TEOANTROPOSENTRIS: MEMAHAMI SAINS AKAN MENJADI 'ABDAN SYAKURA (HAMBA YANG BERSYUKUR)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ وَا خْتِلَا فِ الَّيْلِ وَا لنَّهَا رِ وَا لْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّا سَ وَمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَآءِ مِنْ مَّآءٍ فَاَ حْيَا بِهِ الْاَ رْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ کُلِّ دَآ بَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَا لسَّحَا بِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَآءِ وَا لْاَ رْضِ لَاٰ يٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ

"Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan ayat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti." (Al-Baqarah/2: 164

Terkait ayat Al-Quran di atas, ada informasi Hadis yang perlu menjadi perenungan. Isi Hadis dimaksud sebagai berikut:

Aisyah, istri Nabi mengatakankan bahwa ia menyaksikan Nabi Saw., menangis dalam Tahajjudnya, yaitu ketika berdiri, rukuk, mengangkat kepala dari rukuk dan sepanjang shalatnya. Aisyah kemudian bertanya, "Wahai Rasul Allah, apa yang menyebabkan engkau menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Rasulullah menjawab, "Bagaimana tidak menangis. Sebagai hamba seharusnya aku banyak bersyukur, tetapi mengapa tidak melakukannya, sementara Allah menurunkan firman-Nya: "Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, ... dst. (Lihat Al-Baqarah: 164 di atas).

Aisyah melanjutkan ceritanya: "Kemudian beliau Saw., berkata, "Celaka bagi orang yang membacanya, dan tidak mau berpikir terhadap kandungannya."

Dari perspektif filsafat ilmu, Nabi Saw secara 'amali (demonstratif) mengajarkan kepada kaum beriman bahwa: 

Pertama, ayat Al-Quran dan hadis di atas berisi bimbingan aksiologi ilmu pengetahuan. Bimbingan aksiologis dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut: 

Pertama, pemahaman atau pengetahuan yang benar terhadap alam semesta dengan berbagai penomenanya akan melahirkan kesadaran terhadap nilai-nilai Ilahiyah, insaniyah dan kauniyah (Ketuhanan, Kemanusiaan dan Kealaman).

Kedua, selanjutnya pemahaman terhadap ayat-ayat qauliyah (wahyu) dan ayat-ayat insaniyah (manusia) atau ayat kauniyah (alam semesta) dengan pikiran yang lurus dan qalbu yang suci akan mengantarkan seorang Muslim kepada puncak kesadaran diri sebagai 'ibadurrahman (hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) yang bersyukur kepada-Nya ('abdan syakura). Hamba yang bersyukur adalah hamba yang benar-benar sadar akan kasih dan sayang Allah dan kebergantungan dirinya kepada Allah serta kelemahannya di sisi Allah. Kondisi jiwa yang bersyukur ini membuatnya selalu zikirullah (mengingat Allah) dalam kondisi apa pun, ikhlas menghambakan diri kepada-Nya dan senantiasa penuh harap akan pertolongan-Nya.

Ketiga, objek yang digambarkan Allah dalam ayat di atas adalah alam semesta dan penomena ciptaan-Nya yang juga menjadi objek kajian Sains. Allah menegaskan bahwa, bagi orang yang beriman (sudah tentu juga termasuk Saintis yang beriman), objek kajian berupa alam semesta ini adalah bagian dari ayat (tanda-tanda kebesaran) Allah.

Keempat, kesadaran yang dalam terhadap ayat-ayat Allah ini akan mengantarkan orang atau Saintis beriman kepada penghayatan  qalbiyah (hati, 'irfani, atau intuitif) terhadap makna-makna yang terkandung dalam Asma' Allah (Nama-nama Allah yang Indah dan Agung). Dengan demikian pengetahuan sains seorang Muslim, tidak lagi hanya sekedar pengetahuan rasional dan empirikal, tetapi telah naik kepada pengetahuan 'irfani (ilham atau intuitif). 

Pengakuan terhadap urgensi pemaduan ilmu rasional-empirikal dan ilmu ''irfani ini tidak saja telah digelorakan ilmuan Muslim zaman keemasan peradaban Islam masa lalu, tetapi juga oleh segelintir ilmuan Barat yang besar seperti Albert Einstein. Einstein pernah menyatakan bahwa ilmu yang utuh adalah ilmu yang merupakan perpaduan ilmu rasional-empirikal dan mistis intuitif.

Kelima, dengan sampainya seorang Saintis atau pelajar Sains kepada pengetahuan 'irfani ini, maka kepribadiannya akan terbentuk menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah SWT ('abdan syakura) dan tentu pula akan berproses menjadi insan kamil (insan paripurna). Allahu a'lam.

Gambar: Pembahasan Draf Perpres UIN di Mercure Hotels

TEOANTROPOEKOSENTRIS: DARI PENCARIAN KEBENARAN MENUJU PENCARIAN KEINDAHAN




Pencarian terhadap ilmu pengetahuan tidak cukup hanya mencari yang benar dan baik. Tapi di atas itu perlu dilanjutkan kepada pencarian ilmu yang indah, berseri dan anggun.
Pengetahuan agama yang baru sebatas Fikih dan Kalam (Tauhid Rasional) hanya sampai kepada ilmu yang benar dan baik, namun belum bersentuhan dengan ilmu yang indah dan angggun. Agar sampai kepada ilmu yang indah, berseri dan anggun, maka mesti naik kepada pengetahuan 'irfani (nama lain: pengetahuan sufistik atau pengetahuan mistis-intuitif). Pada tingkat inilah seorang pencari ilmu (thalabul 'ilmi) akan merasakan keindahan ilmu pengetahuan.

Pada tingkat 'irfani ini, seorang pencari ilmu agama tidak lagi berada pada kawasan ilmu bentuk/form (yaitu syarat, rukun, kaifiat, haiat dan juz'iyat), tetapi sudah berada pada kawasan makna, esensi dan atau substansi yang bersifat  rabbaniyah atau ilahiyah (ketuhanan). 

Fakultas (elemen) kejiwaan yang harus didayagunakan pada pengetahuan 'irfani ini adalah qalbu (hati). Qalbu inilah yang dapat menangkap (mempersepsi) dan merasakan ("mengindera") objek pengetahuan pada wilayah alam malakut (alam malaikat) dan alam lahut (alam ketuhanan). Para ulama dan 'arifin (ulama-ulama yang arif) menyatakan bahwa hanya qalbu yang suci yang dapat mempersepsi dan mengindera objek-objek pengetahuan pada wilayah ini.

Bagaimana dengan pengetahuan yang indah dalam Sains?
Pengetahuan yang indah dalam sains sama dengan pengetahuan yang indah dalam agama. Tidak ada bedanya. Hal ini karena objek kedua pengetahuan ini adalah sama, yaitu ayat-ayat Allah. Objek pengetahuan agama adalah ayat qauliyah (Qur'aniyah), sementara objek pengetahuan Sains adalah ayat kauniyah (manusia dan alam semesta). Kedua bentuk ayat ini, secara aksiologis, menjadi tanda-tanda atau simbol-simbol bagi Kemahasucian, Kemahaterpujian dan Kemahabesaran Allah SWT. Dalam sebutan lain, menjadi tanda atau simbol untuk mengenal Allah.

Oleh karena itu semua deskripsi atau penjelasan saintifik tentang wujud manusia dan alam semesta, meskipun dalam bentuk teori atau rumus yang rumit, pada hakikatnya adalah tanda atau simbol bagi Kemahasucian, Kemahaterpujian dan Kemahabesaran Allah SWT. 

Persepsi sufistik (atau persepsi qalbiyah rabbaniyah) seorang saintis (atau pelajar sains) terhadap semua objek sains akan memberi citra atau kesan kepada qalbu tentang keindahan Asma' Allah dan makna-makna yang dikandungnya. Kesan atau citra ini kemudian menjadi thariqah (jalan ruhaniyah) bagi qalbu untuk menerima ilmu ilahiy yang datang secara intuitif (ilhamiy) dari Allah kepada seorang penuntut ilmu. Ilmu Ilahiy itu dibawa oleh malaikat ke dalam qalbu seorang ahli sains atau pelajar sains. Ilmu ilahiy yang indah ini dapat bertahan dan makin menguat serta mencahayai diri pribadi seseorang jika ia terus menjaga kesucian qalbu-nya. 

Kata Penutup
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa pemahaman agama yang benar dan indah memerlukan kemampuan pikir  (ketajaman analisis) dan zikir (tazkiyatunnafs= pembersihan jiwa) yang intens. Tanpa kemampuan zikir dan pikir yang padu dan intens maka seorang pencari ilmu tidak akan sampai kepada puncak kesadaran ilmu yaitu hamba yang menyadari kesempurnaan ciptaan Allah, lalu bertasbih memuji-Nya dan takut kepada siksa neraka. 
Hal demikian ini sebagaimana penggambaran Allah tentang kepribadian para pencari ilmu dalam surat Ali Imran ayat 190 dan 191. 
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ وَا خْتِلَا فِ الَّيْلِ وَا لنَّهَا رِ لَاٰ يٰتٍ لِّاُولِى الْاَ لْبَا بِ 
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,"

الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَا مًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَا طِلًا  ۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَا بَ النَّا رِ
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka."
Allahu a'lam.

Gambar: Pembahasan Draf Ortaker UIN di Mercure Hotels Jakarta Pusat

DISKUSI WAG DOSEN TETAP IAIN PSP: INTERPRETASI TEOANTROPOEKOSENTRIS

Pesan Teoantropoekosentris

----Saat shalat dan berdzikir, kepekaan nurani kita bekerja dalam kontak ruhaniyah dengan Allah sehingga di antara kita merasakan munculnya pengetahuan 'irfani (intuitif) nan indah yang sulit dituliskan.

-----Begitu pula saat seorang Muslim mendalami Sains. Karena ia sadar babws Sains itu juga ayat-ayat Allah, maka kepekaan nuraninya bekerja lalu memberinya pengetahuan intuitif nan indah yang sama dengan pengetahuan yang diperoleh saat shalat dan zikir.

----- Pemahaman Agama dan Sains sama-sama membutuhkan kesucian qalbu, sehingga akan mudah menangkap ilham ruhaniyah yang rabbaniyah dari Allah SWT.

-----Akhirnya Agama dan Sains bertemu dalam lubuk ma'rifatullah ('irfani) yaitu lubuk pengetahuan ruhaniah yg dalam dan indah tentang Kemahaagungam Asma' Allah.

*****Bapak dan Ibu, mohon izin chat ini disampaikan di grup kita ini.🙏🙏🙏


Tanggapan-tanggapan:

1. Bang Irwan Saleh Dalimunthe

Thesis singkat ini adalah bagian menara puncak sebuah kesadaran Spritualitas nan intuitif. Tapi itu adalah menara dengan ketinggian yang pantastis. Sebagai menara pasti ada lahan terhampar yg memungkinkan disiapkannya fondasi. Lalu di atas fondasi itulah dapat dibangun tiang tiang yang kokoh dengan segala ornamennya sebagai tapak tegaknya menara dengan segala ketinggian... Sesungguhnya menuju puncak itu pasti menempuh proses. Disinilah kita mesti membangun jalan proses menuju "THE BEING". Jalan ke puncak itu selalu secara sederhana dipahami orang thariqoh karena maknanya adalah jalan. Jalan itu ada terminal awal dan banyak terminal terminal yang mesti dilewati. Dalam dunia Pengajaran ada Kurikulum atau Curere (rute yang mau ditempuh) hingga muncul terminal-terminal yang konsepsi adaptip dan implementasinya nanti di Rencana Pembelajaran pada tangan Dosen. 

Menuju Teoantr....itu, tentu sudah dipikirkan kian sebelum di tetapkan. Dan itu sudah "Menara di Ketinggian". Pertanyaannya kemudian adalah dari mana mulainya....dimana lahannya, dari mana bahannya yg berkapasitas, siapa tukangnya yg ok dsb...dsb...

Pekerjaan mengeksekusi Teo...tadi yg sudah menjadi Visi tentu sudah menjadi "Fardhu Kifayah" bagi ummat di kampus yang "Cerdas Berintegritas" itu dibawah arahan para Nahoda...

Itu yg ada dalam pikiran saya Cak Anhar...🙏🙏🙏

2. Umpan balik saya kepada bang Irwan Saleh Dalimunthe:

Benar jamaah sekalian dan bang Iwan. Pengetahuan Irfani itu memang berada di ketinggian dan fantastis. 

----- Tetapi percikan-percikan cahanya itu insya Allah dirasakan secara empirik setiap orang yg memelihara shalatnya.

----- Contohnya saat kita mengucapkan untaian bacaan-bacaan shalat, selalu saja kita merasakan Kemahasucian, Kemahaterpujian dan Kemahabesaran Allah dengan cara yg sulit diungkapkan dg lisan.

----- Hal demikian ini tentu bentuk sentuhan pengetahuan 'Irfani yg diperoleh olh "kepekaan qalbiyah/nurani" kita.

---- Tentu harus diusahakan terus agar jangan hanya memperoleh percikan cahaya Rabbaniyah. Pada saatnya harus dekat ke Sumber Cahaya Rabbaniyah.

Hal yang sama dalam membaca Sains pun, kita sering merasakan Kemahasucian, Kemahaterpujian dan Kemahabesaran Allah. 

---- Insya Allah hal ini percikan cahaya pengetahuan 'irfani.

---- Untuk memperoleh semburan cahaya Rabbaniyah yg lebih besar, maka seorang Saintis harus terus mempertajam kepekaan nuraninya dalam memahami ayat-ayat kauniyah.

---- Seseorang menyarankan, jika saja Saintis ini memelihara shalatnya dengan baik dan menjaga qalbunya dari rongrongan nafsu dg rajin puasa Sunnah, maka kepekaan nuraninya dalam membaca sains akan semakin tajam.

Tampaknya itu salah satu cara sederhana yg dapat ditempuh bang @⁨In Irwan Saleh⁩ dan Bapak Ibu Jamaah WAG yang mulia.

Terkait bagaimana konseptualisasinya dalam kurikulum dan implementasinya dalam pelaksanaan tridharma perguruan tinggi, perlu kajian tersendiri yang super serius bang.


2. Ustad Zilfaroni

Bayani merupaka sebuah metode berfikir yang berdasarakan pada teks kitab suci (Al-Quran). pendekatan bayani melahirkan sejumlah produk hukum islam (fiqih islam) dan bagaimana cara menghasilkan hukum dimaksud (ushul fiqih) dengan berbagai variasinya.

Selain itu juga melahirkan sejumlah karya tafsir Al-quran. Irfani adalah model penalaran yang berdasarakan atas pendekatan dan pengalaman spiritual langsung atas realitas yang tampak.

Bilik irfani adalah esoteris atau bagian batin, oleh karena itu, rasio yang dugunakan hanya untuk menjelaskan pengalaman spritual. metodologi dan pendekatan irfani mampu menyusun dan mengembangkan ilmu kesufian. Burhani adalah kerangka berfikir yang tidak didasarakanatas teks suci maupun pengalaman spritual melainkan berdasarkan keruntutan logika. Kebenaran dalam spekulatif metodologi ini persis seperti yang diperagakan oleh metode keilmuan yunani yang landasanya murni pada cara kerja empirik. kebenaran harus dibuktikansecara empirik dan diakui menurut penalaran logis.

Pembahasan diatas dapat disimpulkan: Epistemologi ilmu pengetahuan tidak lepas dari tiga hal yaitu mendasarkan pada akal (rasionalis), data kongkrit (empiris), dan mengkompromikan akal dan pengalaman (modernis), bahwa pengetahuan merupakan produk bahkan konstruk akal pikiran manusia dan bukan hanya hasil dari penampakan (disclosure) dari wujud yang telah ada sebelumnya, karena ilmu pengetahuan terkait dengan fenomena yang harus ditangkap melalui pengalaman dan kecerdesan akal.

4. Respon kepada Zilfaroni

Yang kita tahu, begini ustad Zil. 

Kalau pengetahuan (ilmu) itu dipandang hanya yang diolah oleh akal dan indra (pengalaman), maka inilah visi epistemologi Barat.

----Dalam epistemologi Islam, pengetahuan itu diperoleh sebagai hasil konstruksi bersama akal, hati dan indra.

----Pengetahuan akal + indra itu baru pengetahuan tentang bentuk-bentu, simbol-simbol. (Ingat perbedaan bentuk dan materi; jism dan jauhar).

-----Di atas pengetahuan yang masih tingkatan bentuk-bentum atau simbol-simbol ini, masih ada satu tahap lagi yaitu pengetahuan tentang makna-makna.

----Bentuk-bentuk atau simbol-simbol sama dengan ayat-ayat. Makna-makna batini/irfani yg rabbaniyah ayat-ayat itulah yg disebut pengetahuan irfani itu.

Ilmu Fiqh hanya bisa menghasilkan "bentuk-bentuk". Wajib, Sunnah, Mubah, Rukun, Syarat, Kaifiat, dll. Ini semua "bentuk-bentuk". Mengapa fiqh seseorang ketat sekali, karena ilmunya belum tersentuh pengetahuan irfani. Kelapangan yang hakiki itu ada pada irfani kan?


5. Respon balik bang Irwan Saleh

Setuju...ingat anak anak semasa di SMP dan SMA, ada kewajiban Solat berjamaah, ada buku penghubung untuk ngontrol, Salat, Tilawah, Zikir Pagi Sore (al-Maksurat) Qiyam Lail dan Akhlak di Rumah, sepertinya jadi cahaya diri mereka kendati mereka melanjutkan Studi di sarang sekularisme dan beraktivitas dengan multikuktur. Artinya yg dilakukan di Sekolah Sekolah IT adalah bagian menghidupkan Nurani-Irfani. Dengan adanya Asrama Mahasiswa...mungkin Program Bina Iman dan Taqwa (Nurani-Irfani) sudah sangat mudah. 

Lalu yang lainnya, mungkin Perlu dikaji dan ditetapkan formulasinya...

6. Tanggapak Pak Agus Salim Daulay

Nimbrung dikit. Saya bukan dosen filsafat. Tp hemat saya kita masih gagal membangun Teonya, sebagaimana yg dilakukan Rasul priode Makkah. Faktanya banyak mahasiswa kita stlh 2 Smt diasramakan mereka banyak yg tidak lg peduli dg shalatnya. Barangkali perlu ini diteliti dg mendalam. Anak psantrenpun banyak yg tidak peduli dg shalatnya. Krn iman belum kokoh, bgmn mereka menjadi bertaqwa. Dosen2 dan pegawai pun tidak mau menonjolkan simbol2 Isalam dalam diri mereka, sbgm ulama2 dan para filosof terdahulu. Sptnya perlu jg diatur pola pakaian para dosen. Krn performens adalah ciri kepribadian seseorang. Hemat saya percuma kita kaji bayani, burhani dan irfani tp aksinya dalam diri kita tdk mendukung. Mohon maaf jika kurang mengena. Trm ksh.

7. Tanggapan Saya kepada Pak Agus Salim Daulay

Hemat saya keperluan kita kpd kajian bayani, burhani dan irfani yg teoantropoekosentris ini supaya visi filosofis, paradigmatif dan metodologi pengemb keilmuan perg tinggi kita ini jelas dan sesuai dengan peradaban kita.

Shalatnya... betul pak. Perlu diteliti mendalam. Mungkin sekali pengajaran shalatnya masih Fiqh saja. Kalau Fiqh saja, tentu masih ilmu rasional (ilmu bentuk-bentuk). Sentuhan qalbiyahnya (sufistiknya) mungkin kurang. Olh krn kita setuju perlu riset.🙏🙏🙏 


8. Tanggapan balik Pak Agus

Barangkali perlu juga dikaji ulamg program asrama. Apakah sdh berhasil menggembleng teoantropoekosentrisnya. Apakah sdh dasar2nya sdh tertanam pd diri mahasiwa. Kita berbangga dg program ma'hadnya, tp bgmn dg outputnya, bisa dilihat setelah mereka selesai 2 Smt. Apakah sdh berhasil guna dan berdaya guna. Kenyataannya 😂😂😂. Wallohu a'lam.

Catatan:

(Diskusi pada WAG "Dosen Tetap IAIN Psp" tanggal 17 Maret 2022)

AGAMA DAN SAINS BERTEMU DALAM LUBUK MA'RIFATULLAH

Tanggapan Bang Irwan Saleh Dalimunthe pada WAG "Dosen Tetap IAIN Psp" terhadap artikel: "Jangan Kesampingkan Qalbu...":

Teknik Melatih Qolbu menuju kesucian (keputihannya) butuh jalan atau metode. Tasauf menyodorkan ini, yakni Tarekat. Dalam teks Al-Quran dan Hadits selalu digunakan dengan bahasa Zikr. Iya Ingat, iya Sebut-sebut...Teknik inilah mungkin yang perlu dikaji dan disesuaikan dengan situasi. Tawaran Mhd. Amin Abdullah dalam buku Multidisiplin, ada 10 ceklis yg perlu dikaji dan didalami oleh kita semua... 

Tanggapan balik saya:

Ya, betul bang. 

Tulisan singkat ini ("Jangan Kesampingkan Qalbu...") mencoba membuat penjelasan (bersifat epistemologis) tentang bagaimana qalbu bekerja memahami objek. 

Pemahaman saya sementara, jika kita memahami ayat Al-Quran (agama) dan Ayat Kauniyah (Sains; alam semesta) dengan qalbu, maka hasil puncaknya adalah sama-sama pengkudusan asma' Allah.

Hal ini sebagai konsekuensi sifat qalbu yg rabbaniyah (bersifat Ketuhanan).

Al-Ghazali: Qalbu yang suci akan menangkap makna-makna batini yang rabbaniyah dari ayat-ayat Al-Quran.

Tentu pula, qalbu yang suci akan mampu pula menangkap makna-makna batini yang rabbaniyah dari ayat-ayat kauniyah.

Yang menyebut demikian itu Al-Quran sendiri. (Untaian doa Ulul albab sebagai berikut: Rabbana ma khalaqta hadza bathila, subhanaka faqina 'adzabannar; Wahai Tuhan kami, tidak ada ciptaan-Mu ini yang sia-sia, Maha Suci Engkau. Oleh karena itu lindungilah kami dari azab neraka. Ali Imran 191).

Chat tambahan pada WAG yang sama:

Pesan Teoantropoekosentris

----Saat shalat dan berdzikir, kepekaan nurani kita bekerja dalam kondisi kontak ruhaniyah dengan Allah sehingga di antara kita merasakan munculnya pengetahuan 'irfani (intuitif) yang indah dan sulit dituliskan.

-----Begitu pula saat seorang Muslim mendalami Sains. Karena ia sadar bahwa Sains itu juga ayat-ayat Allah, maka kepekaan nuraninya bekerja lalu memberinya pengetahuan 'irfani (intuitif) yang indah yang sama dengan pengetahuan yang diperoleh saat shalat dan dzikir.

----- Pemahaman Agama dan Sains sama-sama membutuhkan kesucian qalbu, sehingga akan mudah menangkap ilham ruhaniyah yang rabbaniyah.

-----Pada akhirnya Agama dan Sains bertemu dalam lubuk ma'rifatullah ('irfani) yaitu lubuk pengetahuan ruhaniah yang dalam dan indah tentang Kemahaagungam Asma' Allah.

JANGAN KESAMPINGKAN QALBU (HATI) DALAM MENALAR ILMU PENGETAHUAN

Pemikiran, pemahan dan konsep Filsafat Ilmu dan Sains yang masuk ke perguruan tinggi agama lebih didominasi konsep-konsep yang mengenyampingkan qalbu dalam membaca dan memahami objek ilmu pengetahuan. Bahkan kasus ini tidak saja menimpa ilmu-ilmu rasional (sains, sosial dan lainnya), tapi juga ilmu-ilmu keagamaan.

Peradaban Barat sejak masa renaissance memang telah menafikan qalbu (hati) sebagai salah satu elemen psikis manusia dalam memperoleh dan mencari ilmu. Hal ini sebagai dampak lebih lanjut visi materialisme peradaban yang dimiliki dan dikembangkan oleh Barat. 

Filsafat Barat melihat manusia sebagai makhluk mekanik atau makhluk "mesin" yang seluruh organ dan elemen dirinya hanyalah jalinan sistemik yang bersifat mekanik. Mereka memahami akal tak lebih dari sistem mekanik otak. Sementara qalbu (hati) mereka pahami hanyalah sinyal-sinyal listrik yang dikirim oleh otak ke dada. Menurut Barat, fakultas (elemen) lain manusia selain otak dalam memperoleh ilmu pengetahuan adalah empiri (indra). Dengan demikian, dalam perspektif Barat fakultas (elemen) manusia dalam memperoleh ilmu hanya akal dan indra (rasio dan empiri).

Umat Islam tidak sepatutnya menelan mentah-mentah visi materialisme dan mekanistik tersebut, karena bertentangan dengan natur sesungguhnya manusia sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran. Natur manusia terdiri dari jism (jasmani),  nafs (jiwa), akal, hati dan ruh. Sementara elemen penting manusia dalam mencari dan memperoleh ilmu ---menurut Al-Quran--- adalah qalbu, akal dan indera. 

Bagaimana Qalbu Bekerja dalam memperoleh ilmu pengetahuan?

Jika akal (rasio) menalar objek dengan cara  menganalisa, mengkritisi, menilai dan menyimpulkan, maka qalbu memahami objek dengan cara merasakan, menyadari,  menghayati dan memaknai dengan kesadaran rabbaniyah (ketuhanan). Karena qalbu memang bersifat rabbaniyah

Seorang Muslim yang mempelajari atau meneliti sains, maka pembacaannya tidak boleh berhenti hanya pada pembacaan akal dan indra terhadap fakta-fakta empirik. Dengan qalbu-nya ia harus melanjutkan pemahaman yang dalam untuk meyelami dimensi Kemahabesaran Allah pada fakta-fakta sains yang empirik dimaksud. Upaya qalbiyah (penalaran hati) yang bersifat mistis-intuitif ini dilakukan sebagai tindak lanjut kesadarannya bahwa yang dipelajarinya itu adalah ayat-ayat Allah (ayat kauniyah). Sekaligus dalam hal ini seorang Muslim menunjukkan bentuk pemaduan zikir dan pikir dalam memahami ciptaan Allah SWT.

Dengan cara demikian, maka qalbu membawa pengetahuan rasional dan empirikal ke tingkat pemaknaan yang tinggi, indah dan berseri yaitu pengetahuan 'irfani.  Pengetahuan 'irfani ini adalah pengetahuan tentang hadhrat rububiyah (hadirat Ketuhanan), yang hanya dapat dicerna dengan baik oleh qalbu yang terus disucikan.

Oleh karena itu, dalam hal penyucian qalbu ini sama saja antara ahli agama dan ahli sains. Jika hati mereka sama-sama suci, maka mereka akan mendapat anugerah ilmu yang tinggi akan makna-makna ilahiyah tentang apa yang mereka pelajari. "Yu'til hikmata man yasya' waman yu'tal hikmata faqad utiya khairan katsira, wama yadzdzakkaru illa ulul albab" (Allah memberi hikmah kepada orang yang ia kehendaki, siapa yang diberi hikmah maka ia memperoleh kebajikan yang melimpah. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat (ulul albab). QS Al-Baqarah: 269). Wallahu a'lam.

BERDOSA JIKA PENGETAHUAN SAINS KITA HANYA SEBATAS PENGETAHUAN RASIONAL DAN EMPIRIKAL

Pengetahuan sains yang hanya sampai batas pengetahuan rasional, empirikal, teknologis dan teknis merupakan pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah. Marilah renungkan ayat Allah berikut:

اَللّٰهُ الَّذِيْ رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَا لْقَمَرَ ۗ كُلٌّ يَّجْرِيْ لِاَ جَلٍ مُّسَمًّى ۗ يُدَبِّرُ الْاَ مْرَ يُفَصِّلُ الْاٰ يٰتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَآءِ رَبِّكُمْ تُوْقِنُوْنَ

Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menundukkan matahari dan bulan; masing-masing beredar menurut waktu yang telah ditentukan. Dia mengatur urusan (makhluk-Nya), dan menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu. (QS. Ar-Ra’d 13: Ayat 2)

Dalam ayat Al-Quran di atas, dengan gamblang ditunjukkan bahwa maksud penggambaran ciptaan (alam semesta) dan penomenanya yang berada dalam kekuasaan Allah agar manusia yakin pertemuan dengan Tuhannya.

Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang secara esensil memiliki makna yang sama dengan ayat Al-Quran di atas. Sebagai Maha Pendidik, Allah SWT berkali-kali menjelaskan objek-objek di alam semesta dan berbagai penomenanya. Tujuannya adalah agar manusia mengagungkan Asma’-nya, mengetahui Kemahabesaran-Nya dan meyakini pertemuan dengan-Nya.

Jika Allah SWT sebagai Maha Berilmu menegaskan bahwa alam semesta dan isinya serta penomenanya merupakan ayat-ayat Allah (tanda-tanda/simbol Kemahabesaran Allah) kepada manusia, maka siapa pun ilmuan Muslim yang menjelaskan alam semesta dan penomenanya wajib melihatnya sebagai bagian penjelasan tentang ayat-ayat Allah.

Oleh karena itu seorang ilmuan, dosen atau guru Muslim, ketika memahami sains dan menjelaskannya kepada orang lain tidak boleh hanya berhenti pada penjelasan rasional, empirikal, teknologis dan teknis. Karena, sekali lagi, apa pun pengetahuan yang kita peroleh tentang alam semesta, sungguh pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan tentang ayat-ayat Allah (ayat kauniyah).

Barat memang telah berhasil dalam propagandanya merubah paradigma (mode) berpikir sebagian besar ilmuan Muslim era modern-kontemporer ini. Buktinya banyak dari saintis Muslim, bahkan dosen dan guru yang mengikuti pandangan bahwa ilmu sains tidak ada hubungannya dengan wahyu (agama). Dampaknya terpeliaharalah pandangan bahwa Sains adalah Sains an sich. Sains itu rasional dan empirikal (indrawi). Jangan campurkan dengan penjelasan metafisis, dan apa lagi wahyu (agama). Tujuan Sains hanya kemaslahataen lahiriyah (duniawi). Tidak lebih dari itu. Demikian gambaran singkat propaganda itu.

Dalam perspektif Al-Quran, pemahaman paradigmatif demikian tentu saja bertentangan dengan kehendak Ilahi yang menyebut semua objek Sains adalah min ayatillah (bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah). Dengan demikian, segala rumus, penyimbolan dan deskripsi kita tetang apa pun objek di alam semesta adalah tanda-tanda tentang Allah. Tanda itu jika ditransendensikan tentu mengandung makna Kemahaagungan, Kemahabesaran, Kemahasempurnaan, Kemahasucian Allah serta Kemahaan Asma’ Allah lainnya. Untuk lebih menajamkan ingatan dan pemahaman bahwa semua objek sains adalah ayat Allah, lihat misalnya Al-Quran surat Fussilat ayat 53:

Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat  (tanda-tanda kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?

Berdasarkan penjelasan di atas, amat penting jadi penegasan bahwa pemahaman dan penjelasan Sains harus tertransendensikan melampaui batas-batas rasional, empirik, teknologis dan teknikal. Jika batas ini terlampaui  maka amanat Ilahi tentang tujuan pembacaan ayat-ayat kauniyah akan tercapai. 

Capaian ilmu pengetahuan pada tahap terakhir ini telah sampai kepada pengetahuan ‘irfani, yaitu pengetahuan qalbiyah (hati) yang indah dan berseri tentang  Allah itu sendiri (ma'rifatullah). Suatu pengetahuan di atas/melampaui akal (rasio) dan indra (empiri). Implikasi lebih lanjut, ilmu Sains akan berfungsi meningkatkan keimanan dan ketakwaan mereka yang mempelajari dan mendalaminya. Allahu a’lam.


 


 



JALAN KETIGA (JALAN IRFANI): PENYEMPURNA BERPIKIR ILMIAH

Jalan klasik dalam berpikir ilmiah yaitu jalan deduktif dan induktif. Jalan deduktif adalah jalan pertama, sementara jalan induktif adalah jalan kedua. Perpaduan kedua jalan berpikir klasik ini disebut dengan jalan berpikir ilmiah.

Lalu, apa jalan ketiga? Jalan ketiga adalah jalan 'irfani (intuitif). 

Jalan Deduktif dan Induktif
Jalan deduktif adalah jalan rasional pencarian ilmu yang bergerak dari postulasi/aksioma tertentu ke proposisi yang bermakna khusus. Jadi jalan deduktif itu suatu jalan berpikir dari proposisi umum/kulli/mayor menuju proposisi khusus/juz'i/minor. Jalan deduktif ini benar-benar jalan rasional atau jalan 'aqliyah. Ia memanfaatkan proposisi umum sebagai batu uji bagi proposisi minor yang menjadi turunannya. Dengan demikian, jalan deduktif ini benar-benar memakai teori koherensi/konsistensi dalam pembuktian logikanya. 
Jalan deduksi ini ---karena dari atas ke bawah--- sangat membantu bagi manusia dalam mengkonstruk suatu pemikiran yang koheren mulai dari grand idea/grand theory hingga ke application theory. Atau mulai dari konsep umum hingga ke konsep yang lebih khusus.

Di sisi lain, jalan induktif membantu manusia untuk merumuskan konklusi umum atau proposisi umum dari hal-hal partikular empirik. Dalam ruang populer, jalan induktif dipahami sebagai jalan berpikir dari khusus ke umum. Atau dari juz'i ke kulli. Dengan demikian, induksi itu tampaknya seperti jalan sebaliknya dari deduksi. Jika deduksi mengalir dari umum ke khusus dalam wilayah rasional, maka induksi mengalir dari khusus ke umum dalam wilayah empirikal (indrawi).
Jalan induksi ini salah satu kebutuhan berpikir  (tuntutan akal) manusia untuk memperoleh makna umum dari berbagai kesamaan yang ada pada objek-objek partikular-indrawi. Kesamaan sifat, bentuk atau karakter pada masing-masing objek ini lalu dirumuskan suatu proposisi/pernyataan umum yang mengikat secara bersama masing-masing objek dimaksud. Contoh untuk hal ini misalnya kita mengambil kesimpulan umum dari kesukaan keluarga XY (yang terdiri dari A, B, C, D, E, F, G) terhadap durian:
Objek-objek partikular (juz'i) di keluarga XY tentu saja A, B, C, D, E , F dan G. Ketika masing-masing ditanya, "Apakah Anda menyukai durian?" Maka A menjawab, "Suka". B, C, D, E dan F juga mengatakan suka. Proposisi umum yang dapat ditarik dari masing-masing jawaban itu adalah: "Keluarga XY menyukai durian". Atau "Tidak ada satu pun dari keluarga XY yang tidak menyukai durian.
Jalan induksi ini sangat populer dalam dunia sains. Ingat misalnya bagaimana hukum Archimedes yang terkenal dan sudah klasik lahir dari proses induksi ini.

Berpijak kepada penjelasan di atas, tampak bahwa jalan deduksi benar-benar bertumpu kepada akal (rasio), sementara jalan induksi berumpu kepada indra (empiri). Perpaduan kedua jalan inilah yang oleh ilmuan Barat disebut sebagai jalan berpikir ilmiah. Sebenarnya ada satu lagi jalan yang amat penting yaitu jalan 'irfani (intuitif) yang berulang kali disebut dalam Kitab Suci umat Islam dan telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw., para sahabat, ulama dan filosof muslim klasik.

Bagaimana jalan 'irfani (intuitif)?
Jalan irfani adalah jalan ilmu yang bertumpu kepada qalbu (hati). Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa jalan qalbu inilah sesungguhnya yang menjadi penentu untuk sampai kepada ilmu yang hakiki (ilmu paling puncak; ilmu yang sempurna; 'ilm haqq al-yaqin). Argumen ini tentu saja sangat berdasar dari Al-Quran dan Sunnah.

Jalan 'irfani adalah kelanjutan dari jalan deduksi dan atau induksi. Jalan irfani membawa nalar deduksi dan atau induksi seorang pencari ilmu sampai kepada ma'rifatullah (pengetahuan irfani/intuitif tentang Allah atau lokus pengatahuan Ilahiyah). 
Jalan 'irfani yang bertumpu pada qalbu ini dimulai dari upaya qalbu memahami hasil pencarian deduksi dan atau induksi. Qalbu bekerja dengan cara merasakan, menyadari dan menghayati hasil pencarian rasio dan indra. Selanjutnya qalbu akan memberi abstraksi atau gambaran kepada akal untuk selanjutnya abstraksi dimaksud dirumuskan oleh akal menjadi rumusan ilmu pengetahuan.
Contoh abstraksinya sebagai berikut:
Seorang yang melakukan penelitian dalam bidang sains biologi misalnya menemukan bahwa pasien-pasien yang mengalami hipertensi ketika diperdengarkan musik klasik, terjadi proses biologis penurunan tensi darah. 
Penalaran selanjutnya, ketika si peneliti menggunakan nalar 'irfani maka qalbunya akan memperoleh kesan dan kesadaran ilahiyah bahwa hukum Tuhan (sunnatullah) bekerja secara rapi yang terwujud dalam respon hormonal dalam menurunkan tensi darah.
Kesan dan kesadaran ilahiyah dimaksud akan menyempurnakan informasi rasional dan empirikal yang diperoleh secara saintifik tersebut. 
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan sains yang diperoleh tidak lagi sekedar informasi teknis, teknologis, empirikal dan rasional tetapi sudah naik ke tingkat makna Ilahiyah. Implikasinya, ilmu demikian ini tidak saja bernilai duniawi tetapi juga ukhrawi. Wallahu a'lam.


Gambar: Rapat Pleno Pembahasan Harmonisasi 5 Draf Perpres UIN Tanggal 07 Maret 2022.

PENDEKATAN BAYANI HARUS DIBARENGI DENGAN PENDEKATAN BURHANI DAN 'IRFANI


Terima kasih ustad Zil. 

Saya hanya sekedar respon singkat soal metodologi yang kita harus terus berjihad dan berijtihad untuk menyempurnakan.

Uraian ustad Zil merupakan contoh operasional pendekatan bayani yang menarik. Namun untuk pencarian yang lebih mendalam, para ulama kita mewariskan juga pendekatan burhani dan 'irfani. Dengan tiga pendekatan ini, seorang ilmuan diharapkan sampai kepada puncak pengetahuan/pencarian.

----Pendekatan burhani meniscayakan penggunaan pendekatan semisal hermeneutika atau pendekatan ilmiah lainnya dalam memahami nash (teks).

----Sementara pendekatan 'irfani, akan semakin menyempurnakan dua pendekatan sebelumnya.

----Jika pendekatan bayani dan burhani berpijak kepada akal/rasio dan indra, maka pendekatan 'irfani berpijak kepada kedalaman/ kepekaan/kesucian qalbu dalam memahami objek.

----Produk bayani dan burhani (yang lokus ilmunya merupakan Ilmu-ilmu rasional) tentu akan berbeda rumusan akhirnya jika pula telah melewati nalar 'irfani yg sufistis/mistis.

----Seorang ilmuan yang terasah nalar 'irfaninya (bisa juga dibaca: kepekaan/kesucian qalbunya), tentu akan berbeda dengan ilmuan yang  belum terasah nalar 'irfaninya dalam menyimpulkan/merumuskan ilmu pengetahuan.

----Rumusan ilmu dengan memadukan bayani-burhani-'irfani, insya Allah merupakan rumusan ilmu yang utuh (kamil). Allahu a'lam.

Tulisan di atas adalah respon singkat saya kepada tulisan Zilfaroni pada "WAG Dosen Tetap" tentang perbedaan makna hayah dengan hayawan dalam Al-Qur'an surat Al-Ankabut ayat 64 yang menggunakan pendekatan bayani. 

Zilfaroni menyimpulkan bahwa haya' bermakna kehidupan sementara, sementara hayawan adalah kehidupan dinamis yang tidak ada kematian di dalamnya. Dalam perspektif kebenaran, hayah adalah shuwar asy-syai' (relatifisme/gambaran sesuatu), sementara hayawan adalah haqiqat asy-syai'  (hakikat sesuatu). Hayawan, dengan demikian dipahami sebagai kehidupan yang hakiki (kehidupan yang sebenarnya).

*****

Gambar: Supervisi PLP Mahasiswa FTIK di SMAN 1 Batang Angkola Tapanuli Selatan 24 Februari  2022.


DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...