SUNGGUH, TIDAK BENAR SIKAP SEORANG ULAMA JIKA MEMANDANG HANYA PEMAHAMAN DIRI ATAU GOLONGANNYA YANG BENAR



"Penulis menyaksikan terjadi pembenaran yang sudah kelewat batas tentang klaim ahlus sunnah wal jama'ah masing-masing golongan di Negeri yang berfalsafah Pancasila ini. Hal ini tampak dibenarkan juga oleh Prof. Ahmad Zahro, ulama Nahdlatul Ulama di Surabaya, Jawa Timur. Akibat klaim ini tampak masing-masing kelompok sudah menutup diri terhadap kebenaran yang ada di pihak lain."

*******

By Anhar & Nur Azizah

Dampak paling buruk dari sikap berpikir yang memandang hanya pemahaman sendiri atau golongan sendiri yang benar adalah "pengagungan terhadap pemahaman diri sendiri" atau "pengagungan terhadap pemahaman golongan sendiri". Dinyatakan demikian karena sikap ini akan menafikan atau merendahkan keyakinan terhadap salah satu sifat Tuhan yaitu Maha Mengetahui ('Alim). Bukankah Allah 'Azza wa Jalla yang Maha Mengetahui segala sesuatu? Setiap ulama, mestinya sadar se sadar-sadarnya bahwa hanya Allah Yang Maha Tahu (Allahu a'lam), dan ilmu Allah jualah (berupa ayat-ayat Nya) yang pantas diagungkan. Manusia hanya dianugerahi pengetahuan dengan kapasitas yang sangat sedikit (wa ma utitum minal 'ilmi illa qalila [QS 17:85]). 

"Pengagungan pemahaman" secara hakiki sama saja maknanya dengan "penyembahan pemahaman". Setiap "penyembahan", apa pun bentuknya kepada selain Allah SWT tentu saja perwujudan dari kemusyrikan. Lebih parah lagi, orang yang memutlakkan pemahaman sendiri ini dapat jatuh kepada perilaku buruk yaitu meremehkan, bahkan lebih jauh mempersekusi/menindas mereka yang berbeda pemahaman. Jika sudah demikian, maka mata hati seorang ulama akan tertutup dari cahaya kebenaran yang berasal dari luar golongannya.

Pengetahuan setiap orang tentang ilmu Allah ---siapa pun ulamanya di muka bumi ini--- bersifat relatif. Hal ini berarti, tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang ilmunya sampai kepada kemutlakan pengetahuan. Bahkan para Nabi sendiri pun sangat amat sadar dengan kekurangan dalam ilmu dan amal. Itulah sebabnya, mengapa Nabi kita Muhammad Saw senantiasa memperbanyak istighfar dan ummatnya juga disuruh memperbanyak istighfar. Hal lain, para Nabi menunjukkan sikap tawadhu' (merendah) atas ilmu dan amal, dan setiap muslim juga dituntut untuk tawadhu' atas ilmu dan amal yang tidak seberapa di hadapan Allah SWT.  

Sikap tawadhu' inilah yang membuat seorang muslim, apa lagi seorang ulama, tidak akan meremehkan pemahaman dan pengamalan orang lain yang berbeda. Dengan kesadaran atas sifat relatif pemahaman tentang ilmu dan amal yang dimiliki, maka ia akan melihat bahwa pada orang atau golongan lain pun ada kebenaran.


Hal Mengkhawatirkan Saat ini

Penulis menyaksikan terjadi pembenaran yang sudah kelewat batas tentang klaim ahlus sunnah wal jama'ah masing-masing golongan di Negeri yang berfalsafah Pancasila ini. Hal ini tampak dibenarkan juga oleh Prof. Ahmad Zahro, ulama Nahdlatul Ulama di Surabaya, Jawa Timur. Akibat klaim ini tampak masing-masing kelompok sudah menutup diri terhadap kebenaran yang ada di pihak lain. 

Penomena mengkhawatirkan yang tampak dipermukaan masa ini, yaitu bagaimana masing-masing golongan yang memandang diri sebagai "ahlus sunnah waljama'ah yang lurus" menyebut kelompok lain sebagai kelompok yang sesat dan perusak agama. Saling membalas dengan julukan sesat di dunia maya dan dunia nyata pun tak terhindarkan. Lebih dari itu, persekusi mayoritas ke minoritas di internal umat ini pun terjadi di berbagai tempat.

Lebih disayangkan lagi, saling menyesatkan ini dipimpin oleh sejumlah ulama yang dipandang masyarakat telah memiliki ilmu keagamaan yang mumpuni. Pada hal semestinya mereka ini membimbing masyarakat untuk beragama berbasis ilmu, bukan berbasis isme keagamaan yang fanatik tulen.

Fakta di tengah masyarakat, lihatlah bagaimana golongan yang disebut-sebut "Salafi-Wahabi" menyebut kelompok lain sesat, sebaliknya golongan yang disebut sesat itu pun membalas lebih keras lagi, yaitu melemparkan tuduhan sesat itu kembali kepada "Salafi-Wahabi" serta mempersekusi ulama-ulamanya di berbagai tempat.

Jika kondisi yang mengancam ukhuwah ini dibiarkan terjadi, maka konflik fisik antar golongan sangat mungkin terjadi. Dan kondisi demikian ini tentu akan melemahkan kekuatan umat Islam, dan akan semakin sulit untuk menyatu dan bangkit maju bersama membangun peradaban di bumi Nusantara ini.  


Marilah Beragama Berbasis Ilmu

Beragama berbasis isme golongan (mazhab atau jam'iyah) adalah baik dan banyak keutamaannya, bahkan sebenarnya didorong oleh agama. Hanya saja, kecintaan kita kepada mazhab atau suatu jam'iyah jangan sampai membuat kita menutup mata terhadap kebenaran yang ada pada mazhab atau jam'iyah lain. Jika kita menutup mata terhadap kebenaran di pihak lain, samalah artinya kita mengagungkan atau mengkultuskan mazhab atau jam'iyah sendiri.

Saya ingin menyebut contoh, yaitu adanya penomena sebagian umat ini mempersekusi kelompok yang menyebut acara Maulid Nabi sebagai bid'ah tanpa mempelajari latar belakang keluarnya statemen hukum bid'ah itu. Pada hal statemen bid'ah itu pada mulanya diberikan kepada kegiatan Maulid di masa lalu yang konten acaranya mengandung pemujaan kepada selain Allah, misalnya adanya sesajen yang diperuntukkan kepada makhluk halus yang dipandang memiliki kekuatan gaib. Atau adanya pengagungan yang berlebihan terhadap benda-benda bersejarah yang ada kaitannya dengan Rasulillah Saw.

Demikian pula saat artikel ini ditulis, tampak sejumlah ulama populer dengan kompak menyatakan bahwa shalat Tarawih 11 rakaat itu tidak sejalan dengan pemahaman Fiqh Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dan kata mereka tidak ada satu mazhab pun yang berpendapat dan melakukan shalat Tarawih 11 rakaat. Pernyataan ini dikeluarkan tanpa melakukan kajian yang serius terhadap historisitas Sunnah Shalat Tarawih pada masa Nabi Saw masih hidup dan pada masa Khulafa' al-Rasyidin. Akibatnya hadis-hadis shahih yang secara sharih menyebut shalat malam Nabi di bulan Ramadhan dan di luar bulan Ramadhan tidak melebihi 11 rakaat, tampak terabaikan. Pengabaian ini tampak sekali karena kepentingan mempertahankan cara pandang mazhab atau jam'iyah yang dipelihara turun-temurun. 

Di sisi lain, ada pula golongan yang menyatakan bahwa shalat Tarawih yang melebihi 11 rakaat tidak memiliki dasar Sunnah sama sekali. Pernyataan ini dikeluarkan tanpa mencoba mencari tahu proses-proses historis hukum mengapa terjadi perubahan dari 11 menjadi 23, selanjutnya menjadi 36, dan kembali lagi menjadi 23. Juga, tidak pula mencari tahu bagaimana paradigma berpikir dan metodologi hukum yang menjadi pijakan pandangan hukum fiqh yang terakhir ini. Tak pelak, pernyataan ini dipandang keterlaluan oleh golongan yang berbeda karena tampak menafikan pemahaman dan pengamalan dalam mazhab-mazhab hukum fiqh yang sudah mapan.


Kata Penutup

Marilah para ustadz dan ulama ummat ini saling membuka diri. Hentikan saling tuduh sesat. Mari saling menghormati pemahaman masing-masing dan berfastabiqul khairat dalam memahami dan mengamalkan agama Allah ini. Kembalikanlah urusan kita kepada Allah, karena Allah jualah nanti yang akan menunjukkan siapa di antara kita yang terbaik amal keagamaannya. Wallahu a'lam.


Gambar: 

Foto bersama usai peringatan Hari Santri 22 Oktober 2022 di Lapangan Upacara UIN Syahada Padangsidimpuan.

PENCARIAN KEBENARAN SEPANJANG HAYAT ADALAH UNJUK KEHANIFAN ILMUAN MUSLIM



Tugas kita sebagai ilmuan dan pelajar muslim adalah mencari kebenaran sepanjang hayat. 


Pada hakikatnya, secara ruhaniah dan intelektual, seorang Muslim wajib melakukan pencarian kebenaran terus-menerus. Ia tidak boleh jalan di tempat (stagnan), apa lagi mundur. Jalan di tempat (stagnan) dan mundur sama-sama berbahaya bagi perkembangan ruhaniah dan intelektual setiap orang.

Mereka yang stagnan, dapat jatuh kepada pandangan bahwa jalan pencariannya sudah final atau kondisi ruhaniah dan intelektualnya sudah sempurna. Selanjutnya sikap demikian ini dapat jatuh kepada sikap claim of truth (klaim kebenaran), misalnya hanya saya atau kelompok kami yang benar. Selain saya atau kelompok kami pasti salah. Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa orang seperti ini akan jatuh kepada absolutisme (pemutlakan) pandangan atau pemahaman sendiri. Absolutisme pada hakikatnya adalah kepatuhan secara mutlak kepada pemahaman sendiri dengan menutup diri rapat-rapat kepada pemahaman yang berbeda. Pada haikikatnya, hal ini sama dengan penyembahan pemahaman sendiri. 

Dampak absolutisme pemahaman, malah bisa lebih parah yaitu bisa mejadi penentang kebenaran dan menjadi musyrik.

Untuk lebih jelas, di sini dicontohkan pencarian tentang Shalat. Dalam hal shalat ini boleh jadi seseorang merasa ia telah memahami aspek fiqh Shalat dengan baik. Ia telah mengetahui rukun, syarat, dan sunnat Shalat. Ia juga mengetahui kaifiayat, juz'iyyat, dan hai'at Shalat. Tepatkah jika seorang Muslim berpuas diri dengan hanya mengetahui aspek fiqh ibadah Shalat saja? Tentu saja tidak, karena di atas aspek fiqh adalagi aspek burhani (aspek rasional, ilmiah dan filosofis) ibadah Shalat. Aspek rasional, ilmiah, dan filosofis itu misalnya makna-makna induktif dari lafaz-lafaz yang dibaca saat Shalat. Begitu pula bukti-bukti rasional ilmiah bahwa Shalat mencegah perbutan keji dan  munkar. Selanjutnya, jika aspek rasional, ilmiah dan filosofis itu dipandang telah tercapai, maka masih adakah aspek Shalat yang perlu dicari? Jawabannya tentu saja ada, yaitu aspek 'irfani (aspek ruhaniah) ibadah Shalat. Aspek terakhir ini sangat dalam tak berdasar dan sangat luas tak bertepi. Aspek Shalat yang terakhir ini disebut juga aspek sufistik Shalat. 

Penolakan terhadap suatu pemahaman lebih sering terjadi karena kita tidak tahu aspek historis mungaktualnya (menyejarahnya) pemahaman itu di tengah masyarakat, dan begitu pula dengan metodologi keilmuan yang mendasarinya. Sekiranya dua hal ini diketahui dengan baik, maka sikap saling menoleransi akan muncul.

Mari kita ambil contoh kebiasaan Tahlilan yang dilakukan di rumah keluarga yang kemalangan. Profesor Ahmad Zahro menjelaskan bahwa Tahlilan ini tidak muncul begitu saja tanpa ada yang melatarinya. Di awal kemunculannya, Tahlilan adalah bagian dari strategi dakwah Sunan Kali Jaga dalam islamisasi di Jawa, khususnya Yogyakarta dan sekitarnya. Menurut Zahro, kala itu Sunan Kali Jaga mendapati masyarakat Jawa yang beragama Hindu sarat dengan ritual agama yang penuh mantra-mantra, di antaranya adalah mantra-mantra menghadapi kemalangan. Oleh karena itu, agar Islam dapat diterima dengan mudah, maka perlu suatu strategi bersifat kultural dengan cara menyuguhkan ajaran Islam menghadapi kemalangan yang diharapkan lebih baik dari agama Hindu. Alhasil, Sunan Kali Jaga menyuguhkan suatu bentuk ritual kemalangan pengganti ritual agama Hindu yaitu Tahlilan sebagai mana yang dikenal luas hingga saat ini. Dengan tahlilan, maka Sunan Kali Jaga berhasil menggantikan mantra-mantra Hindu dengan kalimat zikir dan do'a. Patut direnungkan, jika bukan dengan strategi islamisasi kultural dengan cara "tahlilan" ini, maka boleh jadi Islam akan sulit diterima oleh masyarakat Jawa-Hindu di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Dengan demikian strategi dakwah yang bersifat akomodatif, adaptasi dan modifikasi menjadi pilihan cerdas berdakwah secara kultural di masa itu.

Begitu pun, tentu proses islmiasasi ini tidak boleh dipandang final. Jika pada aspek kuantitas sudah berhasil dan nyaris sempurna, maka islamisasi selanjutnya harus disempurnakan pula pada aspek kualitas keislaman. Aspek kualitas ini berupa aspek rasional-filosofis (burhani) dan aspek ruhaniah-sufistis ('irfani). Kualitas keislaman setiap orang mesti berproses menuju kualitas penghayatan sebagaimana perspektif pokok para sahabat (ashhabu Rasulillah), dan lebih jauh tentu sebagaimana inner perspective (perspektif pokok) Rasulillah Saw sendiri. Dalam hal ini patut mempertimbangkan gerakan pengilmuan Islam (ilmuisasi Islam) yang dianjurkan oleh Profesor Kuntowijoyo, yaitu suatu gerakan beragama berbasis ilmu.

Lebih kongkret, dalam konteks pencarian kebenaran sepanjang hayat ini, maka bentuk dan esensi berislam Rasulillah dan para sahabat mesti menjadi idealitas, standar, dan batu uji bagi keislaman kaum muslimin hingga akhir zaman. Allahu a'lam.

Gambar: 
Di Krabi-Thailand 23 Februari 2023. Dari kiri ke kanan: Penulis (Dr. Anhar), Dr. Mhd. Darwis Dasopang, Prof Hafiz Zakaria (Malaysia), dan Dr. Erawadi.

MEMBACA PANDANGAN SUFI TENTANG HADIAH PAHALA KEPADA YANG SUDAH WAFAT DARI SISI PANDANG PENULIS SEBAGAI WARGA MUHAMMADIYAH


"... satu hal yang sangat penting digarisbawahi yaitu umat Islam tidak boleh saling menyalahkan tentang keabsahan pengamalan masing-masing golongan. Hal pokok yang penting disemarakkan adalah ber-fastabiqul khairat dalam berilmu dan beramal. Jadi, mari kita saling bertausiyah dalam konteks fastabiqul khairat dan berlomba-lomba siapa yang paling baik amalnya. Karena semua perbedaan ini adalah ujian bagi kita untuk pembuktian siapa di antara kita yang paling baik amalnya (liyabluyakum ayyukum ahsanu 'amala)."
*******

By: Anhar & Nur Azizah

Penalaran agama mengalami perkembangan pesat pasca generasi salaf. Dalam bidang fiqh ibadah, perkembangan dimaksud tidak saja dalam aspek pemikiran esensi fiqih ibadah, bahkan lebih jauh tentang aspek bentuk dalam ibadah. Lebih kongkret, contoh perkembangan dimaksud misalnya munculnya amalan takziah kematian yang bentuk dan tata caranya belum ada pada masa Rasulillah dan para sahabat seperti Tahlilan kematian, kenduri untuk yang sudah wafat, dan sebagainya. Pertanyaan yang sering muncul terhadap masalah seperti ini misalnya bagaimana kemunculan bentuk zikir Tahlilan ini. Apakah zikir Tahlilan ini muncul karena adaptasi Islam yang datang dengan tradisi lokal yang sudah ada. Lebih jauh, apakah bentuk Tahlilan demikian bagian dari Sunnah. Apakah pahala bacaan tahlil dan bacaan lainnya yang diniatkan sampai kepada orang yang dituju.

Terhadap masalah hadiah pahala, ulama tarekat (sufi) melihat dengan cara berbeda dengan ulama-ulama fiqh. Para sufi lebih jauh menggunakan pengalaman dan penalaran batin dalam memahami persoalan hadiah pahala ini. Tak heran jika dalam penjelasan mereka muncul kalimat, misalnya "Aku sudah melihat dalam mimpi bahwa guruku (yang sudah wafat) berkata, "Pahala bacaan yang kamu kirim telah sampai kepadaku." Atau misalnya lagi ada kalimat, "Aku melihat dalam mimpi bahwa ayahku yang sudah wafat memintaku untuk terus mengirimkan Al-Fatihah setiap selesai shalat fardhu", dan seterusnya, dan seterusnya.

Pernyataan-pernyataan demikian ini konsisten dengan pandangan-pandangan dasar banyak sufi bahwa secara hakiki "pewahyuan" melalui ilham ruhaniah yang suci dalam ilmu agama Islam itu masih dan akan terus berlangsung melalui orang-orang yang taqarrub-nya sangat dekat kepada Allah. Perlu ditegaskah bahwa "pewahyuan" di sini tidaklah mereka pahami sebagaimana turunnya wahyu kepada para Nabi. Tapi hanya ilham keagamaan yang memperkuat pengetahuan terhadap Al-Qur'an dan Sunnah. Di sisi lain, mereka juga meyakini bahwa periwayatan hadis secara batini dari Rasulullah Saw masih akan terus berlangsung hingga akhir zaman. 

Pada tingkat permukaan, pandangan sufi ini tampak bertentangan dengan penjelasan zhahir ayat Al-Quran bahwa pewahyuan ilmu agama berikut periwayatan Hadits telah berakhir seiring dengan telah sempurnanya risalah keislaman yang dibawa oleh Khatamun Nabiyyin Muhammad Rasulillah Saw.

Pandangan Berbeda
Di sisi lain, tidak pula sedikit ulama yang dikenal kesufiannya yang konsisten dengan pandangan umum ayat Al-Quran bahwa masa pewahyuan risalah keislaman telah berakhir dengan wafatnya Nabi terakhir Muhammad Saw. Ulama pada kelompok ini berpandangan bahwa ilham keilmuan yang mereka peroleh secara batini tidaklah berlevel syar'i, meskipun ia mendapatkannya melalui mimpi dari Nabi Saw. Katakanlah misalnya ia mendapatkan pengajaran zikir dari Rasulullah dalam mimpi dimaksud. Ia menyikapi pengajaran zikir demikian ini sebagai ilmu yang bersifat khusus buat dirinya saja. Ia takut kepada Allah, kalau-kalau diajarkan kepada orang lain justru akan mengangkangi kesempurnaan syariat yang telah selesai perisalahannya. Sikap demikian ini ---hemat penulis---  sangat jelas pada ulama besar seperti Imam Ghazali dan ulama-ulama sufi lain yang mementingkan pemaduan syari'at dan hakikat.

Pandangan yang Penulis Pilih
Penulis mengerti, tidak sedikit ulama besar dan sangat dihormati yang memiliki pandangan bahwa Tahlilan, kenduri meninggal, dan lain-lain adalah amalan yang benar-benar syar'i dan disebut mendapat pembenaran secara esensial dari Sunnah Nabi dan juga pembenaran secara ruhaniah melalui mimpi dari Rasulillah Saw. Dan mereka berpandangan bahwa amalan-amalan ini adalah sarana (wasilah) untuk membantu yang sudah wafat dengan hadiah pahala. 

Sebagai orang awam dalam ilmu agama, penulis lebih sependapat dengan pandangan para ulama yang memiliki sikap bahwa pensyariatan agama telah sempurna secara verbal dan esensial. Ada pun ilmu yang diperoleh dari balik tabir, misalnya melalui mimpi bertemu Rasulullah Saw, maka ilmu ini bersifat pribadi (khushushiyyah) dan tidak untuk diberlakukan menambah konsep keilmuan agama yang pijakannya sudah ada pada Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Atas dasar pandangan demikian, maka penulis mengikuti pendapat yang berpendirian bahwa segala amalan yang berkategori ibadah seperti cara/kaifiat tahlil dan tujuan tahlil mestilah mengikuti pandangan asasi yang diwariskan oleh Nabi Saw dan para sahabat. Jika dalam spektrum pemahaman yang diwariskan oleh para sahabat tampak bahwa tahlil ditujukan bukan untuk sarana mengirim hadiah pahala, maka hemat penulis lebih baik untuk memosisikan tahlil tetap sebagai sarana masing-masing kaum beriman untuk taqarrub kepada Allah (zikrullah), atau sarana lain yang diajarkan secara jelas dalam Sunnah, misalnya sarana untuk menuntun orang yang sakaratul maut menghembuskan nafas terakhir.

Dengan demikian, penulis tidak memilih pemahaman tentang tahlil yang berbeda dan di luar spektrum wawasan dan pemahaman era Sahabat Rasulillah.

Penutup
Begitu pun, satu hal yang sangat penting digarisbawahi yaitu umat Islam tidak boleh saling menyalahkan tentang keabsahan pengamalan masing-masing golongan. Hal pokok yang penting disemarakkan adalah ber-fastabiqul khairat dalam berilmu dan beramal. Jadi, mari kita saling bertausiyah dalam konteks fastabiqul khairat dan berlomba-lomba siapa yang paling baik amalnya. Karena semua perbedaan ini adalah ujian bagi kita untuk pembuktian siapa di antara kita yang paling baik amalnya (liyabluyakum ayyukum ahsanu 'amala). Allahu a'lam.

Gambar:
Cuplikan gambar saat perjalanan darat dari Patani-Thailand menuju Penang-Malaysia 26 Februari 2023.

YAKINLAH, PERBEDAAN PEMAHAMAN DAN PENGAMALAN KAUM MUSLIMIN ITU RAHMAT ALLAH



"Bayangkan, bagaimana kalau perbedaan pemahaman dan pengamalan tidak ada? Jika perbedaan tidak ada, maka yang akan berlaku adalah supremasi orang pintar kepada orang awam. Dalam bahasa yang agak kasar, yaitu penindasan intelektual orang pintar kepada orang awam."

*******

Bayangkan, bagaimana kalau perbedaan pemahaman dan pengamalan tidak ada? Jika perbedaan tidak ada, maka yang akan berlaku adalah supremasi orang pintar kepada orang awam. Dalam bahasa yang agak kasar, yaitu penindasan intelektual orang pintar kepada orang awam. Bahkan bisa lebih parah, yaitu pengkultusan dan pengagungan ---yang bahkan dapat melampaui batas--- dari orang-orang awam kepada orang pintar. 

Jika perbedaan tidak ada, maka setiap orang tidak lagi mempunyai pilihan atau alternatif. Dalam kondisi ketiadaan pilihan inilah orang-orang yang menganggap dirinya lebih pintar akan "menindas" pemikiran orang-orang awam.

Dengan adanya perbedaan, maka akan terjadi fastabiqul khairat (perlombaan melakukan kebaikan). Dengan demikian, perbedaan akan melahirkan dinamika berpikir yang produktif. Di sini terdapat ruang kebebasan bagi akal manusia dalam mencari dan menentukan kebenaran. Akal-pikiran setiap orang akan tertantang untuk terjun dalam pusaran dinamika intelektual dalam pencarian kebenaran dimaksud.


Dalam Perbedaan akan Terbukti Seberapa Tinggi Adab Orang Pintar

Perbedaan akan menjadi tantangan adab bagi orang pintar. Akan tampak apakah ia memandang pemahaman atau pengamalannya paling benar. Akan tampak pula bagaimana sikap yang ditunjukkan dalam merespon perbedaan. Apakah ia akan mencela, atau lebih jauh, apakah ia akan jatuh kepada orang yang suka menyebut orang lain sesat. 

Ketahuilah, jika ada orang pintar memandang bahwa dirinya paling benar dan paling baik, lalu orang lain pasti salah dan tidak menyimpan kebaikan, maka sesungguhnya orang pintar seperti ini telah jatuh kepada "penyembahan terhadap pengamalan atau pemikirannya sendiri". Ia telah terjerembab kepada pemutlakan dirinya. Dampak pemutlakan diri sendiri ini sudah pasti berupa sikap angkuh, congkak dan sombong. Sikap-sikap buruk demikian ini akan menutup dirinya dari pintu-pintu kebanaran yang lebih tinggi.


Penutup Kata

Oleh karena itu, mari kita didik jiwa masing-masing agar semakin berlapang dada dalam menerima perbedaan. Penerimaan perbedaan, bukan berarti bahwa kita mesti pula berbuat dan berperilaku seperti orang yang berbeda dengan kita. Penerimaan perbedaan dimaksud yaitu berupa kesadaran kita bahwa  pemahaman dan pengamalan kita juga relatif, dan bukan satu-satunya kebenaran. Yakinlah, penerimaan yang tulus kepada perbedaan adalah bukti ketinggian adab kita di sisi Allah SWT.


Gambar:
Cuplikan gambar perjalanan dengan latar belakang Masjid Raya Patani, Thailand, 26 Februari 2023.

DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...