KRITERIA HISAB WUJUDUL HILAL MUHAMMADIYAH DAN KRITIK TERHADAPNYA

Thomas Djamaluddin menyebut bahwa kriteria wujudul hilal (wujudnya hilal) dalam menetapkan awal bulan Qamariah adalah kriteria  yang telah usang. Meskipun kriteria wujudul hilal tidak bisa dibantah, dan perhitungannya terbukti secara ilmiah, namun ia tetap berpandangan bahwa kriteria paling ilmiah dalam menetapkan awal bulan mestilah berpatokan kepada rukyah, tepatnya imkanur rukyah (visibilitas hilal). Karena kriteria ini ---menurutnya--- memadukan hasil perhitungan astronomis (ilmu hisab/falak) dengan hasil pengamatan empirik.

Mantan Kepala LAPAN ini berkali-kali mengeritik Muhammadiyah terkait kriteria wujudul hilal ini. Bahkan sebagian pimpinan Muhammadiyah memandang berbagai kritikan itu sudah bernada mencemooh organisasi besar ini.

Thomas Djamaluddin, tampaknya membela pandangan bahwa makna perintah rukyah dalam hadits (shumu li ri'yatihi wa afthiru liru'yatihi= berpuasalah karena melihat hilal, dan akhirilah puasa karena melihat hilal) itu mesti dengan mata kepala (ru'yah bi al-'ain), sebagaimana secara verbal dipraktikkan oleh Nabi Saw dan para sahabat di abad ke-7 M. Dikatakan demikian, karena sampai hari ini, ia tidak dapat menerima atau menoleransi pandangan Muhammadiyah bahwa rukyah dapat juga dilakukan dengan ilmu (ru'yah bi al-'ilm). Ia tampak membela pandangan mayoritas ulama di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) bahwa rukyah itu bersifat ta'abbudi (syar'i) dan dengan demikian wajib dilaksanakan. 

Berbeda dengan NU, Muhammadiyah berpandangan bahwa rukyah bersifat ta'aqquli (wilayah rasional, ijtihadiyah). Rukyah hanyalah salah satu cara dari pilihan cara yang ada dalam menentukan awal bulan Qamariyah. Pada masa lalu, karena genarasi awal Islam ---sebagaimana disebut dalam salah satu hadits sahih Bukhari--- adalah ummat yang ummi, yaitu ummat yang tidak pandai tulis-baca dan menghitung (menghisab), maka cara yang paling mudah dan sederhana dalam menentukan hilal telah terbit adalah dengan cara melihat dengan mata kepala. Dalam perkembangan berikutnya, kurang lebih tiga abad setelah era Nabi Saw, ditemukan ilmu hisab (astronomi) yang dapat menghitung gerak benda-benda planet seperti gerak matahari, bumi dan bulan. Dengan ilmu ini, dapat dihitung secara tepat kapan bulan baru (hilal) terbit.

Oleh karena itu, dengan ditemukannya ilmu baru ini, maka cara lama (rukyah bi al-'ain) sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Justru metode rukyah inilah yang telah usang. Mempertahankan rukyah justru akan menghambat harapan untuk unifikasi (penyatuan) kalender Hijriyah global. Dampak selanjutnya, munculnya kesulitan-kesulitan lain dalam memprediksi peristiwa-peristiwa sosial keagamaan yang besar (terutama puasa Ramadhan, Idul Fithri, dan Idul Adha) di masa depan yang saling pengaruh dengan faktor lain, seperti faktor sosial-ekonomi. Akibatnya, umat Islam tidak dapat melakukan perencanaan yang matang dalam mengantisipasi dampak sosial, ekonomi, dan kamtibmas peristiwa sosial keagamaan di masa depan.


Anomali Imkanur Rukyah 3 Derajad

Dietetapkannya kriteria imkanur rukyah (visibiltas hilal) 3 derajad, sesungguhnya menegaskan bahwa era rukyatul hilal telah irrelevant. Hal ini bermakna, jika imkanur rukyah dijadikan patokan untuk memastikan hilal sudah wujud atau belum, maka sebenarnya kegiatan rukyatul hilal sudah tidak diperlukan. Oleh karena itu menjadi tidak relevan jika tetap melakukan rukyah sementara posisi hilal di bawah 3 derajad, karena diayakini ---setidaknya hingga saat ini--- bahwa hilal di bawah 3 derajad tidak mungkin dapat dirukyah dengan alat yang canggih sekali pun. Sebaliknya, menjadi tidak relevan pula melakukan rukyatul hilal jika menurut hisab posisi hilal 3 derajad atau lebih, karena berdasarkan pengalaman empirik, hilal telah dapat dirukyah pada posisi 3 derajad di atas ufuk. 


Apa Benar Muhammadiyah Tidak Taat Pemerintah?

UUD 1945 Pasal 29 menitahkan bahwa Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Pasal ini menjadi garis tegas bahwa Negara tidak boleh masuk ke dalam ajaran agama. Dalam kaitan inilah sebenarnya Negara tidak boleh terlibat dalam penetapan hukum dalam agama, apa lagi terkait dengan penetapan ibadah. Dengan demikian, Negara hanya berwenang memfasilitasi kehidupan keagamaan. 

Atas dasar berpikir seperti inilah, mengapa Muhammadiyah berpandangan bahwa terkait dengan penetapan 1 Ramadhan pemerintah tidak perlu terlibat. Pemerintah cukup menetapkan libur Syawal. Sementara, terkait penetapan 1 Ramadhan biarlah menjadi urusan masing-masing Ormas Islam.

Jika pemerintah tetap melibatkan diri dalam penetapan hukum agama ini, maka terjadilah rezimentasi ajaran agama. Tidak bisa tidak, dalam konteks ini pemerintah akan berpihak kepada pemahaman keagamaan tertentu. Sementara pemahaman keagamaan lain yang berbeda akan terdiskriminasi.


Tawadhu' (Rendah Hati) Mencari Kebenaran

Begitu pun, dengan ketawadhu'an sebagai hamba Allah yang terus mencari kebenaran, mari kita berfastabiqul khairat dalam beragama.  Amat penting disadari bahwa perbedaan ijtihadiyah keagamaan yang muncul adalah rahmat Allah yang besar untuk memperkaya sekaligus mendinamisasi umat ke arah pemahaman dan pengamalan keagamaan yang makin sempurna. Yakinlah bahwa perbedaan adalah ujian dari Allah untuk membuktikan siapa di antara ummat ini yang paling baik amal (aktualisasi) keagamaannya. Wallahu a'lam.

BERMUHAMMADIYAH SECARA NATURAL: MAKNA HAKIKI GERAKAN KEMBALI KEPADA AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

"Bermuhammadiyah secara natural (alamiah) merupakan cara bermuhammadiyah yang berupaya menjalankan agama sebagaimana  dipahami berdasarkan inner perspective Assabiqunal Awwalun (kaum Muhajirin dan Anshar) dalam beragama. Corak beragama generasi Muslim awal ini adalah corak beragama yang fitrati, lapang, dan terbuka. Simpul keberagamaan seperti ini diistilahkan dengan keberagamaan yang hanifiyatus samhah (Sadzajah)."

*******


Muhammadiyah salah satu organisasi dakwah dan pendidikan yang memiliki jargon gerakan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah (ar-ruju' ila al-Qur'an wa as-Sunnah). Tidak sedikit warga dan simpatisan Muhammadiyah memahami jargon ini dalam perspektif pemakanaan yang simplistik, sempit, dan kaku. Contoh pemaknaan sempit jargon "kembali kepada Al-Quran dan Sunnah" adalah penyamaannya hanya sekedar "gerakan pemurnian agama dari Takhyul, Bid'ah, dan Churafat (TBC)." 

Amat penting dipahami bahwa gerakan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah sesungguhnya adalah gerakan yang mengajak berislam sebagaimana kaum As-Sabiqunal Awwalun (para sahabat Rasulillah dari kalangan Muhajirin dan Anshar), yakni suatu penganutan agama yang fitrati, sadzajah, natural, atau alami.

Corak pemahaman keagamaan As-Sabiqunal Awwalun yang diidealkan oleh banyak kelompok umat Islam, tak terkecuali Muhammadiyah adalah keberagamaan yang hanifiyatus samhah, yakni keberagaman yang naluriah yang berhasrat kepada pencarian kebenaran yang lapang [bukan simplistik, parsial, kaku, dan sempit]. Karena memang Islam adalah agama yang diperuntukkan Allah sesuai dengan fitrah manusia. Ingat bahwa, Din al-Islam disebut juga Din al-Fithrah (agama fitrah).


Menghindar dari Keberagamaan yang Disetir Paradigma Ideologis Tertentu

Keberagamaan yang naluriah akan membebaskan seorang Muslim dari penganutan agama yang disetir oleh paradigma ideologis tertentu. Misalnya paradigma ideologis yang memotivasi permusuhan kepada kelompok lain yang dipandang mempraktikkan bid'ah. Penting digarisbawahi bahwa ideologi gerakan keagamaan yang menyulut rasa permusuhan ---misalnya kepada orang yang dipandang mengamalkan bid'ah--- sesungguhnya bertentangan dengan karakteristik asasi pendidikan dan dakwah Islam yang  bi al-hikmah wa al-mau'izhat al-hasanah (hikmah kebijaksanaan dan pengajaran yang baik).   Oleh karena itu gerakan pemurnian agama yang membawa umat Islam kepada pemahaman agama yang fitrati (natural, alamiah) sangat strategis, penting, dan harus menjadi gerakan bersama. Hal ini sekaligus menyelamatkan umat dari pemahaman agama yang sempit, kaku, dan fanatik buta.


Bagaimana Cara Mendapatkan Pemahaman Keagamaan yang Fitrati (Naluriah)?

Cara yang dituntunkan oleh Manhaj Tarjih dan Tajdid adalah memahami setiap nash/teks Al-Quran dan Sunnah yang dirujuk  melalui pendekatan bayani, burhani, dan 'irfani dalam suatu proses berpikir sirkuler-dialektis. Pendekatan ini tentu saja dipadu dengan pendekatan modern dalam kajian Islam seperti pendekatan hermeneutika, sosiologi, dan antropologi. Penerapan manhaj demikian ini tentu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang kompeten dalam menerapkan metodologi ini.

Untuk warga di tingkat bawah dapat diperkenalkan dan dituntun menerapkan cara sederhana dalam mendapatkan pemahaman keagamaan yang natural.  Cara dimaksud yaitu menyatukan pemahaman tekstual dan kontekstual ketika memahami nash/teks Al-Quran dan As-Sunnah yang dijadikan rujukan. Sebagai contoh: Mengambil pemahaman terhadap hadits isbal (menjulurkan pakaian yang menutup mata kaki). 

Salah satu nash/teks hadits tentang ini yaitu: 

"Man jarra izaarahu la yuriidu illa al-khuyalaa-a lam yanzhurullaahu ilaihi yaumal qiyaamati." (HR Ahmad No. 5075).

Artinya:
Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya, dan maksudnya tiada lain selain sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat.

Pemahaman terhadap makna tekstual hadits ini mesti dipadu dengan pemahaman terhadap konteks sosial-historis-psikologis hadits ini saat disampaikan oleh Rasulullah Saw. 

Konteks sosio-historis-psikologis suatu nash/teks dalil dapat diketahui melalui ayat atau  hadits lain yang terkait, atsar sahabat, dan atau sirah. Dalam hadits Muslim Nomor 3893 diketahui bahwa konteks hadits isbal ini terkait dengan penguasa Bahrain yang saat berjalan ia menghentakkan kaki dan pakaiannya menyeret di lantai. Abu Hurairah berkata, "Amir datang! Amir datang!" Rasulullah kemudian bersabda, "Allah tidak akan melihat kepada orang yang memanjangkan kainnya karena sombong."

Berbeda halnya dengan kasus Abu Bakar. Dalam hadis Bukhari Nomor 3392 dijelaskan bahwa ketika Nabi Saw menyatakan  hadis isbal sebagaimana tersebut di atas, Abu Bakar berkata, "Sesungguhnya sebelah dari pakaianku menjulur, kecuali aku menahannya (mengangkatnya)." Rasulullah kemudian bersabda, "Innaka lasta tashna'u dzalika khuyalaa-a." (Artinya: Sesungguhnya kamu melakukan itu bukan bermaksud sombong).

Setelah memadukan pemahaman tekstual (bayani) dan kontekstual (burhani), maka dapat dipahami bahwa larangan isbal itu bukan larangan lidzatihi (larangan semata-mata terkait material pakaian yang menutup mata kaki), tetapi larangan lighairihi, yakni larangan aspek esensial di luar material pakaian yaitu sikap sombong yang dipertontonkan oleh mereka yang bermegah-megah dalam berpakaian. Penting diperhatikan bahwa Nabi sendiri dalam shalat sering memakai sepatu yang menutup mata kaki.

Pemahaman tekstual dan kontekstual ini akan semakin sempurna dan mendalam jika dipadu lagi dengan pemahaman 'irfani. Pemahaman 'irfani akan memberi kita pemaknaan ruhaniah tentang maksud sesungguhnya pelarangan isbal. Di sini diperlukan pengerahan wawasan spiritual mendalam dalam merenungkan makna larangan sikap sombong (mukhillah atau khuyalaa') dalam berpakaian. Dengan pendekatan 'irfani akan dipahami tujuan hakiki dari pelarangan sifat sombong yaitu agar kaum beriman mencapai keyakinan tauhid yang bersih-murni sehingga setiap orang beriman benar-benar ikhlas menerima dan menjalankan agama (mukhlushina lahu ad-din).

Akhirnya dengan penerapan pendekatan tekstual (bayani), kontekstual (burhani), dan spiritual ('irfani) akan diperoleh pemahaman yang utuh, komprehensif, dan mendalam terkait pelarangan isbal.


Penutup Kata

Bermuhammadiyah secara natural (alamiah) merupakan cara bermuhammadiyah yang berupaya menjalankan agama sebagaimana  dipahami berdasarkan inner perspective Assabiqunal Awwalun (kaum Muhajirin dan Anshar) dalam beragama. Corak beragama generasi Muslim awal ini adalah corak beragama yang fitrati, lapang, dan terbuka. Simpul keberagamaan seperti ini diistilahkan dengan keberagamaan yang hanifiyatus samhah (sadzajah). Hemat penulis, corak beragama seperti ini pulalah yang diwariskan oleh para The Founding Fathers Muhammadiyah, terutama K.H. Ahmad Dahlan dan Nyai Siti Walidah Dahlan. Allahu a'lam.

MUHAMMADIYAH MASA DEPAN SEMAKIN MENARIK JIKA DIBAWAKAN DENGAN KELUHURAN AKHLAK



"Tanpa adab yang tinggi dalam membawakannya, maka kualitas pemahaman dan konsep keislaman Muhammadiyah yang prima akan tampil dalam performa yang rendahan. Setinggi apa pun kualitas kebenaran yang dibawa, jika tidak ditopang dengan keluhuran akhlak pembawanya, maka kebenaran itu akan tetap saja dipandang "sampah" oleh masyarakat yang jadi sasarannya."
*******

Pemurnian agama menjadi salah satu visi penting gerakan Muhammadiyah. Masalahnya, masih banyak warga Muhammadiyah di akar rumput yang memahami gerakan pemurnian ini secara dangkal, yaitu hanya terkait dengan pemurnian aspek eksoteris (aspek luar) ajaran Islam (terutama terkait akidah dan ibadah) dari Takhyul, Bid'ah, dan Churafat (TBC). Oleh karena itu, tidak heran jika banyak warga persyarikatan merasa keislamannya sudah benar hanya karena secara zhahir merasa telah bersih dari praktik keagamaan yang berbau TBC. Pada hal semestinya, gerakan pemurnian ini masuk lebih jauh ke dalam aspek esoteris (dimensi ruhaniah) Islam atau ruhaniah dimensions of Islam. Dengan cara demikian, gerakan pemurnian ini tidak akan berjalan di ruang keagamaan yang skripturalis, harfiah (letter lijk), dan kaku.


Muhammadiyah dan Ikhtiar Beragama Terbaik
    Secara konseptual, Muhammadiyah sebenarnya memiliki pemahaman agama terbaik. Mengapa dinyatakan demikian? Karena Muhammadiyah berupaya untuk mempraktikkan agama yang didasarkan kepada dalil yang paling kuat, qiyas (analogi) yang paling tepat, dan maslahat yang paling baik. Ikhtiar untuk mendapatkan pemahan agama yang demikian ini dilakukan melalui penerapan manhaj (metodologi) tarjih dan tajdid.

    Oleh karena itu, dari perspektif konsep keislaman, maka seyogianya pemahaman agama yang diperoleh dari penerapan tarjih dan tajdid membuat warga persyarikatan Muhammadiyah memiliki corak pemahaman keagamaan yang terbaik pula di tengah masyarakat. Hanya saja --- praktik keislaman Muhammadiyah di beberapa tempat--- belum mencerminkan penganutan agama terbaik. Penyebab utamanya tentu saja terkait dengan pemahaman agama yang "hitam-putih" dan adab membawakan gerakan pemurnian ini.


Adab (Keluhuran Budi) Harus Jadi Penyangga dalam Membawakan Muhammadiyah
    Tanpa adab yang tinggi dalam membawakannya, maka kualitas pemahaman dan konsep keislaman Muhammadiyah yang prima akan tampil dalam performa rendahan. Setinggi apa pun kualitas kebenaran yang dibawa, jika tidak ditopang dengan keluhuran akhlak pembawanya, maka kebenaran itu akan tetap saja dipandang "sampah" oleh masyarakat yang jadi sasarannya. (Kesimpulan pernyataan seperti ini diambil dari ajaran Al-Quran dan Sunnah, sirah dakwah Rasulillah dan pengalaman para penyampai agama).

    Berpijak kepada alasan demikian, maka tidak ada pilihan kecuali membawakan Muhammadiyah dengan ditopang oleh wawasan keagamaan yang lapang dan keluhuran akhlak para pembawanya.


Wajib bagi Pembawa Muhammadiyah Mengenal Secara Sosio-Antropologis Pemahaman Keagamaan Muslim di Luar Muhammadiyah
        Ummat Islam di luar Muhammadiyah adalah mereka yang juga ---sebagaimana warga Muhammadiyah--- adalah kaum beriman yang mendambakan ampunan, rahmat dan kasih sayang Allah di dunia dan terlebih-lebih di akhirat. Dan Allah SWT tidak melihat perbedaan pada setiap diri hamba-Nya ---yang terhimpun dalam berbagai golongan ini---- kecuali  pada ketakwaannya saja.

    Sebagai seorang Muhammadiyyin, kita menyaksikan sejumlah perbedaan Muhammadiyah dengan organisasi keagamaan lain dalam pengamalan agama. Misalnya, dalam takziah kematian, kita melihat saudara-saudara kita membuat kenduri, tahlilan, dsb. Hal lain, kita menyaksikan bentuk-bentuk zikir tertentu mengiringi ibadah yang tidak terdapat tuntunan verbal dari Rasulillah dan para Sahabat. Bentuk zikir yang dimaksud itu misalnya formulasi zikir bersama setelah shalat jenazah dan zikir-shalawat yang mengiringi shalat Qiyamu Ramadhan (Tarawih). 

    Penting diketahui bahwa munculnya bentuk-bentuk zikir seperti Tahlilan, menurut Prof. Ahmad Zahro (lihat: https://youtu.be/vu6EYoPxDBg), berkait dengan proses-proses islamisasi Nusantara di masa lalu. 

    Terkait hal ini, kita tidak boleh menutup mata bahwa dengan strategi dakwah ---yang sangat mungkin pada masa itu merupakan cara paling cerdas--- yang dilakukan para ulama Nusantara, terbukti berhasil menggeser dominasi agama Hindu dan Buddha yang sarat dengan ritual yang mengandung mantra-mantra. Prof Ahmad Zahro mencontohkan bahwa dalam kasus takziah kematian, Sunan Kali Jaga berhasil menggeser mantra-mantra Hindu dengan Tahlilan sebagaimana sangat populer diamalkan hingga hari ini.

    Apa yang dilakukan Sunan Kalijaga itu amat penting diapresiasi dengan hati yang penuh syukur. Pendekatan dakwah kultural  telah berhasil mengislamisasi tanah Jawa dengan sangat sukses dan damai. Begitu pulalah islamisasi berbagai tempat di bumi Nusantara ini. 


Islamisasi Harus Terus Berproses Menuju Kesempurnaan
    Dalam pandangan Muhammadiyah, islamisasi di bumi Nusantara masih harus diteruskan sampai terwujudnya pengamalan (praktik keagamaan) dan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

    Di awal Muhammadiyah berdiri, wajah Islam di berbagai tempat bercampur dengan sisa-sisa kepercayaan pra Islam, misalnya animisme-dinamisme, mistisisme Hinduisme dan Buddhisme. Bahkan sampai saat ini masih tampak corak keberagamaan umat Islam di tempat-tempat tertentu yang masih berbau TBC.

    Di bagian ini, Muhammadiyah masih perlu memerankan dakwahnya untuk membersihkan pemahaman keislaman dari TBC dengan dakwah bi al-hikmah dan mau'izhah al-hasanah (dengan bijaksana berbasis ilmu dan pengajaran yang baik).

    Di sisi lain, peran Muhammadiyah amat dibutuhkan dalam mendinamisasi dan memodernisasi kehidupan keagamaan umat Islam di Indonesia dan dunia dengan spirit, konsep, dan gerakan Islam Berkemajuan. Dengan ikhtiar demikian ini, diharapkan terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagaimana cita-cita Muhammadiyah. 


Penutup Kata
    Jika dalam membawakan dan mendakwahkan pemahaman agama dan gerakan Muhammadiyah ditopang oleh keluhuran budi dan ketinggian akhlak, maka Muhammadiyah akan menjadi jam'iyah yang semakin menarik bagi masyarakat luas di masa kini dan masa depan. Sebaliknya, jika Muhammadiyah dibawakan dengan kekerdilan jiwa dan kesempitan wawasan, maka Muhammadiyah akan dijauhi oleh masyarakat. Oleh karena itu, adab atau akhlak para "pembawa" Muhammadiyah, mulai dari tingkat ranting sampai tingkat pusat, menjadi kata kunci pokok dan esensial pengembangan dan ekspansi gerakan Muhammadiyah di masa depan. Allahu a'lam.

Gambar:
Masjid di perbatasan Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan, 14 April 2023. Dipotret saat kembali dari Medan menuju Padangsidimpuan.

MEMPERTAHANKAN RUKYAH: INKONSISTENSI DALAM BERDALIL?



"...inkonsistensi dalam memperlakukan dalil ini penting segera diakhiri. Jika tidak, maka umat Islam tidak akan pernah dengan segera mendapat kepastian waktu puasa Ramadhan dan Idul Fithri sebagaimana waktu-waktu shalat dan sahur. Umat Islam juga tidak akan pernah memiliki kalender Hijriyah global yang berlaku di seluruh negeri-negeri Muslim di muka bumi ini."

*******


Jika kita memahami dalil-dalil rukyah hanya dengan pendekatan tekstual, maka dapat disimpulkan bahwa hampir semua nash Al-Quran dan Hadits yang memberi petunjuk tentang penentuan waktu-waktu ibadah mesti dilakukan dengan rukyah (pengamatan). Lihatlah nash-nash berikut ini:

1. Penentuan Waktu-waktu Shalat
QS Al Isra'/17 ayat 78:

اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْاٰ نَ الْـفَجْرِ ۗ اِنَّ قُرْاٰ نَ الْـفَجْرِ كَا نَ مَشْهُوْدًا

"Dirikanlah sholat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (dirikan pula sholat) subuh. Sungguh, sholat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)."

Petunjuk ayat ini sangat jelas bahwa untuk menentukan awal waktu shalat Zuhur yaitu dengan me-rukyah matahari apakah sudah tergelincir. Sementara ibadah shalat lain seperti Ashar, Maghrib, Isya, dan Shubuh ---sebagai penjelasan ayat di atas--- diberi petunjuk oleh Nabi Saw., supaya me-rukyah bayang-bayang, senja, dan fajar shadiq. Kesemua ini selalu terkait dengan matahari.

Hadits riwayat Muslim Nomor 966 berikut menuntun untuk merukyah bayang-bayang dan matahari petang:

 وقت الظهر اذا زالت الشمس  وكان ظل الرجل كطوله مالم يحضر العصر ووقت العصر مالم تصفر الشمس   
Artinya:
Waktu Zuhur yaitu ketika matahari telah condong dan bayangan seseorang sama panjang dengan orangnya sebelum tiba waktu Ashar. Dan waktu shalat Ashar selama matahari belum menguning... dst. 


2. Penentuan Awal dan Akhir Puasa Ramadhan
Hadits riwayat Bukhari:

...صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته

Artinya: 
Berpuasalah karena me-rukyah-nya (melihat hilal), dan berbukalah (akhirilah puasa Ramadhan) karena melihatnya (hilal).

Hadits ini  salah satu dalil yang dijadikan tumpuan mayoritas ulama Indonesia untuk mempertahankan rukyat al-hilal yang diberi anggaran biaya yang relatif besar oleh Negara setiap tahun. Bahkan tidak sedikit ulama yang berpandangan bahwa rukyah itu bersifat ta'abbudi. Posisi perintah untuk rukyah mesti ditaati sebagaimana perintah untuk shalat. Jadi, menurut pandangan ini wajib hukumnya melakukan rukyah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Berbeda dengan Muhammadiyah dan beberapa ormas lain yang memandang rukyah bersifat ta'aqquli. Oleh karena dipandang bersifat ta'aqquli (lebih tepatnya bersifat metodologis/manhaji), maka rukyah dapat diganti dengan metode lain yaitu hisab, karena hisab dipandang lebih dapat memberi kepastian bagi ummat. Sikap demikian ini dipahami sebagai pengamalan ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits terkait, misalnya surat Yunus ayat 10 yang mengisyaratkan dengan sangat jelas tentang kebolehan hisab.

3. Penentuan Waktu Sahur
QS Al Baqarah/2 ayat 187: 

اُحِلَّ لَـکُمْ لَيْلَةَ الصِّيَا مِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَآئِكُمْ ۗ هُنَّ لِبَا سٌ لَّـكُمْ وَاَ نْـتُمْ لِبَا سٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّکُمْ كُنْتُمْ تَخْتَا نُوْنَ اَنْفُسَکُمْ فَتَا بَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَا لْــئٰنَ بَا شِرُوْهُنَّ وَا بْتَغُوْا مَا کَتَبَ اللّٰهُ لَـكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَا شْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَـكُمُ الْخَـيْطُ الْاَ بْيَضُ مِنَ الْخَـيْطِ الْاَ سْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَا مَ اِلَى الَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَا شِرُوْهُنَّ وَاَ نْـتُمْ عٰكِفُوْنَ ۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّا سِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

"Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa."

Dalam ayat ini ---secara tekstual--- menegaskan bahwa untuk mengetahui berakhirnya waktu sahur sebagai tanda dimulainya menahan dalam puasa adalah dengan me-rukyah benang. Jika jelang Shubuh itu telah jelas tampak perbedaan benang putih dan benang hitam, maka berakhirlah waktu Sahur.


Inkonsistensi dalam Berdalil?

Hingga saat ini, umat Islam Indonesia telah bersepakat untuk menggunakan ilmu hisab secara murni pada penentuan waktu-waktu shalat fardhu, dan penentuan waktu sahur, meskipun secara tekstual dalil Al-Quran  terkait sebenarnya menyuruh untuk me-rukyah matahari, bayang-bayang, senja, dan benang.

Agak aneh, mayoritas ulama Indonesia tidak sependapat kalau hanya menggunakan hisab untuk penentuan awal dan akhir Ramadhan. Hisab saja menurut mayoritas ulama ini tidak cukup. Jadi harus dibarengi dengan rukyah. Karena hukum rukyah itu ---menurut ulama kelompok ini--- wajib syar'i.

Pertanyaannya, mengapa pada penentuan waktu-waktu shalat dan waktu sahur dipandang sah hanya dengan ilmu hisab? Sementara dalam menentukan awal dan akhir puasa mesti dengan rukyah (dimana hisab di sini hanya berposisi pemberi petujuk bagi rukyah)? Dalam hal ini, apa yang membedakan status hukum penentuan waktu ibadah shalat dan ibadah puasa? Bukankah, kalau mau konsisten dengan rukyah, semua nash Quran dan Hadits tentang waktu-waktu shalat, puasa dan sahur juga menghendaki dilakukannya rukyah? Mengapa tidak dengan rukyah saja semuanya? Atau sebaliknya dengan hisab semuanya?

Apa yang menjadi pertimbangan utama dalam sikap keilmuan yang tampak inkonsisten dalam memperlakukan dalil ini? Kebenaran objektif yang luhurkah atau kebenaran yang masih subjektif? Kalau pertimbangannya kebenaran objektif yang luhur, mengapa perlakuan terhadap dalil-dalil terkait rukyah dalam ibadah ini berbeda? Allahu a'lam bi al-shawwab.


Kata Penutup

Sebagai orang awam, hemat penulis inkonsistensi dalam memperlakukan dalil ini penting segera diakhiri. Jika tidak, maka umat Islam tidak akan pernah dengan segera mendapat kepastian waktu puasa Ramadhan dan Idul Fithri sebagaimana waktu-waktu shalat dan sahur. Umat Islam juga tidak akan pernah memiliki kalender Hijriyah global yang berlaku di seluruh negeri-negeri Muslim di muka bumi ini. Menurut para ahli, satu-satunya cara untuk penetapan kalender Hijriyah global ini hanyalah dengan perhitungan ilmu astronomi (ilmu hisab) yang disepakati bersama. Allahu a'lam.

Gambar:
Menghadiri Musyawarah Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Padang Sidempuan, Sabtu 08 April 2023.

MEMBACA MAKNA “FIDYATUN THA’AMU MISKIN” DALAM Q.S. ALBAQARAH AYAT 184 DENGAN PENDEKATAN BAYANI, BURHANI DAN ‘IRFANI

Allah berfirman:

 وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَا مُ مِسْكِيْنٍ  

Artinya:

“ …dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” (QS Al-Baqarah: 184)

Secara tekstual, kata tha’am dalam frase idhafah tha’amu miskin bermakna makanan. Dari kata kerja bentuk lampau (fi’l madhi)  tha-’i-ma. Dalam kalimat misalnya tha’ima at-tha’am bermakna akalahu (makan, -Kamus Al-Munawwir: 852). Tha’ima at-tha’am  dapat juga diartikan merasai  makanan. Di sisi lain, para sahabat seperti Anas bin Malik, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas tampak mengartikan membayar fidyah dengan memberi makanan kepada kaum miskin (dalam atsar disebut misalnya yuth’imani  ‘an kulli yaumin muddan li al-miskin atau tuth’imu kulla yaumin miskinan muddan, -lihat misalnya Sunan al-Kubro, Al-Baihaqiy, No. 8079). Karena itulah tampaknya mengapa potongan surat Al-Baqarah ayat 184 di atas diterjemahkan oleh Tim Penterjemah Kemenag menjadi:  “ …dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…”.  Dengan demikian kata tha’am dalam ayat maknanya “makanan”. Pertanyanyaan selanjutnya, bagaimana makna sesungguhnya tha’am itu, apakah bahan makanan atau makanan yang siap untuk dimakan?

Untuk menjawab pertanyaan seperti ini maka penting menggunakan pendekatan burhani, bahkan pendekatan ‘irfani. Pendekatan ini berguna untuk menelusuri secara hermenetis  atau secara sosio-kultural-intelektual bagaimana Nabi Saw., dan selanjutnya para sahabat mempersepsi makna tha’am dan fidyah dalam ayat dimaksud dan bagaimana pula mereka mengamalkannya dalam kehidupan sosial keagamaan mereka. Dengan demikian, makna tekstual akan dikonfirmasi dengan makna yang diperoleh secara kontekstual. Mengapa pendekatan burhani penting? Karena, jika hanya pendekatan tekstual, maka sering kali makna sesungguhnya teks (nash) tidak dapat ditangkap secara utuh. Hal ini biasanya dikarenakan teks seperti itu tidak menggambarkan secara komprehensif maksud sebenarnya apa yang terkandung dalam teks tersebut.

Sementara pendekatan ‘irfani berguna untuk menangkap makna hakikat (terdalam) dari syari’at fidyah ini. Pertanyaan tentang ini misalnya dalam konteks apa sejatinya penerimaan kaum beriman terhadap syariat fidyah. Bagaimana pula orientasi spiritual yang dituju oleh pengamalan fidyah dimaksud. Jawabannya, tentu saja harus ditempatkan dalam konteks ridha dan cinta seorang mukmin yang dalam kepada apa pun syari’at yang diturunkan Allah SWT. Dan harus diorientasikan kepada semangat spiritual unjuk persembahan terbaik seorang hamba kepada Allah SWT sebagai pengganti ibadah puasa Ramadhan yang ditinggalkan.

Pertimbangan bayanai, burhani, dan ‘irfani harus saling melengkapi  ---dalam suatu metode berpikir sirkuler dialektis. Dengan cara demikian, maka dapatlah seorang pengkaji membuat simpulan pemahaman hukum yang diikhtiarkan benar-benar dikehendaki dan diridhai Allah SWT.

Dalam kasus fidyah ini, kaum muslimin diberi tutunan berdasarkan atsar ash-shahabat bahwa nilai fidyah per satu hari puasa adalah 1 (satu) mud (1 mud = 0,5 liter/kl. 0,6 kg. Lihat HPT h. 172). Jika pendekatan kajiannya tekstual, maka tuntunan memberi makan 1 (satu) mud ini dapat dipahami yakni: Memberi fakir miskin 1 (satu) mud beras yang belum dimasak. Dengan demikian, makna tha’am (makanan) di sini adalah material makanan yang belum dimasak.

Namun, jika dipahami secara kontekstual, maka tuntunan memberi makan 1 (satu) mud ini dapat pula dipahami yaitu: Memberi makanan 1 (satu) mud beras sebagaimana kelaziman yang ada pada suatu tempat, yaitu nasi yang sudah siap makan (nasi beserta lauknya). Pada poin ke-2 ini, makna tha’am dipahami sebagai makanan yang siap untuk dimakan.

Untuk mendapatkan makna kontekstual nilai fidyah, maka perlu penelusuran terhadap inner perspective para sahabat tentang fidyah dan bagaimana mereka mengamalkannya dalam kehidupan keagamaan mereka. Dalam penelusuran terhadap sejumlah atsar sahabat akan ditemui suatu perspektif bahwa fidyah itu mereka maknai sebagai memberi makan yang ready untuk dimakan kepada kaum miskin. Dan makanan dimaksud adalah makanan pokok yang lazim untuk satu orang miskin per 1 (satu) hari puasa. Hal ini dipertegas dengan pengamalan Anas bin Malik r.a., ketika ia membayar fidyah. Beliau membuat roti satu periuk besar, lalu dibagikan kepada 30 orang fakir miskin (Tafsir Al-Azhar, Juz II, h. 122). Sangat mungkin Anas bin Malik r.a., menyiapkan 30 mud tepung gandum lalu beliau memasaknya.


Simpulan

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa makna paling tepat fidyatun tha'amu miskin pada Al-Baqarah ayat 184 adalah makanan yang ready (siap) untuk dimakan seukuran makan satu orang miskin per 1 (satu) hari puasa yang ditinggalkan. Ukuran makan satu orang miskin ini dapat dikonversi kepada mata uang seharga makanan dimaksud. Allahu a'lam.

MENDISKUSIKAN ULANG GERAKAN KEMBALI KEPADA AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

"Pemurnian (purifikasi) menjadi tidak benar jika hanya berlaku dan atau apa lagi berhenti pada aspek eksoteris (sisi luar) aqidah dan fiqh. Pemurnian demikian ini hanya akan melahirkan pemahaman agama yang skripturalis, sempit, kaku dan rigid. Oleh karena itu, pemurnian harus sampai kepada dimensi terdalam dari agama, yaitu aspek esoteris (dimensi sufistik/'irfani) dari agama. Wilayah inilah sesungguhnya samudra hakikat Din al-Islam itu."

*******

Gerakan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah banyak dipahami hanya berlaku pada aspek pemurnian Islam dari TBC (Takhyul, Bid'ah dan Churafat). Pada hal, pemurnian seperti ini baru menjangkau lapisan luar dari Islam. Semestinya, pemurnian itu harus menjangkau hingga kepada wilayah terdalam dari Islam, yaitu wilayah 'irfani dari Islam itu sendiri. Wilayah ini adalah wilayah hakikat dari Din al-Islam.

Pemurnian yang hanya berhenti pada lapis luar, membuat keberislaman serasa kering' sempit dan kaku. Tidak sedikit kaum muslimin mengira bahwa lapis luar inilah sebagai bentuk Islam yang sebenarnya. Pada hal, keberislaman yang demikian ini sering kali mengaktual dalam bentuk-bentuknya yang kaku dan rigid. Dampak selanjutnya, mereka yang kaku dan rigid ini tampak beragama secara lebih eksklusif (tertutup), dan kurang membuka diri terhadap kaum muslimin yang berbeda pemahaman dan pengamalan.

Keberislaman yang hanya bertahan pada lapis luar tentu saja akan terhalang untuk sampai kepada hakikat Din al-Islam yang maha dalam dan maha luas. Ibarat samudra, keberislaman pada lapis luar barulah permukaan samudra yang penuh riak dan gelombang. Khazanah keislaman yang suci murni justru ada di dasar samudra.


Kondisi Pemurnian dalam Aqidah dan Ibadah dan Perspektif ke Depan

Pemurnian dalam ibadah masih didominasi oleh narasi ilmu fiqh yang bersifat skripturalis/tekstualis (kurang lebih bersifat hitam putih) yang dipijakkan kepada kajian Qur'an dan Hadits yang juga lebih bercorak hitam putih (shahih - dha'if, sunnah - bid'ah). Pada fase permulaan, tentu tidak masalah. Namun, fase ini semestinya harus naik ke fase selanjutnya yaitu fase berislam yang berbasis ilmu objektif rasional, lalu dari sini harus naik lagi ke fase berislam yang berbasis ilmu 'irfani. 

Dampak pemurnian ibadah yang didominasi narasi ilmu aqidah dan ilmu fiqh yang bersifat skripturalis (hitam putih) yaitu munculnya sikap keislaman yang sempit, kaku, dan menganggap pemahaman sendiri paling benar. Sikap keagamaan yang skripturalis ini akan sulit untuk sampai kepada pemahaman tentang esensi berislam yang sejati, yaitu keislaman yang berbasis pengetahuan 'irfani (sufistik).

Rasulullah Saw telah mengingatkan agar jangan terjebak ke dalam bentuk keberagamaan yang serba hitam putih ini. Beliau bersabda, "Yassiru wala tu'assiru, wa bassyiru wala tunaffiru". (Mudahkanlah, jangan persulit. Gemebirakanlah jangan membuat mereka lari). 

Pemurnian mestinya menyampaikan setiap Muslim kepada wawasan, laku dan sikap berislam sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Untuk dapat dekat kepada pemahaman keislaman sebagaimana dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, maka para sarjana islamic studies menyarankan agar seorang pengkaji berupaya masuk ke dalam dunia subjek.

Secara metodologis, masuk ke dalam dunia subjek itu dengan cara berusaha memahami Islam sebagaimana subjek (dalam hal ini: Rasulullah Saw dan para sahabat) memahaminya. Untuk mendatkan pemahahaman yang menyeluruh, utuh dan mendalam, tentu saja sangatlah sulit, untuk mengatakan hampir tidak mungkin.

Oleh karena itu, yang mungkin dilakukan yaitu memahami secara mendalam bagian-bagian tertentu dari Islam. Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa bagian tertentu ini mesti dilihat dalam konteks Islam Kaffah. Hal ini dilakukan supaya pemahaman yang ditarik tidak bersifat parsial, dikhotomik atau atomistik. Contoh menarik pemahaman ini yaitu bagaimana Allah SWT membimbing Rasulullah Saw mengajarkan atau mendakwahkan Islam kepada umat manusia. Cara yang paling mudah melihat bimbingan Allah SWT kepada Rasulillah yaitu dengan memahami terlebih dahulu ayat-ayat Al-Quran terkait yang turun pada periode Makkah, selanjutnya memahami ayat-ayat yang turun pada periode Madinah. Setelah itu, mesti dipahami pula bagaimana Rasulullah Saw mempraktikkannya. Untuk yang terakhir ini harus dibaca Sunnah dan Sirah terkait.

Dengan penerapan metodologi sederhana seperti ini, maka akan tampak dengan terang bahwa Rasulullah  Saw dalam berdakwah benar-benar arif, sangat sabar, penuh hikmah, sangat humanis dan benar-benar menonjolkan uswah dan qudwah. Demikian pula Rasulullah Saw benar-benar menonjolkan sisi persuasif dan edukatif dalam mendidik sahabat dengan nilai-nilai Islam. Kesimpulan demikian ini ditarik dari sejumlah ayat Al-Quran antara lain berikut ini:

Q.S. Al-Ghasyiyah (88) ayat 21-22:

فَذَكِّرْ ۗ اِنَّمَاۤ اَنْتَ مُذَكِّرٌ 

"Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan,"

لَـسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ 

"engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,"

Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 256:

لَاۤ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِ ۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِا لطَّا غُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِۢا للّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِا لْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَا مَ لَهَا ۗ وَا للّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui."

Q.S. Ali Imran (3) ayat 20:

فَاِ نْ حَآ جُّوْكَ فَقُلْ اَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلّٰهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ ۗ وَقُلْ لِّلَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ وَا لْاُ مِّيّٖنَ ءَاَسْلَمْتُمْ ۗ فَاِ نْ اَسْلَمُوْا فَقَدِ اهْتَدَوْا ۚ وَاِ نْ تَوَلَّوْا فَاِ نَّمَا عَلَيْكَ الْبَلٰغُ ۗ وَا للّٰهُ بَصِيْرٌ بِۢا لْعِبَا دِ

"Kemudian jika mereka membantah engkau (Muhammad) katakanlah, "Aku berserah diri kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi kitab dan kepada orang-orang buta huruf, "Sudahkah kamu masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat petunjuk, tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya."

Q.S. Ali Imran (3) ayat 159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَا نْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَا عْفُ عَنْهُمْ وَا سْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَ مْرِ ۚ فَاِ ذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

"Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal."

Q.S. An-Nahl (16) ayat 125:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِا لْحِكْمَةِ وَا لْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَا دِلْهُمْ بِا لَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ ۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِا لْمُهْتَدِيْنَ

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk."


Rekomendasi Pemurnian

Pemurnian (purifikasi) menjadi tidak benar jika hanya berlaku dan atau apa lagi berhenti pada aspek eksoteris (sisi luar) aqidah dan fiqh. Pemurnian demikian ini hanya akan melahirkan pemahaman agama yang skripturalis, sempit, kaku dan rigid. Oleh karena itu, pemurnian harus sampai kepada dimensi terdalam dari agama, yaitu aspek esoteris (dimensi sufistik/'irfani) dari agama. Wilayah inilah sesungguhnya samudra hakikat Din al-Islam itu.

Pemurnian yang telah mencapai aspek esoteris agama akan menyampaikan kaum beriman kepada keberagamaan yang hanif dan ikhlas, yakni suatu bentuk keberagamaan yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Keberagamaan demikian ini bersifat naluriah, fitrati dan lapang (samhah). Allahu a'lam.

Gambar:

Penyerahan paket bukaan dari PDM Kota Padang Sidempuan kepada PRM Goti Kec. Padang Sidempuan Tenggara 23 Maret 2023.

DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...