TEOANTROPOEKOSENTRIS: INTEGRASI AYAT QAULIYAH, INSANIYAH DAN KAUNIYAH


Istilah teoantropoekosentris pertama kali dimunculkan oleh Prof. Ibrahim Siregar pada saat diskusi di sela-sela pembahasan Proposal Usul Alih Bentuk IAIN Padangsidimpuan menjadi Universitas Islam Negeri pada pertengahan tahun 2020 di Jakarta. Penggunaan istilah ini kemudian didiskusikan dalam Focus Group Discussion Rencana Induk Pengembangan dan Rencana Strategis IAIN Padangsidimpuan dan seterusnya dibahas dalam rapat pimpinan. Istilah teoantropoekosentris ini meskipun tampak sebagai pengembangan istilah paradigma keilmuan UIN Yogyakarta yaitu teoantroposentris, tapi menurut Prof. Ibrahim inspirasi utama istilah teoantropoekosentris adalah Al-Quran surat Fushshilat ayat 53 dan juga ayat Al-Quran lainnya yang terkait, misalnya surat Al-Baqarah ayat 30, Ali Imran ayat 190-191, dan sebagainya. Pada surat Fushshilat ayat 53 tergambarkan dengan jelas bahwa sumber pengetahuan ada tiga yaitu Tuhan (wahyu), manusia, dan alam (Teo-antropo-eko). Ayat dimaksud sebagai berikut:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰ فَا قِ وَفِيْۤ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَـقُّ ۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?"

Kata ayatina (ayat-ayat kami) pada surat Fushshilat di atas yaitu afaq (alam semesta), anfus (manusia), al-haq (wahyu). Ayat ini menegaskan bahwa ayat-ayat Allah itu berupa ayat afaqiyah, ayat anfusiyah, dan ayat qauliyah. Oleh karena itu, Fushshilat 53 ini menjadi dasar argumentasi yang kokoh bahwa objek dan sekaligus wilayah ilmu terdiri dari ilahiyah, insaniyah dan kauniyah (Tuhan, manusia, dan alam= theos-anthrophos-eicos).


Pengertian Teoantropoekosentris

Teoantropoekosentris bentukan dari empat kata yaitu teo, antropo, eko, sentris. Teo dari kata theos (bhs. Greek, artinya Tuhan), antropo dari kata antrophos (bhs. Greek, artinya manusia), eko dari kata eicos (bhs. Greek  artinya lingkungan/alam), dan centris dari kata centre (bhs. Inggris, artinya tengah, pusat). Secara bahasa, teoantropoekosentris artinya berpusat atau berporos pada Tuhan-manusia-lingkungan/alam. Padanan Arab teoantropoekosentris adalah ilahiyahinsaniyah dan kauniyah.

Sebagai nama bagi paradigma keilmuan UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary, teoantropoekoaentris dipahami sebagai paradigma keilmuan yang berbasis kepada integrasi ilmu-ilmu ilahiyah, insaniyah dan kauniyah. Dalam struktur keilmuan yang dikembangkan, ilmu ilahi (wahyu) menjadi sumber utama sekaligus grand theory pengembangan ilmu. Dari sisi sumber ilmu, maka ilmu yang dikembangkan UIN yang baru ini adalah ilmu yang bersumber dari ayat qauliyah, ayat insaniyah/nafsiyah dan ayat kauniyah.

Al-Quran menempati posisi tertinggi dalam pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta ilmu-ilmu kealaman. Makna posisi tertinggi di sini yaitu menjadi petunjuk atau pembimbing keilmuan mulai dari filosofi, paradigma, teori dan metodologi keilmuan.

Al-Quran---dengan demikian--- menyatukan (mengintegrasikan) semua ilmu, dan dalam operasinya mendorong penginterkoneksian bidang-bidang keilmuan.


Elaborasi Lebih Lanjut

Konsep yang populer dalam pemikiran pendidikan Islam tentang pembagian ayat Allah adalah ayat qauliyah dan ayat kauniyah atau ayat tanziliyah dan ayat kauniyah. Pembagian ini pertama kali dipopulerkan oleh Konferensi Internasional Pendidikan Islam pada 1977 di Makkah. Ayat qauliyah adalah ayat yang turun dari Allah SWT berupa wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, sementara ayat kauniyah adalah ciptaan Allah yaitu manusia dan alam semesta. Pembagian seperti ini tak obahnya memposisikan keberadaan manusia dan alam semesta dalam posisi yang sama, pada hal manusia memiliki posisi eksistensial yang amat berbeda dibanding alam semesta. Perlu diketahui bahwa Al-Qur`an sendirilah yang memosisikan secara mencolok perbedaan realitas manusia dan alam semesta ini. Jika alam disebut sebagai khalq (ciptaan), maka manusia tidak saja disebut sebagai khalq tapi juga 'abd (hamba), khalifah (pemimpin, wakil) dan sebutan-sebutan lainnya yang melambangkan keunggulan (superioritas) manusia dari makhluk lain. Kualitas-kualitas keunggulan itu misalnya teristilahkan dalam terma-terma seperti mu'mininmuttaqin, muhsinin, mukhlishin, 'ibad ar-rahman, dan lain-lain. 

Di sisi lain, Al-Qur`an menyebutkan bahwa Allah SWT memuliakan manusia. Pemosisian manusia lebih mulia dari makhluk lain ini wajar sekali karena manusia yang memiliki nafs (jiwa) ini satu-satunya makhluk yang ditiupkan spirit suci (ruh) oleh Allah sehingga manusia layak menjadi khalifah Allah di muka bumi. Manusia dengan demikian, memiliki unsur jasadiah/jismiyah, nafsiah dan ruhaniah. Malaikat hanya memiliki unsur ruhiyah. Setan hanya memiliki unsur nafsiah. Sementara makhluk pisik selain manusia hanya memiliki unsur jasadiah dan nafsiah. Atribut ini menegaskan superioritas manusia terhadap makhluk lain.

Agaknya demikian inilah antara lain yang menjadi alasan, mengapa Kuntowijoyo membagi ayat Allah itu kepada tiga, yaitu ayat qauliyah, nafsiah dan kauniyah. Al-Qur`an sendiri  misalnya pada surat Fussilat ayat 53 menegaskan bahwa ayat-ayat Allah itu ada di segenap penjuru alam semesta (afaq), pada diri manusia sendiri (anfus), dan pada Al-Qur`an sendiri (qaul/kalam Allah). Sementara di tempat lain, Allah menegaskan bahwa Al-Qur`an yang sampai kepada kita disebut juga sebagai ayat Allah yang menjadi petunjuk dan pengajaran bagi manusia.

Paradigma teoantropoekosentris menggunakan pembagian Kuntowijoyo dalam mengklasifikasi ayat-ayat Allah dengan sebutan yang sedikit berbeda yaitu ayat ilahiyah, ayat insaniyah dan ayat kauniyah. Dari sinilah kemudian diambil istilah al-ilahiyah, al-insaniyah dan al-kauniyah. Selanjutnya dengan mengambil istilah keilmuan Yunani Kuno, diterjemahkan menjadi teoantropoekosentris. Terjemahan versi Yunani Kuno ini menurut Profesor Ibrahim Siregar diharapkan semakin memudahkan upaya internasionalisasi konsep dan istilah paradigma keilmuan IAIN Padangsidimpuan (sekarang UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan).

Secara filosofis, ketiga bentuk ayat dimaksud tidak mungkin bertentangan karena sama-sama bersumber dari Allah Yang Maha Esa (Allahu Ahad). Fungsinya juga sama yaitu sama-sama menjelaskan Kemahabesaran Allah SWT. Oleh karena itu, jika narasi keilmuan yang keluar dari ketiga ayat yang menjadi objek ilmu tersebut tampak bertentangan, maka sesungguhnya penarasian keilmuan manusialah yang salah (something wrong).


Deduksi-Operatif Teoantropoekosentris

Deduksi-operatif lebih lanjut paradigma keilmuan ini harus tampak pada kurikulum, pembelajaran/perkuliahan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan kehidupan kampus.

1. Kurikulum

Kurikulum dimaknai sebagai jalan (thariqah) yang memuat sejumlah kecakapan dan pengalaman belajar yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan belajar. Secara sederhana, kurikulum berisi pengetahuan, nilai dan keterampilan yang harus dikuasasi oleh peserta didik untuk mencapai standar kompetensi lulusan atau melampaui standar kompetensi lulusan.

Kurikulum terbagi kepada empat komponen, yaitu tujuan, konten (materi), metode, dan evaluasi. Dalam konteks pembelajaran dapat dinyatakan bahwa peserta didik akan terantarkan kepada suatu tujuan/capaian pembelajaran jika keempat komponen dimaksud bekerja sistemik dalam proses pembelajaran. 

  • Pertama, aspek tujuan. Kurikulum teoantropoekosentris mengarahkan tujuan kurikulum kepada pencapaian perkembangan jasmani, mental dan spiritual peserta didik yang seimbang menuju tercapainya insan kamil (insan seutuhnya/insan paripurna). Dalam konteks pencapaian kompetensi pengetahuan dan keterampilan, maka pengalaman belajar peserta didik dapat diorientasikan kepada suatu capaian pembelajaran tertentu. Namun demikian, orientasi profesionalitas ini diberikan jika syarat-syarat keseimbangan kepribadian telah terpenuhi dengan baik.
  • Kedua, aspek konten (materi). Secara garis besar, kurikulum teoantropoekosentris harus berisi muatan ilmu-ilmu keagamaan ('ulum ad-diniyah), ilmu-ilmu sosial dan humaniora ('ulum al-insaniyah), dan ilmu-ilmu kealaman ('ulum al-kauniyah). Dalam operasionalnya, struktur kurikulum semua program studi wajib memiliki muatan tiga bidang besar keilmuan dimaksud. Penekanan kepada bidang keilmuan tertentu dilakukan dengan mepertimbangkan capaian kompetensi pengetahuan dan skill. 
  • Ketiga, aspek metode atau pendekatan (approach). Dalam pengimplementasian kurikulum, maka kurikulum berparadigma teoantropoekosentris dapat menerapkan pendekatan interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner. Tiga pendekatan ini sangat relevan untuk ilmu-ilmu sosial-humaniora dan sains. Operas ketiga pendekatan integrasi kurikulum ini tetap dalam poros paradigmatik ilahiyah-insaniyah-kauniyah. Sementara pada ilmu-ilmu keagamaan, sangat relevan menggunakan pendekatan bayani, burhani dan 'irfani. Tentu saja, penting juga dinyatakan bahwa dalam wilayah ilmu keagamaan tidak menampik kemungkinan digunakannya pendekatan interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner. Sebaliknya, hemat penulis, dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora dan sains, bahkan dapat pula menggunakan pendekatan 'irfani.*

Pendekatan interdisipliner adalah pendekatan dalam memecahkan suatu masalah keilmuan dan kemanusiaan dengan menggunakan sudut pandang ilmu serumpun yang relevan dan terpadu. Pendekatan multidisipliner adalah pendekatan yang digunakan dalam membahas suatu masalah keilmuan dan kemanusiaan dengan menerapkan sejumlah disiplin ilmu dari rumpun ilmu berbeda. Sementara pendekatan transdisipliner adalah pendekatan keilmuan dalam memecahkan suatu masalah dengan memadukan berbagai sudut pandang disiplin keilmuan, expert, praktisi dan profesional.

Ketiga pendekatan ini dioperasikan dalam lokus paradigmatik keilmuan teoantropoekosentris. Dengan demikian, ketiga pendekatan integrasi kurikulum ini berpijak kepada asumsi-asumsi ontologis, epistemologis dan metodologis teoantropoekosentris (Ilahiyah-Insaniyah-Kauniyah) yang diyakini secara bersama komunitas ilmuan, profesional dan praktisi. Para pengkaji, meskipun dengan latar keilmuan dan profesi yang beragam, mesti memiliki keyakinan keilmuan bahwa semua topik yang dikaji itu pada hakikatnya adalah ayat-ayat Allah, dan tujuan filosofis tertingi setiap kajian terhadap masalah keilmuan dan kemasyarakatan adalah untuk mentransendensikan kepribadian dalam bentuk taqarrub ilallah dan mengetahui  secara 'irfani Kemahaagungan dan Kemahabesaran Allah.

Secara lebih praktis dan operatif, ketiga pendekatan ini menghendaki adanya keterlibatan ahli atau ilmuan yang memiliki pengetahuan agama yang komprehensif yang memiliki kompetensi keilmuan 'ulum ad-din (ilmu-ilmu agama), al-fikru al-islami (pemikiran Islam) dan dirasah al-islamiyah (islamic studies).

Jika ketiga macam pendekatan di atas dipandang sulit, maka cara yang paling praktis dan teknikal ditempuh adalah pengintegrasian kurikulum dengan cara tradisional yaitu penerapan proporsi keilmuan antara agama, sosial-humaniora dan kealaman, misalnya untuk program studi ilmu-ilmu sains: agama 10%, sosial-humaniora 15%, dan kealaman 75%. Tentu saja cara terakhir ini bukanlah cara yang cerdas. Dinyatakan demikian, karena proporsionalisasi ini tidak berbasis perspektif teoritik dan konseptual yang matang.

  • Keempat, aspek evaluasi. Orientasi evaluasi diarahkan kepada asesmen terhadap pencapaian keseimbangan kepribadian peserta didik. Oleh karena itu, evaluasi pendidikan tidak boleh hanya pada satu aspek taksonomis hasil belajar tertentu. Misalnya hanya aspek kognitif saja. Pencapaian kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial peserta didik dipandang sebagai aspek inti dalam evaluasi. Seorang peserta didik yang masih rendah pada aspek pengetahuan dan keterampilan tidaklah serta merta menjadi alasan untuk menyimpulkan bahwa penerapan kurikulum tidak menuai hasil. Tapi jika pada aspek sikap spiritual dan sikap sosial lemah, maka dapat dinyatakan bahwa penerapan kurikulum tidak berhasil. Statemen seperti ini dibuat karena aspek terpenting capaian kurikulum teoantropoekosentris adalah aspek keimanan, ketakwaan, dan akhlak peserta didik.


2. Pembelajaran/Perkuliahan

Pendidik adalah orang yang paling bertanggung jawab jalannya pembelajaran. Ia diberi tugas mengaransemen skenario pembelajaran yang aktif, efektif, menarik dan menyenangkan. Ia juga paling bertanggung jawab terhadap seduhan materi pembelajaran/perkuliahan. Dalam teoantropoekosentris, seorang dosen harus mampu menyeduh materi perkuliahan yang bermuatan integrasi atau interkoneksi ilmu-ilmu keagamaan, ilmu-ilmu sosial-humaniora, dan ilmu-ilmu kealaman. Integrasi dimaksud, jika belum dapat dilakukan pada level konsep/narasi/deskripsi, maka dapat dilakukan pada level metodologi. Jika dalam level metodologi pun sulit dilakukan, maka setidaknya pada level paradigma. Jika dalam level paradigma masih belum jelas, maka minimal pada level filosofi.

Level Filosofi>>>>> Pendidik telah lurus pandangan ontologi, epistemologi, dan aksiologinya.

Paradigmatik>>>>> Pendidik telah terbentuk paradigma keilmuan teoantropoekosentrisnya.

Level Metodologi>>>>> Pendidik telah memiliki kemampuan metodologis dalam menerapkan
                                        pendekatan keilmuan integratif (bayani, burhani, 'irfani dan atau
                                         interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner).
Level Narasi/Konseptual>>>>> Pendidik telah mampu menampilkan narasi verbal integrasi keilmuan
                                                    dalam sajian perkuliahan/pembelajaran.

Seorang pendidik adalah orang yang mengajak peserta didik dengan hikmah (kearifan yang didasari dengan kemampuan keilmuan yang mendalam dan mumpuni) dan kitab (kemampuan literasi yang kaya). Ia mengajak dan membimbing peserta didik melakukan "pembacaan" terhadap berbagai objek ilmu pengetahuan. Bentuk "pembacaan" ini tentu akan terwarnai oleh paradigma keilmuan seorang pendidik. Pendidik atau dosen yang berparadigma teoantropoekosentris (tauhidiy) tentu saja akan mewarnai "pembacaan" semua objek ilmu dalam perspektif ilahiyah-insaniyah-kauniyah yang integratif.


3. Penelitian

Penelitian (riset) adalah upaya pembelajaran tingkat tinggi bagi seorang dosen atau peneliti. Disebut demikian, karena pekerjaan penelitian berorientasi memproduk ilmu pengetahuan baru atau memperivikasi ilmu pengetahuan sebelumnya. Dalam perspektif paradigma teoantropoekosentris, setiap dosen diharuskan menerapkan pendekatan interdisipliner, multidisipliner atau transdisipliner. Operasi ketiga pendekatan ini ---khususnya dalam ilmu-ilmu sosial, sains, dan humaniora--- mengharuskan terjadinya integrasi atau interkoneksi ilmu agama, sosial-humaniora, dan kealaman. Di sisi lain, operasi pendekatan bayani, burhani, dan 'irfani mesti digalakkan dalam kajian ilmu-ilmu keagamaan.

Penting dijelaskan di sini bahwa meneliti suatu objek memerlukan sistem berpikir riset. Sistem berpikir riset ---mengadopsi dari Burhan Bungin--- dapat digambarkan sebagai berikut:

Filosofi -------> Paradigma------> Konsepsi ------> Metodologi -----> Ilmu Pengetahuan

Penjelasan:

  1. Pada fase filosofi, yakni fase grand theory (weltstanchaung), seorang peneliti memiliki pandangan Filsafat Keilmuan Perspektif Islam  (philosophy of Qur'anic science). Filsafat keilmuan demikian ini mengasaskan pandangan-pandangan ontologi, epistemologi, dan aksiologi kepada Al-Qur`an.
  2. Pada fase paradigma (mode berpikir), seorang peneliti memiliki mode berpikir teoantropoekosentris (tauhidic paradigm). Paradigma ini muncul sebagai buah konsensus komunitas dosen UIN Syahada tentang asumsi-asumsi ontologi, epistemologi, dan metodologi keilmuan. Buah konsensus ini menumbuhkan keyakinan tentang asumsi-asumsi filosofis keilmuan dimaksud. 
  3. Fase konsepsi. Dari paradigma ini selanjutnya akan terabstraksi menjadi suatu konsepsi (pengertian, paham) yang dapat ditransmisikan kepada komunitas yang lebih besar, setidaknya komunitas civitas akademika.
  4. Fase metodologi. Fase konsepsi selanjutnya memberi arah dan warna bagi perumusan metodologi. Metodologi penelitian berparadigma teoantropoekosentris menghendaki metode bernalar bayani, burhani, dan 'irfani untuk ilmu-ilmu keislaman, sementara untuk ilmu-ilmu sosial, sains, dan humaniora, menghendaki pendekatan interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner. Namun, dalam hal pendekatan inter-, multi-, dan trans disipliner ini senantiasa harus terlandasi oleh weltanschaung ilahiyah-insaniyah-kauniyah. Era industri 4.0 saat ini tidak relevan lagi jika penelitian hanya dengan pendekatan monodisipliner. Produksi ilmu monodisipliner tidak lagi berkonstribusi bagi peradaban manusia era milenium kedua ini.
  5. Fase Ilmu Pengetahuan. Penerapan metodologi berparadigma teoantropoekosentris akan melahirkan ilmu pengetahuan yang rahmatan lil'alamin. Secara agak verbal, pengetahuan demikian ini berisi narasi yang berorientasi kepada pemenuhan maqashid asy-syari'ah (hifzh ad-din, hifzh an-nafs, hifzh al-aql, hifzh al-nasl, hifzh al-mal, dan hifzh al-bi'ah). 


4. Pengabdian kepada Masyarakat

Pengabdian merupakan bentuk konkret tugas kenabian dan kekhalifahan sebagai operasi (penerapan) ilmu pengetahuan dan berbagai kompetensi yang dimiliki untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat. Dalam perspektif teoantropoekosentris, pengabdian ini adalah amal saleh atau ihsanisasi ipteks yang diperoleh dalam pendidikan, pelatihan dan penelitian. Dengan demikian, dalam pengabdian tidak boleh berorientasi nilai material (money oriented). Tapi harus diorientasikan kepada li ibtigha'i mardhatillah (pencarian keridaan Allah). 

Bentuk-bentuk pengabdian harus berporos pada kesepaduan nilai-nilai ilahiyah, insaniyah dan kauniyah. Sebagai tugas propetik (kenabian), maka pengabdian diarahkan dalam rangka pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat. Meminjam istilah ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, pengabdian masyarakat dilakukan dalam kerangka humanisasi, liberasi dan transendensi. 

Humanisasi, maksudnya pencerdasan masyarakat dengan ilmu pengetahuan dan skill. Liberasi, yaitu pembebasan masyarakat dari berbagai kekuatan yang membelenggu hidup dan kehidupan masyarakat. Sementara, transendensi adalah penyempurnaan hidup dan kehidupan masyarakat dengan nilai-nilai Ilahiyah yang selanjutnya tercermin dalam kehidupan masyarakat yang beriman dan bertakwa.

Dengan demikian berbagai model pengabdian mengharuskan pula pendekatan interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Sehingga, skema-skema pengabdian yang dilakukan dalam bentuk Partisipatory Action Research (PAR) atau lainnya, selalu diawali dengan gagasan dan narasi keilmuan integratif.


5. Kehidupan Kampus dan Budaya Akademik

Paradigma teoantropoekosentris mengamanatkan terimplementasinya nilai-nilai ilahiyah, insaniyah dan kauniyah secara simultan dalam kehidupan kampus dan budaya akademik. Untuk merealisir hal ini, kampus wajib melakukan tindakan-tindakan terukur sebagai pendaratan nilai-nilai yang yang bersifat tathbiqiyyah (implementatif) dengan berpijak kepada pedoman-pedoman, juknis, SOP dan kode-kode etik yang dirancang untuk mendukung penciptaan kehidupan kampus dan budaya akademik islami, moderat dan berkearifan lokal. Dalam implementasi nilai-nilai keadaban dimaksud, pimpinan kampus pada semua level harus menjadi rool model bagi civitas akademika.

Keterukuran implementasi nilai-nilai  ilahiyah-insaniyah-kauniyah dalam kehidupan kampus dapat dilihat dari seberapa tinggi indeks kepuasan stakeholders terhadap layanan akademik dan non akademik, kenyamanan, kerapi-bersihan lingkungan internal kampus. Sementara tingkat budaya akademik dapat dilihat seberapa tinggi indeks capaian dan partisipasi akademik civitas akademika UIN Syahada Padangsidimpuan.  Allahu a'lam.*** 


Catatan:

*Apa yang dimaksud di sini bahwa pendekatan 'irfani dapat diterapkan pada ilmu-ilmu sosial sains dan humaniora, hal ini didasarkan pada pengalaman para saintis Muslim dan Non Musim. Banyak saintis Muslim yang dalam risetnya yang serius terhadap alam, terbantu oleh nalar 'irfani-nya ketika membaca objek risetnya sehingga ia benar-benar merasakan kehadiran Tuhan dalam sains yang digelutinya.


Revisi/penambahan terhadap artikel ini dilakukan pada 04 Desember 2022; 05 Desember 2022.

__________________________________ 

Foto: Wisuda Sarjana dan Pascasarjana IAIN Padangsidimpuan 27/10/2020.

PENGUATAN LAYANAN PEMBINAAN MINAT BAKAT: UP-GRADING PENGURUS UKM

 



Psp, 23/10/2020

Salah satu komitmen yang terus dijaga dalam hal layanan kampus terhadap pembinaan minat dan bakat mahasiswa adalah melaksanakan up-grading (penataran) kepengurusan bagi pengurus baru Unit Kegiatan Mahasiswa. Up-Grading ini dilaksanakan secara rutin dengan tujuan memberi pembekalan manajemen administrasi dan organisasi kepada pengurus yang telah dilantik sehingga seluruh personalia pengurus memiliki kesiapan untuk berkarya pada UKM masing-masing. 

Kegiatan up-grading ini dibuka secara resmi oleh Rektor IAIN Padangsidimpuan yang diwakili oleh Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan. Dalam sambutannya beliau menjelaskan bahwa UKM memiliki peran strategis menumbuhkan dan menguatkan kompetensi  life skill atau profesionalitas mahasiswa dalam berbagai jenis dan bentuk. Jika organisasi kemahasiswaan yang bersifat struktural seperti Dema dan Sema berfungsi membina kompetensi kepemimpinan dan keorganisasian, maka melalui UKM mahasiswa mendapatkan asah kompetensi life skill dan keprofesionalan yang sangat berguna sebagai kompetensi tambahan yang diperoleh dari perkuliahan. Kompetensi life skill dimaksud seperti jurnalistik, kreatifitas keagamaan, kreatifitas seni, olah raga, kreatifitas bahasa asing, kreatifitas pengolahan makanan, dan lain-lain.



Up-Grading ini dihadiri oleh seluruh pengurus UKM di lingkungan IAIN Padangsidimpuan dan dilaksanakan selama dua hari. Turut hadir dalam pembukaan, Kabag Akademik dan Kemahasiswaan Biro AUAK (Ali Murni, S.Ag., MAP), Kasubbag Kemahasiswaan Biro AUAK (Muhammad Rafki, SHI).***


INTEGRASI ILMU DALAM PERKULIAHAN: METODE KOMPARATIF DIALEKTIK DAN KOMPARATIF ASOSIATIF



Berdasarkan pengamatan dan pengalaman bertahun-tahun dalam mengikuti dan megasuh perkuliahan, maka sementara ini saya berkesimpulan bahwa metode yang paling mudah dan aplikatif dalam pengintegrasian dan penginterkoneksian agama dan sains berparadigma teoantropoekosentris  (integrasi materi) dalam proses perkuliahan (pembelajaran) adalah metode komparatif dialektik dan komparatif asosiatif. 

Pengertian Istilah

(1) Istilah komparatif (perbandingan) adalah membandingkan perspektif saintifik suatu materi keilmuan dengan perspektif filosofik keagamaan. Sementarta istilah dialektik (dialektika) adalah proses tesis anti tesis antara satu konsep dengan konsep lain sehingga muncul suatu sintesis pemahaman. Dengan demikian, metode komparatif dialektik artinya pembandingan suatu materi dari suatu rumpun ilmu dengan materi rumpun ilmu lain dalam suatu proses dialektik untuk memunculkan suatu sintesis pemahaman. (2) Metode komparatif asosiatif adalah pembandingan dua materi berbeda yang lebih menunjukkan konten persamaan atau saling mendukung.  (3) Materi bawaan adalah materi awal atau asli suatu disiplin ilmu.

Apa maksud metode ini?

Metode perbandingan komparatif dialektik artinya metode penyampaian materi perkuliahan dengan membandingkan (mengkomparasikan) dalam suatu proses dialektik antara materi bawaan yang saintifik dengan materi berdasarkan perspektif keagamaan. Dengan demikian, seorang dosen secara konsisten membandingkan materi keilmuan yang saintifik dengan materi perspektif keagamaan yang normatif, teologis atau filosofik, dan sekaligus menunjukkan sisi posisi strategis ilmu keagamaan dalam struktur bangunan keilmuan. Sementera metode komparatif asosiatif adalah metode penyampaian materi perkuliahan dengan cara membandinghubungkan dengan ilmu pada wilayah sains (hadharatul 'ilm).

Contoh dalam Ilmu Non Keagamaan

Dalam pembahasan mata kuliah filsafat Ilmu ada materi tentang positivisme. Seorang dosen misalnya menjelaskan kepada mahasiswa, "Aliran filsafat ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar hanya pengetahuan yang faktual atau yang yang dapat dibuktikan melalui penginderaan. Di luar itu, tidak termasuk sebagai pengetahuan yang benar misalnya pengetahuan metafisika dan keagamaan." Pandangan ini dapat dikomparasikan secara dialektik dengan perspektif keagamaan sebagai mana contoh penjelasan lanjutan berikut ini, "Positivisme ini mereduksi manusia dan alam bagaikan perabotan mesin. Filsafat ini menutup diri untuk melihat keindahan, keserasian dan keteraturan pada penciptaan manusia dan alam semesta. Bagi Islam, justru keindahan, keserasian dan ketaraturan itu sebagian dari tanda-tanda keagungan (ayat) Allah SWT. Al-Qur`an, misalnya surat Ali Imran ayat 190 menyebut hal ini. Inna fi khalqis samawati wal ardhi wakhtilafil laili wan nahari la`ayatin liulil albab. (Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih berganti malam dan siang adalah ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah). Dengan demikian, bagi Islam, justru hakikat pengetahuan itu bukan berada pada wilayah faktual-empirikal itu, tapi apa yang berada dibalik yang faktual-empirikal itu." 

Dalam contoh di atas, telah terdemonstrasikan apa yang disebut dengan metode komparatif dialektik dalam mengintegrasikan agama dan sains. Dengan cara demikian, maka bentangan Filsafat Ilmu yang disampaikan kepada mahasiswa tidak lagi bercorak Barat an sich. Tapi sudah dapat disebut sebagai Filsafat Ilmu Perspektif Islam.  

Bagaimana dalam Ilmu Keagamaan?

Seorang dosen dalam ilmu keagamaan misalnya menjelaskan di hadapan mahasiswa, "Kita baru saja mendiskusikan salah satu materi tafsir tarbawi yaitu surat Al-'Alaq ayat 1-5. Ayat ini menjelaskan bahwa aktifitas membaca mesti dimulai dengan bismillah. Objek yang diperintahkan dibaca oleh Nabi pada saat itu adalah ayat qauliyah (wahyu tertulis). Allah adalah adalah Dzat Maha Suci yang menciptakan. Ia menciptakan manusia dari 'alaq. Ia Tuhan Yang Maha Mulia. Tuhan yang mengajari dengan perantaraan qalam (pena) yaitu ilmu yang tersurat; dan mengajari manusia tentang hal-hal yang belum diketahui (ilmu yang tersirat). Selanjutnya dosen menjelaskan, "Ayat ini dapat menjadi salah satu dasar perumusan epistemologi ilmu pengetahuan dalam Islam. Dalam perspektif klasifikasi ilmu, maka ilmu pengetahuan dalam ayat ini terbagi dua, yaitu ilmu berian (hudhuri) dan ilmu carian (hushuli). Ilmu berian berupa ilmu yang diajarkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril, sementara ilmu carian adalah ilmu yang diperoleh manusia melalui proses mencari atau meneliti."

Penjelasan terakhir ini adalah contoh demonstrasi metode komparatif asosiatif. Dalam penerapannya di sini menggunakan argumen dari wilayah filsafat Islam (hadharatul falsafah). Pendekatan integrasi yang digunakan lebih kepada pendekatan interdisipliner. Allahu a'lam.***

___________________________  

Foto: Rapat Teknis Pelaksanaan Wisuda tahap ke-2 Tahun 2020 pada 20/10/2020

INTEGRASI ILMU: APAKAH DOSEN-DOSEN PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN MASIH BERPARADIGMA POSITIVISTIK?

 


Paradigma keilmuan adalah hal yang tidak ilmiah dalam dunia ilmiah. Ritzer menyatakan, "A paradigm is a fundamental image of the subject matter within a secience" (paradigma adalah pandangan atau asumsi dasar tentang subjek kajian ilmu dalam sains). Selanjutnya menurut Ratzer, dalam masyarakat ilmiah, paradigma adalah asumsi-asumsi fundamental yang mengikat suatu kelompok masyarakat ilmiah yang selanjutnya menjadi ciri khas pembeda suatu masyarakat ilmiah yang satu dengan lainnya. Masyarakat ilmiah positivistik berbeda dengan masyarakat ilmiah pos positivistik. Mestinya komunitas ilmiah PTKIN juga memiliki paradigma keilmuan yang berbeda dengan paradigma keilmuan Barat. 

Paradigma (secara bahasa: mode of thought atau mode of thinking) adalah semacam keyakinan metafisik yang mendasari kajian ilmu pengetahuan. Keyakinan ini tentu tidak dapat diukur dan diuji kebenarannya menggunakan kaedah ilmiah yang telah disepakati kaum ilmuan.

Paradigma Positivistik

Dosen-dosen perguruan tinggi keagamaan (UIN, IAIN, STAIN) berparadigma yang mana? Apakah masih berparadigma positivistik? Paradigma positivistik dibangun oleh Agust Comte dan kawan-kawan. Paradigma ini lahir sebagai protes dan kekecewaan berat mereka terhadap dominasi gereja dalam menentukan kebenaran. Comte akhirnya meletakkan agama sebagai tahap paling rendah perkembangan masyarakat. Lihat skema Comte berikut:


Dengan skema demikian, maka bagi Comte dan kawan-kawan, tahap positivisme adalah tahap perkembangan masyarakat paling tinggi. Itulah sebabnya, mengapa mereka menegaskan bahwa nilai-nilai teologis dan metafisis harus dibuang dari ilmu pengetahuan (sains). Sementara pada abad-abad sebelumnya (terutama di dunia Islam abad ke-7 hingga abad ke-13) nilai-nilai teologis dan metafisis ini bagian fundamental dari ilmu pengetahuan. Lihat bagaimana secara koheren/konsisten para ilmuan Muslim era klasik (Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, dll.) tetap menempatkan 'ilmu ilahiy/'ulum ad-diniyah pada struktur paling tinggi ilmu pengetahuan.

Dampak Buruknya adalah...

Mereka mereduksi manusia sedemikian jauh hingga disamakan dengan binatang dan benda-benda empirik lainnya. Aspek-aspek psikis manusia mereka pahami tak lebih dari penomena medan listrik yang dikendalikan oleh otak manusia. Seorang Profesor matematika Muslim negeri ini, meskipun ia mengaku sudah naik haji, pernah berkata bahwa hati (qalb) manusia itu tak lebih dari sinyal-sinyal listrik yang terantar dari otak dan mempengaruhi dada manusia. Lebih parah lagi beberapa dosen Muslim menyamakan konsep fitrah dengan teori tabula rasa John Locke (filosof Inggris pendahulu August Comte).

Inilah antara lain, mengapa Malik Badri (intekektual Muslim Sudan yang lahir 1932) menyebut bahwa ilmu pengetahuan kita (beliau mencontohkan psikologi) berada di liang biawak. Pada saatnya tinggal disergap dan jadi santapan biawak.***

_____________________________________

Gambar: Pimpinan/Senat FTIK, 2017. (Dari kiri: Muhammad Nizar Rangkuti, Anhar Nasution, Sahadir Nasution, Lelya Hilda, Zulhimma, Rayendriani Fahmei Lubis, Abdul Sattar Daulay, Ali Asrun Lubis)


METODE STUDI ISLAM DI KAMPUS KITA: KEMANA ORIENTASI MATA KULIAH INI?



Apakah Orientasi Produk Keilmuan atau Metodologi Keilmuan?

Tampaknya, pembahasan mata kuliah MSI di kampus kita sebagian besar berorientasi pada penguasaan produk keilmuan, dan sebagian lainnya berorientasi kepada metodologi keilmuan. Pembahasan MSI yang berorientasi kepada produk keilmuan tentu berakibat terjadinya pengulangan atau tumpang tindih materi dengan mata kuliah lain seperti Ulumul Qur`an, Ulumul Hadits, Ilmu Kalam, Ilmu Syariah dan Ilmu Tasauf. Perlu diketahui bahwa fokus pembahasan mata-mata kuliah yang disebut terakhir ini sebenarnya masuk dalam lingkup produk keilmuan. Pembahasan MSI semestinya berorientasi kepada penguasaan metodologi keilmuan. Dengan cara demikian, maka tumpang tindih pembahasan itu akan terminimalisir. Sebenarnya orientasi kajian terhadap metodologi keilmuan inilah yang on the track dengan maksud mata kuliah ini.

Sebagaimana namanya, Metode Studi Islam, maka mata kuliah ini harus fokus kepada pembahasan metodologi kajian Islam. Lebih tepatnya perspektif historis dan kekinian metode kajian Islam. Tujuannya agar mahasiswa memiliki pemahaman metodologis yang kaya dan beragam varian dalam kajian Islam. 

Metodologi kajian Islam itu dapat dilihat dalam perspektif metodologi klasik, tradisional, modern dan kontemporer. Metodologi klasik adalah metodologi kajian Islam yang dilakukan pada era klasik Islam pada kisaran abad ke-7 hingga abad ke-13 Masehi. Metodologi tradisional adalah metode kajian Islam kisaran abad ke-14 hingga abad ke-18. Sementara metodologi modern pada kisaran abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Selanjutnya metode kontemporer adalah metode kajian Islam yang dipraktikkan pada pertengahan abad ke-20 sampai saat ini.

Berdasarkan pijakan berpikir demikian, maka pokok-pokok bahasan (subject matters) mata kuliah ini harus membentangkan kajian Islam dalam perspektif metode klasik, metode tradisional, metode modern dan metode kontemporer. Oleh karena itu mata kuliah ini harus dibagi ke dalam tiga kelompok pembahasan, yaitu:

1. Pembasan tentang penerapan metode-metode klasik, tradisional, modern dan kontemporer pada ilmu-ilmu keislaman (Al-Qur`an, Hadits, Kalam, Syari'ah dan Tasauf).

2. Pembahasan tentang penerapan ilmu-ilmu modern perspektif multidisipliner dalam kajian Islam (pendekatan historis, sosiologis, filosofis, fenomenologis dan hermeneutika dalam kajian Islam)

3. Pembahasan tentang praktik studi Islam kontemporer di Indonesia (pendekatan NU dan Muhammadiyah)

Poin 1 dan 2 pernah saya konfirmasi kepada Profesor M. Amin Abdullah, pakar Islamic Studies, ketika saya meminta pendapat beliau saat berada di IAIN Padangsidimpuan pada 31 Januari 2020 yang lalu. Beliau saat itu mengiyakan orientasi MSI itu kepada penguatan kompetensi metodologis mahasiswa dalam kajian Islam dengan gambaran pembahasan sebagaimana poin 1 da 2 di atas. Sementara poin 3 adalah bersifat tambahan yaitu kajian tentang praktik studi Islam oleh dua organisasi besar Islam di Indonesia.


Tawaran Topik Pembahasan MSI

Berdasarakan pemikiran di atas, maka hemat saya pembahasan dalam mata kuliah MSI sebagai berikut:

NO

TOPIK PEMBAHASAN

SUB PEMBAHASAN

1.

PENDAHULUAN

a.       MSI: Pengertian, Tujuan dan Fokus Pembahasan

b.      Islam sebagai Objek Kajian Ilmiah

c.       Realitas Historis Kajian Islam

2.

STUDI  AL-QUR`AN

a.       Al-Qur`an: Pengertian dan Sejarah Turunnya

b.      Studi Klasik Al-Qur`an (Metode tafsir bi al-ma`tsur, bi al-ra`yi dan bi al-'isyari)

c.   Pendekatan tradisional dalam kajian Al-Qur`an

d.       Perkembangan modern dan kontemporer dalam studi al-Qur`an.

3.

STUDI  HADITS

a.       Hadits: Pengertian dan Sejarah Kodifikasi Hadits

b.      Studi Klasik Hadits (Metode kajian hadits Imam Bukhari, Imam Abu Daud dan Imam Ahmad).

c.    Pendekatan tradisional dalam kajian hadits

d.       Perkembangan modern dan kontemporer dalam studi Hadits

4.

STUDI  KALAM

a.       Ilmu Kalam: Pengertian dan Sejarah Lahirnya Ilmu Kalam

b.      Studi Klasik dalam Ilmu kalam (Metode kajian kalam Khawarij, Mu'tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah);

c.   Pendekatan tradisional dalam kajian kalam;

d.      Perkembangan modern dan kontemporer dalam kajian kalam.

5.

STUDI  SYARI’AH

a.      Pengertian istilah-istilah penting (syari’ah, tasyri’, fiqh dan hukum Islam)

b.      Studi Klasik dalam Kajian Syariah (Metode kajian hukum Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah);

c.   Pendekatan tradisional dalam kajian syari'ah

d      Perkembangan modern dan kontemporer dalam kajian hukum Islam

6.

STUDI  TASAUF

a.       Tasauf : Pengertian dan sejarah lahirnya tasauf;

b.      Kajian klasik dalam Tasauf (Maqamat, ahwal dan syathahat);

c.   Pendekatan tradisional dalam kajian tasauf

c.      Perkembangan modern dan kontemporer dalam  kajian tasauf.

7.

PENDEKATAN HISTORIS DALAM STUDI ISLAM

a.       Sejarah: Pengertian dan Ruang Lingkup

b.      Metode Kajian Sejarah;

c.       Metode/pendekatan historis dalam studi Islam;

d.      Problem pendekatan historis dalam studi Islam.

8.

PENDEKATAN SOSIOLOGIS DALAM STUDI ISLAM

a.      Sosiologi: Pengertian dan ruang lingkup sosiologi;

b.      Metode kajian sosiologi;

c.       Metode/pendekatan sosiologis dalam studi Islam;

d.      Problem pendekatan sosiologis dalam studi Islam.

9.

PENDEKATAN ANTROPOLOGIS DALAM STUDI ISLAM

a.      Antropologi: Pengertian dan ruang lingkup

b.     Metode kajian antropologi;

c.       Urgensi pendekatan antropologis dalam studi Islam;

d.      Metode/pendekatan antropologis dalam studi Islam;

e.       Problem pendekatan antropologis dalam studi Islam.

10.

PENDEKATAN FILOSOFIS DALAM STUDI ISLAM

a.      Filsafat: Pengertian, objek dan metode pembahasan;

b.     Sistimatika pembahsan filsafat;

c.       Metode/pendekatan filsafat dalam studi Islam;

e.       Problem pendekatan filosofis dalam studi Islam.

11.

PENDEKATAN FENOMENOLOGIS DALAM STUDI  ISLAM

a.      Fenomenologis: Pengertian dan sejarah;

b.     Fenomenologi sebagai metode kajian;

c.     Pendekatan fenomenologis dalam studi Islam;

d.      Problem pendekatan fenomenologis dalam studi Islam.

13.

STUDI  ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA: PENDEKATAN NAHDLATUL ULAMA

a.       Sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama;

b.      Hakikat bermazhab dalam Nahdlatul Ulama;

c.       Metode qauli, ilhaqi dan manhaji.

14.

STUDI  ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA: PENDEKATAN MUHAMMADIYAH

a.       Sejarah berdirinya Muhammadiyah;

b.      Muhammadiyah dan semangat tajdid

c.       Metode tarjih dan tajdid.

Ralat:

12. Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Islam: a. Hermeneutika: Pengertian dan sejarah, b. Hermeneutika sebagai Metode, c. Pendekatan hermeneutika dalam studi Islam, c. Problem pendekatan hermeneutika dalam studi Islam.

__________________________________

Gambar: Mendampingi LPM dalam kegiatan Monev di FEBI IAIN Padangsidimpuan 13/10/2020


PROBLEM PENELITIAN KUALITATIF KITA: PENGALAMAN MEMBIMBING SKRIPSI DAN TESIS PRODI PAI



Setidaknya ada tujuh problem penelitian kualitatif skripsi dan tesis di kampus kita yang belum juga klir sampai saat ini. 

Pertamaproblem paradigma penelitian. Secara umum mahasiswa belum paham bahwa penelitian kualitatif itu memiliki paradigma yang benar-benar berbeda dengan penelitian kuantitatif. Pada hal fundamen kualitatif ini amat penting diketahui, terutama mahasiswa pascasarjana. Ketidaktahuan mahasiswa tampak ketika mereka mendeskripsikan hasil penelitiannya. Pada penelitian kualitatif amat dituntut aspek kemendalaman dan seni mendeskripsikan data/informasi berdasarkan perspektif pokok informan penelitian (inner perspective of human behavior). Jadi bukan informasi pada tingkat permukaan (surface behavior). Mengapa banyak mahasiswa menyajikan informasi kualitatif yang berbau positifistik (hanya pengamatan dan wawancara permukaan)? Tentu saja karena mereka belum paham karakteristik kemendalaman dan kekomprehensifan sajian informasi/data pada penelitian kualitatif. 

Kedua, problem deskripsi urgensi penelitian pada Latar Belakang Masalah (LBM). Secara umum, cara pandang yang dibangun dalam melihat masalah penelitian selalu gambaran masalah berkonstruksi negatif (masalah problematik). Atau selalu menunjukkan das sein dan das sollen. Pada hal tidak semua masalah penelitian bersifat negatif atau paradok antara das sein dan das sollen. Dalam beberapa kasus yang dihadapi, ada peneliti yang sebetulnya bermaksud mengkaji masalah yang unik (masalah berkonstruksi positif), misalnya pendekatan interdisipliner pembelajaran PAI dan PPKN. Tapi ketika ia mendeskripsikan paragraf-paragraf urgensi penelitian pada bagian akhir Latar Belakang Masalah (LBM), ia terjebak ke dalam bangunan berpikir LBM yang memparadokkan das sein dan das sollen. Mestinya ia menunjukkan konstruksi positif dari keunikan situs/fokus yang jadi temuan awal penelitiannya. Oleh karena itu ia cukup mendeskripsikan keunikan (urgensitas) objek yang akan ditetapkan sebagai fokus penelitian.

Ketiga, ketidakjelasan posisi rumusan masalah dan fokus masalah. Sebenarnya, LBM yang bagus akan berhasil menunjukkan dengan jelas kepada pembaca fokus masalah yang akan diteliti. Itulah sebabnya, ada mazhab penelitian yang berpendapat, jika uraian LBM telah berhasil menunjukkan dengan gamblang fokus penelitian, maka sub Fokus Penelitian tidak penting lagi, karena hanya akan melakukan pengulang-ulangan kalimat yang tidak penting saja. Dan hal ini tentu tidak cocok dengan style bahasa ilmiah yang harus menggunakan kalimat atau uraian yang efektif.

Keempat, deskripsi rumusan masalah yang tidak fokus. Sebagai contoh, seorang mahasiswa meneliti penerapan pendekatan saintifik pada pembelajaran PAI kelas V SDN No. xxx Kota Padangsidimpuan. Dalam sub rumusan masalah ia menuliskan: 

1.

Bagaimana penerapan pendekatan saintifik pada pembelajaran PAI  kelas V SDN No. xxx Kota Padangsidimpuan.

2.

Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pendekatan saintifik pada pembelajaran PAI  kelas V SDN No. xxx Kota Padangsidimpuan.


Sebenarnya, rumusan masalah nomor dua itu tidak penting, karena berada di luar fokus penelitian. Si peneliti cukup menyebut rumusan masalah nomor satu. Atau, cara lain, peneliti memecah rumusan masalah nomor satu menjadi sub-sub fokus penelitian. Misalnya sebagai berikut:


a.

Bagaimana langkah dan proses pengamatan objek pembelajaran PAI kelas V SDN No. xxx?

b.

Bagaimana langkah dan proses menanyakan tentang objek pembelajaran PAI kelas V SDN No. xxx?

c.

Bagaimana proses mengumpulkan informasi dari objek pembelajaran PAI kelas V SDN No. xxx?

d.

Bagaimana langkah mengolah atau menalar informasi yang diperoleh dari objek pembelajaran PAI kelas V SDN No. xxx?

e.

Bagaimana langkah dan proses mengkomunikasikan informasi ilmu pengetahuan pada pembelajaran PAI kelas V SDN No. xxx? 

Sub-sub fokus masalah seperti ini dirumuskan berdasarkan konsep/teori pendekatan saintifik dalam pembelajaran. Perlu diketahui bahwa langkah pendekatan saintifik dalam pembelajaran itu adalah proses: mengamati, menanyakan, mengumpulkan informasi, mengolah/menalar, dan mengkomunikasikan.


Kelima, problem pengolahan dan penyajian data. Sering kali mahasiswa belum melakukan olah data sebagaimana permintaan metodologi kualitatif. Olah data yang mereka lakukan pada umumnya baru pada tingkat menghubungkan antara hasil pengamatan dengan wawancara, atau hasil wawancara/pengamatan satu dengan yang lain. Akibatnya sajian deskriptif penelitian mahasiswa tak lebih seperti liputan peristiwa seorang jurnalis. Pada hal semestinya, dari tumpukan informasi/data itu mereka harus melakukan proses reduksi data berupa pengkodean, pengategorisasian, pelabelan, baru selanjutnya penyajian dengan seni kualitatif yang mendalam dan komprehensif.

Keenam, problem sub pembahasan pada bab hasil penelitian. Sub seperti ini benar-benar berbau kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif, ketika si peneliti mulai mendeskripsikan data, maka ia harus mengerahkan kemampuan membahasnya secara tajam. Ia menganalisis penomena dengan berpijak kepada kecukupan dan kekomprehensifan konsep dan teori yang dibutuhkan oleh penelitiannya. Berbeda dengan penelitian kuantitatif, bab hasil penelitian adalah hasil operasi berbagai rumus olah data yang dirujuk, dan hasilya berupa sajian angka-angka statistik. Oleh karena itu si peneliti mesti memberikan komentar kritisnya terhadap sajian angka-angka statistik itu. Sajian deskriptif inilah yang disebut pembahasan atau diskusi hasil penelitian.
 
Ketujuh, problem menetapkan kesimpulan. Mahasiswa, terutama S.1, sering kali menggunakan kategori "sangat baik", "baik", "cukup", "kurang" atau dengan istilah lainnya ketika menuliskan kesimpulan penelitian kualitatif. Pada hal kategori-kategori seperti itu adalah kategori penyimpulan dalam kuantitatif. Skala nilai 70-80 misalnya dikategorikan "baik" dan seterusnya. Penyimpulan kualitatif tidak mengenal kategori-kategori seperti itu. Mengapa demikian? Karena penelitian kualitatif hanya berpretensi menyimpulkan fenomena sesuatu dengan kalimat deskriptif-komprehensif-mendalam yang  dipandang sebagai simpulan yang radikal (simpulan yang berasal dari perspektif pokok  subjek/informan).  *** 
_____________________________
Gambar: Pelaksanaan Monev LPM pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat 12/10/2020.

DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...