ilmiah.

Syirikisme dalam Akidah Ilmiah Barat 

Pandangan berbau syirik dalam akidah ilmiah (asumsi filosofis ilmu) Barat di antaranya, pertama, manusia dan alam semesta sebagai objek ilmu bukanlah ciptaan Tuhan, tapi terjadi secara evolutif. Alam semesta dimulai dari big bang, sementara manusia berasal dari evolusi panjang binatang yang berujung pada kera dan akhirnya menjadi manusia. Kedua, yang ilmiah (ilmu yang benar) hanyalah yang indrawi, faktual atau dapat diukur dan dibuktikan oleh alat indera manusia. Sementara informasi keilmuan yang tidak dapat dibuktikan oleh alat indera manusia, maka tidak dipandang sebagai kebenaran. Akibatnya, dengan perspektif seperti ini, wahyu ilahi tidak boleh masuk ke dalam dunia ilmiah karena banyak informasinya tidak dapat dibuktikan dan diuji secara ilmiah. Ketiga, manusia dan alam sebagai objek ilmu tidak lebih dari makhluk mekanik. Jadi tak obahnya seperti mesin. Manusia dan alam bekerja menurut hukum-hukum mekanis yang dapat dengan mudah dipelajari. Dengan demikian, tidak perlu mempelajari aspek metafisik pada alam semesta dan aspek psiko-spiritual  manusia.

Demikianlah beberapa asumsi filosofis dalam dunia ilmiah Barat yang terwariskan kepada kaum intelektual Muslim di negeri ini. Akibatnya, ketika ada ilmuan yang membawa perspektif keislaman dalam kajian ilmiah, maka dengan cepat sebagian saintis kita di negeri ini menyebutkan sebagai deskripsi yang tidak ilmiah. Mereka yang menolak perspektif keislaman itu sebenarnya telah terjebak dalam syirikisme ilmiah Barat.

Keharusaan Keragaman Asumsi Filosofis dalam Dunia Ilmiah

Semestinya, asumsi filosofis dunia ilmiah itu beragam. Pemaksaan kepada suatu asumsi filosofis tertentu sesungguhnya bertentangan dengan semangat pencarian kebenaran dalam dunia ilmu pengetahuan, karena akan terjadi stagnasi dalam pengembangan ilmu. Oleh karena itu, Barat dan siapa pun semestinya harus bersikap demokratis dalam pengembangan ilmu. Ilmu tidak boleh dibiarkan berkembang hanya dilandasi oleh satu paradigma ilmiah tertentu.

Memang belakangan telah terjadi perkembangan paradigma keilmuan di Barat yang didasari asumsi-asumsi filosofis yang berbeda dengan yang diyakini oleh kaum positivistik. Para penyokong gerakan ini menyebutnya sebagai paradigma pos-positivisme. Kemunculan paradigma semacam ini sebagai kritik dan anti tesa terhadap dominasi paradigma positivisme  dalam dunia ilmiah. Di antara bentuk pos-positivisme ini misalnya muncul teori relativitas Einstein, filsafat fenomenologi, aliran psikologi humanistik, dan sebagainya. Hanya saja, dalam sains, paradigma positivisme tampaknya sangat dominan menguasai benak ilmuan Muslim di Negeri ini. Di sisi lain, paradigma pos positivisme tidak kompatibel dengan keislaman kaum Muslim. Oleh karena itu tidak ada jalan lain, kecuali intelektual umat ini mengkonstruk paradigma keilmuan baru sebagai turunan dari Qur`an dan Sunnah. Paradigma itulah yang kita sebut dengan paradigma tauhidik. Paradigma tauhidik ini diharapkan dapat membersihkan akidah ilmiah umat Islam. Allahu Akbar. Entah kapan paradigma tauhidik (paradigma islami) ini benar-benar melandasi pengembangan keilmuan kita.***

Gambar: Menghadiri Rapat Kerja Perencanaan Kegiatan dan Anggaran T.A. 2021 IAIN Padangsidimpuan 22/09/2020

INTEGRASI ILMU: SUDAH BEBASKAH KITA DARI SEKULARISME ILMU?

 


Kolonialisme dan imperialisme menyisakan banyak hal yang buruk pada bangsa jajahan. Salah satunya adalah sekularisme atau westernisme pemikiran. Indonesia adalah di antara contoh negeri Muslim yang mengalami sekularisme pemikiran dimaksud. Akibat lanjutannya adalah kaum intelektual negeri ini mengalami pembaratan ilmu dan kebudayaan. Tanpa sadar, dalam hal keilmuan, mode berpikir materialisme-ateistik Barat mencoraki bangunan berpikir kaum terpelajar (baca juga: kaum intelektual) di Nusantara ini. Apa bukti-buktinya? Pertama, kaum terpelajar menerima tanpa reserve, asumsi-asumsi keilmuan Barat bahwa yang ilmiah itu tidak berhubungan dengan Tuhan. Berpikir ilmiah adalah berpikir positif, dan tidak berkaitan dengan agama. Kedua, Keilmiahan tidak bersangkut-paut dengan hal-hal metafisika. Lanjutan pandangan ini yaitu penolakan  terhadap pencarian dan segala deskripsi keilmuan berbau metafisika. Ketiga,sebagai dampak lebih lanjut dari yang pertama dan kedua yaitu terkonstruksinya pandangan bahwa kebenaran ilmiah hanya kebenaran yang dapat dibuktikan dengan akal dan indera. Segala hal yang tidak logis dan indrawi, maka tidak dipandang sebagai kebenaran ilmiah. Tiga poin pandangan ini tidak mengakui eksistensi hati sebagai salah satu organ psikis yang memberi manusia kebenaran.

Akibat buruk dari terbentuknya pandangan ilmiah yang sekularistik-ateistik ini, yaitu kaum intelektual Muslim terpenjara ke dalam penjara dualisme (dikhotomi) ilmu pengetahuan. Bahkan lebih parah, sebagian besar kaum intelektual ini meminggirkan dan menolak narasi agama masuk ke dalam deskripsi ilmiah. Mereka berpendapat, jika narasi agama masuk ke dalam ilmu pengetahuan ilmiah, maka derajat ilmu pengetahuan dimaksud akan turun, bahkan akan menjadi "sampah" keilmuan.

Secara praktikal, ketika kaum intelektual yang "terbaratkan" ini mentransper ilmunya, maka --- tanpa sadar--- mereka meneruskan dan mewariskan pandangan-pandangan yang sekularistik-ateistik ini kepada generasi muda Muslim. Oleh karena itu logis sekali jika generasi muda ini tidak melihat satu titik pun cahaya Tuhan dan kekuasaan-Nya dalam spektrum dunia ilmiah yang mereka geluti. Lebih parah lagi, anak-anak muda ini menjadikan asumsi-asusmi dan postulasi-postulasi ilmiah yang ateistik ini untuk menolak narasi yang bersumber dari agama.

Jika corak bangunan keilmuan yang sekularistik-ateistik ini masih bertahan, maka sebenarnya kita masih berada pada politeistik (kemusyrikan) keilmuan. Oleh karena itu, fardu 'ain bagi masing-masing kita untuk mentauhidkan (mengesakan) bangunan keilmuan kita, sehingga kita terbebas dari dualisme (dikhotomi) keilmuan. 

Mari kita perjuangkan langkah-langkah pentauhidan ilmu ini. Semoga kita sebagai guru dan dosen menjadi pembersih dan penyelamat generasi muda kita dari sekularisme dan ateisme pemikiran. Selanjutnya, ilmu apa pun yang kita sampaikan kepada generasi muda kita akan berkonstribusi bagi peningkatan iman dan takwa mereka. ***

____________________________

Keterangan Foto: Kegiatan RDK LPM yang dihadiri Sekdakab Tapanuli Selatan

ANHAR NASUTION: CATATAN PENGALAMAN MERAIH GELAR DOKTOR

 


ASA MERAIH KUALITAS INSAN CITA:

Catatan Pengalaman Pribadi Meraih Gelar Doktor

 

Oleh: Dr. Anhar Nasution, M.A.

Email: anhar_nasution@iain-padangsidimpuan.ac.id

 

Saya anak keempat dari enam bersaudara yang lahir dari keluarga petani kecil di suatu kampung di Pasaman Barat, Sumatera Barat pada 14 Desember 1971. Ayah, Taudin Nasution yang hanya mengenyam pendidikan sampai kelas V pesantren, adalah seorang yang tegas dan keras dalam mengawal ibadah dan pendidikan anak-anaknya. Ayah tidak segan memukul anak-anaknya menggunakan tangkai sapu rumah jika ketahuan meninggalkan shalat atau bolos dari sekolah. Bagi ayah ketika itu, anak-anaknya harus menyelesaikan pendidikan minimal tingkat SLTA. Hanya saja, takdir berkata lain, ketika saya baru saja tamat Sekolah Dasar, ayah dipanggil oleh Allah SWT ke hadirat-Nya, sehingga beliau tidak menyaksikan semua anak-anaknya menyelesaikan SLTA, kecuali anak yang paling besar. Dengan ditinggal ayah, maka ibu tercinta (Rasimah Lubis) yang tidak tamat Sekolah Rendah, mengambil alih tanggung jawab mengasuh dan membimbing anak-anaknya. Ibunda yang memiliki semangat jihad yang kuat dalam membesarkan anak-anaknya ini berhasil menyaksikan dua orang anaknya menjadi sarjana dan dua orang lainnya menamatkan SLTA, satu orang memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP, dan yang paling kecil meninggal dunia saat masih empat tahun.

Meskipun hanya sebentar bersama ayah, tapi ada hal-hal yang sangat menginspirasi perjalanan pendidikan saya kemudian. Ayah ketika itu, secara tidak langsung, mengenalkan tokoh-tokoh modernis Muslim Indonesia. Cara yang dilakukannya ketika itu yaitu dengan memberi saya buku Serial Khutbah Jum’at dan meminta saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar untuk membacanya. Buku ini, di samping berisi khutbah serial bulanan, juga berisi artikel keislaman yang ditulis oleh tokoh-tokoh modernis Muslim Indonesia semisal Muhammad Natsir, Hamka, Endang Saifuddin Anshari, Nurcholish Madjid, dan lain-lain. Meskipun ketika itu saya benar-benar tidak paham wacana dalam buku dimaksud, tapi berhasil memotivasi diri saya untuk pada saatnya memahami dengan baik wacana pemikiran modernis Muslim di Indonesia.

Dengan dorongan demikian, saya berharap dapat melanjutkan pendidikan ke lembaga pendidikan Islam yang lebih bonafid di kota besar. Tapi apa daya, ibu saya hanya sanggup menyekolahkan anak-anaknya pada Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah yang dikelola oleh Muhammadiyah yang berjarak 3,5 km dari kampung. Praktis saya berjalan kaki selama enam tahun pulang pergi menuntut ilmu pada madrasah kebanggaan masyarakat di kampung kami tersebut. Selama enam tahun itu pula, saya harus menyediakan waktu untuk membantu ibu saya membantu pekerjaan di sawah dan di kebun karet. Alhamdulillah, pada 1991 saya lulus dari Madrasah Aliyah.

Ada pengalaman menarik saat di bangku Madrasah Aliyah. Pengalaman ini juga sangat mempengaruhi perkembangan intelektualku kemudian. Pada periode 1989-1991, saya diamanahkan menjadi Ketua Umum Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Dari organisasi pelajar ini saya mendapat pengalaman berharga dalam mengasah kepemimpinan, keorganisasian dan keintelektualan. Puncak pengalaman berharga itu adalah ketika tahun 1990, saya bersama Gusmizar Sitohang, Sekretaris Umum PC IPM yang kami pimpin saat itu mengikuti Musyawarah Wilayah (Musywil) Ikatan Pelajar Muhammadiyah di Padang. Sebagai pelajar yang datang dari kampung, kami merasa surprise, ternyata sebagian peserta Musywil itu adalah mahasiswa yang telah akrab dengan wacana intelektual Muslim modern Indonesia. Sebagaimana biasanya, kegiatan Musywil selalu dirangkai dengan sesi-sesi seminar ilmiah yang membahas tema-tema aktual sosial-politik dan keislaman pada saat itu. Tak pelak, momen Musywil ini begitu membekas bagi perkembangan dan pengembaraan intelektualku kemudian.

Dengan latar belakang pengalaman demikian, saya benar-benar percaya diri untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana. Ketika itu, saya berharap bisa melanjutkan pendidikan ke Kota Padang. Tapi apa boleh buat, keadaan ekonomi keluarga yang tidak mendukung, akhirnya saya mengikuti ajakan abang yang paling sulung ¾Syukron Nasution¾ untuk melanjutkan pendidikan pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara yang berlokasi di Padangsidimpuan. Abang meyakinkan bahwa ia akan membantu biaya perkuliahan dan mencarikan pekerjaan tambahan jika saya memilih kuliah di Padangsidimpuan.

Menjadi Mahasiswa

Sebelum berangkat ke Padangsidimpuan yang saat itu memerlukan waktu tempuh bus 12 jam dari kampung, ibu berpesan bahwa beliau hanya dapat mengirimkan beras dan sedikit uang lauk pauk setiap bulan. Sedangkan biaya kuliah, harus saya cari sendiri dengan bantuan abang yang sudah enam tahun tinggal di Padangsidimpuan. “Kalau sanggup dengan keadaan seperti itu, silakan kamu berangkat”, kata Mak (ibu) saya. Saya jawab, “Gak apa-apa Mak. Saya berangkat saja. Kalau pun akhirnya kuliah saya tidak selesai karena terbentur biaya, yang penting saya sudah pernah mengalami kuliah”. Alhamdulillah pada Juli 1991, diterima sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara yang berlokasi di Padangsidimpuan. Saya bangga dengan status sosial “mahasiswa” ini. Lebih membanggakan lagi, dari 18 orang angkatan saya pada Madrasah Aliyah hanya 3 orang yang melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.

Saat mengikuti perpeloncoan (saat itu nama kegiatannya disebut Masa Ta’aruf Mahasiswa, disingkat Matama), saya merasakan seperti pengulangan pengalaman saja. Hal ini karena ketika aktif di organisasi pelajar, kegiatan yang mirip polanya dengan Matama sudah pernah dilakukan. Begitu pula ketika memasuki perkuliahan pada semester I dan II, hanya mata kuliah tertentu yang saya rasakan membangun dan mencerahkan intelektualitas, yaitu Filsafat Pendidikan dan Ilmu Sosial Dasar yang diasuh oleh seorang dosen muda enerjik, Irwan Saleh Dalimunthe. Bahkan pada tingkat tertentu, wacana keislaman yang menantang ketika masih pelajar, justru rasanya tidak memiliki kelanjutan pada tahun pertama perkuliahan. Rasa kecewa terhadap atmosfir intelektualitas mulai muncul pada tahun pertama itu. Di tengah rasa kurang terpuaskan secara intelektual, saya menemukan iklim di luar kampus yang kemudian memotivasi untuk terus membangun pencerahan diri, yaitu berupa disukusi-diskusi lepas di luar perkuliahan dengan dosen muda dan mahasiswa-mahasiswa senior. Beberapa dosen muda saat itu yang melayani diskusi adalah Irwan Saleh Dalimunthe dan Nurmawati Lubis. Sementara di antara mahasiswa senior yang rajin melayani perdebatan adalah Samruddin Nasution, Anshori Nasution, Palit Dalimunthe, Dahlan Siregar dan Nahriyah Fata Harahap.

Bagi saya saat itu, dosen muda dan mahasiswa senior yang sebagian disebut namanya di atas adalah “guru” di luar kelas perkuliahan yang berperan memuaskan dahaga intelektual yang saya alami. Jujur, saya tertarik dengan pribadi-pribadi yang sebagian namanya tersebut di atas. Saya mencari tahu riwayat dan komunitas intelektual mereka. Ternyata mereka adalah alumni dan aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), suatu wadah berhimpun bagi intelektual muda yang belum saya kenal kiprahnya saat masih pelajar. Satu-satunya petunjuk yang membalikkan ingatan saya dengan nama HMI saat itu adalah Kalender Korps HMI Wati (Kohati) Cabang Padangsidimpuan yang  dipajang oleh abang saya di dinding rumah.

HMI sebagai Kampus Kedua

Praktis tahun pertama kuliah saya belum memutuskan untuk aktif di organisasi ekstra universiter, meskipun telah pernah “diprospek” oleh organisasi ekstra kampus lainnya. Namun sejak memasuki semester kedua, melalui perkenalan lebih jauh dengan dosen muda dan mahasiswa senior yang nota bene adalah alumni dan aktifis HMI, saya semakin tertarik kepada HMI. Secara agak subjektif saya melihat tipikal intelektualitas alumni dan aktifis HMI yang berbeda dengan yang lain. Di tambah lagi, saya semakin tertarik kepada HMI ketika membaca riwayat hidup yang ditulis pada karya beberapa tokoh yang saya sukai pemikirannya, ternyata mereka adalah mantan aktivis HMI. Di antara tokoh dimaksud adalah Nurcholish Madjid, Imaduddin Abdul Rahim, A.M. Saefuddin dan Azyumardi Azra. Akhirnya pada awal semester III saya memutuskan untuk mendaftarkan diri mengikuti Latihan Kader I (Basic Training).

LK I HMI bagi saya benar-benar memuaskan dahaga intelektual. Wacana keislaman yang pernah mengganggu pikiran saat masih pelajar, mendapat tindak lanjut pada forum LK I ini. Bahkan lebih dari itu, LK I ini telah menumbuhkan dorongan yang amat kuat bagi saya untuk mengembangkan kemampuan intelektual. Materi Nilai Identitas Kader atau Nilai Dasar Perjuangan dan Tafsir Independensi bagi saya betul-betul menggugah wawasan keislaman. Dampak yang muncul pasca LK-I, daya baca buku saya semakin hebat. Tidak saja itu, kami juga membiasakan diri berdebat ilmiah hingga larut malam. Pada masa-masa ini, HMI bagi saya memiliki derajat intelektual yang lebih tinggi dari kampus. Tak pelak, Indeks Prestasi saya pun benar-benar anjlok pada semester III dan IV hingga berada pada IP paling rendah di kelas.

 Pada 1994, saya berkesempatan mengikuti Latihan Kader II (Intermediate Training) di Padang. Suatu kesempatan yang telah lama saya harapkan. Pada forum LK II ini, saya merasa semakin tercerahkan. Semangat intelektual saya semakin hebat. Meskipun secara formal akademik, saya adalah mahasiswa prodi Pendidikan Agama Islam (PAI), tapi hemat saya HMI berhasil memberi saya kompetensi akademik di bidang filsafat dan pemikiran Islam. Kompetensi ini saya buktikan dengan menulis skripsi yang berbau filsafat ilmu yaitu tentang konsep integrasi keilmuan pada lembaga pendidikan Islam. Menurut kawan-kawan seangkatan saat itu, kajian skripsi seperti ini adalah suatu kajian yang sulit. Skripsi berbau filsafat ilmu ini berhasil mengantar saya meraih gelar Sarjana Agama (S.Ag.) pada 09 Mei 1996.

Pasca selesai dari pendidikan strata satu, saya ditantang untuk menjadi tenaga keagamaan pada desa binaan Fakultas Tarbiyah IAIN SU Padangsidimpuan. Informasi yang saya terima saat itu, teman-teman seangkatan menghindar untuk menjadi petugas desa binaan dimaksud. Alasannya karena jauh dari Padangsidimpuan dan masyarakatnya terdiri dari Muslim dan Kristen yang berimbang. Alhamdulillah berbekal pengalaman di HMI saya dapat beradaptasi dengan baik di tengah warga masyarakat yang plural. Bahkan saya berteman baik dengan seorang guru SMP yang beragama Kristen Protestan.

Diangkat sebagai Dosen PNS

Pada pertengahan 1997, berdasarkan informasi radio tentang penerimaan CPNS Departemen Agama, teman Kristiani ini mendorong saya segera pulang ke Padangsidimpuan dan menjatuhkan surat lamaran sebagai CPNS dosen pada almamater saya.  Alhamdulillah, pada Maret 1998 saya diangkat sebagai dosen PNS setelah satu tahun bekerja sebagai petugas desa binaan. Melihat kompetensi intelektual yang saya miliki, kampus memberi kepercayaan kepada saya mengasuh mata kuliah filsafat. Saya berusaha melaksanakan tugas sebagai dosen ini dengan baik sekaligus pula ditugaskan menjadi staf kemahasiswaan. Pada 2001 saya kembali melanjutkan pendidikan pada jenjang strata dua bersama-sama dengan istri Nur Azizah yang juga dosen pada perguruan tinggi yang sama. Untuk memantapkan kompetensi kefilsafatan, saya memilih prodi pemikiran Islam pada Program Pascasarjana IAIN SU Medan.

 

Kuliah Strata Dua

Pada akhir 2003, saya berhasil meraih gelar Master of Arts (M.A.) dalam bidang Pemikiran Islam dengan menulis tesis tentang filsafat etika dengan fokus kajian  perspektif Hamka tentang kebahagiaan. Meski terlambat, pendidikan strata dua makin memantapkan kompetensi kefilsafatan dan pemikiran Islam yang diperoleh ketika aktif di HMI. Secara substantif materi perkuliahan S.2 itu rasanya seperti pendalaman dan pengembangan saja dari wacana pemikiran dan keislaman yang pernah kami perdebatkan selama ber-HMI. Hemat saya, meskipun mungkin ini kebetulan saja, jika diukur kesinambungan keilmuan prodi S.1 Pendidikan Agama Islam dengan materi perkuliahan strata dua, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wacana keislaman HMI lebih bersinambung dengan materi S.2 Pemikiran Islam. Tentang kesinambungan dan kapasitas intelektual strata dua ini, saya teringat perkataan seorang senior ¾meskipun saya anggap sebagai seloroh, tapi dalam batas tertentu hemat saya ada benarnya¾ bahwa kata beliau alumni Intermediate Training (LK II) yang sunguh-sungguh melakukan pengembangan diri akan memiliki kapasitas yang sama dengan seorang sarjana strata dua. Kemudian lanjutnya, alumni Advance Training (LK III) yang bersungguh-sungguh dalam memfollow-up dirinya, maka ia akan memiliki kapasitas keilmuan strata tiga.

Ungkapan senior ini menurut saya tidaklah terlalu berlebihan. Hal mana karena pelatihan LK II menuntut pesertanya memiliki kemampuan berpikir sintesis sebagaimana kemampuan yang diharapkan dari alumni strata dua. Sementara pelatihan LK III ¾menurut para senior¾ menuntut kemampuan untuk merumuskan konsep, pemikiran bahkan teori baru yang dibutuhkan untuk implementasi misi kekhalifahan kader HMI. Dengan demikian, tampak bahwa tuntutan LK III berbanding sejajar dengan tuntutan strata tiga. Namun sedikit agak saya sayangkan, selama aktif di HMI, saya tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti latihan kepemimpinan tingkat pari purna (LK III) di “sekolah kader” HMI itu.

 

Meraih Gelar Doktor

Setelah tujuh tahun selesai dari pendidikan S.2, seorang alumni senior Prof. Dr. Dja’far Siddik, M.A., (wafat pada pertengahan tahun 2019) berpesan dengan serius bahwa saya harus melanjutkan pendidikan strata tiga. Kalau tidak, menurut beliau, dosen yang masih S.2 akan terus tertinggal dan semakin tidak dibutuhkan kiprahnya dalam pengembangan SDM perguruan tinggi. Apa yang dipesankan oleh beliau ini terbukti kebenarannya. Di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri terjadi perubahan kelembagaan dengan berbagai regulasi yang baru. Bab dan fasal tertentu regulasi dimaksud mengharuskan jenjang pendidikan tertentu untuk jabatan akademik dan jabatan tugas tambahan (pimpinan). Sebagai contoh, dosen yang masih bergelar S.2 tidak lagi memiliki peluang untuk mengusul ke jabatan guru besar. Begitu pula untuk jabatan pimpinan seperti Dekan dan Rektor.

Setelah purna tugas dari jabatan Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Padangsidimpuan (sekarang IAIN Padangsidimpuan) pada 2010, saya mohon izin kepada Ketua STAIN saat itu, Dr. Ibrahim Siregar, MCL untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang strata tiga. Beliau memberi izin belajar dengan tetap melaksanakan tugas sebagai dosen tetap. Agar tugas sebagai dosen tetap ini terlaksana dengan baik, maka saya memilih Program Doktor pada IAIN Imam Bonjol Padang (sekarang UIN Imam Bonjol Padang).

Belajar pada tingkat strata tiga tentu tidaklah mudah bagi orang seperti saya yang kala itu sudah berumur jelang 40 tahun. Namun setelah melihat kawan-kawan satu kelas, yang sebagian besar usianya lebih tua, maka percaya diri saya dalam belajar semakin mantap. Dari 16 orang kelas prodi Pendidikan Islam, ternyata saya adalah orang termuda keempat. Dengan demikian, ada 12 orang anggota kelas yang lebih tua dari saya.

Hingga tahun ketiga saya sangat bersemangat menyelesaikan studi S.3. bahkan saya berambisi sebagai orang pertama di kelas yang meraih gelar doktor. Untuk tujuan ini saya memulai langkah-langkah dan pada tahap awal, saya menjadi orang paling awal telah menyelesaikan tahap seminar judul proposal disertasi. Namun demikian, pada proses selanjutnya, saya terbentur dengan perubahan judul dan metodologi. Semula proposal disertasi yang saya tawarkan adalah penelitian kualitatif, tapi oleh salah seorang pembimbing II disertasi meminta saya untuk menggunakan metode penelitian pengembangan (Research & Development). Menurut penguji bersangkutan, judul yang saya tawarkan hanya dapat dilanjutkan dengan metode penelitian R&D dimaksud.

Perubahan metodologi ini benar-benar memukul semangatku menyelesaikan disertasi. Hal ini karena saat itu saya betul-betul buta dengan metodologi R&D ini. Sejak S.1 hingga S.3, saya tidak pernah mendapat penjelasan tentang metode penelitian pengembangan ini di dalam dan di luar kelas. Oleh karena itu, perubahan metodologi ini betul-betul pukulan telak bagi semangat juang saya untuk menjadi orang pertama meraih gelar doktor di kelas. Suatu waktu, saya mencoba membujuk pembimbing II agar dikembalikan lagi ke metodologi kualitatif. Hasilnya kandas. Pembimbing tetap pada pendirian bahwa jika metodologi ditukar, maka objek penelitian pun harus dirubah. Ini artinya saya harus kembali lagi dari nol. Perasaan saya saat itu benar-benar campur aduk. Dampaknya, urusan disertasi saya tinggalkan selama setahun penuh.

Awal tahun keempat di kampus, Direktur Pascasarjana mengundang seluruh mahasiswa yang belum merampungkan urusan disertasi. Alhamdulillah, semangat juang kembali muncul. Saya mencoba mencari tahu apa “barang” yang bernama R&D itu dari teman yang pernah menggunakan R&D ini dalam penelitiannya. Belum puas dengan penjelasan teman, selanjutnya saya berkali-kali menyambangi Perpustakaan Pascasarjana Universitas Negeri Padang untuk melihat beberapa disertasi yang menerapkan R&D dalam risetnya. Upaya ini kembali membangkitkan self confident pada diri saya untuk menyelesaikan disertasi. Meskipun berjalan lambat, dan harus rehat beberapa fase waktu karena gangguan kesehatan, penelitian disertasi yang bagi saya sangat rumit dan berliku ini berhasil diselesaikan. Berkat rahmat dan ridha Allah, riset R&D saya tentang model integrasi agama dan sains pada Madrasah Aliyah Negeri di Kota Padangsidimpuan ini berhasil dirampungkan pada 2017. Praktis saya menghabiskan waktu tujuh tahun dalam perjuangan meraih gelar doktor. Meski demikian, ternyata saya adalah orang kedua selesai dari kelas prodi S.3 Pendidikan Islam angkatan 2010 pada Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang.

 

Penutup Kata

Saya merasakan dan menyadari bahwa  institusi perguruan tinggi dan HMI sebagai “kampus kedua” telah bersinergi dengan amat strategis dalam membangun keunggulan kompetitif pada diri pribadi saya. Suatu keunggulan kompetitif yang menjadi cerminan kualitas insan cita HMI. Oleh karena itu, hemat saya, jika seorang kader HMI sungguh-sungguh memadukan spirit insan citanya dengan spirit akademik kampusnya, maka para kader akan tumbuh menjadi SDM unggul yang akan selalu dibutuhkan oleh umat dan bangsa. Wallahu a’lam.

_____________________________________

Gambar : Penulis bersama keluarga tercinta pada Idul Adha 1441 H/31 Juli 2020

    

FILSAFAT ILMU: SILABUS MATA KULIAH

 


Setiap mahasiswa wajib memiliki kompetensi keilmuan tentang filsafat ilmu. Secara sederhana filsafat ilmu dapat dipahami sebagai kajian kefilsafatan tentang ilmu. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan ilmu? Bagaimana bentuk dan strukturnya? Bagaimana proses mendapatkannya? Bagaimana ilmu yang benar? Bagaimana hakikat ilmu itu? Apa gunanya bagi manusia dan peradabannya? Inilah beberapa pertanyaan yang muncul terkait kajian kefilsafatan tentang ilmu.

Dengan kompetensi pengetahuan filsafat ilmu ini mahasiswa memiliki pemahaman, sikap dan skill keilmuan yang akan membantunya dalam melihat, membaca dan mengkritisi ilmu pengetahuan dan perkembangannya.

Rencana Pembelajaran Semester (RPS) di bawah ini semula dirancang pada 14 September 2020 dengan mengacu kepada RPS yang ada pada masa itu. Selanjutnya dilakukan penyempurnaan terus-menerus seiring dengan perkembangan keilmuan dan kelembagaan perguruan tinggi Islam, khususnya UIN Syahada Padangsidimpuan.

Berikut adalah  RPS Filsafat Ilmu pada program studi Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syahada Padangsidimpuan:


 

RPS

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER

PRODI PAI & PGMI

UIN SYAHADA PADANGSIDIMPUAN

(Revisi 26/02/2024)


Mata Kuliah

:

FILSAFAT ILMU

Kode Mata Kuliah

:

2225304

Semester

:

IV

Bobot SKS

:

2 SKS

Dosen Pengampu

:

Dr. Anhar, M.A.

Capaian Pembelajaran

:

1.  Mahasiswa mengetahui dan memahami secara komprehensif sifat, karakteristik, hakikat, dan bangunan ilmu pengetahuan;

2.  Mahasiswa memiliki kemampuan berpikir ilmiah dan filosofis yang integratif dan interkonektif berparadigma teoantropo-ekosentis;

3. Mahasiswa memiliki sikap kritis terhadap informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan.

 

Bahan Kajian

:

1.      Konsep-konsep dasar filsafat ilmu;

2.      Pengetahuan dan Teori Kebenaran

3.      Sarana Berpikir Ilmiah dan Metode Berpikir Ilmiah;

4.  Landasan Filosofis Pengembangan Ilmu (Landasan Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis);

5.      Filsafat dan Paradigma Pengembangan Ilmu Yunani Kuno

6.      Filsafat dan Paradigma Pengembangan Ilmu Islam Klasik dan Modern-Kontemporer

7.      Filsafat dan Paradigma Pengembangan Ilmu Barat Modern

8.      Filsafat, Paradigma, dan Konsep Integrasi Ilmu

9.      Integrasi Agama dan Sains di PTKIN



PELAKSANAAN PERKULIAHAN


Pert

Kemampuan Akhir yang Diharapkan

Bahan Kajian/ Materi

Bentuk Pembelajaran

Karakteristik dan Indikator Penilaian

Referensi

Waktu

Bobot Nilai

1

Memahami tujuan, materi dan metode perkuliahan

Silabus dan kontrak perkuliahan

Ceramah dan tanya jawab

Mahasiswa dapat mengungkapkan tujuan, materi, metode dan penilaian perkuliahan

 

RPS (Rencana Pembelajaran Semester)

100 menit

Nilai angka dan huruf

2

Memahami konsep-konsep dasar filsafat ilmu

Pengertian filsafat, ilmu dan filsafat ilmu; Hubungan agama, filsafat dan ilmu pengetahuan

Ceramah, penugasan dan tanya jawab

Kedalaman pemahaman

Lavine, Dari Socrates ke Sartre

Kattsof, Pengantar Filsafat

Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika

 

100 menit

Nilai angka dan huruf

3

Memahami definisi, jenis, klasifikasi dan hirarki ilmu pengetahuan

Definisi dan jenis pengetahuan; Klasifikasi dan hirarki ilmu perspektif Islam dan Barat

Seminar dan Diskusi Kelompok

Pengetahuan konseptual dan Kedalaman pemahaman

Al-Ghazali, Ihya` ‘Ulumuddin

Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam

The Lian Gie, Filsafat Ilmu

Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran

 

100 menit

Nilai angka dan huruf

4

Memahami teori (ukuran) kebenaran

Teori koherensi; korespondensi; pragmatis; paradigmatif

Seminar dan Diskusi Kelompok

Pengetahuan konseptual dan Kedalaman pemahaman

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu

Lubis, Filsafat Ilmu

Endraswara, Filsafat Ilmu

 

100 menit

Nilai angka dan huruf

5

Memahami sarana dan metode berpikir ilmiah

Bahasa, matematika, logika dan statistika; Deduksi, Induksi, dan Abduksi

Seminar

Pengetahuan konseptual dan Kedalaman pemahaman

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu

Ravertz, Filsafat Ilmu

Bakhtiar, Filsafat Ilmu

100 menit

Nilai angka dan huruf

6

Memahami landasan filosofis pengembangan ilmu

Landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis

Diskusi kelompok

Pengetahuan konseptual dan Kedalaman pemahaman

Kattsoff, Pengantar Filsafat

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu

Rahmat, Islam Alternatif

 

100 menit

Nilai angka dan huruf

7

Memahami filsafat dan peradigma pengembangan ilmu Yunani kuno

Filsafat dan Paradigma pengembangan ilmu pra Socrates (Heraklitos dan Parmenides), idealisme Plato, realisme Aristoteles

Seminar

Pengetahuan konseptual dan Kedalaman pemahaman

Hatta, Alam Pikiran Yunani

Lavine, Dari Socrates ke Sartre

Hadiwijono, Pengantar Filsafat Barat I

 

100 menit

Nilai angka dan huruf

8

Memahami filsafat dan paradigma pengembangan ilmu zaman klasik Islam dan Modern

Pemikiran filsafat dan paradigma pengembangan ilmu era Islam Klasik (Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Suhrawardi); Pemikiran filsafat dan paradigma pengembangan ilmu era Islam Modern-Kontemporer (Muhammad Baqir As-Shadr; Syed Muhammad Naquib Al-Attas)

Seminar

Pengetahuan konseptual dan Kedalaman pemahaman

Al-Ghazali, Al-Munqizh min ad-Dhalal

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam

Madkour, Filsafat Islam

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam

 

100 menit

Nilai angka dan huruf

9

Ujian tengah semester

 

 

 

100 menit

Nilai angka dan huruf

10

Memahami filsafat dan paradigma pengembangan ilmu Barat era modern (I)

Filsafat dan paradigma keilmuan rasionalisme klasik dan modern; empirisme klasik dan modern

Seminar

Pengetahuan konseptual dan Kedalaman pemahaman

Lubis, Filsafat Ilmu

Hadiwijono, Pengantar Filsafat Barat-2

Nasr, Menjelajah Dunia Modern

As-Shadr, Falsafatuna

 

100 menit

Nilai angka dan huruf

11

Memahami filsafat dan paradigma pengembangan ilmu Barat modern (II)

Filsafat dan paradigma keilmuan Positivisme, Thomas S. Kuhn dan pluralisme paradigma

Diskusi kelompok

Pengetahuan konseptual dan Kedalaman pemahaman

Lubis, Filsafat Ilmu

Hadiwijono, Pengantar Filsafat Barat-2

Lavine, Dari Socrates ke Sartre

100 menit

Nilai angka dan huruf

12

Memahami paradigma pengembangan ilmu Barat modern  (III)

Filsafat dan paradigma keilmuan Hermeneutika dan fenomenologi

Seminar

Pengetahuan konseptual dan Kedalaman pemahaman

Lubis, Filsafat Ilmu

Hadiwijono, Pengantar Filsafat Barat-2

Saebani, Filsafat Ilmu

Moleong, Metode Penelitian Kualitatif

 

100 menit

Nilai angka dan huruf

13

Memahami paradigma pengembangan ilmu era kontemporer di dunia Islam

Islamisasi ilmu, dan pengilmuan Islam

Seminar

Pengetahuan konseptual dan Kedalaman pemahaman

Al-Faruqi, Islamisasi Ilmu

Langgulung, Research in Psychology: Toward an Ummatic Paradigm

Kuntowijoyo, Pengilmuan Islam

Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu

 

100 menit

Nilai angka dan huruf

14

Memahami integrasi agama dan sains di PTKIN: UIN Yogyakarta, UIN Malang, dan UIN Alauddin

Basis filosofi/teori, metode dan penerapan

Seminar

Pengetahuan konseptual dan Kedalaman pemahaman

Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi

Edy Chandra, Tinjauan Singkat terhadap Pola Integrasi Keilmuan pada beberapa Universitas Islam Negeri

Anhar, dkk., Di Bawah Bayang-bayang Paradigma Sekularistik-Positivistik. 

100 menit

Nilai angka dan huruf

15

Memahami narasi integrasi agama dan sains di PTKIN: UIN Padangsidimpuan

Basis filosofi/teori, metode dan penerapan

Seminar

Pengetahuan konseptual dan Kedalaman pemahaman

UIN Malang, Tarbiyah Ulil Albab: Dzikir, Pikir dan Amal Shaleh

Anhar, Tafsir Teoantropoekosentris

100 menit

Nilai angka dan huruf

16

Ujian Akhir Semester

Essay test berbentuk HOTS

Ujian Tulis

Pengetahuan konseptual dan Kedalaman pemahaman terhadap Materi Perkuliahan

100 menit

Nilai angka dan huruf


Daftar Tugas Makalah


No

Klp

Judul

Sub pembahasan

1

I

Pengetahuan

Pendahuluan, Definisi dan Jenis Pengetahuan, Klasifikasi dan Hirarki Ilmu, Penutup

2

II

Pengetahuan dan Teori Kebenaran

Pendahuluan, Teori Koherensi, Teori Korespondensi, Teori Pragmatis, Teori Paradigmatif, Penutup

3

III

Sarana dan Metode Berpikir Ilmiah

Pendahuluan, Berpikir Ilmiah dan Metode Ilmiah, Sarana Berpikir Ilmiah (Bahasa, Matematika, Statistika, Logika), Penutup

4

IV

Landasan Filosofis Pengembangan Ilmu

Pendahuluan; Landasan Ontologi; Landasan Epistemologi, Landasan Aksiologi; Penutup

5

V

Filsafat dan Paradigma Pengembangan Ilmu Yunani Kuno

Pendahuluan, Pra Socrates (Filsafat Ontologi Heraclitos dan Parmenides), Idealisme Plato, Realisme Aristoteles, Penutup

6

VI

Al-Qur`an dan Ilmu Pengetahuan

Pendahuluan, Paradigma Pengetahuan Arab Pra Islam; Petunjuk Al-Quran tentang Ilmu, Objek Ilmu (Ayat Qauliyah, Ayat Insaniyah, dan Ayat Kauniyah); Tujuan Ilmu Pengetahuan; Penutup

7

VII

Filsafat dan Paradigma Pengembangan Ilmu Masa Islam Klasik dan Modern-Kontemporer

Pendahuluan; Al-Kindi dan Al-Farabi tentang Klasifikasi Ilmu, Teori Kenabian (Teori Pengetahuan Puncak) Al-Farabi, Epistemologi Al-Ghazali dan Suhrawardi; Muhammad Baqir As-Shadr dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu;  Penutup

8

VIII

Filsafat dan Paradigma Pengembangan Ilmu Barat Modern (I)

Pendahuluan, Rasionalisme Modern, Empirisme Modern, Positivisme, Penutup

9

IX

Filsafat dan Paradigma Pengembangan Ilmu Barat Modern (II)

Pendahuluan, Fenomenologi, Penutup

10

X

Filsafat dan Paradigma Pengembangan Ilmu Barat Modern (III)

Pendahuluan, Hermeneutika, Thomas S. Kuhn tentang Paradigma Ilmu Pengetahuan, Penutup

11

XI

Filsafat, Paradigma, dan Konsep Integrasi Ilmu

Pendahuluan, Islamisasi Ilmu, Pengilmuan Islam, Penutup 

12

XII

Integrasi Agama dan Sains di PTKIN: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pendahuluan, Basis Filosofi/Teori, Metodologi, Implementasi, Penutup

13

XIII

Integrasi Agama dan Sains di PTKIN: UIN Maulana Malik Ibrahim

Pendahuluan, Basis Filosofi/Teori, Metodologi, Implementasi, Penutup

14

XIV

Integrasi Agama dan Sains di PTKIN: UIN Syahada Padangsidimpuan

Pendahuluan, Basis Filosofi/Teori, Metodologi, Implementasi, Penutup

 Syarat Makalah:

1.       Makalah menggunakan ukuran kertas A-4.

2.    Margin pengetikan: Kiri 4, atas 3 cm,  kanan 4 cm, dan bawah 3 cm.

2.       Ketebalan makalah minimal 12 halaman dan maksimal 15 halaman dengan jarak baris 1,5 spasi.

3.       Makalah menggunakan foot note dan memiliki daftar kepustakaan.

4.       Sumber makalah adalah jurnal online dan offline dan buku cetak atau google books dan sejenisnya.

5.    Similaritas/kemiripan dengan karya orang lain maksimal 20%.


Catatan:

Silabus/RPS ini dapat juga dilihat pada postingan 19/08/2021

__________________________________________ 

Foto: Seminar proposal Skripsi mahasiswa Tadris Matematika 25/08/2020

DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...