"Penulis menyaksikan terjadi pembenaran yang sudah kelewat batas tentang klaim ahlus sunnah wal jama'ah masing-masing golongan di Negeri yang berfalsafah Pancasila ini. Hal ini tampak dibenarkan juga oleh Prof. Ahmad Zahro, ulama Nahdlatul Ulama di Surabaya, Jawa Timur. Akibat klaim ini tampak masing-masing kelompok sudah menutup diri terhadap kebenaran yang ada di pihak lain."
*******
By Anhar & Nur Azizah
Dampak paling buruk dari sikap berpikir yang memandang hanya pemahaman sendiri atau golongan sendiri yang benar adalah "pengagungan terhadap pemahaman diri sendiri" atau "pengagungan terhadap pemahaman golongan sendiri". Dinyatakan demikian karena sikap ini akan menafikan atau merendahkan keyakinan terhadap salah satu sifat Tuhan yaitu Maha Mengetahui ('Alim). Bukankah Allah 'Azza wa Jalla yang Maha Mengetahui segala sesuatu? Setiap ulama, mestinya sadar se sadar-sadarnya bahwa hanya Allah Yang Maha Tahu (Allahu a'lam), dan ilmu Allah jualah (berupa ayat-ayat Nya) yang pantas diagungkan. Manusia hanya dianugerahi pengetahuan dengan kapasitas yang sangat sedikit (wa ma utitum minal 'ilmi illa qalila [QS 17:85]).
"Pengagungan pemahaman" secara hakiki sama saja maknanya dengan "penyembahan pemahaman". Setiap "penyembahan", apa pun bentuknya kepada selain Allah SWT tentu saja perwujudan dari kemusyrikan. Lebih parah lagi, orang yang memutlakkan pemahaman sendiri ini dapat jatuh kepada perilaku buruk yaitu meremehkan, bahkan lebih jauh mempersekusi/menindas mereka yang berbeda pemahaman. Jika sudah demikian, maka mata hati seorang ulama akan tertutup dari cahaya kebenaran yang berasal dari luar golongannya.
Sikap tawadhu' inilah yang membuat seorang muslim, apa lagi seorang ulama, tidak akan meremehkan pemahaman dan pengamalan orang lain yang berbeda. Dengan kesadaran atas sifat relatif pemahaman tentang ilmu dan amal yang dimiliki, maka ia akan melihat bahwa pada orang atau golongan lain pun ada kebenaran.
Hal Mengkhawatirkan Saat ini
Penulis menyaksikan terjadi pembenaran yang sudah kelewat batas tentang klaim ahlus sunnah wal jama'ah masing-masing golongan di Negeri yang berfalsafah Pancasila ini. Hal ini tampak dibenarkan juga oleh Prof. Ahmad Zahro, ulama Nahdlatul Ulama di Surabaya, Jawa Timur. Akibat klaim ini tampak masing-masing kelompok sudah menutup diri terhadap kebenaran yang ada di pihak lain.
Penomena mengkhawatirkan yang tampak dipermukaan masa ini, yaitu bagaimana masing-masing golongan yang memandang diri sebagai "ahlus sunnah waljama'ah yang lurus" menyebut kelompok lain sebagai kelompok yang sesat dan perusak agama. Saling membalas dengan julukan sesat di dunia maya dan dunia nyata pun tak terhindarkan. Lebih dari itu, persekusi mayoritas ke minoritas di internal umat ini pun terjadi di berbagai tempat.
Lebih disayangkan lagi, saling menyesatkan ini dipimpin oleh sejumlah ulama yang dipandang masyarakat telah memiliki ilmu keagamaan yang mumpuni. Pada hal semestinya mereka ini membimbing masyarakat untuk beragama berbasis ilmu, bukan berbasis isme keagamaan yang fanatik tulen.
Fakta di tengah masyarakat, lihatlah bagaimana golongan yang disebut-sebut "Salafi-Wahabi" menyebut kelompok lain sesat, sebaliknya golongan yang disebut sesat itu pun membalas lebih keras lagi, yaitu melemparkan tuduhan sesat itu kembali kepada "Salafi-Wahabi" serta mempersekusi ulama-ulamanya di berbagai tempat.
Jika kondisi yang mengancam ukhuwah ini dibiarkan terjadi, maka konflik fisik antar golongan sangat mungkin terjadi. Dan kondisi demikian ini tentu akan melemahkan kekuatan umat Islam, dan akan semakin sulit untuk menyatu dan bangkit maju bersama membangun peradaban di bumi Nusantara ini.
Marilah Beragama Berbasis Ilmu
Beragama berbasis isme golongan (mazhab atau jam'iyah) adalah baik dan banyak keutamaannya, bahkan sebenarnya didorong oleh agama. Hanya saja, kecintaan kita kepada mazhab atau suatu jam'iyah jangan sampai membuat kita menutup mata terhadap kebenaran yang ada pada mazhab atau jam'iyah lain. Jika kita menutup mata terhadap kebenaran di pihak lain, samalah artinya kita mengagungkan atau mengkultuskan mazhab atau jam'iyah sendiri.
Saya ingin menyebut contoh, yaitu adanya penomena sebagian umat ini mempersekusi kelompok yang menyebut acara Maulid Nabi sebagai bid'ah tanpa mempelajari latar belakang keluarnya statemen hukum bid'ah itu. Pada hal statemen bid'ah itu pada mulanya diberikan kepada kegiatan Maulid di masa lalu yang konten acaranya mengandung pemujaan kepada selain Allah, misalnya adanya sesajen yang diperuntukkan kepada makhluk halus yang dipandang memiliki kekuatan gaib. Atau adanya pengagungan yang berlebihan terhadap benda-benda bersejarah yang ada kaitannya dengan Rasulillah Saw.
Demikian pula saat artikel ini ditulis, tampak sejumlah ulama populer dengan kompak menyatakan bahwa shalat Tarawih 11 rakaat itu tidak sejalan dengan pemahaman Fiqh Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dan kata mereka tidak ada satu mazhab pun yang berpendapat dan melakukan shalat Tarawih 11 rakaat. Pernyataan ini dikeluarkan tanpa melakukan kajian yang serius terhadap historisitas Sunnah Shalat Tarawih pada masa Nabi Saw masih hidup dan pada masa Khulafa' al-Rasyidin. Akibatnya hadis-hadis shahih yang secara sharih menyebut shalat malam Nabi di bulan Ramadhan dan di luar bulan Ramadhan tidak melebihi 11 rakaat, tampak terabaikan. Pengabaian ini tampak sekali karena kepentingan mempertahankan cara pandang mazhab atau jam'iyah yang dipelihara turun-temurun.
Di sisi lain, ada pula golongan yang menyatakan bahwa shalat Tarawih yang melebihi 11 rakaat tidak memiliki dasar Sunnah sama sekali. Pernyataan ini dikeluarkan tanpa mencoba mencari tahu proses-proses historis hukum mengapa terjadi perubahan dari 11 menjadi 23, selanjutnya menjadi 36, dan kembali lagi menjadi 23. Juga, tidak pula mencari tahu bagaimana paradigma berpikir dan metodologi hukum yang menjadi pijakan pandangan hukum fiqh yang terakhir ini. Tak pelak, pernyataan ini dipandang keterlaluan oleh golongan yang berbeda karena tampak menafikan pemahaman dan pengamalan dalam mazhab-mazhab hukum fiqh yang sudah mapan.
Kata Penutup
Marilah para ustadz dan ulama ummat ini saling membuka diri. Hentikan saling tuduh sesat. Mari saling menghormati pemahaman masing-masing dan berfastabiqul khairat dalam memahami dan mengamalkan agama Allah ini. Kembalikanlah urusan kita kepada Allah, karena Allah jualah nanti yang akan menunjukkan siapa di antara kita yang terbaik amal keagamaannya. Wallahu a'lam.
Gambar:
Foto bersama usai peringatan Hari Santri 22 Oktober 2022 di Lapangan Upacara UIN Syahada Padangsidimpuan.
Mari terus belajar dan berhentilah menghajar kelompok yang tidak se pembelanjaran, dan jangan pernah puas dengan apa yang sudah di pelajari.
BalasHapusJadi teringat dengan salah satu karya Alam. Prof. Kuntowijoyo berjudul "Islam Sebagai Ilmu". Terimakasih atas tulisan yang gurih ini abanganda๐
BalasHapusSama-sama adinda. Ungkapan "beragama berbasis ilmu" memang terinspirasi dari karya almarhum Kuntowijoyo.
BalasHapus