MERAYAKAN PERBEDAAN: BELAJAR DARI PENENTUAN AWAL RAMADHAN 1445 H



Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

فَاِ نْ حَآ جُّوْكَ فَقُلْ اَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلّٰهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ ۗ وَقُلْ لِّلَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ وَا لْاُ مِّيّٖنَ ءَاَسْلَمْتُمْ ۗ فَاِ نْ اَسْلَمُوْا فَقَدِ اهْتَدَوْا ۚ وَاِ نْ تَوَلَّوْا فَاِ نَّمَا عَلَيْكَ الْبَلٰغُ ۗ وَا للّٰهُ بَصِيْرٌ بِۢا لْعِبَا دِ

Artinya:
"Kemudian jika mereka membantah engkau (Muhammad) katakanlah, "Aku berserah diri kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi kitab dan kepada orang-orang buta huruf (kaum yang ummi), "Sudahkah kamu masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat petunjuk, tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 20)* 
*******

Prakata        
        Artikel ini ditulis sebagai pesan khusus kepada warga Persyarikatan Muhammadiyah agar bergembira dalam mengelola perbedaan  pemahaman dan pengamalan agama. Perbedaan --- sebagaimana ditegaskan dalam artikel berikut--- adalah sunnatullah. Dengan demikian, mesti disadari bahwa perbedaan itu secara umum muncul by nature bukan by accident. Oleh karena itu mari kelola perbedaan dengan gembira dalam semangat fastabiqul khairat.
     Artikel singkat ini secara khusus mengambil contoh kasus perbedaan dalam memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan dan sekaligus berisi ajakan agar mengelola perbedaan dengan cara merayakan dan menggembirakan.

*******

    Perbedaan dalam memulai puasa Ramadhan antara golongan umat Islam telah sering terjadi. Golongan yang sering mendapat sorotan adalah Muhammadiyah sendiri. Tidak sedikit tokoh yang menyebut bahwa Muhammadiyah tidak patuh kepada pemerintah. Sebutan yang bertendensi celaan ini muncul karena mereka tampaknya melupakan prinsip kemerdekaan atau kebebasan menjalankan ajaran agama yang tertuang pada pasal 29 UUD 1945. Mereka juga kelihatannya lupa posisi agama dan posisi pemerintah di negara bangsa yang berfalsafah Pancasila ini.


Siapa Ulul Amri dalam Urusan Agama?
        Pemaknaan terhadap ulul amri telah mengalami pergeseran sejak lahirnya Daulay Bani Umayyah. Sejak khalifah pertama Daulah Bani Umayyah memerintah yaitu Umayyah bin Abi Sufyan, telah terjadi pemisahan urusan negara dan urusan agama. Sebagai khalifah, Umayyah menyerahkan urusan agama kepada para pemimpin agama. Sementara beliau sendiri mengurusi urusan kenegaraan dengan mencontoh tata kelola pemerintahan Romawi dan Persia yang bersifat monarki hereditis. Beliau membangun istana megah, berikut dengan tata kelola aparatur dan administrasi negara yang akan melanggenggkan kekuasaan turun-temurun. Keadaan ini bertolak belakang dengan pemerintahan era Khulafa` al-Rasyidin. Era khalifah yang empat ini, urusan negara dan agama menyatu di tangan khalifah/amir yang berkuasa. Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali dipandang oleh kaum Muslimin Sunniy benar-benar merepresentasikan ulul amri yang dikehendaki oleh Al-Qur`an.

     Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia ---yang bagi Muhammadiyah sebagai Dar al-'Ahdi wa al-Syahadah (Kep. Muktamar Muhammadiyah di Makassar)--- bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (lihat UUD 1945 pasal 29). Oleh karena itu, di NKRI ini, tugas ulul amri berupa urusan pemerintahan dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sementara urusan agama yang secara khusus menyangkut pemahaman dan pengamalan agama diserahkan kepada rakyat. Itulah sebabnya secara nyata kita menyaksikan otoritas keagamaan di NKRI ini dipegang oleh masing-masing ormas keagamaan. Bagi Muhammadiyah, maka ulul amri (pemilik otoritas) dalam membimbing/memimpinkan  pemahaman dan pengamalan agama adalah Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pimpinan Pusat dalam hal ini dibantu oleh unsur pembantu pimpinan menyangkut tugas pokok dalam bidang tarjih dan tajdid yaitu Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Bagaimana Posisi Pemerintah dalam Penentuan Amal Ibadah?
    UUD 1945 sesungguhnya menempatkan pemerintah sebagai fasilitator kehidupan beragama. Dalam hal ini kementerian yang diberi tugas untuk mengurusi urusan pemerintahan di bidang agama adalah Kementerian Agama. Sebagai fasilitator, Kementerian Agama tidak boleh masuk atau campur tangan dalam pemahaman dan pengamalan agama. Pemerintah ---sekali lagi--- hanya boleh memfasilitasi. Oleh karena itu, dalam konteks penentuan awal Ramadhan, boleh saja pemerintah memfasilitasi untuk menyahuti semangat kebersamaan, tetapi tidak semestinya mengeluarkan keputusan atas nama Negara. Sebab jika Negara mengeluarkan keputusan terkait pemahaman dan pengamalan agama, maka Negara telah mengangkangi filosofi Negara Pancasila dan secara khusus pasal 29 UUD 1945. 

Mari Rayakan Perbedaan
      Mari kita rayakan atau gembirakan perbedaan, karena perbedaan adalah Sunnatullah. Pada hakikatnya, jangankan dengan non Muhammadiyah, sesama warga Muhammadiyah saja pun ada perbedaan kita dalam menghayati dan mengekspresikan agama. Apatah lagi dengan saudara-saudara Muslim kita yang bukan Muhammadiyah. Bahkan, perlu diketahui, jangankan kita sebagai Muslim mutaakkhirin, Muslim salaf sendiri pun juga kerap berbeda dalam pemahaman agama. Untuk menyebut contoh: Khalifah Umar bin Khattab r.a., pernah berbeda dengan banyak sahabat dalam hal posisi mu'allaf  sebagai mustahiq zakat. Umar ketika itu tidak lagi memasukkan mu'allaf sebagai mustahiq. Keputusan Umar ini tentu saja mendapat penentangan dari banyak sahabat. Bagi sebagian sahabat ---yang kemungkinan sekali memandang tekstualitas Al-Qur`an sebagai suatu yang kudus (suci)--- maka sampai kapan pun, mu'allaf mesti diberi bagian zakat. Pemberlakuan ajaran Al-Qur`an tidak boleh terpengaruh situasi. Namun, tidak begitu bagi Umar r.a. Bagi beliau, justru yang paling penting diperhatikan adalah pesan ideal-moral Al-Qur`an. Untuk melaksanakan pesan ideal-moral dimaksud, maka boleh keluar dari pesan tekstual. Justru dengan cara demikian inilah bagi beliau sebagai cara mengamalkan ajaran Al-Qur`an yang paling tepat dan ideal tang sesuai dengan ruh Al-Quran (baca mis: Ahmad Fauzi, "Konsep Muallaf dalam Islam", Madania: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Volume (11) Nomor (1), Juni 2021). Khalifah kedua ini melihat bahwa saat itu tidak perlu lagi membujuk orang untuk masuk Islam, karena Islam telah menyebar luas. Oleh karena itu, dana zakat tidak perlu lagi dikeluarkan kepada mereka yang baru masuk Islam. 
        Umar juga pernah berbeda dengan Aisyah r.a., terkait penafsiran tsalatsata quru' dalam Qur'an surat At-Taubah/9 ayat 60. Bagi Umar, tsalatsata quru' bermakna tiga kali haid. Misalnya, seorang perempuan yang ditinggal mati suami yang telah masuk haid ke-3, maka masa menunggunya (iddah) untuk kebolehan menikah lagi telah selesai. Sementara bagi Aisyah, makna tsalatsata quru' adalah tiga kali suci. Dengan demikian, masa 'iddah (menunggu) bagi perempuan haid untuk menikah lagi lebih lama (Baca mis: Ahmad Hassan, Pintu Ijtihad belum Tertutup). 
    Perbedaan para sahabat Rasulillah juga terjadi dalam hal pengamalan qunut Shubuh. Ada yang berpendapat qunut Shubuh dilaksanakan setelah rukuk dengan membaca Allahummahdini..., sementara sebagian lagi berpendapat sebelum rukuk dengan cara berdiri lama membaca ayat Al-Qur`an. Perbedaan ini mereka kelola dalam semangat tabsyir (gembira). Ingat pesan Nabi Saw., kepada pendakwah "Yassiru wala tu'assiru, basysyiru wala tunaffiru" (Permudah jangan persulit, gembirakan jangan membuat orang menjauh).

Mengelola Perbedaan dengan Etos Fastabiqul Khairat
    Warga Muhammadiyah mesti menunjukkan kedewasaan bahwa mereka berposisi sebagai orang-orang yang dengan kerendahan hati berupaya meneladankan diri sekaligus menjadi saksi dalam melaksanakan Sunnah Rasulillah Saw., di tengah-tengah masyarakat. Setiap warga persyarikatan, tidak boleh meperlakukan Muslim yang bukan Muhammadiyah dalam posisi terpaksa apa lagi terintimidasi menerima pemahaman dan pengamalan agama Muhammadiyah. Setiap warga Muhammadiyah ---dalam konteks dakwah--- harus memposisikan Muslim yang bukan Muhammadiyah dalam keadaan bebas-merdeka dalam menerima atau menolak dakwah Muhammadiyah. Ingat, tugas dakwah kita adalah hanya menyampaikan pesan Islam. Tidak lebih dari itu. Jika orang menolak, maka ingat pesan Allah kepada Rasulillah, "...fa'in tawallau, fa innama 'alaikal balagh." (...jika mereka menolak, (ingatlah) engkau hanya dibebani tugas sebagai penyampai agama (tidak lebih dari itu). [Lihat QS Ali Imran ayat 20; lihat juga yang semakna, misalnya Al-Maidah ayat 92, 99, dll.]. Siapa pun dari warga Muhammadiyah yang memaksa orang menerima Muhammadiyah, maka ia telah jatuh kepada prilaku sewenang-wenang dalam beragama. Perilaku sewenang-wenang ini adalah penindasan terhadap hak asasi orang lain untuk menentukan pilihan kepada kebenaran. Hal ini bertentangan sekali dengan moral yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya dalam mendakwahkan agama Islam. Oleh karena itu, mari syiarkan agama Allah dalam semangat fastabiqul khairat.  Allahu a'lam.

______________

*Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com

Gambar:
Penampakan bulan sabit yang umurnya sudah 2 Ramadhan versi Muhammadiyah. Gambar diambil di Perumahan Sidimpuan Indah Lestari, Kota Padangsidimpuan setelah shalat Maghrib 1 Ramadhan 1445/11 Maret 2024 versi Pemerintah. Gambarnya blur, karena resolusi kamera yang rendah.

MEMAHAMI KANDUNGAN AL-QUR`AN: PEGANTAR AWAL BAGI MAHASISWA MUSLIM

Al-Qur`an adalah pedoman hidup bagi umat manusia sepanjang zaman. Di era modern kontemporer yang disebut juga era society 5.0 masa kini, Al-Qur`an mesti tetap menjadi pedoman yang aktual bagi setiap Muslim. Bahkan hingga dunia fana ini berakhir. Namun, amat disayangkan tidak sedikit individu Muslim yang berpandangan bahwa Al-Qur`an telah ketinggalan zaman. Di sisi lain, tidak sedikit pula kaum Muslimin yang  memberlakukan Al-Qur`an hanya Kitab yang dibaca untuk keperluan menambah atau mengirim hadiah pahala. Bagi Muslim yang demikian ini, Al-Qur`an tidak lagi berposisi sebagai pedoman  yang mesti dijadikan pemandu hidup dan kehidupan.

  Tulisan singkat ini menjelaskan cara sederhana memahami Al-Qur`an agar saat membacanya benar-benar terasa aktual dengan kehidupan setiap Muslim. Sehingga ---insya Allah--- tetap terasa sangat relevan dan aktual dalam membimbing hidup manusia kepada kebaikan duniawi dan ukhrawi.

Sebelum masuk ke dalam samudra pengetahuan Al-Quran, sadarilah bahwa Al-Quran bukan tulisan biasa. Kitab ini adalah kalam Allah yang ---untuk memperoleh makna-makna yang dikandungnya--- memerlukan tidak saja kecerdasan intelek, tapi juga kecerdasan ruhaniah/hati.

Berikut ini dijelaskan cara sederhana memahami Al-Quran sehingga ---insya Allah--- benar-benar terasa aktual dan sangat cerdas dalam membimbing kehidupan setiap Muslim dan masyarakat Muslim. 

     Pertama, kenali surat yang dibaca. Perhatikan apakah surat yang dibaca termasuk kelompok surat-surat Makkiyah atau Madaniyah. Surat-surat Makkiyah adalah ayat-ayat Al-Qur`an yang turun sebelum Nabi Saw., dan para Sahabat hijrah ke Madinah. Sementara surat-surat Madaniyah adalah ayat-ayat Al-Qur`an yang turun setelah peristiwa Hijrah. Secara umum, surat-surat Makkiyah berisi tuntunan, bimbingan, peringatan agar menjauhi sikap hidup musyrik dan segala konsekuensi yang dimunculkannya, seperti perbudakan, pengabaian hak-hak kaum miskin, penindasan terhadap si lemah dan sikap-sikap diskriminatif lainnya. Surat-surat Makkiyah juga secara umum mengingatkan tentang hari berbangkit atau kehidupan setelah mati dan kebenaran Al-Quran. Sementara surat-surat Madaniyah secara umum menjelaskan tuntunan hidup utama seperti akhlak, ibadah, dan mu'amalah. Berbarengan dengan itu dituntunkan pula pembentukan individu dan masyarakat utama yang muttaqin dan muhsinin. Dalam pembentukan masyarakat, surat-surat Madaniyah menuntunkan pembentukan qaryah thayyibah atau baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

    Kedua, lihatlah munasabat al-ayat, yaitu kaitan ayat yang dibaca dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Bahkan, perlu juga dilihat ayat lain yang berkaitan yang penempatannya ada pada surat yang berbeda. Al-Qur`an ---ibarat susunan tubuh manusia dan alam semesta--- saling kait secara logis dan organis. Keseluruhannya tidak boleh dipisah-pisahkan. Lihatlah misalnya, di awal ada anjuran bertakwa, di tengah juga di jumpai anjuran yang sama, begitu pula di ujung/akhir mushaf. 

      Ketiga, padukan pemahaman tekstual dengan kontekstual. Memahami Al-Qur`an tidak cukup hanya dengan memahami makna teks  atau terjemahan. Memahami teks saja seringkali menyimpang dari makna yang benar. Contoh Q.S. Al-Baqarah/2 ayat 191:

وَا قْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ وَاَ خْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ وَا لْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ ۚ وَلَا تُقٰتِلُوْهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَـرَا مِ حَتّٰى يُقٰتِلُوْكُمْ فِيْهِ ۚ فَاِ نْ قٰتَلُوْكُمْ فَا قْتُلُوْهُمْ ۗ كَذٰلِكَ جَزَآءُ الْكٰفِرِيْنَ

Artinya:

"Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang kafir."

     Kalau ayat ini hanya dipahami secara tekstual, maka akan termaknai secara salah yaitu seorang Muslim boleh membunuh orang kafir dimana saja bertemu. Ini suatu kesimpulan yang bertentangan dengan pesan sesungguhnya ayat Al-Qur`an. Oleh karena itu, dalam memahami ayat yang demikian ini, jangan lepaskan makna tekstual dari konteks sosial-historis ketika ayat ini diturunkan. Di sinilah kita perlu mempelajari sirah Rasulillah Saw., dan para sahabat.

        Konteks ayat ini sesungguhnya adalah situasi konflik bersenjata (perang) antara pasukan Muslimin yang dipimpin Rasulullah berhadapan dengan kaum Musyrikin Makkah. Jadi, konteksnya bukan situasi masyarakat yang damai. Dalam situasi perang maka bunuhlah pada jalan Allah (fi sabilillah) musuh yang memerangi kaum Muslimin di mana saja berjumpa. Namun orang yang tidak memerangi kamu (memilih berdamai) jangan diperangi. 

        Ayat di atas ini akan semakin dipahami maksud-maksud idealnya dengan membaca Hadits terkait serta pandangan para sahabat era Nabi Saw tentang perang fi sabilillah. Umar bin Khattab r.a., menegaskan bahwa dalam perang fi sabilillah tidak boleh memerangi anak-anak, orang-orang tua, dan mereka yang bertahan di rumah-rumah ibadah. Perang fi sabilillah adalah perang membela agama Allah, bukan perang balas dendam. Perang jihad fi sabilillah adalah perang syahid. Perang pembuktian syahadat.

    Sebagai pintu masuk ke dalam pemahaman kontekstual ayat Al-Quran, ulama terdahulu telah membantu kita dengan konsep/teori makkiyah-madaniyyah, dan asbabun nuzul. Konsep ini adalah pengantar awal untuk memahami konteks sosio-historis (sosial-kesejarahan) ayat Al-Qur`an saat diturunkan. Kalau ingin lebih serius dapat menerapkan pendekatan studi Islam kontemporer dalam memahami ayat Al-Qur`an seperti pendekatan sosiologis, antropologis, hermeneutika, dan bahkan psikologis dan filsafat.

      Keempat, dari pemahaman konteks sosio-historis teruslah ber-tadabbur ke lokus ide sosial-moral ayat-ayat (makna universal) Al-Qur`an. Kalamullah yang menggunakan bahasa manusia sesungguhnya adalah simbol pengungkapan makna ideal-moral atau makna-makna universal, bahkan pandangan dunia (world view) yang  menjadi visi dan cita-cita Al-Quran untuk diterapkan.

  Kelima, dari ide sosial moral, teruskan pendalaman ke lubuk pengetahuan 'irfani Al-Quran dengan menerapkan manhaj ma'rifah al-qalbiyyah. Cara terakhir ini tentu saja hanya dapat dilakukan oleh ilmuan yang shalih dan berhati bersih. Dengan manhaj ma'rifah al-qalbiyyah, seorang hamba akan memperoleh rahmat ilmu hudhuri atau ilmu ladunniy yang datang dari balik tabir. Pengetahuan terakhir ini akan menyempurnakan pemahaman tekstual dan kontekstual ayat-ayat Al-Quran. Allahu a'lam.
___________________

*Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com

Gambar: 
Konsultasi tentang Penetapan Tarif Pendapatan BLU UIN Syahada Padangsidimpuan, Wisma PHI Jakarta Pusat, 4 Maret 2024.

SHALAT KHUSYUK: KERANGKA KONSEP DENGAN PENDEKATAN 'IRFANI

I. Dasar Shalat Khusyu'
            Di antar dasar shalat khusyuk adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut:
وَا سْتَعِيْنُوْا بِا لصَّبْرِ وَا لصَّلٰوةِ ۗ وَاِ نَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَ
"Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan (sholat) itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk," (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 45).*

  اِنَّهُمْ كَا نُوْا يُسٰرِعُوْنَ فِيْ الْخَيْـرٰتِ وَ يَدْعُوْنَـنَا رَغَبًا وَّرَهَبًا ۗ وَكَا نُوْا لَنَا خٰشِعِيْنَ
"... Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami." (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 90)*

اُولٰٓئِكَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ مِنْ ذُرِّيَّةِ اٰدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوْحٍ ۖ وَّمِنْ ذُرِّيَّةِ اِبْرٰهِيْمَ وَاِ سْرَآءِيْلَ ۖ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَا جْتَبَيْنَا ۗ اِذَا تُتْلٰى عَلَيْهِمْ اٰيٰتُ الرَّحْمٰنِ خَرُّوْا سُجَّدًا وَّبُكِيًّا
"Mereka itulah orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu dari (golongan) para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang yang Kami bawa (dalam kapal) bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil (Ya'qub), dan dari orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih kepada mereka, maka mereka tunduk sujud dan menangis."
(QS. Maryam 19: Ayat 58)

  قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ 

الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَا تِهِمْ خَا شِعُوْنَ 

"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman,"
"(yaitu) orang yang khusyuk dalam sholatnya,"
(QS. Al-Mu'minun 23: Ayat 1-2)*

وَا ذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ اِلَيْهِ تَبْتِيْلًا 
"Dan sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati." (QS. Al-Muzzammil 73: Ayat 8)

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ 

الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَا تِهِمْ سَاهُوْنَ 
"Maka celakalah orang yang sholat,"
"(yaitu) orang-orang yang lalai terhadap sholatnya,"
(QS. Al-Ma'un 107: Ayat 4-5)*


II. Bimbingan dan Esensi Shalat Khusyu'
            Dapat dilihat, antara lain surat An-Nisa` (4) ayat 43, Al-A'raf (7) ayat 55, 56, 205 dan Al-Anbiya (21) ayat 90. Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur`an dimaksud dapat disarikan esensi shalat khusyu' di antaranya:
  1. Ma'lum al-ma'na  (mengetahui makna bacaan shalat)
  2. Tadharru' (rendah hati)
  3. Khufyah (suara yang lembut)
  4. Khauf (rasa takut)
  5. Thama'/raghab (penuh harap)
  6. Rahab (cemas)
  7. Sirr al-qaul (dun al-jahri min al-qaul) [tidak bersuara kasar]
            Berdasarkan konsep-konsep esensial di atas, maka dapat dimengerti mengapa para ulama menyatakan bahwa cara  yang paling tepat untuk mencapai shalat khusyuk adalah dengan hudhur al-qalbi (menghadirkan hati).

III. Metode
        Metode yang dirumuskan para ulama dari Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah hudhur al-qalbi (menghadirkan hati). Caranya, yakni memahami lafazh-lafazh bacaan shalat dengan qalbu, yaitu dengan merasakan, menyadari, dan menghayati makna lafazh zikir/do'a yang dibaca dalam shalat.

Misal:
  1. Membaca takbir "Allahu Akbar" dengan ma'lum al-ma'na, tadharru', khufyah, khauf, thama', raghab dan rahab. Pemaknaan takbir di sini ---dengan penerapan manhaj iktisyafi--- dapat disebut sebagai pe-rendah-an/penghinaan diri sendiri di hadapan Allah. Oleh karena itu, ikhtiar yang urgen dilakukan untuk mendapatkan makna terdalam ucapan Allahu Akbar, yaitu dengan menerapkan manhaj kasyfi, manhaj iktisyafi, dan ---Allahu a'lam, penulis menambahkan satu lagi--- manhaj kalami/manhaj bayani. Manhaj terakhir ini adalah memahami makna takbir melalui tuntunan pemaknaan kalamullah dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits. Dalam penerapannya, dapat dilakukan dengan urutan: pertama, menerapkan    manhaj kalamiy/manhaj bayani, selanjutnya manhaj iktisyafi, dan diakhiri manhaj kasyfi.
  2. Saat membaca "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in", dapat dimaknai ---dengan manhaj iktisyafi--- sebagai pertemuan antara 'abid (hamba) dengan ma'bud (Yang Disembah). Kalimat ini juga dapat dimaknai bahwa seorang hamba menafikan/membersihkan secara sempurna segala syirik dalam dirinya. Dan ia berjanji untuk taat, patuh, dan tunduk secara sempurna kepada Allah. Dalam hal memohon pertolongan, ia juga menegaskan bahwa ia hanya menggantungkan dirinya kepada pertolongan Allah. Pertolongan manusia ia maknai sebagai pertolongan dari Allah karena Allah-lah yang menggerakkan hati manusia untuk menolong atau berhati pemurah.
  3. Saat membaca "Subhana rabbiyal 'azhim" (Maha Suci Tuhan-ku lagi Maha Agung), atau "Subhanakallahumma rabbana wabihamdika Allahummaghfirli" (Maha Suci Engkau ya Rabb kami dan segala puji bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku), seorang 'abid harus berhasil "mema'rifatkan" makna tasbih dan tahmid sedalam-dalamnya di lubuk hatinya. Makna tasbih dan tahmid ---dengan manhaj kalamiy/bayaniy--- dapat ditemukan dalam Al-Quran dan Hadits.

IV. Perintang Khusyu'
    Perintang utama shalat khusyu' yaitu Waswas asy-syaithan dan kecerobohan diri sendiri saat beribadah. Misalnya grasa-grusu, tidak sabar, dan sebagainya. Perintang ini menimpa setiap orang. Cara paling mudah menghalau perintang ini yaitu dengan segera kembali mengingat Allah. 

__________________________

Catatan Kaki:

* Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com

JALAN BERNALAR QUR'ANI: KESEPADUAN EMPIRI, RASIO, INTUISI DAN TRANSENDENSI

        

Al-Qur`an sesungguhnya ---secara reflektif--- menunjukkan jalan bernalar yang penting diikuti dan menjadi panduan bagi manusia, khususnya muslim. Jalan bernalar Al-Qur`an dapat dipahami dengan cara membaca dengan seksama dan utuh kesinambungan ayat demi ayat, apakah dalam surat-surat pendek atau surat-surat yang panjang. Sebagai contoh, mari membaca petikan terjemahan surat Asy-Syams/91 ayat 1-15 berikut:

  1. Demi matahari dan sinarnya pada pagi hari,
  2. demi bulan apabila mengirinya,
  3. demi siang apabila menampakkannya,
  4. demi malam apabila menutupinya (gelap gulita),
  5. demi langit serta pembinaannya (yang menakjubkan),
  6. demi bumi serta penghamparannya,
  7. demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaan)nya,
  8. maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya,
  9. sungguh beruntung orang yang menyucikan (jiwa itu),
  10. dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.
  11. (Kaum) Samud telah mendustakan (Rasul-Nya) karena mereka melampaui batas (zalim),
  12. ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka,
  13. lalu Rasul Allah (Salih) berkata kepada mereka, "(Biarkanlah) unta betina dari Allah ini dengan minumannya."
  14. Namun mereka mendustakannya dan menyembelihnya, karena itu Tuhan membinasakan mereka karena dosanya, lalu diratakan-Nya (dengan tanah).
  15. Dan Dia tidak takut terhadap akibatnya. 

        Ayat ini memperlihatkan bahwa pertama-tama Allah SWT mengajak manusia untuk melihat dan memahami fakta-fakta empirik yang dapat disaksikan langsung dengan mata kepala yaitu matahari, waktu dhuha, bulan yang mengiringi, siang yang terang benderang, malam yang menutupi, langit yang terbina kokoh, bumi yang terhampar (ayat 1-6). Selanjutnya Allah mengajak untuk memahami fakta rasional-psikis yaitu jiwa dan penyempurnaannya (eksistensi abstrak) pada ayat 7-10. Pada ayat selanjutnya (11-14), Allah SWT menjelaskan past historical facts. Kemudian diakhiri dengan pernyataan rasional-transenden tentang "penyikapan" Tuhan sendiri terhadap kebinasaan yang ditimpakan kepada umat masa lalu, yaitu sikap yang ---Maha Suci Allah dari--- khawatir terhadap akibat-akibat destruktif yang dialami manusia.  

    Membaca ulang penjelasan di atas, tampak dengan jelas bahwa fakta-fakta empirik ini disajikan dalam konteks sumpah Tuhan kepada manusia. Setelah itu Al-Qur`an membawa nalar manusia mempersepsi fakta-psikis tentang eksistensi ontologis nafs (jiwa). Lebih lanjut, Allah menyampaikan pesan religius kepada manusia tentang urgensi tazkiyatunnafs. Di akhir surat Asy-Syams ditutup dengan pernyataan transenden bahwa Allah tidak khawatir sedikitpun apa lagi takut  terhadap akibat yang muncul dari sunnatullah yang ditetapkan-Nya. Maha Suci Allah dari sikap khawatir itu. 

    Jika diamati secara kritis, maka objek penalaran pada surat Asy-Syams di atas dapat diskemakan sebagai berikut:

Empirik-Sensual ---> Empirik-Rasional---> Empirik-Intuitif---> Empirik-Transenden

Selanjutnya, jalan berpikir dalam surat Asy-Syams dapat dikonsepkan sebagai berikut:

Berpikir Empirik---> Berpikir Rasional---> Berpikir Intuitif---> Berpikir Transenden

    Jalan bernalan Qur'ani tidak selalu linear sebagai mana pada sekema di atas. Terkadang jalan penalarannya bisa dimulai dari empirik-transenden atau empirik-rasional. Atau bisa juga dari empirik-rasional, dan atau empirik-sensual. Namun demikian, satu hal yang penting digarisbawahi bahwa domain penalaran di atas terbangun integratif. Penalaran demikian ini mesti diadopsi dalam pengembangan ilmu agama, sosial-humaniora,dan sains pada lembaga-lembaga pendidikan dan atau penelitian.

    Bernalar Qur'ani meniscayakan agar seorang pemikir Muslim tidak saja memikirkan objek yang teramati dan terpikirkan, tetapi lebih jauh mesti memikirkan future facts al-ula dan future facts al-akhirah. Future facts al-ula adalah fakta masa depan di dunia, yang dapat diestimasi secara rasional akan terjadinya di dunia, sementara future facts al-akhirah adalah fakta masa depan yang jauh yang akan terjadi di akhirat (kehidupan setelah mati). Allahu a'lam.


Gambar:

Penutupan Raker Akademik, Pangeran Beach Hotel, Padang, 09 Maret 2024.




HUKUM DI NEGERI KITA INI SANGAT POSITIVISTIK-MATERIALISTIK


Lihatlah rangkaian Pemilu yang baru saja berlangsung pada 14 Februari 2024 yang lalu. Warga menyaksikan bahwa di berbagai tempat di tanah air, Kepala Desa/Lurah terlibat dalam dukungan politik praktis kepada pasangan Capres-Cawapres tertentu. Dukungan masif ini tidak dipandang sebagai kasus pelanggaran hukum Pemilu karena tidak ada satu pun Kepala Desa/Lurah yang berani melaporkan, dan warga juga tidak berani untuk menunjukkan bukti keterlibatan Kepala Desa /Lurah yang ia ketahui. Belum lagi keterlibatan pejabat pemerintah di atasnya seperti Camat, Bupati/Walikota, Gubernur, dan bahkan Menteri.

Pengawas Pemilu hanya berdiam diri menunggu pengaduan. Institusi ini tidak menjalankan fungsi kepengawasan semestinya. Tidak terdengar informasi bahwa Pengawas ini bekerja mengawasi lalu menemukan sendiri bukti pelanggaran.

Penyikapan Institusi ini terhadap pelaporan dugaan pelanggaran pun banyak mengecewakan masyarakat di berbagai tempat. Lagi-lagi para pelapor diminta menunjukkan bukti material-fisik-indrawi pelanggaran.

Eviden hukum di negeri ini mesti fisik-material-indrawi. Meskipun telah memunculkan kerusakan demokrasi dan sosial dalam masyarakat, dan para penegak hukum menyaksikan akibat-akibat destruktif itu, namun mereka tetap memaksakan bukti-bukti pisik-material-empirikal dimaksud. Jika tidak, maka mereka akan tetap berkata, "Tidak ada pelanggaran."

Sebagai orang yang tidak berlatar kesarjanaan dalam ilmu hukum, pertanyaan yang hemat saya patut dikemukakan, "Apakah pembuktian pelanggaran itu hanya menggunakan paradigma positivistik-empirik-meterialistik? Bukankah pembuktian pelanggaran hukum juga dapat menggunakan pendekatan kualitatif-interpretif? Hukum positivistik-materialistik kelihatannya akan selalu terlambat dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan rasa adil.

Namun demikian, penulis juga menyadari bahwa para penegak hukum ---dalam konteks kepemiluan ini--- berada dalam ruang yang tidak merdeka dalam menegakkan aturan. Ada kekuatan besar yang mangepung dan menghadang mereka untuk bertindak di atas nilai kejujuran dan keadilan. Di sisi lain, mereka juga tampak kurang memiliki good will dan keberanian untuk menindaklanjuti setiap pelanggaran yang mereka saksikan sendiri, apa lagi dalam menindaklanjuti  laporan pelanggaran.

La quwwata illa billah... nasib hukum kita. Bagaimana masa depan peradaban anak cucu kita di tengah ketidakpastian penegakan hukum ini.

Gambar: 

Wisuda UIN Syahada, 02 Maret 2024

DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...