STRATA DAN TEORI KEBENARAN



Strata Kebenaran
Strata kebenaran artinya tingkatan kebenaran. Kebenaran itu secara empirik bertingkat, mulai dari yang rensah sampai yang tinggi. Dalam Al-Quran, ada contoh abstraksi tingkatan kebenaran, mulai dari kebenaran tingkat rendah, tengah dan tinggi. Contoh hal ini dapat dipahami ayat Al-Qur'an berikut:

وَجَزٰٓ ؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚ فَمَنْ عَفَا وَاَ صْلَحَ فَاَ جْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ
"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim."
(QS. Asy-Syura 42: Ayat 40)

Dalam petikan ayat di atas, kebenaran tingkat rendah adalah membalas kejahatan orang lain dengan balasan setimpal. Kebenaran tingkat tengah yaitu memaafkan kejahatan dengan tidak membalas. Sementara kebenaran tingkat tinggi yakni merespon kejahatan dengan perbuatan baik 

Noeng Muhadjir membagi tingkatan kebenaran kepada:
  1. Kebenaran empirik-sensual
  2. Kebenaran empirik-logik
  3. Kebenaran empirik-etik
  4. Kebenaran empirik-transendental
Kebenaran empirik-sensual maksudnya kebenaran yang hanya dapat dibuktikan melalui sens (pengalaman) indra, tanpa perlu pembukrian rasio/logika. Di sini berlaku teori kebenaran korespondensi.

Kebenaran empirik-logik maksudnya kebenaran yang masih terjangkau oleh indra, tapi harus dibantu oleh kaidah berpikir logik. Misalnya proposisi yang berbunyi: "Makanan pokok orang Sumatera adalah nasi." Proposisi ini benar setelah rasio membuat kesimpulan berdasarkan fakta-fakta empirik tunggal bahwa setiap orang berbagai suku di Sumatera maka  nasi. Contoh lain: "Bulan lebih besar dari lingkar roda kereta kuda". Pernyataan ini benar berdasarkan bukti indrawi yang dibantu analisis rasio.

Kebenaran empirik-etik yaitu kebenaran yang masih terjangkau indra (bersifat empirik) namun harus diukur berdasarkan perspektif nilai-nilai etika. Contohnya, "tindakan seseorang yang berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepada dirinya." Tindakan yang bersifat empirik ini benar secara etis, bahkan secara estetis. Dinilai demikian, karena orang dimaksud mampu melakukan tindakan tertinggi (termulia) dalam menyikapi keburukan yang dialaminya.

Kebenaran empirik-transendental yaitu kebenaran empirik yang kebenarannya diasaskan kepada nilai-nilai transensental (wahyu). Misalnya, untuk menguji kebenaran pernyataan: "Semua manusia pada hakikatnya memiliki keyakinan Ketuhanan", maka Pernyataan ini benar dalam perspektif transenden (wahyu atau mistik). Dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30 disebutkan bahwa Allah menciptakan (membentuk) manusia di atas landasan fitrah (agama yang lurus).

Teori-teori Kebenaran
Teori-teori kebenaran muncul seiring dengan perkembangan filsafat keilmuan. Metode berpikir ilmiah yang pertama kali muncul adalah metode deduktif. Ukuran kebenaran dalam metode berpikir deduktif adalah koherensi (konsistensi) proposisi atau pernyataan yang digunakan. Inilah teori kebenaran yang pertama, yaitu teori koherensi. Teori koherensi didefiniskan sebagai teori kebenaran yang berpandangan bahwa suatu proposisi (pernyataan) benar jika kebenaran pernyataan dimaksud koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Teori koherensi ini adalah teori dalam filsafat rasionalisme.

Teori kebenaran yang muncul pasca koherensi adalah teori korespondensi. Teori ini muncul dalam filsafat empirisme. Teori ini berpandangan bahwa suatu pernyataan (proposisi) dipandang benar jika pernyataan dimaksud berkorespondensi (berhubungan) dengan fakta empirik (fakta di lapangan). dengan demikian, ukuran kebenaran di sini adalah fakta empirik. Jika suatu pernyataan tidak dapat dibuktikan fakta empiriknya, maka pernyataan itu salah. Oleh karena itu, dalam teori ini pernyataan harus disusun berdasarkan fakta-fakta empirik (fakta-fakta lapangan).

Di sisi lain, tampaknya berbarengan dengan kemunculan teori korespondensi, muncul pula teori pragmatis. Pragmatis artinya kegunaan. Teori ini tidak tertarik kepada pencarian ilmu yang tidak memberi guna/manfaat praktis-pragmatis bagi manusia. Bagi teori kebenaran pragmatis, kebenaran ilmiah tergantung kepada kegunaan atau manfaat praktis-pragmatis bagi hidup jasmaniah dan psikis-behavioris manusia. Jika proposisi atau pernyataan keilmuan dapat diuji sisi manfaat atau kegunaannya bagi hidup manusia, maka pernyataan itu benar.

Teori kebenaran yang lebih modern adalah teori performatif. Kebenaran ferformatif didasarkan kepada pembuktian pernyataan prediksi ilmiah atau planning ilmiah di masa depan. Jika suatu pernyataan prediktif atau planning terbukti di masa depan maka pernyataan itu dipandang benar. Namun, jika tidak terbukti, maka pernyataan itu dipandang salah. Teori ini sebenarnya bentuk lain dari teori korespondensi. 

Di era posmodern, muncul pula teori paradigmatif. Teori ini didasarkan kepada kenyataan bahwa perkembangan atau bahkan revolusi ilmu didasarkan kepada paradigma ilmiah tertentu. Thomas Samuel Kuhn berpandangan bahwa revolusi ilmu pengetahuan bukan karena akumulasi ilmu, tapi karena perubahan paradigma ilmu. Suatu waktu paradigma lama tidak mampu lagi menjawab dinamika perkembangan keilmuan, akhirnya usang, maka muncullah paradigma baru  sehingga memicu loncatan pengetahuan baru pula. Cukup lama paradigma positivistik dipandang benar dalam memahami manusia. Namun belakangan, paradigma positivistik ini dipandang banyak ahli mengandung sejumlah kelemahan dalam memahami manusia. Akhirnya muncul paradigma interpretif-fenomenologis menggantikan paradigma positivistik dalam dunia sosiologi. Suatu pernyataan keilmuan bisa benar menurut paradigma lama, namun dapat salah menurut paradigma yang baru.

Gambar: Titik Nol Masuknya Islam di Nusantara, Barus, 23 Agustus 2022. Foto bersama usai Safari KKL Mahasiswa UIN Syahada Padangsidimpuan.

 

PENGERTIAN FILSAFAT ILMU



Pengertian Filsafat

Filsafat (philosophia) berasal dari kata philo dan sophia. Philo artinya cinta atau suka. Sophia artinya kebijaksanaan. Dengan demikian, secara bahasa, filasafat artinya cinta kebijaksanaan atau cinta hikmah (wisdom).

         Sementara para tokoh filasafat mendefinisikan istilah filsafat di antaranya sbb:
Plato, seorang filsuf Yunani Kuno, menyebut filsafat adalah ilmu yang berminat mencapai kebenaran yang asli. Menurut Plato, kebebaran yang asli adalah kebenaran yang bersumber dari alam idea, bukan kebenaran yang berasal dari tangkapan panca indera. Kebenaran yang diperoleh indra menurutnya adalah tashawwur (abstraksi/gambaran) dari kebenaran yang ada di alam idea. Lebih jauh penjelasan topik ini akan dibahas pada materi "Filsafat dan Paradigma Keilmuan Yunani Kuno."
        Aristoteles  murid Plato, menyebut bahwa filsafat adalah ilmu yang menanyakan sebab asas segala benda. Sebab asas maksudnya adalah sebab dasar atau sebab pokok. Aristoteles berkeyakinan bahwa semua wujud benda ada asal-muasalnya. Jika dicari terus-menerus maka pencarian kita akan sampai kepada asal pertama segala wujud benda yaitu Tuhan. Bagi Aristoteles, Tuhan adalah penggerak pertama (al-muharrik al-awwal). Dengan demikian, Tuhan juga adalah Al-Haqq al-Awwal (Yang Benar Pertama).
        Al-Farabi, filsuf Muslim abad ke 9 M, menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu tentang alam maujud (yang ada) dan menanyakan hakikat sesuatu. Sampai pada masa Al-Farabi, filsafat masih dipahami sebagai ilmu pengetahuan warisan Yunani Kuno yang mempelajari alam maujud. Kajian filsafat tentang alam maujud tidak saja terkait dengan esesnsi dan substansi alam, tetapi juga berkaitan dengan penomena empirik alam semesta. Hanya saja, bagi Al-Farabi, sebagaimana juga filosof sebelumnya, kajian rasional tentang alam maujud tidak cukup berhenti pada penomena empirik, tapi harus menghunjam ke wilayah hakikat atau esensi dan substansi alam dengan bantuan wahyu (al-'ulum al-naqliyyah). Berbeda dengan perkembangan belakangan ---terutama di Barat--- yang memisahkan kajian sains-empirik dengan metafisika, bahkan dengan agama.

        Dalam melihat sesuatu, filsafat membedakan appearance (kenampakan) atau wujud zhahir dan reality (kenyataan) atau wujud batin. Sebagai suatu ilmu, filsafat tidak mempelajari "kenampakan" atau wujud zhahir/lahir dari suatu objek, tapi mempelajari "kenyataan" atau wujud batin suatu objek.

         "Kenampakan" suatu objek menjadi urusan ilmu-ilmu lain di luar filsafat, misalnya sains atau ilmu pengetahuan alam, sosiologi, linguistik, dan sebagainya.

        Biologi, misalnya, mempelajari organ tubuh manusia. Organ tubuh ini sendiri tentu adalah "kenampakan" dari manusia. Sementara kenyataannya tentu terkait dengan hakikatnya, seperti ruh, akal, jiwa dan qalbu.

           Kajian filsafat menyangkut tiga hal pokok, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga hal ini disebut juga cabang filsafat. 

        Ontologi, berasal dari kata ontos + logos. Ontos artinya ada, logos artinya ilmu. Jadi  secara bahasa, ontologi artinya ilmu tentang yang ada, atau ilmu tentang hakikat sesuatu.

        Epistemologi, berasal dari kata episteme + logos. Episteme artinya pengetahuan, logos artinya ilmu. Jadi, secara bahasa, epistemologi artinya ilmu tentang pengetahuan (dapat juga dibaca: ilmu tentang terbentuknya pengetahuan atau teori pengetahuan).

        Aksiologi  berasal dari kata axios + logos. Axios artinya nilai, sementara logos artinya ilmu. Jadi secara bahasa, aksiologi artinya ilmu tentang nilai; atau teori tentang nilai/kegunaan.

            Dengan demikian, filsafat mengkaji teori tentang hakikat yang ada, teori pengetahuan, dan teori nilai/kegunaan. 

            Bagian ini lebih luas akan dibahas pada materi "landasan filosofis pengembangan ilmu."


Pengertian Ilmu

            Ilmu dari kata Arab 'ilm artinya pengetahuan. Dalam perspektif Islam, ilmu itu milik Allah. Pada hakikatnya manusia tidak memiliki ilmu kecuali yang diberikan oleh Allah. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 255 tersebut:

...wala yuhithuna bi syai'in min 'ilmihi illa bima sya'... (dan mereka tidak mengetahui sesuatupun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki). Dalam ayat Al-Quran lainnya disebutkan:

        Wallahu akhrajakum min buthuni ummahatikum la ta'lamuna syai'a wa ja'ala lakum as-sam'a wa al-abshara wa al-af'idah qalilan ma tasykurun (Dan Allah yang melahirkan kamu dari perut ibumu, kamu tidak mengetahui sesuatu pun, lalu Allah menjadikan (mengaktifkan) bagimu pendengaran, penglihatan dan hati. Namun sedikit sekali kalian bersyukur).

           Berdasarkan kutipan wahyu di atas dapat dinyatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu milik Allah dan bersumber darinya. 

            Imam Syafi'i berkata, "Al-'ilmu nurun wa nurullahi la yuhda li 'ashi". (Ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak dipancarkan kepada pendosa). 

        Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu itu milik Allah dan bersumber dari-Nya. Untuk mendapatkan ilmu Allah dimaksud, Allah menurunkan ayat qauliyah (wahyu), menciptakan ayat insaniyah/nafsiyah (diri manusia) dan menciptakan ayat kauniyah (alam semesta). Semua ilmu, apakah ilmu-ilmu keagamaan, ilmu-ilmu kemanusiaan (sosial-humaniora) dan ilmu-ilmu kealaman (sains).

        Lalu, apa yang dimaksud dengan sains (ilmu pengetahuan alam)? Sains adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui prosedur penalaran dan penelitian ilmiah. Dengan demikian sains itu adalah ilmu yang tersistem, rasional, objektif dan empirik. 

        Objek sains adalah hal-hal empirik, atau hal-hal indrawi. Sains mempelajari penomena indrawi saja. Di luar itu bukan wilayah sains. Kadang-kadang, untuk mempelajari sesuatu, manusia menggunakan alat bantu indra seperti mikroskop, teleskop, termometer, dan lain-lain. Sehebat apa pun hasil sains, ia hanya membahas penomena indrawi. Jadi sains tidak akan pernah menembus hakikat suatu objek.

        Selain sains ada juga ilmu-ilmu rasional yang termasuk dalam lingkup pengetahuan ilmiah. Misalnya ilmu Fiqh. Ilmu Fiqh adalah hasil penggunaan metode ilmu Fiqh terhadap dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan hukum lahiriyah. Dengan demikian ilmu Fiqh juga tidak masuk ke dalam wilayah hakikat Fiqh itu sendiri. Ilmu Fiqh lebih tepat digolongkan ke dalam sains-keagamaan. Hal mana karena ilmu fiqh sendiri menggunakan prinsip-prinsip logika rasional dalam menyimpulkan.


Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu adalah kajian kefilsafatan tentang ilmu. Atau ilmu dilihat dari kaca mata filsafat. Oleh karena cabang utama filsafat itu adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi, maka ilmu akan dilihat dari tiga perspektif cabang filsafat ini. Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat ilmu adalah: 1) Pertanyaan ontologis:  Apa sesungguhnya ilmu itu; Bagaimana hakikatnya. 2) Pertanyaan epistemologis: Bagaimana ilmu diperoleh; Apa sumbernya; Bagaimana prosesnya; Apa syarat-syaratnya; Bagaimana validitasnya. 3) Pertanyaan Aksiologis: Apa tujuan ilmu; Apa nilai atau kegunaan ilmu; Bagaimana ilmu yang sempurna/utuh; Bagaimana etika dan estetika dalam ilmu pengetahuan; Apakah ilmu bebas nilai, dan sebagainya.

        Pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang filsafat ilmu akan mengantarkan seorang terpelajar atau mahasiswa kepada kemampuan dalam memahami bangunan ilmu atau struktur ilmu, bagaimana ilmu terbentuk (mulai dari filosofi, paradigma  teori dan metodologinya); bagaimana ilmu yang utuh (integratif); dan bagaiamana hubungan etika dan ilmu.

        Pengetahuan filsafat keilmuan ini akan sangat membantu mahasiswa dalam memahami struktur keilmuan yang dipelajarinya. Sebagai contoh, mahasiswa yang mempelajari ilmu akhlak akan mengetahui filosofi, paradigma, teori dan metodologi ilmu akhlak yang dipelajarinya. Dengan demikian ia akan memiliki pengetahuan yang utuh dan lengkap tentang ilmu yang dipelajari. Ia akan mengerti sisi-sisi dan seluk beluk keilmuan yang didalaminya.


Ilmu, Filsafat dan Agama

        Di atas telah dijelaskan apa itu ilmu, dan apa filsafat. Jika ilmu dipahami mengkaji yang tampak, filsafat mengkaji hakikat atau realitas (kenyataan), maka agama (wahyu) membahas berbagai aspek keagamaan dan moral serta  membimbing ilmu dan filsafat untuk sampai kepada kebenaran tertinggi, yaitu kebenaran  haqq al-yaqin.

        Kebenaran ilmu (sains) adalah kebenaran tingkat pertama yang disebut dengan 'ain al-yaqin, sementara kebenaran filsafat adalah kebenaran tingkat tengah yang diistilahkan dengan 'ilm al-yaqin. Dan kebenaran agama adalah kebenaran tingkat terakhir. Kebenaran yang tidak ada zhan dan syaqq di dalamnya. Allah menyatakan "la raiba fihi" (tidak ada keraguan di dalamnya). 

Gambar: 
Arahan Rektor UIN Syahada Padangsidimpuan kepada pasukan CS di Auditorium pada 23 Agustus 2022.

Catatan:
Sedikit revisi dan penambahan: 06/03/2024

MAKNA PERSPEKTIF FILSAFAT PADA MK FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



Perspektif filsafat artinya cara pandang filsafat. Yaitu cara pandang filsafat dalam melihat berbagai objek dalam pendidikan. Objek-objek dimaksud di antaranya pendidik, peserta didik, visi-misi-tujuan, kurikulum, metode  dan strategi, institusi, dan sarana prasarana. 
Dalam memandang suatu objek dengan filsafat, misalnya "pendidik" maka sisi yang dilihat adalah sisi ontologi, epistemologi dan aksiologi objek itu. 

Makna Islam di sini yaitu kajian kefilsafatan tentang pendidikan yang dilandaskan kepada islamic world view (qur`anic worldview), islamic philosophy dan islamic thought. 

Melihat Objek dari Sisi Ontologi
Ontologi, dari kata ontos dan logos. Secara bahasa artinya ilmu tentang yang ada. Atau kajian tentang keber-ada-an sesuatu. Sebagaimana diketahui, ontologi adalah cabang filsafat yang membahas hakikat suatu objek. Kalau objeknya "pendidik", maka pertanyaan pokoknya antara lain: Apa sesungguhnya pendidik itu? Apa makna mendidik? Bagaimana hakikat pendidik dalam perspektif Al-Quran (kenabian)? Apa saja kompetensi dasar seorang pendidik? Jawaban terhadap pertanyaan pokok ini akan memberikan gambaran perspektif ontologis tentang suatu objek yang dibahas, yaitu "pendidik".

Melihat Objek dari Sisi Epistemologi
Epistemologi, dari kata episteme dan logos. Secara bahasa artinya ilmu tentang pengetahuan. Atau kajian tentang proses pengetahuan. Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat, validitas dan hakikat ilmu. Secara singkat, epistemologi membantu untuk melihat dan memahami ---dengan berpijak kepada perspektif ontologi--- bagaimana idealnya objek (misalnya pendidik) melakukan tugas dan memerankan diri sebagai pendidik. Beberapa pertanyaan terkait, misalnya: Apa sumber-sumber keilmuan dan kepribadian dalam mendidik? Bagaimana proses ideal pekerjaan mendidik? Bagaimana syarat-syarat ideal yang mesti dimiliki pendidik? Bagaimana mendidik yang benar? Bagaimana hakikat mendidik itu sendiri?

Melihat Objek dari Sisi Aksiologi
Aksiologi, dari kata axios dan logos. Secara bahasa artinya ilmu tentang nilai. Yaitu ilmu atau kajian tentang nilai atau kegunaan sesuatu. Aksiologi adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai atau kegunaan suatu objek. Nilai yang dilihat di sini adalah nilai etik (baik, buruk, benar, salah) dan nilai estetik (keindahan, keanggunan, kesempurnaan). Dalam konteks "pendidik", beberapa pertanyaan terkait di antaranya: Apa fungsi, nilai dan kegunaan pendidik bagi peserta didik? Apa capaian/kepuasan tertinggi yang mesti dicapai seorang pendidik? Nilai-nilai kepribadian yang bagaimana yang mesti dimiliki seorang pendidik? Bagaimana kepribadian pendidik yang ideal (Qur'ani)?

Jawaban terhadap pertanyaan ontologi, epistemologi dan aksiologi ---seperti ditunjukkan butir-butir pertanyaannya di atas--- akan memberi penjelasan filosofis tentang suatu objek. Dalam contoh di atas, akan diperoleh jawaban filosofis tentang pendidik perspektif Islam. Selanjutnya jawaban-jawaban itu melahirkan konsep Filsafat Pendidikan Islam. Allahu a'lam.

Gambar:
Pemandangan jalan menuju Sadabuan, Padang Sidempuan, ba'da Subuh 27 Juni 2022.

TAREKAT PERSPEKTIF MUHAMMADIYAH?


Tarekat (thariqah) secara bahasa  bermakna jalan. Dalam ilmu tasauf, thariqah dimaknai sebagai jalan spiritual menuju Allah yang ditempuh ---terutama--- melalui zikrullah. Secara historis, khususnya sejak abad ke-12, banyak berdiri pondok-pondok tarekat yang memberi layanan khusus pendidikan spiritual atau latihan-latihan kerohanian. Banyak umat Islam yang menjadi murid pondok tarekat ini.

Dalam pondok tarekat, seorang syekh mengajarkan tazkiyyatun nafs melalui amalan-amalan tertentu dan metode-metode zikir yang khusus. Orientasi dari pengajaran tarekat ini tentu saja penyucian qalbiyah atau ruhiyah (hati atau ruhani).

Bagaimana tarekat versi Muhammadiyah? Atau bagaimana perspektif Muhammadiyah tentang jalan spiritual menuju Allah? 

Jalan spiritual Muhammadiyah berbeda dengan jalan spiritual dunia tarekat. Muhammadiyah mengarahkan warga persyarikatan kepada jalan spiritual yang selalu integral dengan amal shaleh. Dengan demikian, dalam Muhammadiyah warga dididik secara seimbang antara "iman, ilmu dan amal" atau "zikir, fikir dan amal". Jadi tidak diarahkan kepada satu titik amaliyah ruhaniyah tertentu, misalnya titik keruhanian (spiritualitas) an sich.

Simpul berpikir demikian ini didasarkan kepada ayat-ayat Al-Quran, di antaranya:

1. Surat As-Sajdah (32) ayat 16:

تَتَجَا فٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَا جِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًا ۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka."

2. Surat Al-Muzammil (73) ayat 20:

اِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ اَنَّكَ تَقُوْمُ اَدْنٰى مِنْ ثُلُثَيِ الَّيْلِ وَ نِصْفَهٗ وَثُلُثَهٗ وَطَآئِفَةٌ مِّنَ الَّذِيْنَ مَعَكَ ۗ وَا للّٰهُ يُقَدِّرُ الَّيْلَ وَا لنَّهَا رَ ۗ عَلِمَ اَنْ لَّنْ تُحْصُوْهُ فَتَا بَ عَلَيْكُمْ فَا قْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْاٰ نِ ۗ عَلِمَ اَنْ سَيَكُوْنُ مِنْكُمْ مَّرْضٰى ۙ وَاٰ خَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِى الْاَ رْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ ۙ وَاٰ خَرُوْنَ يُقَا تِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۖ فَا قْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ۙ وَاَ قِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰ تُوا الزَّكٰوةَ وَاَ قْرِضُوا اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا ۗ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِاَ نْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللّٰهِ هُوَ خَيْرًا وَّاَعْظَمَ اَجْرًا ۗ وَا سْتَغْفِرُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
"Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri (sholat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam, atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersamamu. Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an; Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

3. Surat Al-'Ashr (103) ayat 1-3:
وَا لْعَصْرِ 
"Demi masa."

اِنَّ الْاِ نْسَا نَ لَفِيْ خُسْرٍ 
"Sungguh, manusia berada dalam kerugian,"

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَا صَوْا بِا لْحَقِّ ۙ وَتَوَا صَوْا بِا لصَّبْرِ
"kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran."

Ayat-ayat Al-Quran di atas memberi bimbingan agar orang beriman berupaya sungguh menguatkan spiritualnya, tidak saja shalat dan zikir tetapi juga shalat tahajjud. Dalam surat As-Sajdah ayat 16 di atas, Allah SWT meminta orang beriman agar di tengah malam, atau di ujung malam, bangkit dari tempat tidur untuk tahajjud dengan khusyuk. Dalam tahajjud itu doa dipanjatkan dengan rasa takut dan penuh harap kepada Allah. Namun demikian, orang beriman tidak boleh hanya berhenti pada munajat spiritual. Ia mesti pula terlibat memperjuangkan agar kaum dhu'afa terbebas dari belenggu kemelaratan dan kemiskinan.

Pesan pokok surat As-Sajadah ini sejalan dengan pesan pokok surat Al-Muzammil ayat 20 dan surat Al-'Ashr ayat 1-3. Intinya, kaum beriman mesti terus-menerus meningkatkan spiritualitasnya melalui tazkiyatun nafs, tetapi berbarengan dengan itu mesti pula mempertinggi ketajaman mata batin dan pikirannya dalam memahami penderitaan dan membela kaum dhu'afa' (kaum lemah) dan mustadh'afin (kaum tertindas).

Dalam hal tazkiyatun nafs (bertarekat), Muhammadiyah mengajarkan agar bersungguh-sungguh meneladani Nabi Saw setidaknya dalam delapan poin berikut:

Pertama, shalat lima waktu dengan khusyu' disertai zikir dengan tadharru' (rendah hati), khufyah (lembut), khauf (rasa takut) dan thama' (penuh harap). Shalat adalah seutama-utama zikir. Zikir dalam shalat ini mesti clear terlebih dahulu, baru zikir yang lain. Sebagai contoh zikir shalawat. Sebelum membiasakan zikir shalawat di luar shalat, maka lebih dahulu perbaiki shalawat dalam shalat.
Kedua, shalat tahajjud di tengah malam atau di penghujung malam yang dibarengi doa dengan rendah hati, lemah lembut, rasa takut dan penuh harap.
Ketiga, senantiasa merasa diawasi oleh Allah dalam semua keadaan. Sehingga zikrullah tidak pernah lepas dari dalam hati dan terkadang diucapkan secara verbal.
Keempat, membiasakan shalat-shalat sunnat selain tahajjud, terutama shalat sunnat rawatib dan dhuha.
Kelima, membiasakan puasa sunnat, setidaknya puasa sunnat Senin dan Kamis.
Keenam, membiasakan membaca Al-Quran dan memahami maknanya.
Ketujuh, rajin mendatangi majelis ilmu dan bergaul dengan orang shaleh.
Kedelapan, i'tikaf, khususnya 10 terakhir bulan Ramadhan.

Hemat penulis, seperti inilah tarekat Muhammadiyah yang harus dijalani warga persyarikatan Muhammadiyah. Allahu a'lam.

Gambar:
Jakarta 06 Agustus 2022

UKHUWAH PENUH CINTA WALAU BERBEDA PENGAMALAN AGAMA



Munculnya perbedaan dalam pengamalan agama merupakan fitrah alamiah dari keberagamaan itu sendiri. Oleh karena itu, jika ada pandangan bahwa dalam beragama mesti satu warna, maka pandangan ini akan kontra produktif dengan watak alamiah keberagamaan itu sendiri.
Dalam perspektif keilmuan, perbedaan ini muncul karena dalam memahami nash/teks Al-Quran dan Hadits, para ulama mujtahid yang diikuti ummat Islam memiliki paradigma dan metodologi pemahaman agama yang berbeda. Konsekuensinya, lahirlah bentuk pemahaman dan pengamalan agama yang berbeda pula. 

Dalam sejarah fiqih, tampak bahwa perbedaan pemahaman dan pengamalan agama telah muncul sejak masa sahabat. Selanjutnya, pada era tabi'in hingga tabi'ut tabi'in mulai pula muncul mazhab-mazhab fiqih yang melembagakan perbedaan pemahaman dan pengamalan agama di tubuh umat Islam. 
Berdasarkan kenyataan kesejarahan ini, maka dapat dinyatakan bahwa pandangan yang melihat bahwa pemahaman dan pengamalan agama umat Islam mesti seragam merupakan pandangan yang bersifat ahistoris.

Kesadaran kesejarahan terhadap realitas perbedaan ini wajib dimiliki oleh setiap Muslim. Dinyatakan wajib, karena perbedaan ini merupakan sunnatullah (taqdir) yang muncul secara natural, dan tidak mungkin ditolak. Mereka yang menolak perbedaan ini  sama saja dengan menolak taqdir.

Keseragaman pemahaman dan pengamalan hanya mungkin dilakukan dalam satu mazhab atau satu jam'iyah. Memaksakan pemahaman suatu mazhab atau jam'iyah kepada mazhab/jam'iyah lain sama saja dengan seseorang memaksakan pikiran atau pendapatnya kepada orang lain. Sikap dan tindakan seperti ini adalah sikap/tindakan thaghut yang menindas keberagamaan. Kaum beriman, harus menjauh dari sikap/tindakan memaksakan pemahaman dan pengamalan keagamaan yang demikian ini.

Oleh karena itu mari kita terima dan rayakan perbedaan antar mazhab atau jam'iyah ini dalam ukhuwah imaniyyah yang penuh cinta, sembari kita terus berlomba-lomba dalam beragama.  Allahu a'lam.

Gambar: Raker Perencanaan UIN Syahada di Bukittinggi.

IDEALITAS CARA BERIBADAH MUHAMMADIYAH


Beribadah khashshah (ibadah mahdhah) seperti shalat, puasa dan haji bagi Muhammadiyah harus mengikuti dan mencontoh kaifiyat, juz'iyyat, hai'at (tata cara, perincian dan tingkah pola) beribadah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw dan dicontohkan oleh para Sahabat beliau. Informasi tentang ajaran dan contoh ini diperoleh melalui hadis-hadis maqbulah yaitu hadis yang berkategori Shahih dan Hasan. Dengan demikian, untuk urusan ibadah ini, Muhammadiyah tidak mengambil dari hadis-hadis lingkungan lain, misalnya dari lingkungan ahli tasauf yang tidak melalui periwayatan para shahabat. Ahli tasauf tertentu, dikarenakan kedekatan ruhaniahnya dengan Rasulullah, ada yang mengaku bertemu langsung secara spiritual dengan Rasulillah dan langsung pula mendapatkan pengajaran.

Bagi Muhammadiyah, keutuhan dan kesempurnaan ajaran ibadah telah ada pada ribuan lebih hadis beliau. Semua hadis shahih dan hasan yang dinukil dari beliau atau disampaikan oleh beliau kualitas internalnya sama dengan wahyu. Hal ini karena beliau tidaklah menyampaikan agama menurut kemauan hawa nafsunya. Apa yang disampaikannya itu tiada lain kecuali wahyu yang diwahyukan oleh Allah SWT. Ingat firman Allah:

.وما ينطق عن الهوى. ان هو الا وحي يوحى

Artinya: 

Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Quran) itu adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Petikan ayat ini tentu saja tidak hanya terkait dengan Al-Quran, tetapi juga inklud ke dalamnya Hadis. Karena Hadis adalah penjelasan (bayan at-tafsir) dari Al-Quran. Oleh karena itu, selain Al-Qur'an, maka hadis-hadis maqbulah bagi Muhammadiyah adalah suci, sempurna dan mulia.

Meskipun terkadang hadisnya singkat (misalnya hadis tentang bacaan tasbih, tahmid dan takbir usai shalat fardhu), maka justru disingkatnya itulah kesempurnaannya. Jika ditambah lagi  atau disela lagi dengan ungkapan zikir lain, maka kesucian dan kesempurnaannya akan terdegradasi. 

Sebagai wujud kecintaan kepada Rasulillah dan kesetiaan kepada kesempurnaan apa yang diajarkannya, maka Muhammadiyah tidak berani menambahkan atau menggabung-gabungkan suatu bacaan atau zikir, jika tidak ditemukan petunjuknya dari Rasulillah Saw.

Dalam hal bagian terbesar umat Islam mengikuti zikir dan doa dari Rasulillah yang di dalamnya ada tambahan atau  selipan bacaan lain, meskipun berasal dari potongan hadis, namun  dikarenakan susunan dimaksud telah merubah susunan kalimat zikir yang asli sebagaimana diajarkan oleh Nabi Saw,  maka Muhammadiyah tidak mengamalkannya dan tidak pula menyatakannya sebagai sesuatu yang batal (salah). Muhammadiyah hanya mengajak agar segala bentuk zikir dan doa tetap terpelihara kaifiyat, juz'iyat dan haiat-nya sebagaimana diterima para sahabat dari Rasulillah Saw. Dalam perspektif fiqih Muhammadiyah, corak pemahaman demikian inilah yang perlu diwariskan kepada generasi ummat Islam. Sekaligus Muhammadiyah mengajak ber-fastabiqul khairat dalam beragama, khususnya dalam ibadah mahdhah ini. Allahu a'lam.

Gambar:

Pantai Losari Makassar. Tampak dari jauh Masjid 99 kubah, 07 Juni 2022.

HISAB MUHAMMADIYAH TERBUKTI KEBENARANNYA SECARA EMPIRIK

Terbukti secara empirik, maksudnya terbukti berdasarkan fakta-fakta yang telah terjadi. Contoh, ketika hisab menyatakan bahwa hilal (bulan sabit pertama) telah wujud (misalnya 1°) maka meskipun tidak terlihat pada saat itu, tapi rasio kenampakan bulan akan sesuai dan konsisten antara hasil hisab (perhitungan astronomi) dan rukyah (penglihatan teleskop) pada saat umur bulan 24, 48 atau 72 jam kemudian. Hal ini bermakna jika dilakukan hisab dan sekaligus rukyat setelah bulan berumur 24 jam, 48 jam, dan 72 jam maka hasil hisab akan sama dengan hasil rukyah.

Argumen ini merupakan logika persamaan matematika yang mudah dimengerti. 

Dengan demikian, sesungguhnya hasil-hasil hisab telah teruji dan terbukti dengan fakta-fakta rukyah (fakta-fakta indrawi).

Hisab itu, sesungguhnya tidaklah tepat disebut sebagai ilmu rasional-deduktif an sich,  karena logika perhitungannya justru ditarik dari fakta empirik perjalanan bulan, mulai dari bulan sabit pertama (hilal), bulan pernama, dan bulan sabit akhir. Dari fakta-fakta empirik inilah logika matematis ilmu astronomi dikonstruksi oleh para ahli. 

Oleh karena itu, semestinya ilmu hisab ini tidak perlu lagi diragukan sebagai dasar untuk memformulasi kalender hijriyah bagi umat Islam. Jika kalender hijriyah global telah terbentuk, maka umat Islam di seluruh dunia akan memiliki penanggalan yang sama. Begitu pun, dialog yang terbuka dan penuh cinta antar komponen umat Islam harus terus dilakukan, sehingga pada saatnya nanti akan terbentuk kesepakatan bersama penanggalan hijriyah global. Allahu a'lam.

KHUTBAH IDUL ADHA 1443 H/2022 M

MENGAMBIL MAKNA DAN IBRAH DARI KETELADANAN IBRAHIM A.S., DAN KELUARGANYA, SYARI'AT IBADAH HAJI DAN KURBAN

Oleh: Dr. Anhar, M.A. 

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّه وبركاته

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا)

 (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ )

( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا )
ثم قال الله تعالى في كتابه الكريم

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

بسم الله الحمن الرحيم

إِنَّآ أَعۡطَيۡنَٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ--  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ--  إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ  

Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan rahmat-Nya kepada kita semua. Salah satu nikmat dan rahmat-Nya itu adalah kita diberi kesehatan dan kekuatan sehingga dapat hadir mengikuti ibadah shalat ‘Id dan mengikuti penyampaian khutbah di tempat yang mulia ini.

          Shalawat berangkai salam kita sampaikan kepada Nabi yang mulia, Nabi yang kita cintai Muhammad Rasulullah Saw. Beliau utusan Allah terakhir, tidak ada lagi Nabi sesudah beliau. Nabi yang menjadi suri tauladan terbaik bagi kita dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana ini. Dunia tempat kita beramal untuk mencapai kejayaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Kepada beliau kita bacakan shalawat: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. 

ألله أكبر ألله أكبر لاإله إلاالله والله أكبر ألله أكبر و لله الحمد

            Pada hari ini, sejak Shubuh, jama’ah haji berangkat meninggalkan 'Arafah  menuju Mina untuk melontar Jumrah sebagai lambang perlawanan kepada setan. Setelah itu mereka berkurban dan dilanjutkan dengan Thawaf Ifadhah. Dalam rangkaian ibadah tersebut mereka tak henti-hentinya mengagungkan, membesarkan, menyucikan dan memuji nama Allah sambil pula memanjatkan munajat ruhianiah kepada Allah SWT. Seiring dengan itu, umat Islam dari berbagai penjuru dunia melafazkan takbir, tahlil dan tahmid; mengagungkan, mentauhidkan dan memuji Allah SWT. Gemuruh takbir, tahlil dan tahmid ini bagaikan demonstrasi semesta yang sambung menyambung sebagai bentuk pernyataan penghambaan dan ketauhidan yang ikhlas yang muncul dari lubuk hati setiap setiap insan beriman. 

ألله أكبر ألله أكبر لاإله إلاالله والله أكبر ألله أكبر و لله الحمد

        Haji dan ibadah kurban secara historis dua hal yang tak terpisahkan. Setiap kali kita sampai ke bulan ini, maka jiwa dan pikiran  kita akan diajak bertamasya untuk mengenang dan meneladani perjuangan Nabi Ibrahim a.s., dan keluarganya. Dikatakan demikian, karena ibadah ini adalah “tradisi suci” (syari’at Allah) kepada Nabi Ibrahim a.s., dan sampai kepada Nabi kita Muhammad Saw dan ummatnya hingga akhir zaman.

            Ibrahim, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur`an adalah contoh hamba Tuhan yang ikhlas dan hanif. Beliau adalah sosok Nabi dan Rasul Allah yang menunjukkankan sikap hidup yang benar-benar pasrah kepada Allah. Di dalam sejarah, Ibrahim a.s., adalah tokoh atau pemimpin yang menentang dan memberontak terhadap penyembahan berhala untuk menegakkan ajaran ketauhidan (monoteisme). Nabi Ibrahim a.s. manusia pertama yang memerangi penyembahan berhala ini dibesarkan di rumah Azar, seorang ahli pembuat berhala/patung untuk kaumnya. Di samping memerangi penyembahan berhala, penindasan dan kebodohan, Ibrahim juga menentang dan memerangi Namruz seorang penguasa yang lalim dan korup.

           Nabi Ibrahim a.s., sebagaimana Nabi-nabi yang lain, lahir dari tengah-tengah massa kemanusiaan yang awam (ummiy); strata paling bawah dari struktur masyarakat. Nabi-nabi itu datang dan bangkit untuk menolong dan mengangkat harkat orang-orang yang lemah (dhu’afa`) dan tertindas (mustadh’afin), yang sering diperalat dan ditindas oleh kelompok penguasa pada hampri setiap zaman. Para Nabi bagaikan percikan api yang meloncat dari batu yang bertabrakan; mereka membangkitkan pikiran yang tidur dalam kejahiliyahan, melahirkan semangat kebangkitan dan gerakan amar ma’ruf nahi munkar dalam suatu zaman yang mati; mereka mempercepat aliran kehidupan dan darah perjuangan dalam urat nadi masyarakat yang lamban, dalam pikiran, dalam keyakinan, dan dalam berbagai berbagai bentuk kehidupan keagamaan. Para Nabi hadir untuk mengubah jalannya sejarah dan mengarahkannya kepada pembebasan dari kesyirikan menuju kepada cahaya ketakwaan dan kemajuan. Para Nabi menjadi penguasa, pencipta sejarah dan pembangun  masyarakat yang jauh lebih baik dari penguasa manapun di muka bumi ini.

 ألله أكبر ألله أكبر لاإله إلاالله والله أكبر ألله أكبر و لله الحمد

Sikap penyerahan diri yang tulus ikhlas semata-mata kepada Allah tampak ketika Nabi Ibrahim a.s., mendapat ujian dari Allah yaitu perintah meyembelih putra yang dicintainya Ismail a.s.

Ujian ini adalah ujian terberat yang pernah dirasakan Ibrahim. Ismail adalah buah hati Ibrahim yang lahir setelah waktu menunggu yang lama. Sejarah mencatat, ia mendapatkan buah hati yang sangat ia cintai ini ketika telah berusia senja (kl. 90 tahun). Dalam masa penantian yang panjang itu, ia tak henti-hentinya berdoa. Akhirnya dengan doa dan kesabaran itu do’anya  dikabulkan Allah. Betapa senang dan bahagianya perasaan Ibrahim dan Istrinya ketika mendapatkan bayi mungil Ismail a.s. Tetapi, belum puas menimang bayi Ismail, Allah memerintahkan supaya mengantar dan meninggalkan Siti Hajar bersama bayi mereka Ismail ke sebuah lembah yang tandus, yang secara akal tidak cocok bagi seorang ibu dan bayi dalam masa menyusui. Ketika Siti Hajar menanyakan apa alasan Ibrahim meninggalkan mereka berdua di sana, Ibrahim bungkam seribu bahasa. Tanpa menoleh ke belakang, dengan perasaan sedih dan haru ---karena menjalankan perintah Allah— ia pergi meninggalkan mereka di sebuah lembah di mana Ka’bah sekarang berada. Saat itu dengan berlinang air mata Ibrahim berdoa:

 رَّبَّنَآ إِنِّيٓ أَسۡكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيۡرِ ذِي زَرۡعٍ عِندَ بَيۡتِكَ ٱلۡمُحَرَّمِ رَبّ لِيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجۡعَلۡ أَفۡـِٔدَةٗ مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهۡوِيٓ إِلَيۡهِمۡ وَٱرۡزُقۡهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَشۡكُرُون  

Artinya:

Ya Tuhan Kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS Ibrahim (14): 37). 

ألله أكبر ألله أكبر لاإله إلاالله والله أكبر ألله أكبر و لله الحمد

            Suatu ketika, setelah Ismail memasuki usia remaja, Ibrahim bermimpi (diperintahkan Allah) untuk menyembelih anak yang dicintai itu. Kembali hal ini sebuah pukulan berat buat Ibrahim. Oleh karena itu, konsekuensinya Ibrahim harus  menentukan pilihan, apakah ia lebih mencintai anaknya atau Tuhannya, Allah SWT. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَاتُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَs

Artinya:

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS Ash-Shaffat (37): 102). 

Ismail, seorang remaja yang taat kepada Allah, hormat kepada orang tua, tanpa ragu mengakatan kepada ayahnya agar melaksanakan perintah penyembelihan dirinya.

Tidak terbayangkan betapa mulianya jiwa anak yang masih belia itu. Betapa dalam cintanya kepada Allah dan orang tuanya. Tidak terbayangkan pula betapa harunya perasaan sang ayah yang telah berusia senja, ketika ia membayangkan ternyata ia harus berpisah selamanya dengan anak laki-laki yang sangat ia cintai itu; anak yang menjadi tumpuan hidupnya; anak yang diharapkannya menjadi penerus tugas kerisalahan yang diembannya. Tetapi Ibrahim sadar bahwa cintanya kepada Allah haruslah melebihi segala-galanya. Oleh karena itu ia ikhlas mengerjakan apa pun perintah Allah.

Kini saatnya Ibrahim untuk memeluk dan mencium anaknya Ismail untuk yang terakhir kali. Dengan pasrah keduanya melaksanakan perintah Allah. Allah dalam Al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut:

فَلَمَّآ أَسۡلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلۡجَبِينِ -- وَنَٰدَيۡنَٰهُ أَن يَٰٓإِبۡرَٰهِيمُ -- قَدۡ صَدَّقۡتَ ٱلرُّءۡيَآۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجۡزِي ٱلۡمُحۡسِنِينَ -- إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلۡبَلَٰٓؤُاْ ٱلۡمُبِينُ -- وَفَدَيۡنَٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيمٖ --  وَتَرَكۡنَا عَلَيۡهِ فِي ٱلۡأٓخِرِينَ --  سَلَٰمٌ عَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِيمَ -- كَذَٰلِكَ نَجۡزِي ٱلۡمُحۡسِنِينَ -- إِنَّهُۥ مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُؤۡمِنِين

Artinya:

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. (QS Ash-Shaffat (37):103-111). 

Ujian yang sangat berat itu berhasil dilalui Ibrahim, Ismail dan Istrinya Hajar. Ibrahim dan keluarganya, yang mampu mengorbankan apa saja, bahkan nyawa mereka demi kecintaan kepada Allah, diberikan kedudukan terhormat di sisi Allah dan dihormati oleh tidak saja umat Islam tapi umat agama besar lainnya seperti Yahudi dan Nasrani. 

ألله أكبر ألله أكبر لاإله إلاالله والله أكبر ألله أكبر و لله الحمد

Ibadah haji dan kurban, disamping sebagai bagian dari syariat agama tauhid (monoteistik) ini, juga sekaligus mengenang tradisi Ibrahim dan keluarganya sebagai simbol manusia yang benar-benar mentauhidkan (mengesakan) Allah SWT dengan ikhlas dan hanif (lurus).

Ibadah haji adalah ibadah yang membutuhkan keikhlasan dan perjuangan. Pelaksanaan ibadah haji dimulai dari miqot. Di sini para pelaku haji harus mengganti pakaian. Pakaian --sebagaimana kita tahu-- adalah simbol perbedaan, status, kebesaran, dan sebagainya. Pakaian menciptakan “batas” palsu  yang menyebabkan “perpecahan” di antara umat manusia. Hampir semua “perpecahan” melahirkan ketidakadilan, diskriminasi dan penindasan. Oleh karena itu, ketika seorang hamba mengawali ibadah hajinya, ia harus mengganti pakaiannya dengan pakaian putih tak berjahit sebagaimana dipakai oleh jutaan manusia yang lain. Mulai saat itu, ia harus meneguhkan niatnya menuju Allah, seraya melupakan status dan kelas sosialnya. Karena ketika itu atribut-atribut sosial tersebut tidak berguna di mata Allah. Ia harus berperan sebagai manusia yang sesungguhnya, manusia yang memiliki derajat yang sama di hadapan Allah. Karena jika kelak dipanggil Allah, demikianlah keadaan setiap Muslim, yakni hanya dibungkus oleh beberapa helai kain putih.

Dari miqot, ia terjun ke tengah lautan manusia yang berpakaian sama. Ia hanya bertekad untuk kembali kepada Allah. Ia mengubur dalam-dalam segala bentuk egoisme/keakuannya di Miqot. Dengan demikian ia bagaikan menyaksikan jasadnya sendiri yang mati dan menziarahi kuburannya sendiri. Suasana itu akan mengingatkan kepada pertanyaan asasi, apakah tujuan hidup manusia yang sebenarnya.

 Di Miqot, ia bagaikan mengalami “kematian” dan “kebangkitan” kembali, kemudian ia harus melanjutkan perjalanan menuju 'Arafah.

Beginilah kiranya pemandangan yang akan kita saksikan di hari kiamat nanti. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah “gelombang manusia yang berpakaian serba putih”. Semuanya mengenakan kain kapan. Tidak satu pun di antara mereka berbeda dari yang lain. Jasad-jasad mereka pada hakikatnya telah tinggal di miqat, dan yang bergerak ini adalah ruh-ruh mereka.

Di dalam perpaduan aneka ragam manusia ini, nama, ras, atau status sosial tidak ada artinya. Yang mereka rasakan adalah persatuan yang murni. Inilah pertunjukan amat besar keesaan Allah yang diselenggarakan oleh manusia. 

ألله أكبر ألله أكبر لاإله إلاالله والله أكبر ألله أكبر و لله الحمد

Sejak ihram sampai saat melempar jumrah ‘aqabah pada hari kurban, para tamu Allah tak henti-hentinya mengucapkan, “Labbaik Allahumma labbaik, labbaik la syarikalaka labbaik, innal-hamda wa n-ni’mata laka wal-mulk, la syarika laka”.

Mereka mengakhiri ibadah hajinya dengan melaksanakan thawaf wada’. Thawaf ini adalah thawaf perpisahan dengan baitullah. Ketika thawaf wada’ selesai, maka seluruh rangkaian ibadah haji telah selesai dikerjakan. Selamat tinggal Rumah Allah (Baitullah) yang suci dan diberkati itu.

 ألله أكبر ألله أكبر لاإله إلاالله والله اكبر

 ألله أكبر و لله الحمد                     

Pada hari ini, umat Islam melaksanakan ibadah kurban. Allah SWT menegaskan tentang kurban ini pada surat al-Hajj/22 ayat 36-37, juga pada surat al-Kautsar ayat 1-3. Nabi kita Muhammad SAW., pernah mengecam mereka yang mampu tapi tak mau berkurban. Nabi mengatakan bahwa mereka yang tak mau berkurban jangan mendekati/ bergabung dengan jamaah shalat Nabi. Kecaman ini makin menandaskan pentingnya berkurban.

Meskipun yang disuruh oleh Nabi itu adalah memotong hewan kurban, tetapi yang dituntut itu sebenarnya adalah keikhlasan dan kepasrahan hati kita untuk mengorbankan apa pun milik kita demi cinta kita kepada Allah SWT. Suatu bentuk kepasrahan dan pengorbanan seperti dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s., dan keluarganya. Inilah yang dimaksud oleh Allah dalam firman-Nya, “Bukanlah daging atau darah hewan kurban itu yang sampai kepada Allah, tetapi keikhlasan, ketulusan dan kepasrahan itulah yang sampai kepada-Nya.” (Surat al-Hajj/22: 37). 

Demikianlah khutbah ini semoga bermanfaat menguatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. 

ربنا اغفرلنا وللمؤمنين والمؤمنات والمسلمين 

و المسلمات الاحياء منهم والاموات برحمتك يأرحم الراحمين

ربنا ظلمنا انفسنا وان لم تغفرلنا وترحمنا لنكوننا من الخاسرين

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرٗا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ وَٱعۡفُ عَنَّا وَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَآۚ أَنتَ مَوۡلَىٰنَا فَٱنصُرۡنَا عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَٰفِرِينَ

ربنا أتنا فى الدنيا حسنة و فى الأخرة حسنة وقنا عذاب النار

والحمد لله رب العالمين

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

         

TEOANTROPOEKOSENTRIS: AL-QUR`AN TIDAK SAJA PETUNJUK KEAGAMAAN TAPI JUGA PETUNJUK KEILMUAN

Pada surat Al-Baqarah ayat 2 Allah berfirman, "Dzalika al-kitabu la raiba fihi hudan li al-muttaqin." (Kitab Al-Qur`an ini tidak terdapat keraguan di dalamnya, petunjuk (hudan) bagi orang-orang yang bertakwa). Makna petunjuk dimaksud tidak saja bermakna petunjuk keagamaan tapi juga petunjuk keilmuan. Makna petunjuk keilmuan ini dengan jelas dapat disimpulkan dari ayat-ayat Al-Qur`an sendiri. 

Misalnya Qur`an surat Ali Imran ayat 190:

Inna fi khalqi as-samawati wa al-ardhi wakhtilafi al-laili wa an-nahari la ayatin li ulil albab. (Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam, benar-benar ayat [tanda-tanda kebesaran Allah] bagi orang-orang yang berpikir). Dalam ayat ini, Allah SWT menegaskan bahwa  penciptaan langit dan bumi serta penomena alamiahnya berupa siang dan malam adalah ayat Allah (tanda-tanda/simbol Kemahabesaran Allah). Dalam dunia keilmuan, alam semesta berupa langit dan bumi serta berbagai penomenanya menjadi objek kajian/penelitian. Kajian terhadap alam semesta ini melahirkan ilmu pengetahuan yang beragam, di antaranya Fisika, Kimia, Biologi, Ilmu Antariksa, Astronomi, dan sebagainya. Ilmu-ilmu ini ---berdasarkan Ali Imran: 90--- sesungguhnya mempelajari ayat-ayat Allah di alam semesta, yang diistilahkan dengan ayat kauniyah.

Tak kalah menariknya adalah surat Fushshilat ayat 53:

Sanurihim ayatina fi al-afaqi wa fi anfusihim hatta yatabayyana lahum annahu al-haq, awalam yaqfi birabbika annahu 'ala kulli syai`in qadir. (Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur`an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?). Ayat ini menegaskan, selain alam semesta, manusia juga adalah bagian dari ayat-ayat Allah. Kajian dan penelitian terhadap manusia melahirkan ilmu-ilmu yang juga beragam, seperti Biologi, Sosiologi, Antropologi, Ilmu Bahasa, dan sebagainya. Ilmu-ilmu ini, dengan demikian, juga mengkaji ayat Allah

Menariknya surat Fushshilat/41 ayat 53 ini menjelaskan bahwa kesadaran keilmuan terhadap ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta dan pada diri manusia akan mengantarkan si pembelajar kepada pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran wahyu Allah (Al-Qur`an). Dengan demikian, kajian/penelitian tentang alam semesta dan manusia ---secara aksiologis--- mengantarkan si pengkaji ke tingkat ilmu yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan kewahyuan. Sinonim dengan pengetahuan kewahyuan ini adalah ma'rifatullah (pengetahuan spiritual tentang Allah), pengetahuan sufistik, dan atau pengetahuan mistis-intuitif. Albert Einstein pernah mengatakan bahwa pengetahuan yang utuh (sempurna) adalah perpaduan pengetahuan rasional-empirikal dan mistis-intuitif.

Dari surat Fushshilat ayat 53 ini juga dapat ditarik simpulan lain bahwa objek ilmu pengetahuan itu berupa ayat kauniyah (alam semesta), ayat insaniyah (manusia) dan ayat ilahiyah (wahyu/Al-Qur`an). Ketiganya adalah ayat-ayat yang bersumber dari Allah. Dari sinilah dapat dimengerti bahwa semua ilmu pengetahuan itu pada hakikatnya bersumber dari Allah dan bertujuan akhir untuk mengetahui Allah itu sendiri. 

Bagi Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary (UIN Syahada) Padangsidimpuan, surat Fushshilat ayat 53 ini menjadi dasar paradigma keilmuan Teoantropoekosentris (Al-Ilahiyah, Al-Insaniyah dan Al-Kauniyah). Allahu a'lam.

DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...