HAKIKAT MASYARAKAT: PERSPEKTIF PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


Istilah "masyarakat" ---bentuk isim makan dari syaraka (شارك)--- terambil dari kata kerja fi'l al-madhi "syaraka" artinya berserikat, berkumpul. 

Paul B. Horton dan Chester L. Hunt mendefinisikan masyarakat adalah kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal dalam suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan yang sama, serta melakuka sebagian besar kegiatan dalam kelompok tersebut.1] 

Hampir setiap masyarakat memiliki struksul sosial yang khas. Struktur sosial itu biasanya diikat oleh nilai-nilai budaya yang lazim disebut adat-istiadat. Hanya saja nilai-nilai budaya masyarakat urban (di kota-kota) biasanya lebih longgar dari masyarakat tradisional (di pedesaan atau kampung).

Secara antropologis, nilai-nilai budaya itu terbentuk karena pengaruh agama atau filosofi hidup masyarakat. Di sinilah dapat dilihat, misalnya filosofi hidup jahiliyah membentuk nilai-nilai budaya masyarakat jahiliyah, yang selanjutnya tercermin dalam struktur masyarakat jahiliyah (zhulumat). Selanjutnya nanti, Allah mengutus Rasulullah Saw., untuk mendekonstruksi atau mereformasi filosofi, nilai budaya dan struktur masyarakat jahiliyah menjadi ummatan muslimatan (nur). Struktur ummah (komunitas kaum beriman) ini dibangun di atas nilai-nilai iman-islam-ihsan yang dipimpin oleh Nabi Saw., sendiri. Selanjutnya nanti dipimpin oleh Khulafa' al-Rasyidin yang dipilih melalui syura atau ahl al-halli wa al-'aqdi.2]


Makna Ummah dan Penggunaan Istilah Ummah dalam Al-Qur`an
Ada sejumlah istilah yang digunakan dalam Al-Qur`an untuk menyebut ummah, yaitu ummatan wahidatan (QS 2:213; 5:48; 10:19; 11:118; 16:93; 21:92; 23:52; 42:8; 43:33), khaira ummatin (QS 3:110), ummatun qaimatun (QS 3:113), ummatan wasathan (QS 2:143), ummatan muslimatan (QS 2:128), ummatun muqtashidatun (QS 5:66), ummatin ma'dudatin (QS 11:8), dan ummatan qanitan (QS 16: 120).

Istilah ummat digunakan dalam arti yang bermacam-macam. Dalam surat Al-Anbiya`/21 ayat 92 dan Al-Mu`minun/23 ayat 52 istilah ummat digunakan untuk menunjuk agama tauhid. Sementara pada Al-Baqarah/2 ayat 128, 134, 141, dan lainnya digunakan untuk menyebut komunitas atau kelompok manusia. Di sisi lain, ada pula yang digunakan untuk menunjuk komunitas, golongan atau kelompok manusia yang memiliki keyakinan yang sama. Hal ini dapat dilihat pada surat Al-Baqarah/2 ayat 213.

Suatu kelompok ummat dapat hidup langgeng (berumur panjang) dapat pula berumur pendek. Hal yang pasti, tidak ada ummat yang abadi. "Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apa bila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya." (QS Al-A'raf (7): 34). 

Salah satu poin pokok yang ditekankan oleh Al-Qur`an adalah individu-individu yang berislam dan beriman kepada Allah, wajib membentuk ummat dengan ciri-ciri: ummatan muslimatan, ummatun qaimatun, ummatan wasathan, ummatun muqtashidatun, dan ummatan qanitan.

Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany merumuskan sembilan prinsip dasar pandangan Islam tentang  masyarakat. Dalam hal ini dapat juga dimaknai sebagai sembilan prinsip dasar pembentukan ummat, yaitu:3]

  1. Meyakini bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan tanah air, kebudayaan dan agama.
  2. Meyakini bahwa masyarakat Islam mempunyai identitas dan ciri-ciri tersendiri yang khas.
  3. Meyakini bahwa dasar pembinaan masyarakat Islam adalah akidah (keimanan tentang wujud dan keesaan Allah).
  4. Kepercayaan bahwa agama yang mengikat masyarakat itu terdiri dari akidah, ibadah dan mu'amalah.
  5. Meyakini bahwa ilmu itu adalah dasar terbaik bagi kemajuan masyarakat sesudah agama.
  6. Meyakini bahwa masyarakat selalu berubah.
  7. Meyakini bahwa tiap individu memiliki posisi penting dalam struktur masyarakat.
  8. Meyakini bahwa keluarga memiliki posisi penting dalam masyarakat.
  9. Meyakini bahwa segala tindakan dan upaya yang menuju kesejahteraan bersama, keadilan dan kemaslahatan antar manusia termasuk di antara tujuan-tujuan syari'at islamiyah.

Pembentukan Masyarakat/Ummah

Dalam perspektif Kuntowijoyo, untuk menganalisis struktur bangunan ummah ini dapat menggunakan analisis strukturalisme. Dengan mengutip Michael Lane dalam Introduction to Structuralism,  ia menjelaskan bahwa ciri pertama dari metode strukturalisme yaitu perhatiannya pada totalitas (keseluruhan objek), bukan pada bagian-bagian. Analisis strukturalisme mempelajari unsur, tetapi unsur itu tetap dilihat dalam konteks keseluruhan jaringan yang menyatukan unsur-unsur dimaksud. Oleh karena itu, rumusan pertama strukturalisme yaitu unsur hanya bisa dimengerti melalui keterkaitan (inter-connectedness) antar unsur. Kedua, analisis strukturalisme tidak mencari struktur dipermukaan atau pada peringkat pengamatan, tetapi di bawah atau dibalik realitas empiris. Apa yang ada/tampak di permukaan adalah cerminan dari struktur yang ada di bawah (deep structure), lebih ke bawah lagi ada kekuatan pembentuk struktur (innate structuring capacity). Ketiga, dalam peringkat empiris, keterkaitan antar unsur bisa berupa binary opposition (pertentangan antara dua hal). Keempat, strukturalisme memperhatikan unsur-unsur yang sinkronis, bukan yang diakronis. Maksudnya unsur-unsur dalam satu waktu yang sama, bukan perkembangan antar waktu, diakronis atau historis.

Dalam Islam dan masyarakat Islam, inter-connectedness sangat ditekan dalam keseluruhan ajarannya. Misalnya keterkaitan antara shalat dan zakat, puasa dan infak, hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Demikian pula keterkaitan iman, amal shaleh dan solidaritas sosial. Dengan demikian, menurut Kuntowijoyo, epistemologi dalam Islam adalah epistemologi relasional. Satu unsur selalu ada hubungan dengan yang lain. Keterkaitan antar unsur ini juga bisa sebagai logical consequences dari satu unsur. Seluruh rukun Islam lainnya (shalat, zakat, puasa, haji) adalah konsekuensi logis dari syahadah. 

Berikut innate structuring capacity masyarakat/ummah:4]



Tanggung Jawab Masyarakat Khairu Ummah: Humanisasi, Liberasi dan Transendensi

Tugas humanisasi, liberasi dan transendensi menurut Kuntowijoyo tergambar dalam surat Ali Imran (3) ayat 110:

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّا سِ تَأْمُرُوْنَ بِا لْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِا للّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَا نَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَ كْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ

"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik."

Ayat di atas dengan sangat jelas menegaskan bahwa umat Islam disebut khairu ummah. Khairu ummah ini ukhrijat linnas (menyandang misi khusus) untuk menghumanisasi, meliberasi, dan mentransendensi umat manusia. 

Humanisasi di sini dilakukan dengan cara mengarahkan dan mengondisikan masyarakat kepada penegakan nilai-nilai yang ma'ruf (nilai-nilai kemanusiaan) sehingga setiap warga merasakan kesetaraan, keadilan, kesamaan dalam hukum, dsb. Liberasi (pembebasan) dicapai dengan cara menjaga dan melindungi masyarakat dari hal-hal destruktif. Sementara transendensi diikhtiarkan untuk mengarahkan hidup masyarakat supaya hidup secara bermakna berbasis nilai-nilai ketuhanan. Nilai-nilai ketuhanan ini mengarahkan masyarakat menemukan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Penemuan nilai-nilai luhur kemanusiaan ini akan mengantarkan masyarakat menuju nilai-nilai ketuhanan.

___________________

Catatan Kaki:
1] https://tirto.id/pengertian-masyarakat-menurut-para-ahli-serta-ciri-unsur-unsurnya-gbbv
2] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara.
3] Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1979), h. 163-258.
4]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana, 2007), h. 33. 

Gambar:
Jalur tol menuju Badara Sekarno-Hatta pada 22 September 2022

MODEL PENGEMBANGAN INTEGRASI KEILMUAN DI UIN SYAHADA PADANGSIDIMPUAN

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, model diartikan "pola" (sistem, cara kerja, bentuk). Dalam kalimat, misalnya "pola permainan" atau "pola pemerintahan".1] Model pengembangan integrasi keilmuan dapat dimaknai sistem atau atau cara kerja pengembangan integrasi keilmuan. Integrasi keilmuan di UIN Syahada dipahami sebagai integrasi/pemaduan 'ulum ad-diniyah, ulum al-insaniyah dan ulum al-kauniyah dalam kajian dan penelitian mahasiswa dan dosen melalui pendekatan interdisipliner, multi disipliner dan transdisipliner.

Bagaimana Model Pengembangan Integrasi Keilmuan UIN Syahada?
Berikut dijelaskan model pengembangan integrasi keilmuan UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan (selanjutnya disingkat UIN Syahada). Pertama-tama akan dijelaskan pijakan atau basis pengembangan integrasi keilmuan, yaitu basis filosofi dan paradigma pengembangan keilmuan. Kedua, Metodologi pengembangan integrasi keilmuan. Ketiga, implementasi dan operasionalisasi.

1. Basis Pengembangan: Filosofi dan Paradigma
Model pengembangan integrasi keilmuan UIN Syahada didasarkan kepada filosofi integrasi ilmu (integration of knowledge). Hal ini sebagaimana filosofi keilmuan yang dianut oleh seluruh Perguruan Tinggi Keagamaan Islam di Indonesia. Pandangan dasar (theological and philosophical view) filosofi integrasi keilmuan yaitu Allah SWT adalah sumber utama ilmu pengetahuan. Ma'rifatullah (mengetahui Allah) adalah puncak pencarian keilmuan. Filosofi ini memosisikan Al-Qur`an tidak saja sebagai grand theory, tapi bahkan grand philosophy pengembangan ilmu. Dalam konteks ini Al-Qur`an menjadi petunjuk dan pembimbing (huda dan rusyd) keilmuan. Dalam surat Fussilat ayat 51, yang menjadi salah satu pijakan penting filosofi integrasi keilmuan UIN Syahada Padangsidimpuan, memberi petunjuk bahwa afaq (ufuk, cakrawala), anfus (diri manusia) adalah ayat Allah (tanda atau simbol Kemahabesaran Allah). Afaq di sini adalah ayat kauniyah, sementara anfus adalah ayat insaniyah.  Dalam perspektif berpikir Hasan Langgulung, yang juga diadopsi dalam pemahaman filosofi integrasi ilmu UIN Syahada, ayat kauniyah dan ayat insaniyah ini menjadi "kamus" bagi ayat qauliyah (wahyu Al-Qur`an). Dengan berpikir demikian, maka menjadi jelaslah bahwa ayat kauniyah (afaqiyah) dan ayat insaniyah (anfusiyah) adalah kamus yang menjadi penjelas kandungan ayat-ayat Al-Qur`an.2] Oleh karena itu dapat pula dipahami bahwa diri manusia dan alam semesta sesungguhnya menghimpun narasi tentang penjelasan makna ayat qauliyah.

Petunjuk ayat Al-Qur`an lainnya menjelaskan bahwa ilmu itu milik Allah dan bersumber dari-Nya. Untuk memperoleh ilmu, maka  Allah memberi manusia sarana-sarana untuk memperolehnya. Sarana  utuk memperoleh ilmu adalah pendengaran, penglihatan dan fu'ad (hati). Allah membuka pintu ilmu kepada manusia melalui penggunaan sarana utama tersebut. Hanya saja ilmu yang diperoleh manusia terbatas pada ilmu yang dikehendaki Allah.3] 

Dari filosofi "integrasi keilmuan" demikian ini diturunkanlah paradigma keilmuan "Teoantropoekosentris" ("Haramu Takamul al-Ulum"). Paradigma ini ---sebagaimana dinyatakan di atas--- didasarkan kepada pandangan dasar (theological and philosophical view) bahwa Allah SWT adalah sumber utama ilmu pengetahuan. Untuk mengetahui ilmu Allah itu maka Allah menunjukkan ilmu-Nya melalui tiga ayat utama, yaitu ayat qauliyah (ilahiyah), ayat nafsiyah (insaniyah), dan ayat kauniyah. Dari ketiga bentuk ayat ini lahir peradaban keilmuan. Secara khusus, dari ayat qauliyah lahir 'ulum ad-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan). Dari ayat nafsiah (insaniyah) muncul ilmu sosial dan humaniora. Sementara dari ayat kauniyah (termasuk di sini jismiyah manusia) terproduksi ilmu sains dan teknologi. Ilmu-ilmu yang lahir dari peradaban umat manusia ini menjadi referensi berharga dalam pengembangan ilmu-ilmu integratif. Dalam operasi keilmuan di "atas meja" atau pada latar kajian, riset dan eksprimentasi ilmiah, trialektika ketiga wilayah keilmuan ini berdiri sejajar dalam kancah kajian dan penelitian. Dengan bimbingan Al-Qur`an (quar`anic world view), trialektika ketiga wilayah keilmuan ini akan melahirkan ilmu-ilmu integratif yang rahmatan li al-'alamin.

2. Metodologi
Trialektika 'ulum ad-diniyah, 'ulum al-insaniyah dan 'ulum al-kauniyah dikelola menggunakan pendekatan interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Dalam KBBI, interdisiplin artinya antardisiplin atau antar bidang studi. Istilah interdisiplin (interdisciplinary) dalam Oxford Languages didefiniskan sebagai relating to more than one branch of knowledge. Dalam kurikulum berbasis teoantropoekosentris, pendekatan interdisipliner dipahami sebagai pendekatan pengembangan kurikulum dengan cara memadukan atau mengoneksikan dua atau lebih disiplin ilmu untuk mengkaji atau meneliti suatu objek kajian atau suatu masalah keilmuan. Pengkajian dalam disiplin ilmu keagamaan dipadukan dengan dengan disiplin imu sosisal-humaniora dan sains. Sebaliknya pengkajian dalam disiplin sosial-humaniora dan sains dipadukan dengan disiplin ilmu keagamaan.

Pendekatan multidisipliner. Kata multidisiliner dalam KBBI bermakna "berkaitan dengan berbagai ilmu pengetahuan". Misalnya dalam kalimat: bidang forensik merupakan suatu telaah multidisipliner. Istilah multidisciplinary dalam Oxford Languages diartikan sebagai combining or involving several academic disciplines or professional specializations in an approach to a topic or problem. Dalam konteks integrasi keilmuan Teoantropoekosentris, pendekatan multidisipliner dilakukan dengan cara mengkombain beberapa disiplin ilmu atau beberapa spesialisasi profesi keilmuan untuk membahas suatu topik atau masalah. Cara ini lebih luas dari pendekatan interdisipliner. Pendekatan multidispliner lebih komprehensif dari pendekatan interdisipliner, karena tidak saja melibatkan berbagai disiplin akademik keilmuan tapi juga pelibatan spesialis (expert) yang memiliki keahlian. Secara metodologis, sistem kerja riset atau kajian multidisipliner sama dengan interdisipliner. Hanya saja dalam kajian atau riset multidisipliner, disamping melibatkan akademisi juga melibatkan para profesional (expert).

Pendekatan Trandisipliner. Transdisipliner secara bahasa diartikan sebagai lintas disiplin. Riset Transdisipliner (transdisciplinary research) diartikan sebagai research efforts conducted by investigators from different disciplines working jointly to creat new conceptual, theoritical, methodological, and translational innovations that integrate and move beyond discipline-specific approaches to address a common problem.4] Penerapan pendekatan ini dalam integrasi kurikulum dilakukan dengan cara mengkombain pandangan akademisi, expert, profesional, praktisi, politisi dan lainnya ketika mengkaji suatu masalah atau topik. Dalam pendekatan ini, kajian atau riset melibatkan semua unsur masyarakat yang ada kaitan dengan topik atau masalah yang memerlukan perhatian atau pemecahan. Oleh karena, pendekatan transdisiplin benar-benar lintas disiplin, lintas profesi, lintas keahlian, dan lintas praktisi dan lintas skill lainnya.

Perlu ditegaskan di sini bahwa pendekatan interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner yang dilakukan benar-benar berbasis paradigma teoantropoekosentris (ilahiyah-insaniyah-kauniyah).

3. Implementasi dan Operasionalisasi
Implementasi
Implementasi pengembangan integrasi keilmuan dioperasikan pada program-program studi "Keagamaan" dan program-program studi "sosial-humaniora dan sains-teknologi". Berikut penjelasannya:5]
Pertama, Program-program studi keagamaan yang core curruculum-nya lebih ke teosentris, akan dikembangkan lebih lanjut dengan cara mengintegrasikan dan atau menginterkoneksikannya dengan ilmu atau kajian pada wilayah antroposentris dan ekosentris. Dalam operasinya di tingkat program studi, ayat qur'aniyah yang wujudnya dalam bentuk hadharah an-nash diintegrasikan atau dikoneksikan dengan ayat afaqiyah dan ayat anfusiyah, yang wujudnya hadharah al-'ilm dan hadharah al-falsafah.
Sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, program studi "keagamaan" ini menjadi core business pendidikan dan pengajaran UIN Syahada. Keberadaan program studi dan ilmu-ilmu yang berasal dari wilayah antroposentris dan ekosentris diorientasikan untuk memperkuat core business pendidikan dan pengajaran perguruan tinggi ini.6] Hal ini sebagai implementasi Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2022 pada pasal 3 ayat (2) yang berbunyi: Selain menyelenggarakan program pendidikan tinggi ilmu Agama Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan dapat menyelenggarakan program pendidikan tinggi ilmu lain untuk mendukung penyelenggaraan program pendidikan tinggi ilmu Agama Islam.7]

Kedua, Operasi konsep integrasi keilmuan pada program studi "sosial-humaniora dan sains-teknologi dengan cara mengintegrasikan ayat qur'aniyah pada kajian dan riset sosial-humaniora dan sains-teknologi.

Operasionalisasi 
Operasionalisasi integrasi keilmuan "Teoantropoekosentris" dalam perkuliahan dan program kurikuler dilakukan sebagai berikut:8]
Pertama, mata kuliah inti "ke-universitas-an" yang memuat epistemologi keilmuan dan materi integratif, diajarkan pada semua program studi. Mata kuliah ini memandu bagi seluruh mata kuliah lain, khsusnya dalam hal integrasi. Contoh mata kuliah ini, Filsafat Ilmu dalam Islam dan Studi Islam Komprehensif.
Kedua, pola pengajaran untuk mata kuliah tertentu, yang memuat kompetensi multidisipliner atau transdisipliner, dilakukan dengan team teaching, yang anggota dosennya berasal dari program studi atau kompetensi keilmuan yang berbeda. 
Ketiga, pada mata kuliah yang capaian atau muatan kompetensi keilmuannya sama, mahasiswa diperbolehkan mengambil pada program studi berbeda, sehingga terjadi penyebaran kompetensi dan karakter. Misalnya mahasiswa pada program studi keagamaan mengambil mata kuliah pada program studi sosial-humaniora atau program studi sains.
Keempat, desain RPS (Rencana Pembelajaran Semester) disusun berbasis teoantropoekosentirs. Di dalamnya terkonsepkan pengajaran dengan pendekatan integrasi keilmuan, apakah dari sisi materi maupun dari sisi desain perkuliahan dan dari sisi kompetensi dosen.
Kelima, memberikan keterampilan khusus kepada mahasiswa melalui program lintas disiplin berbasis integrasi keilmuan. Misalnya memberi program tahfizh kepada mahasiswa pada program-program studi sosial-humaniora dan sains, dan memberikan keterampilan saintek kepada mahasiswa prodi-prodi keagamaan.
Keenam, mewajibkan dosen dan mahasiswa menjadikan buku-buku atau jurnal yang bermuatan integrasi keilmuan sebagai referensi perkuliahan.
Ketujuh, setiap program studi memiliki panduan integrasi keilmuan "teoantropoekosentris" yang mengacu kepada panduan universitas untuk diterapkan pada semua kegiatan akademik prodi masing-masing.
_______________________
Catatan kaki:
1] https://kbbi.web.id/pola
2] Dalam QS Fussilat ayat 51, ditegaskan bahwa Allah SWT niscaya akan memperlihatkan kepada manusia ayat-ayat-Nya pada afaq dan anfus, hingga jelaslah bagi manusia bahwa Al-Qur`an itu benar. Dari sini dapat ditarik pandangan bahwa pemahaman tentang ayat-ayat kauniyah dan nafsiyah akan mengantar kepada pemahaman bahwa wahyu dalam Al-Qur`an itu benar. Ayat inilah yang secara eksplisit menegaskan bahwa ayat qauliyah, ayat insaniyah dan ayat kauniyah pada hakikatnya satu. Jadi ilmu itu sesungguhnya satu. Namun dalam objektifikasinya tampak terbagi.
3] Lihat surat Al-Baqarah ayat 30: "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,..."; Al-Baqarah ayat 147: "Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu"; Al-Baqarah ayat 255: "...dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya..."; An-Nahl ayat 78: "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur". 
4] https://www.hsph.harvard.edu/trec/about-us/definitions/#:~:text=Transdisciplinary%20Research%20is%20defined%20as,to%20address%20a%20common%20problem.
5]Naskah Akademik "Pyramid of Sciences Integration (Haramu Takamul al-'Ulum)" UIN Syahada Padangsidimpuan.
6] Naskah Akademik "Pyramid of Sciences Integration (Haramu Takamul al-'Ulum)" UIN Syahada Padangsidimpuan.
7]Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2022 Tentang Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary. 
8]Naskah Akademik "Pyramid of Sciences Integration (Haramu Takamul al-'Ulum)" UIN Syahada Padangsidimpuan.

Gambar:
Kiriman via WA Group, dan belum diketahui dimana tempat objek potretan gambar yang indah ini.

MENCARI MAKNA 'IRFANI TIGA KALI MENYEBUT SALAM SAAT DUDUK TAHIYAT AKHIR DALAM SHALAT


"Pada salam yang pertama, seolah-olah kita bertemu langsung secara ruhaniah dengan Rasulullah Saw., kemudian kita bersalam kepadanya. Di sini "aku" berjumpa dengan "engkau" dalam jamuan ruhaniah yang qudus. Lalu "aku" dalam perjumpaan ini mengucapkan salam, "Assalamu 'alaika ayyuhan nabiy..." (Semoga salam atas-"mu" wahai Nabi...)."
*******

Salam
Salam (سلام) dari kata kerja bentuk lampau sa-li-ma artinya aman, damai, selamat, sejahtera. Ketika kata ini diucapkan dengan lafaz as-salamu 'alaikum, maka maknanya akan berubah menjadi do'a, yaitu "Semoga kedamaian/keselamatan/kesejahteraan atas kalian". Nilai yang dikandung oleh lafaz as-salam secara hakiki juga mengandung makna "bahagia lahir-batin". Jadi, ketika disampaikan ucapan as-salamu 'alaikum kepada orang lain,  disamping bermakna seperti disebut di atas, juga bermakna "Semoga kalian bahagia lahir-batin". Doa ini lebih sempurna lagi jika ditambah dengan ungkapan warahmatullahi wabarakatuh. Dengan tambahan ini maka salam tersebut akan bermakna: "Semoga salam (bahagia lahir batin) terlimpah atas kalian, begitu juga rahmat Allah dan keberkahan-Nya."


Mencari Makna Irfani Salam pada Duduk Tahiyat Akhir
Duduk tahiyat akhir adalah pekerjaan terakhir dalam shalat sebelum menutup shalat dengan salam. Seingat penulis dalam salah satu buku yang ditulis oleh Imam Khomeini ---semoga tidak salah--- beliau berpandangan bahwa duduk Tahiyat Akhir ini bagaikan berada di puncak spiritual. Ibarat mi'raj, seorang yang sudah sampai pada tahiyat dalam shalat ini bagaikan berada di langit ketujuh. Ia duduk dengan sikap tawarru' dan tadharru' (duduk dengan sikap warak dan rendah hati) di hadapan Allah Rabb 'Arsy Yang Agung. Dalam kondisi seperti ini, ia melanjutkan munajatnya dengan melafazkan doa penghormatan sepenuh hormat: 
التحيات المباركات الصلوات الطيبات لله
atau bacaan berikut:
 التحيات لله والصلوات والطيبات 

"Segala kehormatan, keberkahan, shalawat dan kebaikan milik Allah/ 

Segala kehormatan milik Allah, begitu pula shalawat dan kebaikan."

Setelah lafaz penghormatan (ta'zhim at-ta'zhim) kepada Allah Tuhan 'Arsy yang Agung: "Segala kehormatan, keberkahan, shalawat dan kebaikan milik Allah", kita pun melanjutkan munajat kita dengan mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:

السلام عليك ايها النبي ورحمة الله وبركاته

"Semoga salam atasmu wahai Nabi, juga rahmat Allah serta berkahnya.

Pada salam yang pertama ini, seolah-olah kita bertemu langsung secara ruhaniah dengan Rasulullah Saw., kemudian kita bersalam kepadanya. Di sini "aku" berjumpa dengan "engkau" dalam jamuan ruhaniah yang qudus. Lalu "aku" dalam perjumpaan ini mengucapkan salam, "Semoga salam atas-"mu" wahai Nabi."

Salam kedua adalah permohonan salam kepada kami/kita yang beribadah:

السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين

"Semoga salam atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih."

Dengan mendahulukan salam kepada Nabi, selanjutnya ---seolah-olah disaksikan oleh Nabi yang mulia--- kita menyampaikan doa kepada Allah, "Semoga pula salam tercurah kepada "kami" (yang sedang shalat) dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih." Hamba-hamba yang shalih di sini tak berbatas waktu dan tempat. Oleh karena itu dapat dimaknai seluruh hamba yang shalih yang sudah wafat dan masih hidup.

Salam ketiga adalah salam ketika kita benar-benar kembali ke dunia empirik. Salam ke arah kanan dan kiri. Salam ini menandai berakhirnya shalat. Salam ini ditujukan kepada seluruh makhluk Allah yang tunduk kepada Allah, baik dari kalangan malaikat, jin, maupun manusia yang posisinya berada di sebelah kanan dan sebelah kiri.

Selanjutnya, seorang yang shalat menyeru Allah dengan sebutan As-Salam dalam zikir sesudah shalat: Allahumma antas salam, wa minkas salam, tabarakta ya dzaljalali wal ikram (Ya Allah, Engkaulah As-Salam, dariMulah diperoleh as-salam, Maha Berkah Engkau, wahai Pemilik Keagungan dan Kemuliaan). Hal ini menegaskan pentingnya mendapatkan as-salam. Jika seorang mukmin memperoleh as-salam, maka ia telah berada dalam naungan ridha Allah dunia dan akhirat. 

Seorang hamba yang munajatnya diridhai dan diterima Allah, maka dalam kehidupan ini, ia pun menebarkan salam. Bahkan meskipun ia diremehkan oleh orang-orang jahil. Ingat firman Allah: Wa idza khathabahum al-jahiluna qalu salama (Jika orang-orang jahil menyapa mereka (dengan sapaan yang remeh/merendahkan), maka mereka meresponnya dengan ucapan salam (damai, menyejukkan). Allahu a'lam bi al-shawwab.

Gambar:
Bandara Kualanamu, diambil dari pesawat Batik Air ID8890 saat landing 24 September 2022.

MANUSIA: PERSPEKTIF PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



Apa perlunya kajian tentang manusia dalam pengembangan filsafat, pemikiran, konsep, teori dan praktik pendidikan Islam? Atau apa urgensinya memahami hakikat manusia bagi pendidikan?

Jawaban pokok, karena manusia menjadi objek sekaligus subjek pendidikan. Pendidikan adalah upaya manusia mendidik manusia. Atau upaya manusia "memanusiakan" manusia. Oleh karena itu, sebelum proses pendidikan dimulai, maka makhluk Tuhan yang disebut "manusia" ini harus dipahami secara teologis, filosofis, psikologis, sosiologis, bahkan saintifik. Dengan pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang manusia maka terpahamilah apa manusia itu sesungguhnya, bagaimana hakikatnya, bagaimana asal kejadiannya, bagaimana visi dan tujuan hidupnya, bagaimana bentuk pendidikannya dan cara-cara mendidiknya dan bagaimana cita ideal kepribadiannya (insan kamil).

Konsep Manusia: Perspektif Al-Quran
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa Allah memulai penciptaan mausia dari tanah. Kemudian Allah menjadikan keturunan manusia dari sari pati air yang hina. Kemudian Allah menyempurnakan kejadian biologis dan psikis manusia dan meniupkan ruh kepadanya. Selanjutnya Allah menjadikan bagi manusia pendengaran, penglihatan dan hati (af'idah) [As Sajdah ayat 7-9]. Dengan ketiga sarana yang amat penting ini manusia menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang berbudaya dan berperadaban.

Dalam surat As-Sajdah 7-9, diperoleh informasi yang memperlihatkan tahapan proses penciptaan atau kejadian manusia sbb:
  1. Manusia pertama (Adam a.s.) diciptakan dari tanah. Sementara anak turunannya dari air yang hina (من ماء مهين).
  2. Allah menumbuhkan jasad manusia dalam rahim ibu.
  3. Allah meniupkan ruh.
  4. Allah menjadikan bagi manusia pendengaran, penglihatan dan hati (وجعل لكم السمع والابصار والافءدة).
Hal paling sentral dalam kejadian manusia adalah ditiupkannya ruh yang berasal dari Allah sendiri ke dalam tubuh jismiyah manusia yang pertumbuhan biologisnya telah disangga oleh jiwa tumbuh-tubuhan (nafs an-nabatiyyah) dan jiwa hewani (an-nafs al-hayawaniyyah). Dari ruh ini kemudian manusia memiliki sarana psikis lain yaitu akal dan kalbu. Fuad ---dalam kajian para ahli tasauf---- adalah lapis tertentu dari qalbu. Terkait qalbu, ada yang menjelaskan demikian: Allah melengkapi manusia sarana yang dapat menjadi barometer baik-buruk dan benar-salah yaitu qalbu. Hal ini bermakna bahwa kalbu manusia menyimpan pengetahuan tentang baik dan buruk, serta benar dan salah. Di dalam qalbu terdapat fuad. Dalam fuad terdapat lubb. Dalam lubb terdapat sirr, dalam sirr terdapat nur.

Dengan adanya jiwa (nafs) dan ditiupkannya ruh, maka dengan sendirinya manusia telah memperoleh ilham dari Allah yaitu dua jalan yang bertolak belakang yaitu jalan fujur (fasik) dan jalan takwa (فالهمها فجورها وتقوىها). Jalan takwa itu dipatron oleh fitrah (فاقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التي فطر الناس عليها), sehingga manusia lahir memiliki tabiat berketuhanan atau berkepercayaan. Tabiat ini membuat manusia cendrung kepada kebenaran, kebaikan dan kesucian. Dengan fitrah itu, maka setiap anak manusia membutuhkan kepercayaan kepada yang kudus untuk sandaran dirinya yang lemah. Oleh karena itu, secara hakiki, tidak ada manusia yang benar-benar ateis. Realitasnya, kalau manusia gagal menemukan Tuhan yang sebenarnya, maka ia akan mencari tuhan palsu  atau ia menuhankan dirinya sendiri (ومن الناس من اتخذ الهه هواه).
Dengan ditiupnya ruh ke dalam jismiyah manusia, maka manusia menjadi makhluk yang by nature berkecendrungan dekat dengan Tuhan. Hal ini karena Tuhan telah menitipkan kepada manusia potensi-potensi Ilahiyah yang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan pembelajaran. Potensi-potensi itu sebagaimana terangkum dalam Asma' al-Husna (Nama-nama Allah yang Indah). Nama-nama yang Indah itu tentu saja menyimbolkan shifat dan af'al (sifat dan perbuatan) Allah. 
Keseluruhan Asma' al-Husna itu hanya diberikan dengan kadar tertentu kepada manusia. Tentu saja dengan kadar kualitas yang sangat dan sangat kecil dan tidak mungkin sama dengan Allah. Yang jelas masing-masing Asma' Allah dimaksud ada pada diri manusia. Untuk menyebut contoh: Allah adalah Ar-Rahman. Pada diri manusia ada potensi Ar-Rahman. Allah adalah Ar-Rahim, dalam diri manusia ada potensi Ar-Rahim. Allah adalah Al-Malik, manusia memiliki potensi Al-Malik, dst.

Konsep Fitrah dan Pengembangan Pendidikan
Di atas dijelaskan bahwa fitrah adalah patron penciptaan manusia. Imam Ghazali mengartikan fitrah dengan makna al-mailu ila al-haqqi (kecondongan kepada al-haqq (kebenaran). Setiap anak manusia ---secara thabi'iy/ by nature--- condong kepada dan atau mendambakan kebenaran. Jiwa manusia menunduk kepada kebenaran. Kebenaran (al-Haqq) itu sendiri adalah nama lain dari Allah SWT. Rasa ( dzauq) tentang yang benar itu sesungguhnya adalah rasa qalbiyah kita tentang Al-Haqq (Allah SWT). Disebut demikian karena al-haqq (kebenaran) memang milik Allah (الحق من ربك فلا تكونن من الممترين). Kebenaran demikian ini adalah kebenaran tertinggi. Noeng Muhadjir menyebutnya "kebenaran empirik-transendental". Kebenaran lainnya adalah turunan dari kebenaran empirik-transendental ini, yaitu ---secara top down--- kebenaran empirik-etik, kebenaran empirik-logik, dan kebenaran empirik-sensual.

Realitas fitrah pada diri manusia memberi petunjuk kepada kita bahwa manusia adalah makhluk yang sejak dilahirkan telah memiliki potensi bawaan untuk beragama yang hanif (دين حنيف). Anak manusia lahir sebagai individu yang suci dari dosa. Proposisi fitrah ini sangat berbeda dengan teori tabula rasa John Locke (1632-1704). John Locke berpandangan bahwa manusia lahir tidak membawa potensi atau bakat-bakat alamiah. Manusia, menurutnya dilahirkan oleh ibunya bagaikan kertas putih. Makna kertas putih ini yaitu tidak membawa potensi atau bakat alamiah. Interaksi dengan orang lain serta lingkungan tempat tumbuh dan berkembangnyalah yang menentukan perkembangan kepribadiannya. Konsep tabula rasa sama sekali tidak memiliki hubungan dengan Ketuhanan. Manusia di sini dipahami hanya makhluk jasmaniyah yang memiliki intelek yang lebih sempurna dan cerdas dari monyet. Berbeda dengan proposisi fitrah di atas yang menegaskan bahwa makna suci bagi anak manusia adalah suci atau bersih dari dosa, condong secara naluriah kepada Tuhan, dan memiliki potensi dan bakat bawaan sebagaimana terkandung dalam Asma' al-Husna.

Dengan cara pandang seperti ini, maka pemikiran dan konsep pendidikan mesti dikonstruk untuk menumbuhkembangkan potensi fitrah anak. 

Deduksi-koheren pandangan demikian ini terhadap pendidikan yaitu keseluruhan pemikiran, konsep dan teori pendidikan yang dikembangkan harus berorientasi kepada penumbuhkembangan potensi fitrah anak manusia sebagai 'abdullah dan khalifatullah fi al-ardh, sehingga ia tumbuh kembang menuju pribadi insan kamil. Allahu a'lam bi al-shawwab.



Gambar:
Perjalanan suasana hujan naik mobil travel saat melewati jalan tol di tengah kota Jakarta menuju Bandung 22 September 2022.

PERBEDAAN PEMAHAMAN AGAMA SUATU SUNNATULLAH YANG DIBUTUHKAN

"Hal yang amat HARAM dilakukan adalah memaksakan pemahaman kita kepada orang lain. Mengapa amat HARAM karena kita membunuh keinsafan insaniyah orang untuk menimbang benar-salah, dan baik-buruk terhadap apa yang kita sampaikan. Pemaksaan ini merenggut kemerdekaan orang untuk menentukan pilihan (ikhtiar). Perlu diketahui bahwa kemerdekaan memilih ini salah satu hal paling asasi dan amat berharga yang diberikan Tuhan kepada manusia."

*******


Perbedaan jalan memahami agama itu diperlukan, bahkan mesti ada. Jika tidak ada maka tidak akan tumbuh dinamika dan perkembangan pemahaman keagamaan. Bayangkan misalnya, di dunia ini hanya ada satu bentuk/corak pemahaman agama. Dampaknya, orang-orang tidak lagi akan bertanya apakah keberagamaannya sudah benar atau sudah menuju sempurna. Manusia pun hampir pasti akan mudah jenuh dengan corak beragama yang satu warna ini. Karena tidak sesuai dengan natur jiwa dan pikirannya yang butuh dinamika perbedaan.

Jangankan soal perbedaan pemahaman agama di internal kaum muslimin, bahkan soal berbeda agama antar ummat/pemeluk pun dibiarkan oleh Tuhan tumbuh dan berkembang. Sekiranya Tuhan memaksakan kehendakNya, niscaya manusia di muka bumi ini dijadikanNya satu ummah saja (ولو شاء الله لجعلكم امة واحدة). Tapi Allah tidak mau seperti itu kan? Dengan keragaman agama ini Allah bermaksud menguji masing-masing pemeluknya, siapa di antara masing-masing ummat beragama itu yang paling baik amalnya (yang paling dekat kepada Millah Ibrahim) (ليبلوكم ايكم احسن عملا). [Lihat surat Al-Maidah ayat 48].

Dalam hal perbedaan pemahaman ini pun, tujuannya itu juga: Yaitu ujian bagi setiap orang beriman, siapa di antara kaum beriman yang paling baik amalnya.
----- Hal yang amat HARAM dilakukan adalah memaksakan pemahaman kita kepada orang lain. Mengapa amat HARAM karena kita membunuh keinsafan insaniyah orang untuk menimbang benar-salah dan baik-buruk apa yang kita sampaikan. Pemaksaan ini merenggut kemerdekaan orang untuk menentukan pilihan (ikhtiar). Perlu diketahui bahwa kemerdekaan memilih ini salah satu hal paling asasi dan amat berharga yang diberikan Tuhan kepada manusia.
----- Terkait upaya pengembangan pemahaman atau pemikiran keagamaan ini, kita pernah mendiskusikan urgensi pendekatan bayani, burhani dan irfani.
-----Memadakan pendekatan bayani saja dalam memahami nas/teks agama, maka akan muncullah pemahaman yang kaku, tekstual atau letter lijck. Oleh karena itu perlu pendekatan burhani atau pemahaman kontekstual dengan menerapkan kaidah-kaidah ilmu modern seperti sosiologi, antropologi dan hermeneutika.
----- Realitasnya, dua pendekatan ini juga belum cukup. Mengapa? Karena pemahaman yang baik dari aspek paling hakiki dari agama tidak akan diperoleh kalau hanya dengan bayani dan burhani.  Aspek paling hakiki itu adalah aspek ruhaniyah (sufistik/spiritualistik). Untuk mendapatkan pemahaman aspek terakhir ini maka perlu pendekatan irfani yaitu memahami makna terdalam di balik teks dan konteks dengan keinsafan batin yang mendalam dan sensitifitas nurani yang kuat.
-----Operasi metodologis pendekatan irfani ini tidak bisa berdiri sendiri, ia butuh pendekatan bayani sekaligus burhani. Dengan demikian, untuk memperoleh pemahaman agama yang komprehensif dan mendalam, ketiga pendekatan ini harus dioperasikan secara bersama dalam hubungan dialogis melingkar (sirkuler-dialektis).
-----Untuk menyebut contoh: "Perdebatan tentang kebolehan shalat sunat antara dua Azan Jum'at yang lazim disebut shalat Qabliyah Jumat." Memang, dalam perspektif bayani, tidak ditemukan dalil yang sharih sebagai landasan pengamalan shalat Qabliyah Jum'at ini. Hanya saja, jika shalat-shalat di luar shalat fardhu dilihat dalam konteks yang lebih luas, maka akan diperoleh poin-poin penting yang menuntun nalar kita bahwa Nabi Saw., tidak membentangkan perspektif pemahaman yang sempit dan membuat batasan-batasan kaku dalam hal shalat Tathawwu' (Sunnat). Artinya, terkait shalat sunnat ini, selain ada waktu-waktu yang ditradisikan dan waktu-waktu yang dilarang, ada pula waktu-waktu yang dibebaskan untuk shalat sesuai dengan keperluan dan kemampuan kita dengan tetap memperhatikan prinsip keseimbangan hidup duniawi dan ukhrawi. Perlu juga menjadi perhatian bahwa Nabi Saw., bahkan tidak memberi nama khusus untuk berbagai shalat Tathawwu' itu. Justru para ahli Fiqh-lah yang kemudin membuat namanya, mangategorinya, mengatur batasan-batasannya dan menetapkan waktu-waktunya yang relatif terdisiplin.
-----Selanjutnya, nalar kita akan lebih lapang lagi mempersepsi keberadaan shalat Qabliyah Jumat ini jika dilihat dalam perspektif cinta dan ketundukan hamba kepada Khaliq-nya. Kira-kira, andaikan Nabi Saw., masih hidup, lalu seseorang menyampaikan perilaku ibadahnya kepada Nabi, "Ya Rasulullah, demi cinta dan ketaatanku kepadamu, aku sangat berharap Allah mengampuni dosa-dosaku sehingga aku dapat bersamamu kelak dalam surga. Oleh karena itu, sebelum imam/khatib naik mimbar, ku manfaatkan waktu luang untuk ibadah Tathawwu' di antara dua azan Jumat sebagai tambahan ibadah bagiku."
-----Kira-kira, bagaimana respon Rasulullah Saw., terhadap orang yang menerjemahkan ketundukan ruhaniahnya kepada Tuhan dengan cara seperti itu? Apakah Rasulullah akan menghentikannya? Jika kita dalami kepribadian Rasulullah dan kita lihat cara-cara beliau merespon para sahabat, maka ---Allahu a'lam--- sangat mungkin Rasulullah akan senyum sebagai tanda keridaan beliau terhadap orang tersebut.
----Di sisi lain, ada pula ulama yang disiplin memahami juz'iyyat, hai'at dan kaifiyyat  ibadah berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah. Oleh karena, menurutnya tidak ditemukan dalil yang sharih tentang Qabliyah Jumat ini, maka ia berkesimpulan bahwa shalat sunnat seperti ini tidak disyari'atkan. Bahkan ia mengategorikannya sebagai bid'ah yang harus ditinggalkan.
----Akhir kata, mari kita kelola perbedaan dengan cinta. Jauhkan sikap-sikap thaghut (memaksakan pendapat) dalam menyampaikan pemahaman agama. Beri kemerdekaan yang lapang bagi setiap orang untuk menimbang, memilih dan menentukan. Insya Allah rahmat ilmu dan hikmah akan tercurah kepada kita. Amin. Allahu a'lam bi al-shawwab.

Gambar:
Jelang Jalan Tol MBS menuju Bandung, 22 September 2022.

MA'RIFATULLAH: PUNCAK ILMU AGAMA, SAINS DAN SOSIAL HUMANIORA



"Melalui zikir yang berpadu dengan pikir dalam aktifitas keilmuan, maka setiap ilmuan Muslim tidak saja memperoleh ilmu atau pengetahuan saintifik tentang berbagai objek, tapi ia juga memperoleh pengetahuan supra sains (pengetahuan 'irfani= ma'rifatullah) dari objek kajian, perenungan atau penelitiannya."

*****


Al-Quran memberi petunjuk bahwa puncak semua ilmu pengetahuan  bagi setiap Muslim, apakah ilmuan agama, sains, dan sosial-humaniora adalah ma'rifatullah, yaitu pengetahuan sufistik-intuitif tentang Allah. Pengetahuan ini diperoleh melalui pemaduan zikir dan pikir dalam kerja keilmuan (amal saleh keilmuan). Simpulan ini diambil dari ayat Al-Qur'an yang menjelaskan bahwa ujung dari tafakkur (perenungan, pemikiran, pengkajian) seorang ilmuan beriman tentang alam semesta adalah kesadaran spiritual yang dalam tentang Allah, yang pada surat Ali Imran ayat 191 dinyatakan dengan ungkapan doa: "Ya Tuhan kami,  tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka." Tentang ini mari baca dengan saksama ayat Al-Quran surat Ali Imran ayat 190-191 berikut:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ وَا خْتِلَا فِ الَّيْلِ وَا لنَّهَا رِ لَاٰ يٰتٍ لِّاُولِى الْاَ لْبَا بِ 

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi ulul albab (orang yang berakal)"

الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَا مًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَا طِلًا  ۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَا بَ النَّا رِ

"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka."

Mari fokus kepada istilah ulul albab. Ulul albab adalah orang yang memiliki akal murni (al-'aql al-khalish) yang sudah mampu menangkap makna 'irfani dari ayat qauliyah/ilahiyah, insaniyah dan kauniyah. Dalam ayat di atas, ulul albab adalah ilmuan yang mengingat Allah (berzikir) dalam situasi dan kondisi apa pun sembari berpikir (merenungkan, mengkaji, meneliti) ciptaan Allah. Jadi ia memadukan zikir dan fikir dalam aktifitas keilmuannya (amal shalih keilmuan).

Zikir atau zikrullah artinya mengingat Allah. Secara praktis, aktifitas keilmuan seorang Muslim selalu dimulai dari bismillah (iqra' bismi rabbik= bacalah dengan menyebut nama Tuhan-mu). Hal ini bermakna bahwa dalam memulai aktifitas keilmuan, apakah menyampaikan pengetahuan, meneliti, berdiskusi, dan sebagainya, selalu diawali dengan penyerahan diri kepada Allah sembari berharap rahman dan rahim (kasih dan sayang) Allah dengan cara menyebutkan lafaz Bismillahirrahmanirrahim. Selanjutnya, sebagai kelanjutan dari spirit/jalan spiritual bismillah tadi, maka sepanjang aktifitas keilmuan, hatinya senantiasa mengingat Allah bersamaan dengan lisannya yang by nature menyebut sering menyebut Allah. Sebutannya dapat berupa tasbih (subhanallah), tahmid (alhamdulillah), takbir (allahu akbar), hauqalah (la haula wala quwwata illa billah) dan atau lafaz zikir lainnya. Zikir-zikir pendek seperti ini biasanya akan terucap saja secara natural, terutama ketika ia merasakan dan menyaksikan penomena dan atau temuan-temuan menarik selama berjalannya aktifitas kerja keilmuan. Simpul-simpul pokok semua zikir pendek ini adalah shalat lima waktu yang diamalkan secara konsisten oleh setiap ilmuan Muslim beriman.

Melalui zikir yang berpadu dengan pikir dalam proses keilmuan (amal saleh), maka setiap ilmuan Muslim tidak saja memperoleh ilmu atau pengetahuan saintifik tentang berbagai objek, tapi ia juga memperoleh pengetahuan supra sains (pengetahuan 'irfani= ma'rifatullah) dari objek kajian, perenungan atau penelitiannya. Pengetahuan 'irfani ini berada di atas sains. Jenis pengetahuan ini bukan lagi rasional-empirik atau filosofis, tapi sufistik-intuitif.

Mari lihat kembali ayat di atas. Seorang ulul albab yang mengkaji  dan atau meneliti alam semesta (ayat kauniyah), akan memperoleh kesadaran ilahiyah (ketuhanan) bahwa ciptaan Allah ini sangat sempurna dan rapi, tertata dengan hukum kausalitas (sunnatullah) yang teratur. Materinya tersusun rinci dan dapat diurai hingga ke bentuk materi yang sekecil-kecilnya. Materi-materi itu saling kait dengan indahnya dan dapat direkayasa untuk  menjadi materi dengan form berbeda atau bentuk yang lebih besar, dst., dst.

Dalam kesadaran puncak terhadap ayat kauniyah inilah seorang ilmuan Muslim berucap doa:

رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَا طِلًا  ۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَا بَ النَّا رِ

"Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka."

Dalam doa ini, setelah ia menyatakan kesadarannya tentang kesempurnaan ciptaan Allah (ربنا ماخلقت هذا باطلا), ia pun kemudian bertasbih,  "Subhanaka", Maha Suci Engkau. Pemahaman tentang tasbih di sini kurang lebih seperti ini: Maha Suci Engkau ya Rabb dari pandangan-pandangan yang merendahkan-Mu dan menafikan Kekuasaan-Mu dalam semua ciptaan-Mu. Juga Maha Suci Engkau dari pandangan ateisme saintis Barat yang menafikan wujud Mu. Ya Rabbana, lindungi kami dari siksa Neraka.

Kesadaran Ilahiyah demikian ini adalah ilmu yang amat berharga yang berada jauh di atas sains. Kesadaran Ilahiyah ini masuk sebagai hidayah ke dalam lubuk hati (lub, jamaknya albab) seorang ilmuan Muslim. Ini adalah nur (cahaya) dari Allah yang mencahayai jiwanya. Cahaya seperti ini hanya diberikan kepada ilmuan yang ikhlas mencari dan mempelajari tanda-tanda Kemahabesaran Allah pada setiap objek yang dikajinya. Inilah yang disebut ma'rifatullah, puncak ilmu pengetahuan yang diperoleh para ulul albabAllahu a'lam bi al-shawwab.

Gambar:
Hutan hijau pinggir jalan Aek Sijornih, Tapanuli Selatan, 17 September 2022.

PENDEKATAN BAYANI, BURHANI DAN 'IRFANI DALAM KAJIAN SENI DAN BUDAYA

"Jika perkiraan dasar bayani lebih melihat teks sebagai sebuah penomena kebahasaan, sementara burhani lebih melihat teks sebagai suatu yang berkaitan dengan konteks, maka 'irfani lebih melihat teks sebagai suatu simbol dan isyarat, yang menuntut ---melalui keinsafan batin yang mendalam dan sensifitas nurani yang kuat--- pembacaan dan penggalian makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat dalam teks dan konteks tersebut dengan melibatkan kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual."


Pendekatan Bayani

Istilah bayani (بياني) dari kata bayan (بيان), artinya penjelasan. Yaitu penjelasan tentang makna teks (nas/نص) berdasarkan kaidah bahasa. Misalnya penjelasan tentang makna ayat Al-Quran. Melalui pendekatan bayani, yaitu dengan menerapkan analisis tekstual, diharapkan dapat menggali landasan normatif dalam Al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan wacana agama dan keberagaman seni budaya untuk memperoleh kepastian hukum agama (hukum fikih). Hanya saja, dengan pendekatan bayani saja tidaklah cukup, apa lagi teks terbatas, sementara kehidupan manusia dan masalah yang mengitarinya terus berkembang. Suatu teks selalu berkait erat dengan konteks historis dan sosiologis kehidupan dimana teks itu muncul/turun. Kenyataan ini menghendaki, bahwa untuk memahami makna teks secara komprehensif, tidak cukup dengan pendekatan bayani saja. Mencukupkan hanya bayani, cenderung melahirkan pandangan keagamaan yang terbatas dan tidak berwawasan terbuka, serta tidak bersifat tajdid.

Oleh karena itu diperlukan pendekatan atau perspektif lain terhadap teks yang lebih terbuka, luwes dan bersahabat yaitu pendekatan burhani dan 'irfani.


Pendekatan Burhani

Burhani (برهاني) dari kata burhan (برهان) artinya bukti. Bukti yang dimaksud di sini adalah bukti rasional dan empirik. Istilah lain bukti ilmiah. Oleh karena itu pendekatan burhani dapat juga disebut pendekatan ilmiah.

Melalui pendekatan burhani (analisis rasional berdasarkan kaidah bidang ilmu terkait seperti sosiologi, antropologi, sejarah dan hermeneutik) diharapkan selain dapat mengungkap makna kontekstual dari suatu risalah keagamaan, juga dapat mengungkapkan kenyataan sosio-antropologis dan historis dari suatu objek (misalnya seni budaya), baik kandungan pemikiran, nilai spiritual maupun nilai keagamaannya, kandungan filosofinya, kandungan nilai kearifan lokal (local wisdom), serta visi pencerahan dan kritik sosialnya. Pendekatan burhani akan saling membantu dengan pendekatan bayani. Oleh karena teks yang dikaji itu adalah teks samawi (wahyu) yang menjadi sumber agama yang diturunkan dalam konteks tertentu, maka pemahaman tentangnya belum juga sempurna tanpa pendekatan 'irfani.


Pendekatan 'Irfani

Kata 'irfani (عرفاني) dari kata 'irfan (عرفان) artinya pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud di sini adalah pengetahuan ruhaniah atau sufistik.

Melalui pendekatan 'irfani, atau penerapan prosedur pengetahuan spiritual-intuitif, diharapkan dapat menangkap makna hakekat atau makna terdalam dibalik teks dan konteks. Jika perkiraan dasar bayani lebih melihat teks sebagai sebuah penomena kebahasaan, sementara burhani lebih melihat teks sebagai suatu yang berkaitan dengan konteks, maka 'irfani lebih melihat teks sebagai suatu simbol dan isyarat, yang menuntut ---melalui keinsafan batin yang mendalam dan sensifitas nurani yang kuat--- pembacaan dan penggalian makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat dalam teks dan konteks tersebut dengan melibatkan kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Dalam konteks dialektika agama dan ke-beragam-an seni, pendekatan 'irfani ini sebagaimana juga pendekatan burhani memiliki dua tugas:

  1. Membaca makna terdalam dari hukum simbol dan isyarat-isyarat teks keagamaan (an-nushush ad-diniyyah).
  2. Membaca makna-makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat yang terkandung dalam bentuk-bentuk seni budaya.

Ketiga pendekatan tersebut saling berkaitan erat antara satu dan yang lainnya (di dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah digambarkan sebagai spiral) dan membentuk hubungan dialogis melingkar (sirkuler dialektis): memahami teks keagamaan (bayani) tidak dapat dipisahkan dari pemahaman konteksnya (burhani), pemahaman konteks (burhani) tidak dapat lepas dari pemahaman teks itu sendiri (bayani), sementara pemahaman makna terdalam ('irfani), membutuhkan pemahaman teks dan konteks sekaligus.


Catatan:
Penulis mengutip tulisan ini (dengan sedikit melakukan penambahan narasi, tapi tetap mempertahankan isi) dari: PP Muhammadiyah, "Keputusan tentang Seni Budaya Islam" dalam Tanfidz Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 di Malang, 16 s.d. 19 Rabiulakhir 1431 H/ 1 .s.d. 4 April 2010 M, h. 111-112.

Gambar:
Pintu Padang, Kota Panyabungan, Kabupaten Madailing Natal. Gambar diambil saat masih di Panyabungan menuju Padang Sidempuan pada 18 September 2022.

TAUHID DAN PENDIDIKAN



Tauhid

Kata tauhid adalah bentuk kata benda (isim mashdar) dari wahhada. Wahhada sendirinya artinya mengesakan. Jadi makna bahasa tauhid adalah pengesaan. Maksudnya pengesaan Allah. Lawan kata tauhid adalah syirk (syirik) atau politeistik atau ateistik.

Makna tauhid dapat dilihat pada kalimatuttauhid, yaitu: لا اله الا الله (Tiada ilah selain Allah). Kalimat ini dimulai dari nafiy (peniadaan) dan selanjutnya itsbat (penetapan). Peniadaan itu membutuhkan perjuangan dan pengorbanan, sampai seorang Muslim benar-benar menjadi muslim yang hanif (hanifan musliman), yaitu muslim yang mukhlishina lahuddin (yang ikhlas menjalankan din al-Islam).

Menjadi Muslim yang hanif tentu tidak mungkin tercapai tanpa mengimani dan bersyahadah kepada Nabi dan Rasul Allah. Karena melalui manusia-manusia pilihan inilah Allah SWT menyampaikan dinullah (agama Allah). Itulah sebabnya, setiap wajib ber-syahadah kepada Allah dan Rasul-Nya: 

اشهد ان لا اله الا الله واشهد ان محمدا عبده ورسوله

(Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya).


Muslim

Dengan bersyahadat, maka kita menjadi Muslim. Muslim (pasrah atau tunduk kepada Allah), juga bermakna tunduk kepada hukum-hukum Allah (اسلم وجهه لله). Konsekuensi lebih lanjut ketundukan ini yaitu mengimani Kitab Allah, yaitu menjadikan Al-Quran sebagai way of life, petunjuk dan pembimbing seluruh aspek hidup dan kehidupan.

Al-Quran bagi seorang Muslim tidak saja mengandung petunjuk agama tapi juga petunjuk keilmuan dan peradaban.


Tauhid dan Pendidikan

Dalam KBBI pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang ataupun kelompok dalam upaya mendewasakan manusia melalui sebuah pengajaran maupun pelatihan. Kata pendidikan mengandung makna pengadaban, pencahayaan, atau pemanusiaan. 

(Sumber: Wahdi Sayuti, "Ilmu Pendidikan Islam: Memahami Konsep Dasar dan Lingkup Kajian" https://wahdi.lec.uinjkt.ac.id/articles/ilmupendidikanislam).


Dalam Islam, para Nabi dipandang sebagai murabbi, muaddib, muzakki, mu'allim, mudzakkir, mudarris dan sebagainya.

Salah satu ayat Al-Quran yang menjelaskan tugas Nabi dalam konteks pendidikan sbb:

هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُ مِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَا لْحِكْمَةَ وَاِ نْ كَا نُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ 

"Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata," (QS. Al-Jumu'ah 62: Ayat 2).


Tauhid sebagai Asas dan Filosofi Pendidikan Islam

Di atas dijelaskan bahwa tauhid (pengesaan Allah) menghendaki pemasrahan dan ketundukan yang ikhlas seorang Muslim kepada Allah. Dalam konteks pendidikan, sebagai konsekuensi logis ber-tauhid, seorang Muslim menjadikan wahyu Ilahi sebagai petunjuk pengembangan pendidikan.

Pada tingkat yang paling asasi, Allah menjadi ghayatuna wa hadafuna (orientasi dan tujuan kita). Dengan demikian keseluruhan aktifitas akal, jiwa dan jasad kita harus ditujukan kepada Allah. Hal ini sebagaimana pernyataan doa pembuka yang kita ucapkan dalam Shalat:

ان صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين

(Sesungguhnya Shalatku, pengorbananku, hidupku dan matiku untuk Allah, Tuhan semesta alam).

Dengan perspektif filosofi yang demikian, maka keseluruhan pemikiran, konsep, teori dan praktik pendidikan mesti diasaskan kepada nilai-nilai tauhid

Dari sisi konsep, kita perlu mendeduksi nilai-nilai tauhid dalam: 

  1. Filosofi dan paradigma pendidikan
  2. Perumusan visi, misi dan tujuan pendidikan
  3. Perumusan kurikulum pendidikan
  4. Perumusan konsep institusi pendidikan
  5. Perumusan konsep praktik pendidikan


Gambar:
Bunga Kamboja sedang mekar depan rumah di Perm. Sidimpuan Indah Lestari, Palopat PK, Padang Sidempuan.

ZIKIR SESUDAH SHALAT: IKHTIAR MEMAHAMI ASPEK 'IRFANI ZIKIR AYAT KURSIY DAN MU'AWWIDZAT



"Ketika seorang hamba masuk ke lubuk ma'rifat Ayat Kursiy, ia akan memperoleh secercah  cahaya pengetahuan 'irfani tentang Allah. Selanjutnya pengetahuan ini lebih dalam lagi ketika sampai ke lubuk Al-Ikhlas. Dari lubuk Al-Ikhlas seorang hamba lanjut berjalan menuju lubuk ma'rifat Al-Falaq dan An-Nas untuk memohon perlindungan Allah dari berbagai keburukan/kejahatan yang dapat menimpa diri sendiri."

Di antara ayat Al-Quran yang dititahkan oleh Rasulullah Saw., menjadi bacaan zikir sesudah shalat yaitu Ayat Kursiy (Al-Baqarah: 255) dan Mu'awwidzat (surat Al-Ikhlas, surat Al-Falaq dan surat An-Nas). Hal ini didasarkan kepada hadits-hadits berikut:

1. Hadis tentang Ayat Kursiy
Abu Umamah r.a., berkata, : Rasulullah Saw bersabda, " Barang siapa membaca ayat Kursiy pada setiap akhir shalat fardhu, tidak ada hal yang dapat mencegahnya untuk masuk surga sampai ia mati." (HR Thabrani).

Dalam Al-Mu'jam al-Kabir, III: 83, No. 2733, Thabrani meriwayatkan dari Ali lafal hadits berikut:

من قرا اية الكرسي فى دبر الصلاة المكتوب كان فى ذمة الله الى الصلاة الاخرى

Artinya:
Barang siapa membaca ayat al-Kursi sesudah shalat fardhu, dia berada dalam perlindungan Allah hingga shalat berikutnya.

2. Hadis tentang Mu'awwidzat
'Uqbah bin Amir berkata,"Rasulullah Saw., menitahkan kepadaku agar membaca mu'awwidzatain setiap selesai shalat. Sedangkan lafaz hadits riwayat Ahmad dan Abu Daud berbunyi, "Agar membaca mu'awwidzat". (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits yang diterima oleh 'Uqbah bin Amir Al-Juhani disebutkan bahwa Rasulullah menyuruh dan menuntun beliau untuk mengucapkan surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas. Setelah Nabi Saw., dan 'Uqbah selesai membacanya, Nabi bersabda: ما تعوذ بمثلهن احد (Tidak ada seorang pun [yang lebih baik] doa perlindungannya dari membaca mu'wwidzat). (HR An-Nasa'i).


Penjelasan lebih lanjut:

Ayat Kursi (Al-Baqarah: 255) mengandung pengetahuan yang amat penting dan mulia (asyraful ma'rifah) yaitu bahwa hanya Allah sematalah Ilah (sembahan). Tidak ada sembahan yang lain selain Allah. Ia hidup kekal dan terus-menerus mengurus makhluk-Nya tanpa tertimpa kantuk dan tidur sebagaimana dialami manusia. Ilah yang demikian ini adalah pemilik segala yang ada di langit dan di bumi. Ia tidak membutuhkan pertolongan (syafa'at) siapa pun. Ia justru pemilik syafaat itu. Tidak ada suatu makhluk pun baik dari kalangan jin dan manusia yang dapat memberi syafa'at (pertolongan) kecuali atas izin-Nya. Ilah ini juga mengetahui apa yang tampak dan tersembunyi dari makhluk-Nya. Tak ada seorang pun yang dapat menggapai ilmu-Nya kecuali hanya bagian yang Ia kehendaki. Kekuasaan-Nya seluas langit dan bumi. Tidak ada beban sedikitpun bagi-Nya untuk memelihara dan mengaturnya. Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Agung.

Setelah qalbu kita menyelam Kemahaagungan  Tuhan dalam lubuk 'irfani Ayat Kursiy, kita menyelam lebih dalam hingga ke lubuk Al-Ikhlas. Sesuai dengan nama lubuk ruhaniah yang disebut terakhir ini, di sini kita menemukan dan sampai pada pengetahuan (ma'rifat) ruhaniah yaitu tauhid yang murni. Ma'rifat kita tentang Allah di lubuk ini lebih ditegaskan lagi, bahwa Dia-lah Allah yang Ahad. Allah yang menjadi tumpuan dan tempat bergantung semua makhluk. Dia tidak beranak dan tidak pula dilahirkan. Dan tidak ada suatu wujud pun yang setara dengan-Nya. 

Dalam kondisi kemurnian tauhid ini, kemudian kita masuk ke lubuk Al-Falaq untuk bermohon kepada Allah, Tuhan yang menguasai fajar (Subuh), dari kejahatan makhluk, dari kejahatan yang muncul dari keadaan malam yang gelap gulita, dan dari kejahatan tukang sihir yang mengirim keburukan dengan cara menghembus buhul-buhul tali. Dan dari kejahatan pendengki apa bila ia dengki. Selanjutnya kita meneruskan permohonan dengan masuk ke lubuk An-Nas untuk memohon perlindungan kepada Allah, Tuhan manusia, Penguasa manusia, dan Sembahan manusia dari kejahatan setan yang membisikkan (baca juga: menginspirasikan) keburukan ke dalam dada manusia yang berasal dari kalangan jin dan manusia.

Insya Allah, jika kita sungguh dan khusyuk berzikir mengucapkan Ayat Kursiy dan Mu'awwidzat ini, maka sebagaimana sabda Rasulillah di atas, pintu surga yang disediakan Allah akan terbuka bagi kita, dan kita mendapat perlindungan dari berbagai kejahatan dari satu Shalat ke Shalat lainnya. Pun juga kita akan terlindung dari berbagai keburukan/kejahatan yang berasal dari manusia, jin dan makhluk lainnya yang dapat menimpa diri kita. Syarat pokok tentu kita harus terus berupaya melakukan tazkiyatun nafs (penyucian diri) sehingga kita sampai pada kemurnian tauhid dan selanjutnya Allah memberi kemudahan untuk masuk ke lubuk pengetahuan 'irfani (ma'rifat) zikir-zikir ayat Al-Qur'an dimaksud. Dalam kondisi ruhaniah demikian ini Allah tentu Maha Mendengar doa-doa kita. Allahu a'lam bi al-shawwab.

Gambar:
Jalan depan rumahku Perm. Sidimpuan Indah Lestari, Palopat PK, Padangsidimpuan 16 Sep 2022.

DESKRIPSI DATA KUALITATIF: BENTUK PENYAJIAN DATA KOK MASIH SEPERTI TUMPUKAN-TUMPUKAN MATERIAL BAHAN BANGUNAN?

"Pada tahap analisis dan penyajian data, seorang peneliti harus menunjukkan kemampuan dan kecerdasannya menarasikan data pada bab hasil penelitian dengan mengerahkan kemampuan the art of discribing data."

*****


Ibarat membangun rumah, sebagian penyajian data kualitatif Skripsi bahkan Tesis tampak masih seperti tumpukan material bahan bangunan. Data yang dikumpul masih teronggok di sana-sini dan belum dicampur, diaduk dan atau dibentuk untuk menghasilkan suatu bangunan rumah yang kokoh dan indah.  Pada hal data-data yang dihimpun semestinya diolah atau dianalisis hingga menghasilkan sajian deskripsi data yang terkonstruksi dengan baik dan menarik untuk dibaca. Pada tahap analisis dan penyajian data ini seorang peneliti harus menunjukkan kemampuan dan kecerdasannya menarasikan bab hasil penelitian dengan mengerahkan kemampuan the art of discribing data (seni mendeskripsi data).

Mendeskripsi data atau informasi penelitian membutuhkan kemampuan seni mengolah data hingga menjadi susunan kalimat-kalimat bermakna dan menarik yang empirik-interpretatif-objektif. Oleh karena itu tidak salah jika deskripsi data kualitatif disebut sebagai the art of describing data (seni mendeskripsi data). 

Berikut contoh deskripsi data yang masih seperti tumpukan material bahan bangunan:

Skripsi berjudul: "Problematika Orang Tua dalam Membina Ibadah Shalat Anak di Desa X Kabupaten Padang Lawas Utara". 

Pada Bab Hasil, penulis Skripsi ini telah mengklasifikasi dan memberi label kategorisasi dan klasifikasi datanya dengan baik. Label (penamaan) bagi problematika orang tua tersebut ia tuliskan menjadi 4 problem, yaitu:

  1. Problem Ekonomi
  2. Problem Penguasaan Pengetahuan Agama
  3. Problem Sosial-kultural
  4. Problem Modernitas
Masalahnya adalah proposisi (narasi) yang ditampilkannya untuk masing-masing problematika dimaksud belum tersusun dengan narasi yang indah dan enak dibaca. Mengapa demikian, karena data yang diperoleh tidak diolah dan dianalisis dengan baik. Implikasinya, data yang ada masih seperti tumpukan material bahan bangunan.

Narasi untuk "problem ekonomi" ia tuliskan dua tumpuk hasil wawancara sebagai berikut:

1) Ekonomi
Hasil wawancara dengan MAH mengatakan bahwa ia juga tidak mempunyai waktu luang untuk mendidik anak-anaknya, dikarenakan kesibukannya untuk mencari kebutuhan keluarganya. ...

Selanjutnya hasil wawancara dengan anak di Desa X dengan RN yang mengatakan "Orangtua yang kebanyakan menghabiskan waktu untuk bekerja untuk mencari nafkah dalam keluarga, sehingga saya jarang mendapatkan kesempatan untuk memperoleh bimbingan dari orang tua saya". (Skripsi, IAIN Padangsidimpuan, 2019, h. 68-69.)

Apa masalah proposisi (narasi) deskripsi data seperti ini?

  1. Peneliti belum menerapkan metode analisis data kualitatif yang ia pilih.
  2. Penarasian yang ditampilkannya baru seperti menumpuk-numpuk material bahan bangunan.
  3. Implikasinya, karena belum menerapkan the art of discribing data, maka deskripsi yang dibuat belum menjelaskan secara kritis-komprehensif-objektif-interpretif problem-problem yang ia maksud.
Bagaimana seharusnya?
Seharusnya data yang dikumpul direduksi dan didisplei dengan baik dan selanjutnya ditarik kesimpulan. 
Setelah semua hasil wawancara dan observasi ditranskrip ke dalam suatu form berbentuk tabel (tabel setidaknya berisi kolom: Hari/Tgl, Kegiatan, Transkrip Obs/Wwcr, Kode), selanjutnya peneliti mengolah dan menganalisis data yang termuat pada form transkrip dimaksud dengan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Menemukan "Satuan" (unit terkecil dalam data yang memiliki makna dan diperlukan dalam menjawab masalah penelitian).
  2. "Satuan" itu selanjutnya diberi "kode". Misalnya: "Ekn" untuk problem ekonomi. "Agm" untuk problem agama, "Mod" untuk problem modernitas, dllsb. Gunanya untuk memudahkan peneliti dalam menelusuri "satuan" yang terdapat dalam form transkrip hasil wawancara/ observasi.
  3. Membuat "Kategori". Caranya yaitu satuan-satuan yang memiliki makna yang sama atau menjelaskan objek yang sama (yang tadinya telah ditandai dengan kode, misalnya: "Ekn"), selanjutnya dikategorisasi. Sangat mungkin kategorinya itu bermacam-macam. Misalnya ada kategori masalah ekonomi petani, masalah ekonomi pedagang kecil, masalah ekonomi penyedia jasa, dan masalah ekonomi buruh/pekerja serabutan.
  4. Sintesisasi atau klasifikasi. Di tahap ini dicari kaitan antar kategori. Kategori berupa "masalah ekonomi petani, masalah ekonomi pedagang kecil, masalah ekonomi penyedia jasa, dan masalah ekonomi buruh/pekerja serabutan" dapat disintesisasi atau diklasifikasi menjadi "problem ekonomi keluarga".
Jika analisis data penelitian telah sampai pada tahap 4 ini, maka peneliti telah berhasil menemukan berbagai problem orang tua tidak optimal dalam membina ibadah shalat anak, salah satunya, misalnya "problem ekonomi keluarga" 

5. Menyusun deskripsi teoritis. 

Di bagian ini peneliti menarasikan dengan cerdas masing-masing problem orang tua dimaksud dengan berpijak kepada reduksi data yang ditunjukkan pada poin 1 s.d. 4. Di sinilah dibutuhkan kemampuan the art of discribing data  seorang peneliti, sehingga deskripsi naratifnya benar-benar komprehensif, radikal, sistematis, interpretif dan objektif. Bagian inilah selanjutnya dituangkan pada bab hasil penelitian.


Berikut contoh deskripsi/narasi data tentang "problem ekonomi keluarga" dalam membina ibadah shalat anak:


1. Problem Ekonomi Keluarga
Kehidupan ekonomi lemah adalah salah satu hambatan bagi orang tua dalam membina ibadah shalat anak di Desa X. Keluarga-keluarga miskin di desa ini tidak dapat berbuat optimal dalam mengasuh dan mendidik anak-anak mereka disebabkan kesibukan mencari nafkah. Ibu-ibu yang semestinya tinggal di rumah mengasuh dan mendidik anak, justru hari-hari mereka tersandra dengan pekerjaan membantu usaha suami di sawah, kebun karet, perburuhan sawit, jasa transportasi beca dan di tempat-tempat jualan.1] Keadaan ini terpaksa mereka jalani untuk membantu para suami memenuhi kebutuhan nafkah keluarga.2] Kondisi ini menyebabkan perhatian terhadap pendidikan anak  dalam keluarga sangat kurang, termasuk dalam hal pembinaan ibadah shalat anak.

Dalam beberapa kasus, orang tua petani miskin bahkan tidak pernah memeriksa keadaan shalat anaknya.3] Jangankan mengurusi shalat anak, shalat diri sendiri pun sering terlupakan.4] Dalam kasus buruh sawit, orang tua hanya sekedar mengingatkan untuk shalat atau bertanya apakah si anak shalat atau tidak. Orang tua pada kasus ini tidak sampai memeriksa apakah bacaan shalat anaknya sudah benar. Sementara orang tua di sektor pekerjaan beca bermotor, keadaannya lebih parah lagi. Jangankan mendidik ibadah anak, ibadah shalat Jum'at diri sendiri saja pun sering terlewatkan.5] ...dst... dst... dst...

 ______________ 

1. Observasi dan Wawancara...
2. Wawancara dan observasi...
3. Observasi...
4. Wawancara...
5. Observasi...

Dalam contoh di atas, kutipan wawancara tidak perlu ditampilkan. Karena narasi deskripsinya sendiri bersumber dari hasil wawancara dan observasi. Kutipan wawancara hanya perlu ditampilkan jika benar-benar dibutuhkan. Misalnya, dalam suatu penyajian data, peneliti khawatir bahwa pembaca akan meragukan kesahihan deskripsi datanya jika  data mentah wawancaranya tidak ditunjukkan. Jika masalahnya demikian, maka data mentah wawancara atau observasi perlu ditampilkan dalam deskripsi data. 

Akhir kata, untuk mengatasi kesulitan mahasiswa dalam deskripsi data kualitatif ini, sebagaimana disinggung pada bagian awal artikel ini, maka mahasiswa perlu diberi latihan-latihan menganalisis dan mendeskripsi  data. Mata kuliah yang bertujuan khusus untuk mengasah dan melatih kemampuan analisis dan deskripsi data ini tampaknya urgen diberikan sebelum mereka terjun melakukan penelitian.  Mata kuliah ini untuk menguatkan MK Metode Penelitian yang ada saat ini. Allahu a'lam.

ZIKIR SESUDAH SHALAT: PENJENJANGAN MAKNA TASBIH, TAHMID TAKBIR DAN TAHLIL (Bag. 3)



Pada artikel singkat bagian 2 sebelumnya dijelaskan bahwa berdasarkan persepsi dan pemahaman yang dapat ditarik dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, ternyata zikir tasbih 33x, tahmid 33x, takbir 33x dan ditutup (disempurnakan) dengan tahlil (la ilaha illallahu wahdahu la syarikalah...) memiliki penjenjangan makna. Hal ini lebih akan terpahami lagi jika lafaz-lafaz zikir dimaksud dipahami dalam hirarki (tingkatan) konsep takhalliy, tahalliy, dan tajalliy dalam tasauf.

Bagian 3 ini hanya sekedar menunjukkan bahwa selain lafaz-lafaz tersebut mengandung hirarki makna,  juga mengandung keterkaitan makna yang utuh dari lafaz yang satu ke lafaz berikutnya.

Berikut penjelasannya:

Pendakian pertama untuk mencapai kemerdekaan dari syirik adalah tasbih. Makna hakiki lafaz tasbih adalah pembersihan persepsi, pandangan dan pikiran hamba dari syirik. Ingat firman Allah: Subhanallahi 'amma yusyrikun (Maha Suci Allah dari segala yang mereka persekutukan). Seorang hamba yang sudah berhasil membersihkan dirinya dari segala persepsi, pandangan, pemikiran dari syirik dengan melafazkan tasbih (subhanallah) dengan sempurna (memahami hakikatnya), maka kondisi ini akan membuka pintu baginya ke maqam (posisi, tingkatan) syukur dengan melafazkan tahmid (alhamdulillah). Sebaliknya jika tasbih ini belum berhasil membersihkannya dari syirik, maka ia tidak akan sampai ke hakikat tahmid, yaitu syukur.

Selanjutnya, hamba yang berhasil mencapai tahmid (lafzhan wa ma'nan= lafaz dan maknanya) ini, yang ditandai dengan terbentuknya kesadaran insaninya sebagai 'abdan syakura (hamba yang bersyukur), maka jalan pendakiannya akan sampai ke tingkat kemerdekaan dan kebebasan yang sempurna dari segala kemusyrikan, sehingga menjadilah sebagai hamba Allah yang hanif (hanifan musliman= Muslim yang lurus) dan hamba yang ikhlas (mukhlishina lahu ad-dina). Pada kondisi demikian inilah ---secara tepat dan utuh--- ia dapat naik dan sampai pada maqam takbir dengan mengucapkan lafaz Allahu Akbar. Takbir merupakan simbol kemenangan dan kebebasan dari syirik. Takbir juga simbol kesadaran bahwa setiap hamba bergantung secara total kepada Allah SWT. Lebih dari itu, takbir juga simbol keberanian mencegah keburukan dan menegakkan kebenaran

Ucapan pamungkas hamba-hamba Allah yang telah sampai ke maqam (tingkatan) takbir ini adalah lafaz tahlil berikut ini: La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa 'ala kulli syai'in qadir (Tiada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dialah yang memiliki segala kekuasaan, dan Dia pula yang memiliki segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu).

Lafaz tahlil dimaksud dapat dimaknai sebagai lafaz proklamasi kemerdekaan hamba dari segala bentuk syirik baik khafiy (halus, tersembunyi) maupun jaliy (jelas, terang-terangan). 

Hamba-hamba Ar-Rahman yang membaca zikir tasbih, tahmid, takbir dan tahlil ini --- tentu saja dengan tadharru', khufyah, khauf dan thama'--- maka dosanya diampuni meskipun sebanyak buih di lautan. (HR Muslim dan Ahmad). Allahu a'lam bi al-shawwab.

Catatan

tadharru' (rendah hati), khufyah (lemah lembut), khauf (rasa takut), dan thama' (penuh harap).

Gambar

Bersama Rektor dan dua Musyrif Ma'had Al-Jami'ah di Mesjid Ulul Ilmi UIN Syahada Padangsidimpuan selepas shalat Zuhur 29 Agustus 2022.


SHALAT MEMBAWA KEPADA PENGETAHUAN 'IRFANI



"Bagaimana tidak membawa kepada pengetahuan 'irfani? Bukankah Shalat berisi lafaz-lafaz pilihan yang bersumber dari wahyu dan mengandung makna ruhaniah yang amat sangat dalam?"


Shalat yang terdiri dari gerakan dan lafaz bacaan tertentu yang masyru' (disyari'atkan), jika dikerjakan dengan sungguh dan konsisten sepanjang hayat akan mengantarkan setiap mukmin kepada taqarrub (kedekatan ruhaniah) yang semakin dekat dengan Allah SWT. Suatu bentuk kedekatan yang tidak dapat dilambangkan dan dijelaskan secara empirik dan  rasional. Bertalian dengan kedekatan itu, seorang mukmin juga memperoleh pengetahuan 'irfani (pengetahuan ruhaniah tentang Allah) yang semakin dalam. Pengetahuan jenis ini berupa pengetahuan yang perolehannya melalui qalbu (hati) yang suci tentang Kemahabesaran, Kemahasucian, Kemahaagungan Allah SWT, dan keindahan nama-nama Allah lainnya sebagaimana terangkum dalam Asma' al-Husna (nama-nama Allah yang indah).

Shalat, setelah kita mengikhlaskan hati untuk menyembah Allah semata (yang juga bermakna membersihkan hati dan jiwa dari segala kesyirikan dengan cara pemasrahan diri yang tulus dan total kepada Allah), maka dimulailah amaliyah shalat dari berdiri tegak menghadap Kiblat dengan mengucapkan lafaz takbir, Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Ketika seorang hamba ('abid) mengucapkan takbir, maka nalar-pikirnya berjalan menuju lubuk ruhani sehingga terbentuklah pemahaman 'irfani yang indah-berseri tentang Kemahabesaran dan Kemahaagungan Allah SWT. Takbir ini diulang berkali-kali setiap shalat fardhu maupun sunnat. Pengucapan berulang-ulang takbir ini dengan tadharru' (rendah hati) dan khufyah (lemah lembut) tentu akan semakin menghunjamkan nalar 'irfani seorang yang beribadah terhadap Kemahabesaran Allah SWT. Pada saat yang sama, seorang hamba pun semakin menyadari betapa kecil, kecil dan sangat kecil serta tidak berdayanya dia di hadapan Allah Yang Maha Besar dan Maha Agung.

Setelah bertakbir, seorang hamba dituntun membaca doa iftitah yang penuh makna, seperti, Allahu Akbar kabira, Wajjahtu atau Allahumma ba'id. Doa "Wajjahtu" menegaskan arah dan tujuan hidup kita hanya kepada Allah. Doa ini juga menyadarkan pikiran, jiwa dan hati kita untuk berpasrah diri yang ikhlas hanya kepada Allah. Shalat, pengorbanan, hidup dan mati kita hanya untuk Allah. Kita juga menegaskan bahwa tidak ada syerikat bagi Allah dan kita tegak lurus dengan perintah ini, sehingga kita pun selanjutnya menyatakan dengan yakin bahwa kita bagian dari hamba Allah yang patuh, tunduk dan berserah diri kepada-Nya (wa ma ana minal muslimin). Tak hanya sampai di situ kita pun memohon agar semua dosa kita diampuni, juga ditunjuki kepada akhlak terbaik, dan kita tutup wajjahtu ini dengan pernyataan ruhaniah bahwa kita datang memenuhi seruan Allah untuk senantiasa bersama Allah serta memohon ampun dan bertobat kepada-Nya. (Lafaz Wajjahtu yang lengkap dapat dilihat dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim). 

Doa wajjahtu ini diajarkan oleh Rasulullah seiring dengan diturunkannya wahyu yang mengajarkan tentang tauhid yang ikhlas dan hanif. Secara sosiologis, wahyu ini ini turun dalam konteks dakwah Nabi berhadapan dengan kemusyrikan kaum Jahiliyah Makkah. Oleh karena itu, wajjahtu ini terasa sangat relevan dibaca saat-saat kondisi hidup kita berhadapan dengan kesyirikan atau kita berada di tengah manusia yang menyembah tuhan-tuhan selain Allah.

Bagi hamba yang membaca Allahumma ba'id, di sini ia bermohon kepada Allah agar dijauhkan dari dosa-dosa sejauh-jauhnya sebagaimana jauhnya Timur dan Barat, juga dibersihkan dan disucikan dari segala kotoran dosa dimaksud, sehingga ia dapat benar-benar menjadi hamba yang bersih dari segala dosa di hadapan Allah. Doa ini diduga kuat (hanya Allah yang tahu) diajarkan oleh Rasulullah setelah hijrah. Yakni saat orientasi dakwah beliau sudah bergeser kepada pembinaan kualitas keagamaan ummat. Pada masa-masa seperti ini, tampaknya beliau dengan para sahabat tidak lagi fokus untuk  konfrontasi dengan kemusyrikan.  Dengan demikian Allahumma ba'id ini tampaknya sangat relevan dibaca oleh hamba yang berupaya untuk fokus pada tazkiyatunnafsi (penyucian jiwa). 

Tunjukan utama kedua do'a iftitah ini, yang pertama adalah suatu pengetahuan 'irfani menjadi Muslim yang hanif (lurus) dan bersih dari dosa syirik, dan kedua adalah Muslim yang suci bersih dari segala dosa. Pengulangan yang terus menerus terhadap masing-masing doa iftitah ini akan membawa nalar spiritual seorang hamba kepada pemilikan pengetahuan tentang makna kehanifan dan kesucian yang semakin nyata dan dalam.

Demikianlah selanjutnya perjalanan shalat kita yang sarat dengan lafaz bacaan yang penuh makna pada semua fase perhentian gerakan shalat (thuma'ninah), hingga kita akhiri dengan salam. Susunan dan letak setiap lafaz bacaan shalat itu tentu saja memiliki kedalaman dan keindahan maknanya sendiri-sendiri. Keseluruhannya mengantar setiap hamba yang khusyuk kepada puncak pengetahuan 'irfani (ma'rifatullah). Jika hamba semakin khusyuk dalam Shalat, maka pintu-pintu ma'rifatullah (pengetahuan tentang Allah) semakin terbuka lebar, dan pendakian ruhaniahnya pun akan semakin tinggi hingga semakin dekat dengan Allah SWT. Allahu a'lam bi al-shawwab.

Gambar : 

Atas : Rapat Koordinasi Pelaksanaan Anggaran

Bawah: Monitoring Perkuliahan hari pertama. .

(Kedua kegiatan ini dilaksanakan pada 01 September 2022)


DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...