Rabu, 15 November 2023

WE CHOOSE MUHAMMADIYAH: Mengambil Ibroh dari Generasi Awal Muhammadiyah

Mengapa pada 1912, K.H. Ahmad Dahlan yang dibantu sahabat-sahabat beliau berinisiatif melakukan gerakan/aksi sosial keagamaan (religious social movement) yang diberi nama Muhammadiyah dengan cita-cita "Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya?" Mengapa K.H. Ahmad Dahlan dan sahabat-sahabat beliau berpandangan bahwa gerakan sosial keagamaan yang dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya itu adalah gerakan Islam yang melakukan tajdid (pemurnian/pembaruan)? Lalu, mengapa pula Islam yang dibawakan oleh tokoh-tokoh pendiri (the founding parents) ini adalah Islam yang Berkemajuan?

Gerakan Muhammadiyah
Aksi Sosial Keagamaan yang mereka gerakkan, mereka beri nama Muhammadiyah. Gerakan ini adalah jawaban terhadap problem dan kondisi umat Islam Nusantara yang ---pada masa itu--- terjajah, lemah, miskin, dan terbelakang. Haedar Nashir menjelaskan bahwa K.H. Ahmad Dahlan dkk., menyaksikan dengan kesadaran yang dalam bahwa umat Islam tidak memegang teguh spirit dan ajaran Al-Qur`an dan As-Sunnah (Nashir, 2019: 25). Islam yang yang dianut oleh muslim Nusantara pada masa itu dalam pandangan Dahlan dkk., adalah Islam yang ternodai oleh syirik, bid'ah, dan khurafat. Akibatnya, al-Islamu mahjubun lilmuslimin (Islam yang sebenarnya tertutup oleh umat Islam sendiri). Pemahaman Islam yang otentik/natural (bersih dari syirikbid'ah, dan khurafat)  menurut Dahlan akan membuat penganutnya bangkit dari kemiskinan, ketertinggalan, dan kebodohan. Islam yang demikian inilah yang membangkitkan masyarakat Arab abad ke-7 dari kejahiliyahan, dan selanjutnya menjadikan mereka sebagai generasi terbaik (khairu ummah), hingga  selama kurang lebih lima abad kemudian, peradaban Islam menjadi peradaban yang paling gemilang di muka bumi. 

Gerakan ini Mengusung Islam Berkemajuan
Islam berkemajuan, menurut Muhammadiyah, adalah jawaban terhadap problem umat Islam yang lemah dalam berbagai aspek. "Berkemajuan" sendiri adalah watak atau nature asli Islam sejak kelahirannya di Arabia abad ke-7 M. Ali Syariati, seorang syahid dari Iran mengumpamakan para Nabi pembawa Islam bagai api yang meloncat dari batu yang bertabrakan. Dengan risalah Islam yang mereka bawa, Nabi-nabi ini kata beliau membangkitkan zaman yang mati, menghidupkan semangat pergerakan dalam urat nadi ummat yang lamban, sehingga ummat bangkit dan berjuang dengan harta dan jiwa untuk yad'una ila al-khairi, waya`muruna bi al-ma'rufi wa yanhauna 'an al-munkar  (menyeru manusia kepada kebajikan, dan menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah umat manusia dari kemungkaran) (QS Ali Imran ayat 104). 

Manhaj (Jalan Berpikir) Tarjih dan Tajdid
Untuk mendapatkan pemahaman Islam yang natural, maka Muhammadiyah menempuh jalan tarjih dan tajdid. Jalan (manhaj) ini dipimpinkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, selanjutnya dimandatorikan kepada pimpinan dibawahnya secara hirarkis.

Tarjih, semula dipahami adalah membandingkan dan menilai dalil-dalil syar'i yang secara zhahir (tekstual) tampak bertentangan, selanjutnya menentukan dalil yang paling kuat sebagai landasan beramal. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah tarjih dalam Muhammadiyah dipahami sebagai upaya ijtihad menentukan dalil yang paling kuat, memilih qiyas (analogi) paling tepat, dan menetapkan maslahat paling baik dalam setiap masalah keagamaan yang membutuhkan jawaban.

Muhammadiyah menghargai pemahaman dan pengamalan agama yang terbentuk secara kultural, namun bagi Muhammadiyah, sebagai konsekuensi dari watak tarjih dan tajdid, perlu dilakukan pemilahan dan pemilihan terhadap pemahaman dan pengamalan agama yang diikhtiarkan paling sesuai dengan Sunnah. 

Apakah Muhammadiyah bermazhab? Jawabannya tidak. Muhammadiyah tidak menyandarkan pemahaman agamanya kepada ulama tertentu atau mazhab tertentu. Muhammadiyah justru bersandar kepada hasil pemahaman kolektif para ulama yang bersidang dalam forum  Tarjih (Muktamar atau Munas Tarjih). Dengan demikian, dalam Muhammadiyah tidak ada tokoh sentral yang jadi rujukan atau sandaran keagamaan. Itulah sebabnya, mengapa pendapat-pendapat ulama, apakah ulama mazhab atau ulama non-mazhab diposisikan hanya sebagai referensi dalam forum kajian tarjih dan tajdid. Dengan cara demikian, dalam Muhammadiyah tidak terbangun sikap manut intelektual kepada ulama tertentu dalam keagamaan. Di sinilah salah satu titik beda kita dengan saudara-saudara kita di Nahdlatul Ulama dan Al-Jam'iyyatul Washliyah. Bahkan juga dengan saudara-saudara kita kaum Salafi-Wahabi. 

Kaum Salafi-Wahabi, meskipun juga gerakannya memiliki semangat kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah, namun golongan ini menjadikan ulama-ulama tertentu sebagai rujukan utama. Misalnya Nashiruddin Al-Albaniy dan Syaikh Bin Baz. Golongan ini tidak memiliki lembaga formal semacam Majelis Tarjih dan Tajdid yang bekerja merumuskan tuntunan keagamaan. Penting juga dicatat, bahwa golongan ini tidak menerapkan pendekatan bayani, burhani, dan 'irfani dengan bantuan ilmu-ilmu modern (sosiologi, antropologi, dan hermeneutika) dalam mengkaji agama. Sementara Muhammadiyah menerapkan pendekatan demikian ini dalam kajian agama, dan menetapkannya sebagai bagian dari manhaj dalam bertarjih. Masalahnya belum banyak intelektual, ulama, dan ustadz Muhammadiyah yang memahami dengan baik pendekatan bayani, burhani, dan 'irfani dengan bantuan ilmu modern ini.

Bermuhammadiyah ala Generasi Awal
Generasi awal Muhammadiyah mengajarkan dan meneladankan bermuhammadiyah yang lapang, terbuka, dan toleran. Mari simak penjelasan mereka tentang Tarjih yang dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah tahun 1936:
"Keputusan Majelis Tarjih mulai dari merundingkan sampai kepada menetapkan, tidak ada sifat perlawanan, yakni menentang atau menjatuhkan segala yang tidak dipilih oleh Tarjih itu. Penyelidikan dan pertimbangan dengan berdalil Al-Qur`an dan Hadits, itulah putusan Majelis Tarjih yang dapat mempersatukan dan menjaga Muhammadiyah daripada kemasukan perselisihan yang mesti dilenyapkan. Malah kami berseru juga kepada sekalian 'ulama, supaya suka membahas pula, akan kebenaran Majelis Tarjih itu, dimana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat dalilnya diharap supaya diajukan, syukur kalau dapat memberikan dalilnya yang lebih tepat dan terang, yang nanti akan dipertimbangkan pula, diulangi penyelidikannya, kemudian kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan. Sebab waktu mentarjihkan itu ialah menurut sekedar pengertian dan kekuatan kita, pada waktu itu." (Lihat "Penerangan Tentang Hal Tarjih" Nukilan dari Suara Muhammadiyah No. 6/1355 (1936) muka 145, sebagaimana dikutip dalam buku Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1432/2011, h. 382). 

Tuntunan ini dikeluarkan sebagai respon terhadap warga Muhammadiyah yang pada masa itu sebagian mereka berpandangan bahwa hanya Putusan Tarjih yang benar. Sementara pemahaman agama di luar Putusan Tarjih tidak benar. Dalam konteks demikianlah, Hoofd Bestuur (Pimpinan Pusat) mengingatkan bahwa keputusan Majelis Tarjih tidaklah untuk menentang, apa lagi menjatuhkan pemahaman agama yang tidak dipilih oleh Majelis Tarjih.

Selanjutnya sebagai peneguhan terhadap sikap di atas, maka pada masa kepemimpinan K.H. Mas Mansur dirumuskan langkah Muhammadiyah 1938-1940 yang dinyatakan sebagai "12 Langkah Muhammadiyah". Salah satu langkah dimaksud (langkah ke-2) yaitu "Memperluas Faham Agama". Ditegaskan dalam langkah ke-2 ini, dengan mengutip hadits, bahwa agama itu lapang, dan tidak ada orang yang bersempit kaku dalam beragama, melainkan sikap sempit kakunya itu sendiri yang membuat dia susah dan repot dalam mengamalkan agama. (Baca "Tafsir Langkah Muhammadiyah Tahun 1938-1940" dalam buku Manhaj Gerakan Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1433/2012, h. 412-419)

Lebih tegas lagi,  tak lama setelah Indonesia merdeka, dirumuskan tentang Al-Qiyas dalam Kitab al-Masa'il al-Khams (Kitab Masalah Lima). Sedikit dikutipkan bagian yang relevan di sini:
...wa ma'al al-'ilmi anna ayya qararin yuttakhadzu, innama huwa tarjihun baina al-ara`i al-ma'rudhati duna ibthali ayyi ra`yin mukhalifin. ... (... dan dengan MENGINSYAFI bahwa tiap-tiap keputusan yang diambil olehnya itu hanya sekedar mentarjihkan di antara pendapat-pendapat yang ada, tidak berarti menyalahkan pendapat yang lain. ...) (Lihat bab Kitab Masalah Lima dalam Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1432/2011, h. 279).


Berlomba-lomba dalam Beragama
Bagaimana kita menata hubungan cinta dan persahabatan kita dengan golongan Muslim lainnya, seperti Nahdlatul Ulama, Al-Jam'iyyatul Washliyyah, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah? Jawabannya mari kita tata silaturrahim kita dalam semangat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Jangan lihat perbedaan kita dalam konteks hadits yang mennyatakan bahwa umat Islam terpecah menjadi 73 Golongan. Hadits ini tidak relevan untuk menjelaskan perbedaan kita. Penting digarisbawahi bahwa perbedaan kita hanya pada ekspresi keislaman. Tuhan kita sama, Nabi kita sama, Kitab kita sama, Akidah kita sama, dan Syari'at kita juga sama. Kita semua sama-sama berharap hidup hasanah fiddunya wal akhirah. Kita juga sama-sama memiliki semangat berhukum kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan cara (manhaj) yang berbeda. Kita juga sama-sama berharap agar Allah SWT memasukkan kita semua kelak ke dalam surga yang dijanjikan Allah kepada hamba-hamba yang beriman dan beramal saleh.

Dalam perlombaan ini akan terjadi dinamisasi dan kemajuan dalam ilmu dan peradaban. Lihat saja hasilnya sekarang. Misalnya amal usaha di bidang pendidikan. Sekiranya Muhammadiyah, NU, Al-Washliyah, Perti, dll., tidak berpartisipasi dalam pembangunan pendidikan, maka bangsa ini akan kewalahan menyediakan SDM pendidikan dan sarana prasarana pendidikan bagi puluhan juta anak bangsa.

Terkait dengan fastabiqul khairat dalam ilmu keagamaan, setiap warga Muhammadiyah penting mengkomunikasikan ilmu dan pemahamannya kepada orang lain dengan dilandasi adab yang luhur sebagaimana diteladankan oleh Nabi dan para sahabat, salafus shalih dan generasi awal Muhammadiyah. Di antara adab keilmuan yang amat penting dipeliharan adalah mengkomunikasikan ilmu dengan hikmah dan mau'izhah hasanah, menghindari debat-kusir, menghindar dari sikap suka menyalahkan orang lain, tidak memandang diri paling benar, sabar dalam menerima kritik, serta lapang dada dan terbuka menerima kebenaran.

Penutup
Amat penting bagi warga persyarikatan memahami gerakan Muhammadiyah sebagaimana dipahami oleh pendiri dan generasi awal Muhammadiyah. Pemahaman dimaksud adalah pemahaman yang diikhtiarkan berdasarkan inner perspective of human behavior, yaitu pemahaman berdasarkan perspektif pokok pendiri (K.H. Ahmad Dahlan) dan generasi awal Muhammadiyah. Pemahaman yang berpijak kepada inner perspective ini akan menjadi suluh penerang dan pengarah bagi warga persyarikatan dalam mendayung gerakan keagamaan ini dalam mencerahkan warga dan masyarakat di manapun berada.

Insya Allah, jika Muhammadiyah dibawakan sebagaimana spirit dan keteladanan pendiri dan generasi awal Muhammadiyah, maka gerakan Muhammadiyah akan semakin disukai dan dicintai oleh masyarakat. Allahu a'lam.
Selengkapnya

Sabtu, 04 November 2023

PEMURNIAN DALAM IBADAH: DARI BENTUK LUAR MENUJU BENTUK DALAM

Setiap ibadah terdiri dari aspek luar dan aspek dalam. Dalam ungkapan lain terdiri dari aspek eksoteris (jismiyah) dan aspek esoteris (ruhiyah). Aspek luar berupa syarat dan rukun, dan mandub (sunnah) dalam ibadah. Sementara aspek dalam berupa esensi atau inti suatu ibadah. 

Pemurnian dalam ibadah tidak cukup hanya berhenti pada bentuk luar ibadah, seperti kaifiat (tata cara), haiat (tingkah), dan juz'iyyat (perincian), karena pemurnian pada aspek luar baru menyentuh aspek praktikal ('amaliy) dari suatu ibadah. 

Pemurnian ibadah yang sesungguhnya harus sampai kepada aspek ruhiyah suatu ibadah. Aspek ruhiyah inilah yang menentukan apakah ibadah diterima dan diridhai Allah SWT. Salah satu dimensi penting dalam aspek ruhiyah ibadah adalah taqarrub ilallah (kedekatan kepada Allah).

Agar aspek ruhiyah ibadah ini lebih jelas, mari kita lihat tabel berikut:

No

Ibadah

Aspek Ruhiyah

1

Qurban

Ketakwaan

QS Al-Hajj (22): 37:

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.

2

Shaum (Puasa)

Iman dan ihtisab (perhitungan), dan juga ketakwaan.

Iman artinya i'tiqad (keyakinan) kepada Allah. Sementara ihtisab artinya perhitungan. Dalam kalimat, misalnya al-ihtisabu ‘indallah, maknanya thalabu tsawab Allah yaum al-hisab (mengharap balasan pahala dari Allah pada hari perhitungan).

3

Shalat

Niat, khusyuk, tadharru’, khufyah, khauf, thama’, paham makna bacaan

Pertanyaan yang perlu kita renungkan: Bagaimana pemurnian pemahaman agama kita pada aspek ruhiyah ibadah ini? Apakah pemurnian yang kita usahakan sudah sesuai dengan kehendak dan keridhaan Allah?

Jika kita mau merenungkan sedalam-dalamnya, maka akan ditemukan bahwa "ibadah murni" yang sesungguhnya itu berada pada aspek ruhiyah ibadah. Al-Qur`an menggunakan istilah "ikhlas" untuk menunjuk kata "murni". Ibadah yang ikhlas adalah ibadah yang dilakukan murni karena taqarrub (mendekatkan diri) dan mengharapkan keridaan Allah. Kata "ikhlash" dalam Al-Qur`an juga bermakna bersih (tanpa ada kotoran yang mencampurinya). Dalam surat An-Nahl/16 ayat 66 dijumpai ayat "... labanan khalishan sa'ighan lisy-syaribin" (Artinya: ...susu yang bersih, mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya). Dalam konteks ibadah, dapat juga dimaknai bahwa ibadah yang ikhlas adalah ibadah yang bersih baik dari najis, hadats, dan penyakit hati.

Dalam hal beribadah yang ikhlas ini, Allah SWT menitahkan kepada hamba-hambanya supaya benar-benar menyembah kepada-Nya dengan ikhlas menjalankan agama (ad-Din/jalan kepatuhan). (Lihat QS Al-Bayyinah/98 ayat 5).

Poin pokok yang merusak kemurnian ibadah kepada Allah adalah syirik yang merasuki jiwa. Dalam QS Al-Kahfi/18 ayat 110 berikut mengingatkan agar setiap orang beriman beramal shalih yang bebas murni dari syirik:

قُلْ اِنَّمَاۤ اَنَاۡ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰۤى اِلَيَّ اَنَّمَاۤ اِلٰهُكُمْ اِلٰـهٌ وَّا حِدٌ ۚ فَمَنْ كَا نَ يَرْجُوْا لِقَآءَ رَبِّهٖ فَلْيَـعْمَلْ عَمَلًا صَا لِحًـاوَّلَايُشْرِكْ بِعِبَا دَةِ رَبِّهٖۤ اَحَدًا

"Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa." Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan (amal shalih) dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya."

Dalam  surat Maryam/19 ayat 65: berikut, diingatkan pula supaya berteguh hati menjaga diri dalam beribadah yang tentu saja dengan menjauhi perusak ibadah seperti syirik, ujub, dan riya. Berikut ayat dimaksud:

رَّبُّ السَّمٰوٰتِ وَ الْاَ رْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَا عْبُدْهُ وَا صْطَبِرْ لِـعِبَا دَتِهٖ ۗ هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا

"(Dialah) Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya?"

Untuk mencapai kemurnian yang esensial ini, maka agama ---secara tidak langsung--- mendidik kaum beriman untuk terus melatih diri dalam beribadah kepada Allah. Renungkanlah makna dibalik pengulangan shalat lima waktu dan makna ibadah-ibadah sunnat lainnya yang dapat diulang-ulang pada waktu-waktu yang telah tertentu. Lihat pula misalnya lafaz-lafaz zikir. Ada yang dapat diulang sampai 100 kali atau lebih banyak lagi. Tentu saja maksud pengulangan ini di antaranya agar pemahaman tentang makna zikir yang dibaca menghunjam ke dalam qalbu orang beriman. Di sinilah, setiap orang yang bersungguh-sungguh berzikir atau berdoa dalam shalat atau di luar shalat akan merasakan bahwa makna yang dikandung oleh zikir itu dapat menjadi qiyam (tegak) dalam dirinya. Allahu a'lam.

Selengkapnya

Minggu, 20 Agustus 2023

SURAT AL-ANKABUT AYAT 45 SEBAGAI PIJAKAN PEMBINAAN AKHLAK: DARI GRAND THEORY MENUJU AKSI

Tidak tanggung-tanggung, Allah memfirmankan bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan munkar. Nash suci ini tentu bukan sembarangan. Allah SWT sendiri yang memberi jaminan bahwa setiap muslim yang mengerjakan ibadah pokok ini dengan khusyuk dan berkesinambungan, maka ia akan tercegah dari perbuatan keji dan munkar.

Al-Qur'an surat Al-Ankabut/29: 45 yang berbunyi:

اُتْلُ مَاۤ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَ قِمِ الصَّلٰوةَ    ۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَا لْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   ۗ وَا للّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

"Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Dalam konteks pembinaan akhlak mahasiswa (lebih sempit: karakter mahasiswa), ayat di atas kita posisikan sebagai grand theory. Dari grand theory dilahirkan middle theory (hukum ilmu pengetahuan). Dari hukum ilmu dilahirkan konsep. Dari konsep, dilahirkan rencana aksi. Dari rencana aksi, dilakukan aksi pembinaan akhlak.

Pada tingkat grand theory, dari ayat di atas dapat dirumuskan konsep dasar sbb:

Akhlak kepada Allah adalah fundamen akhlak kepada manusia. Akhlak kepada Allah dimulai saat seorang muslim beribadah kepada-Nya. Akhlak dimaksud berupa ketundukan (khusyu'), pengagungan (ta'zhim), kerendahhatian (tadharru'), kelembutan ucapan (khufyah), rasa takut (khauf), hati yang harap (thama'), dan sebagainya. Senyawa dengan nilia-nilai tersebut, maka seorang muslim dituntut menjaga kesucian dirinya dari dosa-dosa.  Hal ini sebagai bukti pertobatannya kepada Allah. Penting digarisbawahi bahwa muslim yang menjaga kesucian diri dari dosalah yang dapat menerapkan nilai-nilai akhlak dalam ibadah tersebut dengan baik. 

Berdasarkan grand theory di atas, dipadu dengan khazanah pengetahuan dan pengalaman para ulama dan 'arifin, maka dapat pula dirumuskan suatu middle theory bahwa semakin baik ibadah shalat seorang muslim (atau semakin baik akhlak seorang muslim kepada Allah), maka semakin baik pula akhlaknya kepada manusia dan lingkungan.

Dari middle theory ini dapat dirumuskan konsep rencana aksi pembinaan akhlak mahasiswa. Tujuan utama rencana aksi adalah memperbaiki akhlak mahasiswa kepada Allah melalui peningkatan aspek esoteris dan eksoteris ibadah. Poin-poin pokok yang mesti dilakukan adalah:

  1. Membekali mahasiswa pengetahuan dan keterampilan mengerjakan ibadah shalat yang sempurna. Mulai dari bersuci, wudhuk, kaifiyat dan makna bacaan shalat, dan secara khusus adab-adab lahir dan batin.
  2. Membekali mahasiswa pengetahuan dan keterampilan tentang zikir dan do'a khususnya zikir dan do'a sesudah shalat.
  3. Menyuasanakan shalat-shalat sunnah lain, khususnya shalat tahajjud.
  4. Menyuasanakan muhasabah atau sejenisnya dalam kehidupan ma'had.
Tahap akhir adalah aksi (implementasi) di lapangan.
Melakukan pembelajaran andragogi (pembelajaran orang dewasa) dan bentuk-bentuk kegiatan yang capaian pembelajarannya adalah terbinanya akhlak mahasiswa melalui ibadah kepada Allah. 

Selengkapnya

Jumat, 18 Agustus 2023

AYYUHA AL-USTADZ MARI KITA MULAI PEMBINAAN ADAB MAHASISWA DARI PERBAIKAN ADAB KEPADA ALLAH SWT

Berpijak kepada QS Al-Ankabut/29: 45, 
maka dapat disimpulkan bahwa jika performance akhlak kepada Allah bersifat luhur, mulia dan terpuji, maka niscaya akan luhur, mulia, dan terpuji pulalah akhlak kepada manusia lain dan lingkungan. Tetapi jika akhlak kepada Allah bersifat buruk, tercela dan nista, maka akan buruk, tercela dan nista pulalah akhlak kepada manusia dan lingkungan.
*******

Artikel singkat ini menawarkan landasan konsep pembinaan akhlak/karakter mahasiswa yang dimulai dari pembinaan akhlak kepada Allah. Tawaran konsep ini tidak untuk dimaknai bahwa pembinaan akhlak kepada manusia dan lingkungan ---untuk sementara--- ditunda dulu. Dalam implementasinya di lapangan, pembinaan akhlak kepada Allah ini justru harus berjalan simultan dengan pembinaan akhlak kepada manusia dan lingkungan. Hanya saja, fokus atau penekanan utama mesti diorientasikan kepada pembinaan akhlak mahasiswa kepada Allah. Dari sini nanti, mahasiswa akan memahami dan memaknai bahwa akhlak kepada manusia dan lingkungan sesungguhnya adalah turunan dari akhlak kepada Allah SWT.

Grand Theory Pembinaan Akhlak
Grand theory atau supra teori yang dapat dijadikan landasan dalam memperbaiki akhlak/adab mahasiswa adalah ayat 45 surat Al-Ankabut. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:*

اُتْلُ مَاۤ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَ قِمِ الصَّلٰوةَ    ۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَا لْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   ۗ وَا للّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
"Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-'Ankabut/29: 45)

Ayat ini dengan amat jelas menyatakan bahwa ibadah shalat mencegah perbuatan keji dan munkar. Hanya saja shalat yang dimaksud tentu saja adalah shalat yang dilakukan dengan adab atau akhlak yang tinggi dan luhur dalam menghambakan diri kepada Allah.

Di antara adab dimaksud adalah:
  1. Mengenakan pakaian yang terbaik yang dimiliki ketika beribadah. Seorang muslim mesti tampil dengan adab berpakaian yang mulia di hadapan Allah. Sebisa mungkin jangan gunakan pakaian tidur untuk menghadap-Nya. Gunakan pula wangi-wangian halal seperlunya. Allah berfirman: "Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid..." (QS Al-A'raf/7: 31). Nabi Saw bersabda, "Innallaha jamil yuhibbul jamal". Artinya: Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan. (Hadits Riwayat Muslim dari Ibnu Mas'ud r.a.).
  2. Khusyu' (tunduk hati dan merendahkan diri) di hadapan Allah. Allah berfirman: "Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khsuyuk, (yaitu) mereka yang yakin bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya " (QS Al-Baqarah/2: 45-46). 
  3. Tadharru' (rendah hati) kepada Allah mulai berdiri di atas sajadah (tempat shalat) sampai salam. Belajarlah membuang rasa sombong (egoisme) yang bersarang dalam hati. Allah berfirman: "Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas". (QS Al-A'raf/7: 55). Dan firman-Nya lagi: "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Luqman/31: 18). Sombong atau angkuh adalah perintang paling besar untuk khusyu' (tunduk) kepada Allah.
  4. Khufyah (mengucapkan bacaan shalat dengan lembut) dan tidak kasar (melampaui batas kelembutan). (QS Al-A'raf/7: 55). Bacaan shalat mesti dirasakan dan dihayati. Hal ini hanya mungkin dilakukan dengan menghadirkan hati (bi hudhur al-qalbi) dalam shalat. Orang yang tergesa-gesa shalat pertanda bahwa ia masih kasar di hadapan Allah.
  5. Khauf/khifah (rasa takut kepada Allah) saat ibadah kepada-Nya. Allah berfirman: "... Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap..." (QS Al-A'raf/7: 56, 205). Hendaklah dipahami bahwa Allah adalah Tuhan 'Arsy yang Agung, Tuhan Pencipta dan Pemilik apa yang ada di langit dan bumi, Penggenggam nyawa manusia, Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu. Tuhan yang amat keras siksa-Nya. Dia-lah Tuhan Jin dan Manusia. Seorang hamba beriman hanya takut kepada-Nya.
  6. Thama' (penuh harap) kepada Allah atas doa-doa yang dipanjatkan. (QS Al-A'raf/7: 56). Semua makhluk bergantung hidup dan matinya serta jiwa dan raganya kepada Allah. Oleh karena itu jiwa yang penuh harap dan bergantung kepada pertolongan dan rahmat Allah harus senantiasa dijaga dan dipelihara.
  7. Memahami setiap lafaz yang diucapkan dalam shalat. Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan..." (QS An-Nisa`/4: 43)
  8. Membaca ayat Al-Qur'an dalam shalat dengan tartil. Allah berfirman: "... Dan bacalah Al-Qur`an itu Muhammad (dalam shalat malammu) dengan perlahan-lahan." (QS Al-Muzzammil/73: 4). Bacaan ayat Al-Qur`an dengan tartil akan meresap dihati.
  9. Menjauhi pengucapan zikir/do'a yang kasar di hadapan Allah. Allah berfirman: "Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah." (QS Al-A'raf/7: 205).

Pengaruh Positif Akhlak kepada Allah terhadap Kehidupan Mahasiswa
Jika adab-adab ini terterapkan di hadapan Allah dengan sebaik-baiknya, maka insya Allah akan baik pulalah adab setiap insan kepada sesama manusia dan lingkungannya. Sebaliknya, jika adab-adab ini terabaikan, maka shalat tidak akan berhasil mencegah seorang muslim dari perbuatan keji dan munkar.

Orang yang telah terbiasa merendah kepada Allah, maka ia akan merendah berjalan di muka bumi Allah ini. Ia akan terjauh dari sikap sombong dan perilaku merusak (fasad). Allah berfirman: "Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang itu, adalah hamba-hamba yang bila berjalan dimuka bumi dengan rendah hati. Jika orang-orang yang jahil menyapanya mereka (dengan sapaan yang tidak sopan), mereka meresponnya dengan kata-kata damai (selamat)". (QS Al-Furqan/25: 63).

Di luar shalat, amat penting ditekankan agar berupaya menjaga kesucian diri dari dosa-dosa kecil apa lagi dosa besar. Allah SWT tidak mungkin mendengarkan zikir/doa orang yang masih melakukan perbuatan dosa, meskipun ia berzikir/berdoa dengan lembut. Mereka yang tetap dengan dosa-dosa berarti tidak menjaga adab/akhlaknya kepada Allah.

Oleh karena itu, mari lakukan pekerjaan (amal-amal) shalih yang dicintai Allah. Hindari amal perbuatan yang dibenci Allah. Contoh amal perbuatan yang dibenci Allah dalam kehidupan ber-ma'had adalah boros memakai air, buang sampah sembarangan, mengambil yang bukan hak, curang, culas, tidak disiplin, berbohong, ghibah (menggunjing), fitnah, namimah (adu domba), dan sebagainya. 

Kata Penutup
Dalam ikhtiar membentuk akhlak (atau karakter) mahasiswa Ma'had Al-Jami'ah, mari kita mulai dari membentuk akhlak mahasiswa kepada Allah. Akhlak kepada Allah dimaksud secara khusus adalah akhlak ketika beribadah kepada-Nya. Berpijak kepada QS Al-Ankabut/29: 45 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jika performance akhlak kepada Allah bersifat luhur, mulia dan terpuji, maka niscaya akan luhur, mulia, dan terpuji pulalah akhlak kepada manusia lain dan lingkungan. Tetapi jika akhlak kepada Allah bersifat buruk, tercela dan nista, maka akan buruk, tercela dan nista pulalah akhlak kepada manusia dan lingkungan.  Allahu a'lam.

_______________________
* Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com
Selengkapnya

Sabtu, 29 Juli 2023

JIWA ASLI PEMAHAMAN AGAMA MUHAMMADIYAH DAN PENOLAKAN TERHADAP SIKAP BERAGAMA YANG SEMPIT DAN KAKU

Terinsafi dengan jelas bahwa dalam relung hati, jiwa dan pikiran pembawa dan ulama-ulama Muhammadiyah terdahulu adanya watak dan semangat yang kuat untuk menghadirkan pemahaman dan pengamalan agama terbaik (ahsanu fahma wa ahsanu ‘amala). Setelah diperoleh pemahaman agama terbaik melalui proses Tarjih dan Tajdid lalu kemudian ditanfidzkan, maka selanjutnya mereka memesankan yang secara hakiki agar warga Muhammadiyah jangan sampai jatuh kepada absolutisme pemahaman agama (taqdis al-afkar ad-diniy), yakni sikap angkuh/sombong dalam beragama, suatu sikap yang memandang hanya Muhammadiyah yang benar. 

*******


Di tengah perbedaan pemahaman agama dengan umat Islam lainnya di Indonesia, Muhammadiyah memelihara semangat fastabiqul khairat, yaitu semangat berlomba-lomba untuk menjadi golongan atau individu terbaik dalam menjalankan agama. Semangat fastabiqul khairat ini sesungguhnya juga menjadi nafas dan semangat tarjih dan tajdid. Sikap “berlomba-lomba dalam kebaikan” ini justru dituntut oleh Allah SWT kepada hamba-hambanya. Dalam perbedaan pemahaman dan pengamalan agama dimaksud, bahkan lebih jauh perbedaan agama, Allah berkehendak menguji umat manusia siapa yang paling baik amalnya di antara mereka (liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala). Oleh karena itu kaum beriman dituntut ber-fastabiqul khairat dalam memahami dan menjalankan agama sepanjang hayatnya. (Lihat QS Surat Al-Maidah ayat 48).


Semangat fastabiqul khairat ini tampak sekali terpelihara dengan baik dalam jiwa pemahaman dan pemikiran serta perilaku keagamaan The Founding Fathers dan para ulama Muhammadiyah terdahulu. Mereka menuntunkan pemahaman agama dalam semangat fastabiqul khairat. Semangat ini tercermin dengan jelas dalam tuntunan-tuntunan keagamaan dan organisasi yang mereka wariskan. Sebagai contoh, dalam konteks Tarjih mereka menuntunkan demikian:


Keputusan Majelis Tarjih mulai dari merundingkan sampai kepada menetapkan, tidak ada sifat perlawanan, yakni menentang atau menjatuhkan segala yang tidak dipilih oleh Tarjih itu. Penyelidikan dan pertimbangan dengan berdalil Al-Qur`an dan Hadits, itulah putusan Majelis Tarjih yang dapat mempersatukan dan menjaga Muhammadiyah daripada kemasukan perselisihan yang mesti dilenyapkan. Malah kami berseru juga kepada sekalian ‘ulama, supaya suka membahas pula, akan kebenaran Majelis Tarjih itu, dimana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat dalilnya diharap supaya diajukan, syukur kalau dapat memberikan dalilnya yang lebih tepat dan terang, yang nanti akan dipertimbangkan pula, diulangi penyelidikannya, kemudian kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan. Sebab waktu mentarjihkan itu ialah menurut sekedar pengertian dan kekuatan kita, pada waktu itu. (Lihat “Penerangan Tentang Hal Tarjih” Nukilan dari Suara Muhammadiyah No. 6/1355 (1936) muka 145 dalam Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1432/2011, h. 382).


Tuntunan ini dikeluarkan sebagai respon terhadap sebagian warga Muhammadiyah yang pada masa itu berpandangan bahwa pemahaman agama yang benar hanyalah yang diputuskan oleh Majelis Tarjih. Sementara pemahaman agama di luar keputusan Tarjih tidak benar. Dalam konteks ini, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengingatkan bahwa keputusan Majelis Tarjih tidaklah untuk menentang, apa lagi menjatuhkan pemahaman agama yang tidak dipilih oleh Majelis Tarjih. 


Selanjutnya, konsisten dengan tuntunan di atas, yang merupakan pengukuhan terhadap sikap dan semangat keagamaan yang terbuka dan lapang, maka pada masa kepemimpinan K.H. Mas Mansur dirumuskan langkah Muhammadiyah 1938-1940 yang secara formal dinyatakan sebagai “12 Langkah Muhammadiyah”. Salah satu langkah dimaksud (langkah ke-2) yaitu “Memperluas Faham Agama”. Langkah ke-2 ini memberi makna bahwa pemahaman agama Muhammadiyah adalah pemahaman agama yang lapang, terbuka dan tidak fanatik buta. Ditegaskan dalam langkah ke-2 ini, dengan mengutip hadits, bahwa agama itu lapang, dan tidak ada orang yang bersempit-kaku dalam beragama, melainkan sikap sempit-kakunya itu sendiri yang membuat dia susah dan repot dalam mengamalkan agama.


Lebih lanjut, tuntunan di atas koherean atau sejalan dengan rumusan tentang al-Qiyas dalam Kitab al-Masa`il al-Khams (Kitab Masalah Lima): 

…wa ma’a al-’ilmi anna ayya qararin yuttakhadzu, innama huwa tarjihun baina al-ara`i al-ma’rudhati duna ibthali ayyi ra`yin mukhalifin. (... dan dengan MENGINSYAFI bahwa tiap-tiap keputusan yang diambil olehnya itu hanya sekedar mentarjihkan di antara pendapat-pendapat yang ada, tidak berarti menyalahkan pendapat yang lain.) (Lihat bab Kitab Masalah Lima dalam Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1432/2011).


Terinsafi dengan jelas bahwa dalam relung hati, jiwa dan pikiran pembawa dan ulama-ulama Muhammadiyah terdahulu adanya watak dan semangat yang kuat untuk menghadirkan pemahaman dan pengamalan agama terbaik (ahsanu fahma wa ahsanu ‘amala). Setelah diperoleh pemahaman agama terbaik melalui proses Tarjih dan dan Tajdid lalu kemudian ditanfidzkan, maka selanjutnya mereka memesankan yang secara hakiki bermakna agar warga Muhammadiyah jangan sampai jatuh kepada absolutisme pemahaman agama (taqdis al-afkar ad-diniy), yakni sikap angkuh/sombong dalam beragama, suatu sikap yang memandang hanya Muhammadiyah yang benar. 


Berpijak kepada penjelasan di atas, maka dapat dimengerti bahwa Muhammadiyah sesungguhnya membimbing warga Muhammadiyah dan ummat Islam agar ber-fastabiqul khairat dalam beragama. Ruh fastabiqul khairat ini, tentu saja adalah keterbukaan, kelapangan, kemajuan dan dinamisasi dalam memahami dan mengamalkan agama. 


Penting digarisbawahi bahwa Islam yang digerakkan Muhammadiyah adalah Islam yang sadzajah, Islam yang lugu, apa adanya, Islam yang menurut Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Saw, dan menjalankannya dengan menggunakan akal pikiran yang sesuai ruh Islam. (Lihat penjelasan Kepribadian Muhammadiyah dalam buku Manhaj Gerakan Muhammadiyah, h. 48). Islam yang demikian ini adalah Islam yang hanifiyyatus samhah (lurus dan lapang), alami, natural, sebagaimana Islam dalam perspektif pokok Nabi Saw dan para shabat beliau.



Jiwa Keagamaan Muhammadiyah v.s. Paradigma Sunnah-Bid’ah

Jiwa keagamaan Muhammadiyah, sebagaimana dengan singkat ditunjukkan di atas adalah jiwa keagamaan yang tawadhu’ (rendah hati), tasamuh (lapang/toleran), dan tawassuth (wasathiyah/moderat). Jiwa keagamaan seperti inilah yang telah tumbuh dan berkembang dalam jiwa pendiri dan ulama Muhammadiyah masa lalu dan tetap terwariskan hingga kini. Jiwa keagamaan Muhammadiyah ini tentu saja berbeda dengan jiwa kegamaan yang berparadigma (bermodekan) Sunnah-Bid’ah yang bersifat  hitam-putih, sempit, kaku dan tertutup. Penting disadari bahwa mode Sunnah-Bid’ah ini adalah  bentuk jiwa keagamaan yang tidak sesuai dengan spirit beragama yang dituntunkan Al-Qur`an dan Sunnah. 


Mode berpikir Sunnah-Bid’ah (S-B) pernah fenomenal di lingkungan warga Muhammadiyah tahun 80-an hinga 90-an di Tapanuli Bagian Selatan dan di berbagai tempat di Indonesia. Mode ini harus diakui bertentangan dengan jiwa keagamaan yang diwariskan oleh ulama-ulama generasi pendahulu Muhammadiyah. Mode S-B ini memiliki spirit menentang dan melawan segala pemahaman agama yang dipandang bid’ah. Mode S-B ini sesungguhnya bukanlah bawaan asli Muhammadiyah, tetapi mode luar yang tidak selayaknya menginfiltrasi pemahaman agama warga Muhammadiyah.


Celakanya, mode S-B ini kemudian subur di berbagai tempat dan berdampak mengganggu keutuhan Muhammadiyah. Bahkan mereka yang telah terpengaruh mode S-B ini, ada yang bersikap menentang pemahaman agama Muhammadiyah. Dan puncaknya, ada yang keluar dari Muhammadiyah. Mereka pada bagian ini tidak segan-segan memburuk-burukkan Muhmmadiyah. Tentu saja sikap ini sangat disayangkan, karena tanpa mereka sadari, sebenarnya mereka telah jatuh pada perilaku yang buruk dalam beragama. Bahkan lebih jauh dapat jatuh pada pengkultusan pemahaman agama sendiri.


Penutup

Jiwa asli dan sejati pemahaman agama Muhammadiyah adalah pemahaman yang terbuka, lapang, dinamis dan berkemajuan. Jiwa asli dan sejati ini dijaga dan dipelihara melalui manhaj (metodologi) gerakan yang terbuka dan dinamis pula yaitu Manhaj Tarjih dan Tajdid.  Melalui penerapan manhaj yang demikian ini maka diikhtiarkan mengemuka pemahaman dan pengamalan agama terbaik pula (ahsanu dina), yaitu pemahaman agama yang lapang, terbuka, dinamis dan berkemajuan. Konsekuensinya, Muhammadiyah menolak pemahaman agama yang jumud, sempit, kaku, fanatik buta serta anti kemajuan. Wallahu a’lam.

Selengkapnya

Rabu, 14 Juni 2023

GERAKAN PEMURNIAN KEAGAMAAN YANG NATURAL: CATATAN PENGALAMAN DAN RENUNGAN

Artikel singkat ini menjelaskan realitas gerakan pemurnian pemahaman agama yang dibawakan oleh Muhammadiyah di Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) dan paparan tentang tawaran gerakan pemurnian yang natural/alami (thabi'iy).

Penulis yang lahir di Pasaman Barat kurang lebih 52 tahun yang lalu, pertama kali menginjakkan kaki di bumi Tabagsel pada 1991, tepatnya di Kelurahan Ujung Padang Kota Padangsidimpuan. Ketika menjadi mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN SU Padangsidimpuan dari 1991-1996, penulis yang sebelumnya pernah menjadi Ketua Umum PC IPM, aktif sebagai jamaah masjid Taqwa Muhammadiyah dan aktif pula dalam kegiatan-kegiatan Angkatan Muda Ranting Muhammadiyah Kelurahan Ujung Padang. 

Dalam aktifitas masjid inilah penulis berinteraksi dengan pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang berkembang di Kota Padangsidimpuan. Penulis merasakan bahwa narasi pemahaman keagamaan Muhammadiyah Sumatera Barat memiliki titik tekan yang berbeda dengan narasi pemahaman keagamaan di Tabagsel. Secara umum, di Padangsidimpuan, narasi keagamaan yang terbangun adalah fokus kepada upaya membersihkan keyakinan ummat ---terutama warga dan simpatisan Muhammadiyah--- dari pemahaman agama yang dipandang bercampur dengan takhyul, bid'ah, dan churafat (TBC).

Porsi materi pengajian dengan konten narasi bid'ah dalam ibadah lebih dominan dibanding tema-tema TBC lainnya. Pada masa itu hampir tidak ada ustad Muhammadiyah yang tidak menarasikan bid'ah dalam ibadah pada setiap pengajian (majilis ta'lim). Dari sisi metodologi dan pendekatan kajian keilmuan yang dilakukan lebih condong kepada pendekatan tekstual yang terasa kering dan sempit. Misalnya, ketika seorang ustad menjelaskan maksud ayat:

Wa qul ja'al haqqu wa zahaqal bathilu, innal bathila kana zahuqa.

Artinya:
Dan katakanlah, "Telah datang kebenaran dan telah lenyap kebatilan. Sesungguhnya kebathilan itu akan binasa". Al-Isra'/17 ayat 81.

Ayat ini dipakai sebagai penguat narasi untuk mengeritik bid'ah dalam ibadah. Para ustad ketika itu menjelaskan maksud ayat ini sebagai berikut: Allah SWT telah membentangkan Sunnah yang benar dan lurus melalui Al-Qur'an dam Hadits yang shahih. Sunnah yang benar dan lurus ini akan bertahan dan abadi. Sementara bid'ah akan binasa dan lenyap.

Ayat dimaksud sebenarnya tidak berkaitan dengan narasi Sunnah-Bid'ah. Maksud ayat justru berisi penegasan kepada Nabi Saw agar mengatakan bahwa telah datang Ad-Din al-Haqq (Agama yang Benar), dan telah lenyap kebatilan (Jahiliyah).

Ketika itu, penulis merasakan bahwa perspektif Sunnah-Bid'ah yang kaku benar-benar mencoraki pola pikir keagamaan para ustad. Di sisi lain, sembari menarasikan Sunnah-Bid'ah yang kering dan kaku ini, penceramah agama "melancarkan serangan" kepada mereka yang dipandang pelaku bid'ah dengan menyebut mereka sebagai ahli (penghuni) neraka.

Di sisi lain, aspek takhyul dan churafat yang sering jadi sasaran "serangan" adalah muatan-muatan dalam upacara adat pada pesta perkawinan yang dipandang mempraktikkan kesyirikan. Misalnya "Upa-upa". Upa-upa ini ditandai dengan adanya wujud material "Upa-upa" di antaranya kepala kerbau atau kepala kambing, telor ayam, nasi, garam, dan lainnya. Pada umumnya masyarakat Muslim Tabagsel menghormati "Upa-upa" sebagai wujud benda budaya yang menjadi simbol (perlambang) memohon "hahorasan" (keselamatan, kesehatan) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Penting diketahui bahwa secara umum warga masyarakat tidaklah memiliki keyakinan bahwa benda-benda "Pangupa" atau "Upa-upa" itu memiliki kekuatan magis sehingga dapat memberi "hahorasan". Mereka hanya menjadikan benda-benda budaya itu sebagai simbol untuk menyampaikan doa-doa yang baik untuk pengantin. Hal ini sebenarnya ibarat seseorang memperlakukan huruf-huruf yang berbentuk kata dan kalimat untuk menuntun doa kepada Tuhan.

Namun, realitasnya para ustad Muhammadiyah pada masa itu tidak berupaya menyelami dengan baik pandangan antropologi-budaya masyarakat. Akibatnya, para ustad mempersepsi bahwa masyarakat telah mempraktikkan kesyirikan dan oleh karena itu sama saja dengan kaum musyrik jahiliyah.

Pandangan para ustadz demikian ini tentu saja mendapat penolakan keras dari masyarakat Muslim Tabagsel yang memegang teguh nilai-nilai adat-budaya. Sekaligus pula melahirkan sikap anti pati kepada gerakan dakwah Muhammadiyah. Tak pelak, Muhammadiyah dipandang sebagai gerakan yang anti adat dan budaya. Dampak selanjutnya, tidak sedikit dari tokoh dan warga masyarakat menolak keberadaan Muhammadiyah. Dalam pandangan mereka, Muhammadiyah tidak saja merusak paham agama, tapi juga merusak adat-budaya. Di antara pernyataan penolakan mereka di masa lalu, misalnya mereka menyebut masjid Taqwa sebagai masjid dhirar yakni masjid yang membawa mudharat.

Saat artikel ini ditulis, sikap anti pati terhadap gerakan Muhammadiyah masih mencoraki sikap sebagian masyarakat. Meskipun tensinya telah jauh menurun dibanding pada tahun 90-an yang lalu. Kondisi ini tentu saja menjadi salah satu faktor penyebab lambannya perkembangan kuantitas warga Muhammadiyah di Kota Padangsidimpuan.


Renungan: Konsep Dasar Gerakan Pemurnian yang Natural

1. Basis Etika Gerakan Dakwah

Untuk menjawab kondisi di atas, maka penting menggairahkan dan menggembirakan gerakan pemurnian Muhammadiyah yang natural. Gerakan keagamaan yang natural adalah gerakan keagamaan yang berdiri di atas hikmah kearifan kenabian. Lebih jelasnya, gerakan pemurnian keagamaan yang dibangun di atas fondasi nilai-nilai kearifan dakwah Rasulillah Saw.

Konsepsi gerakan pemurnian yang natural ini digali dari pandangan mendalam (perspektif fenomenologis) bagaimana sesungguhnya Rasulullah Saw mempersepsi dakwah, cara membawakannya, dan cara penyikapannya terhadap orang atau masyarakat penerima dakwah. Berikut poin-poin pokok yang mesti menjadi basis etika gerakan dakwah:

Pertama, sadar bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Doktrin ini sangat jelas dalam Al-Alqur'an surat Al-Baqarah/2 ayat 256, "La ikraha fi ad-din, qad tabayyana ar-rusydu min al-ghay. Faman yakfur bi at-thaghuti wa yu'min billahi faqadis tamsaka bi al-'urwati al-wutsqa lan fishama laha. Wallahu sami'un 'alim". (Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang [teguh] pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui). Berdasarkan doktrin ini, hak menentukan pilihan antara memilih atau tidak memilih agama Islam merupakan hak asasi setiap orang. Yang pasti pilihan itu memiliki konsekuensi masing-masing, karena telah terang-jelas antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. Dalam surat Al-Kahfi ayat 29 disebut dengan jelas bahwa konsekuensi pilihan kepada jalan sesat adalah neraka. Sementara konsekuensi pilihan jalan yang benar adalah surga.

Kedua, sadar bahwa seorang aktivis dakwah Muhammadiyah hanyalah penyampai agama. Jangankan orang beriman yang hanya sebagai pelanjut dan pewaris risalah kenabian, Nabi Saw saja diingatkan oleh Allah bahwa beliau hanyalah seorang penyampai agama. ...wa qul lilladzina utul kitaba  wal ummiyyina a-aslamtum, fain aslamu faqadihtadau, fa in tawallaw, fa innama 'alaika al-balagh, wallahu bashirun bill'ibad. (... Dan katakanlah kepada orang-orang yang diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam? Jika mereka masuk Islam sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk. Dan jika mereka berpaling, maka (sadarilah) bahwa engkau hanyalah penyampai agama. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. [QS Ali Imran/3 ayat 20]).

Ketiga, sadar bahwa tidak ada yang dapat memberi petunjuk (hidayah) kepada jalan yang benar selain Allah. Seunggul apa pun kemampuan kita, dan sehebat apa pun dukungan sarana prasarana dakwah kita, harus disadari bahwa kita tidak memiliki daya untuk memberi hidayah kepada orang lain. Hanyalah yang berkuasa memberi hidayah kepada orang untuk menerima kebenaran. Allah berfirman: Fa dzakkir innama anta mudzakkir. Lasta 'alaihim bi mushaithir (Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau [Muhammad] hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, QS Al-Ghasyiyyah/88 ayat 21-22). Dalam surat Yunus/10 ayat 35: Qul hal min syuraka`ikum man yahdi ilal haqqi, qulillahu yahdi lilhaqqi... (Katakanlah, "Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran).

Keempat, sadar bahwa penyampai agama mesti berhati lapang dan menjauhi sikap kasar. Allah berfirman yang terjemahnya: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apa bila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya". (QS Ali Imran/3 ayat 159).

Kelima, sadar bahwa Allah mengehendaki agar ber-fastabiqul khairat dalam menjalankan agama. Konsekuensi lebih lanjut "tidak ada paksaan dalam agama" adalah perlunya menjaga etos fastabiqul khairat. Setiap muslim mesti sadar sesadar-sadarnya bahwa ia tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk memaksa orang mengikuti pemahaman agamanya. Oleh karena itu, ingat firman Allah, "...fastabiqul khairat, ilallahi marji'ukum jami'a, fayunabbi`ukum bima kuntum fihi takhtalifun" (...berlomba-lombalah dalam kebaikan. Kalian semua akan kembali kepada Allah. Dia-lah nanti yang akan menjelaskan tentang hal yang kamu perselisihkan,- Al-Ma`idah/5 ayat 48).

Keenam, sadar bahwa Allah menguji hamba-Nya siapa yang terbaik amalnya. Allah SWT mengingatkan bahwa kehadiran manusia di muka bumi ini memiliki tujuan yang jelas, yaitu hendak menguji manusia siapa yang terbaik amalnya. Allah berfirman: Alladzi khalaqal mauta wal hayata liyabluwakum ayyukum ahsanu 'amala. Wahuwal 'azizul ghafur (Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,- QS Al-Mulk/67 ayat 2). Dalam konteks keragaman (pluralitas), manusia diuji bagaimana hidup harmonis dalam perbedaan, apakah perbedaan pemahaman internal umat Islam, atau perbedaan dalam keyakinan (agama) antara umat Islam dengan umat agama atau kepercayaan lain.

Ketujuh, sadar bahwa seorang aktivis dakwah harus berintegritas (koheren/sesuai antara ucapan dan tindakan). Terkait integritas ini, Allah Swt., mengingatkan dengan cara menyebut fakta sejarah kaum Yahudi yang menunjukkan perilaku kidzb (dusta) dalam bersikap dan berprilaku. Allah Swt., berfirman. "...kabura maqtan 'indallahi an taqulu mala taf'alun" (... amat besar dosanya di sisi Allah, orang yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka perbuat, QS Ash-Shaf/61 ayat 3).

2. Capaian aksiologis

Capaian aksiologis gerakan pemurnian harus melampaui batas-batas fiqh, yaitu mesti sampai pada lubuk pengetahuan 'irfani. Karena ilmu keagamaan yang murni itu sebenarnya ada pada lubuk pengetahuan 'irfani ini. Dan pengetahuan 'irfani inilah sesungguhnya pengetahuan agama yang sesungguhnya itu. 

3. Capaian Epistemologis

Dalam Muhammadiyah penekanan terhadap capaian pengetahuan 'irfani ini telah ditegaskan dengan ditetapkannya penggunaan pendekatan 'irfani (selain pendekatan bayani dan burhani) dalam kajian agama. Dalam operasionalnya, pendekatan bayani, burhani, dan 'irfani diterapkan secara sirkular-dialektis. Ketiga pendekatan ini dibantu dengan ilmu-ilmu modern (sosiologi, antropologi, dan hermeneutika) bekerja sama dalam interaksi metodologis yang intens untuk menghasilkan pengetahuanyang integratif (utuh). Berdasarkan operasi metodologis demikian ini, maka kajian agama dalam Muhammadiyah diikhtiarkan melahirkan pemahaman agama yang menyatukan fiqih dan ilmu 'irfani (tasauf).

Dengan demikian, capaian pemurnian yang realitasnya selama ini baru pada fase fiqih, harus dapat terlampaui hingga masuk ke fase ilmu ma'rifat al-qalbiyyah. Hanya saja penting ditekankan sekali lagi bahwa dalam Muhammadiyah ilmu fiqih dan ma'rifat al-qalbiyyah ini harus satu yang padu. Tidak boleh terpisah. Dengan demikian, capaian pemurnian keagamaan Muhammadiyah adalah kesatuan kaifiyyat, hai`at, juz'iyyat, dan haqiqat pengetahuan agama.


 Penutup

Jika dikomparasikan antara konsep-konsep dasar Muhammadiyah dengan realitas pemikiran, perilaku, dan sikap bermuhammadiyah warga persyarikatan, tampak sekali ada jarak yang mesti disatukan. Jika jarak ini semakin lebar, maka pola bergama warga dapat menjadi ekstrim dan bahkan radikal. Namun bila jarak dimaksud semkin dekat, maka pola beragama warga akan semakin natural (sadzajah, thabi'i, alami). Keberagamaan warga persyarikatan yang natural akan menjadi kekuatan ideologis dakwah yang amat kokoh, yang selanjutnya menyampaikan warga Muhammadiyah kepada penganutan agama terbaik (asanu dina). Insya Allah.

Selengkapnya