RESPON TENTANG PERLUNYA PEMAHAMAN KEAGAMAAN YANG KOMPREHENSIF


Dari percakapan WA Group

Muhammad Rizal Lubis:

Di dalam pemilihan dalil (hadis) untuk berhujjah tidak lepas dari fikih. Hadis saja tidak cukup tanpa ada fikih, demikian meminjam istilah dari Syaikh Muhammad Al-Gazali. Tanda fakih seseorang adalah bukan hanya sekedar mengamalkan dalil, tetapi juga menggali fikih serta hikmah ('irfani/filosofi) dari hujjah tersebut. Inilah istilah “'irfani” salah satu pendekatan yang digunakan Majelis Tarjih setelah pendekatan “bayani” (dalil) dan “burhani” (fikih) dalam menetapkan hukum. Karena itu, pengamalan tanawwu’ adalah tanda fakihnya seseorang dalam menjalankan agamanya. [ ]

Tanggapan saya:

Benar ustad Rizal. Kalau hanya pemahaman tekstual dan kebahasaan terhadap Hadits, tanpa disertai pemahaman yang dalam (fiqh=burhani dan 'irfani=sufistik) terhadap Hadits, maka seringkali jatuh kepada pemahaman tekstual (letter lijk) yang sempit, rigid dan kaku.

Contohnya pemahaman terhadap hadits-hadits tentang perintah Nabi Saw kepada sahabat untuk berbeda dengan Yahudi dan Nasrani itu (khalifu al-Yahudi wa an-Nashara). Banyak sekali orang punya pandangan bahwa kalau mencukur jenggot berarti sama dengan Yahudi dan Nasrani. Pada hal, pemahaman yang mendalam (fiqh) terhadap Al-Qur'an dan Sunnah justru pembeda pokok kepribadian Muslim dan Non Muslim itu bukan tampilan-tampilan pisik, tapi justru inner personality ("kepribadian dalam") itu. 

Indikator inner personality Muslim itu misalnya dapat dibaca pada Surat Al-Baqarah ayat 177 yaitu:

1. Beriman 

2. Memberikan (menginfakkan) harta yang dicintai

3. Shalat

4. Berzakat

5. Menepati janji

6. Sabar dalam kondisi apa pun

Sangat naif, jika jenggot, kumis, celana yang menjulur, dll., yang bersifat pisik-jasmaniah itu dipahami sebagai pembeda esensial antara kepribadian Muslim dan Non Muslim.

Jika kita dalami lebih jauh agama ini, kita akan sampai kepada suatu pemahaman ternyata akhlak berada di atas ibadah. Dalam suatu hadits yang terkenal Nabi Saw., menyebut orang yang rajin shalat dan puasa bisa saja masuk neraka. Penyebabnya satu yaitu ia berprilaku buruk kepda tetangganya. Dengan demikian, akhlak karimah menjadi pembeda paling esensial kepribadian Muslim dan Non Muslim.  Bahkan soal akhlak ini menjadi misi pokok Nabi Saw diutus oleh Allah. (Innama bu'itstu liutammima makarimal akhlaq= Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia [hadits]; al-adabu fauqa al-'ilmi= posisi adab berada di atas ilmu [ungkapan ulama]).

Dari sisi 'irfani (atau dalam perspektif ihsan), akan dipahami bahwa nilai kemanusiaan setiap orang ditentukan oleh seberapa ikhlas keberimanannya dan seberapa sungguh ketakwaannya kepada Allah SWT. Bergayutan dengan aspek iman dan takwa itu, seberapa bermanfaat pula dirinya bagi manusia dan kemanusiaan. Poin pokok inilah yang akan membedakan kepribadiannya dengan Yahudi dan Nasrani.

Begitu pun, mari kita berlomba-lomba dlm memahami agama. Perbedaan-perbedaan itu akan mengayakan kognisi kita. Hal yg tidak boleh adalah memaksakan pemahaman kita kepada orang lain. Pemaksaan, apa pun bentuknya merupakan ekspresi akhlak yang buruk. Allahu a'lam.

PARADIGMA TAUHIDIY (ISLAMIC PARADIGM) VERSUS PARADIGMA POSITIVISTIK BARAT DALAM MEMBACA BENCANA ALAM




Seorang ilmuan atau komunitas ilmuan ketika membaca atau memahami objek selalu dibimbing oleh suatu paradigma berpikir. Paradigma berpikir ini semacam akidah dalam beragama. Paradigma berisi pandangan-pandangan asasi yang mendasari cara pandang (world view) seseorang atau komunitas ilmuan dalam memandang atau memahami objek/realitas. 

Dalam konteks pembicaraan ini, ilmuan yang berparadigma tauhidiy (islamic paradigm) berbeda dengan ilmuan yang berparadigma positivistik (positivism paradigm) dalam membaca/memahami penomena bencana alam.

Keyakinan dasar filsafat positivisme yang menjadi pijakan paradigma positivistik --- yang secara historis dilatarbelakangi oleh konflik pihak gereja Katholik dan pihak ilmuan pada abad pertengahan--- yaitu pengetahuan keagamaan (keyakinan teologis) merupakan tingkat paling rendah perkembangan ilmu manusia. Di atas pengetahuan keagamaan yaitu pengetahuan metafisika. Selanjutnya di atas metafisika adalah pengetahuan positifis atau pengetahuan sains. Dengan demikian, filsafat positivisme berpandangan bahwa pengetahuan agama (wahyu) adalah pengetahuan yang berposisi pada derajat paling rendah dalam memahami segala penomena atau objek ilmu pengetahuan. Kelanjutan pandangan ini yaitu mereka yang menggunakan wahyu (baca: agama) dalam memahami penomena atau peristiwa alam masih berada pada tingkat yang paling primitif dalam fase ilmu pengetahuan.

Berdasarkan pandangan filsafat positivisme tersebut, paradigma positivistik memiliki keyakinan-keyakinan dasar di antaranya:
1) Sains (ilmu pengetahuan) tidak memiliki hubungan dengan agama. Oleh karena itu jangan mengaitkan keduanya.
2) Proposisi (pernyataan) keilmuan yang benar hanya yang didasarkan kepada fakta empirik (positifis). Segala pernyataan (proposisi) yang tidak berkorespondensi (behubungan) dengan faktanya adalah pernyataan yang salah. Dalam hal ini, pernyataan-pernyataan seperti surga, neraka, pahala, dosa, Tuhan, malaikat, Nabi, dan lain sebagainya tidak dapat diterima sebagai kebenaran, karena tidak didukung oleh fakta empirik (indrawi).
3) Sebagai kelanjutan poin 2, maka hal-hal di luar fakta empirik, tidak menjadi urusan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, dimensi psikis manusia yang menjadi objek pengetahuan psikologi tak lebih hanya gejala pisik-material.

Paradigma tauhidiy memiliki cara pandang yang berbeda, bahkan dalam hal-hal tertentu bertolak belakang dengan paradigma positivisme. 
Dalam melihat wujud, paradigma tauhidiy membaginya kepada wajib al-wujud (wujud mutlak/absolut) dan mumkin al-wujud (wujud relatif). Keberadaan wujud relatif tergantung kepada wujud mutlak. Wujud mutlak berada pada posisi tertinggi dalam hirarki wujud  sementara wujud relatif berada pada hirarki kedua sampai yang terakhir. 
Para filsuf Muslim abad pertengahan membagi hirarki wujud sebagai berikut:
1. Wujud mutlak sebagai wujud tertinggi dan Maha Tinggi yaitu Allah Rabb al-'Alamin.
2. Wujud relatif dengan hirarki (mulai dari yang tertinggi sampai terendah):
a. Alam malakut (alam yang dihuni para malaikat).
b. Alam syahadah (alam empirik), yaitu alam yang dihuni oleh makhluk yang berjisim (makhluk jasmani).

Alam malakut  dan alam syahadah berada dalam pengaturan (tadbir) dan ukuran-ukuran (taqdir) dari Allah SWT.

Dalam konteks ilmu pengetahuan, maka segala bentuk wujud yang menjadi objek ilmu pengetahuan sesungguhnya bereksistensi dalam pengaturan dan ukuran dari Allah SWT.  Al-Qur'an menyebut segala wujud yang menjadi objek pengetahuan dimaksud sebagai ayat-ayat Allah. Dengan demikian, semua jenis dan bentuk pengetahuan adalah pada hakikatnya adalah ayat-ayat Allah yang berfungsi menjelaskan Kemahabesaran, Kemahasucian dan Kemahaagungan Allah SWT. 

Berdasarkan perspektif paradigma tauhidiy ini, bencana termasuk penomena ayat-ayat Allah. Sebagai ayat Allah, maka cara membacanya harus menggunakan perspektif Al-Qur'an.
Di berbagai tempat dalam Al-Qur'an, Allah SWT menjelaskan kisah-kisah berbagai negeri yang mengalami bencana sebagai akibat pembangkangan penduduk negeri itu kepada ayat-ayat Allah. Selanjutnya kepada umat manusia yang masih diberi kesempatan hidup diingatkan untuk memperhatikan dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat manusia sebelumnya. Pelajaran terpenting yang dapat diambil yaitu tidak mengulangi keburukan moral umat-umat yang telah dibinasakan oleh Pemilik alam semesta ini. 

Berdasarkan penjelasan di atas, paradigma tauhidiy memiliki cara pandang bahwa semua kejadian di alam semesta ini berada dalam pengaturan (tadbir) dan ukuran-ukuran (taqdir) yang ditentukan oleh Allah. Salah satu bentuk pengaturan itu ialah alam semesta ini tunduk, pasrah dan bertasbih kepada Allah. Oleh karena itu setiap peristiwa bencana mesti dipahami sebagai ketetapan (taqdir) dari Allah SWT. 
Bekerjanya takdir itu juga berkait dengan tindakan moral dan prilaku manusia. Allah SWT --- Sang Pemilik alam ini--- berkali-kali menjelaskan bahwa berbagai keburukan yang menimpa manusia apakah bencana alam atau lainnya adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri. 
Oleh karena itu, paradigma tauhidiy mengajarkan bahwa pembacaan atau narasi kita terhadap bencana tidak boleh menafikan Allah SWT sebagaimana pada paradigma positivisme. Paradigma positivisme ---sekali lagi--- "mencampakkan" Tuhan dalam narasi sainsnya. Hal ini merupakab bentuk kecongkakan manusia dalam ilmu pengetahuan yang tidak boleh terjadi pada ilmuan Muslim. Allahu a'lam. *****

DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...