By Anhar dan Irwan Saleh Dalimunthe
Pendakian intelektual untuk "melihat" hal di dunia atas, bisa Anda anggap sebagai perjalanan jiwa ke arah atas memasuki wilayah yang bisa dipahami. Kemudian Anda akan menjumpai apa yang telah saya perkirakan, karena memang ke sanalah tujuan pendakian intelektual Anda. Hanya Tuhan yang tahu kebenaran pendakian pengetahuan ini. Tetapi, begitulah pandangan saya, bahwa dalam dunia pengetahuan, hal terakhir yg harus "dipersepsi" dan hanya bisa dicapai dengan usaha intelektual yang serius adalah "Bentuk Esensial Kebaikan".
-----Jika persepsi kita telah mencapai ini, maka akan muncul kesimpulan bahwa "Bentuk Esensial Kebaikan" inilah sebab dari segala yang benar dan baik dalam segala hal.
-----Di dunia yang tampak, ia melahirkan cahaya, sementara ia sendiri bertakhta dalam akal-budi dan dalam samudra kebenaran. Tanpa memiliki "persepsi" tentang "Bentuk Esensial Kebaikan" ini, tak seorang pun bisa bertindak dengan bijaksana, baik dalam kehidupannya sendiri, ataupun dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan negara. (Mehdi Ha'iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Bandung: Mizan, 1994, h. 24).
Penjelasan Plato ini terasa sebagai penjelas terhadap bimbingan Ilahi bahwa seorang pencari ilmu harus mampu naik mendaki untuk mempersepsi bahwa semua objek yang kita baca/kaji adalah ayat-ayat Allah. Ayat-ayat dimaksud, dapat berupa Ayat Qauliyah, Ayat Insaniyah, atau Ayat Kauniyah.
Ketika pendakian kita telah sampai kapada kesadaran tentang Ayat ini, maka pengetahuan kita akan naik ke ma'rifatullah.
Seseorang yang telah sampai ke puncak pengetahuan ini, maka ia tentu akan mendapat limpahan kebajikan yang banyak (hikmah). Ingat firman Allah:
يُؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَآءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الْاَ لْبَا بِ
"Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat." (QS. Al-Baqarah/2: ayat 269).
Orang yg dilimpahi hikmah tentu mampu bertindak bijaksana untuk diri sendiri, masyarakat dan bangsanya. Allahu a'lam.
Tanggapan pada WAG Dosen UIN Syahada Psp:
Bang Irwan Saleh: Inilah yang dapat saya komentari dari tulisan singkat yang menyentuh ini (dalam tadarus hari ini) Adinda Anhar...
PRINSIP PLATONIS
Dari perspektif di atas, filsafat itu dari aspek-bidang kehendaknya "selalu ingin tahu" (ontologi), maka kajian awalnya adalah tentang pertanyaan-pertanyaan Fisika. Ini yang menyokong munculnya fisikiawan hingga Hubbel yg mengedepankan teori Big Bang. Menyusul teori evolusi alam, grafitasi dsb...dsb...yang ujungnya lahir sains hingga teknologi.
Tidak hanya bidang Fisika yang menjadi kerisauan para filosof hingga saintis, tapi juga selalu bertanya tentang "Apa dibalik alam fisik itu". Apa ada kekuatan yang tak terlihat atau tak terjangkau tapi maujudat seterusnya mempengaruhi keberadaan yang ada fisik ini? Inilah dunia "Metafisika".
Dalam hal metafisika ini... para filosof menyakini ada kekuatan dahsyat tak terjangkau... maka muncullah konsepsi tentang "keberadaan Tuhan". Tapi filsafat tak kuasa memberi konsepsi tentang Tuhan dengan memuaskan. Tapi Wahyulah yang dapat memberi jawaban pasti itu juga bagi yang menggunakan ketajaman akal. "La dina liman la 'aklalah".
Jawaban terhadap problem Fisika dan Metafisika banyak dibentangkan Ayat Al-Quran dan bukan saja memberi jawaban secara "Bayani" (penjelasan gamblang dan rinci), akan tetapi Allah mendorong dan menantang manusia untuk berpikir tingkat tinggi (High order Thinking), dan mereka para filosof menjadi salah satu yang ada pada barisan itu.
Kita cermati umpamanya ayat ini:
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَ رْضِ فَا نْظُرُوْا كَيْفَ بَدَاَ الْخَـلْقَ ثُمَّ اللّٰهُ يُنْشِئُ النَّشْاَ ةَ الْاٰ خِرَةَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
"Katakanlah, Berjalanlah di bumi, maka perhatikanlah bagaimana (Allah) memulai penciptaan (makhluk), kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-'Ankabut: Ayat 20)
Bukankah ini dorongan untuk menjadikan alam sebagai objek observasi (observatorium)?
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اَلَمْ تَرَ اِلٰى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ ۚ وَلَوْ شَآءَ لَجَـعَلَهٗ سَا كِنًا ۚ ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيْلًا
"Tidakkah engkau memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan sekiranya Dia menghendaki, niscaya Dia jadikannya (bayang-bayang itu) tetap, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk,". (QS. Al-Furqan: Ayat 45)
Ingat patokan kehidupan dikunci sama Allah seperti diungkap dalam ayat ini:
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَيَرَى الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ الَّذِيْۤ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ هُوَ الْحَـقَّ ۙ وَيَهْدِيْۤ اِلٰى صِرَا طِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ
"Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa (wahyu) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu itulah yang benar dan memberi petunjuk (bagi manusia) kepada jalan (Allah) Yang Maha Perkasa, Maha Terpuji." (QS. Saba': Ayat 6)
Ending dari memahami baik yang Fisikal apalagi yang Metafisikal adalah Ma'rifatullah, yang intinya Sadar diri ('arifun bi nafsihi)... Merendah di hadapan-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً وَّا لْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَا زِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَا لْحِسَا بَ ۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِا لْحَـقِّ ۚ يُفَصِّلُ الْاٰ يٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ
"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui." (QS. Yunus: Ayat 5)
Anhar: Subhanallah (Maha Suci Allah) dari mode berpikir filsafat keilmuan Barat modern yg tidak melihat tanda-tanda Kemahabesaran Allah dalam sains. "Rabbana zidna 'ilma warzuqna fahma..."
Terima kasih uraian yg berparadigma Teoantropoekosentris ini bang. Jazakallahu ahsanul jaza'.
Irwan Saleh: Benar, cuman itu juga setelah Era terjadinya sekularisasi, liberalisasi intelektual dan paham materialis. Awalnya Filsafat Barat itu interkonektif dengan Agama Kristen. Namun karena benturan, maka gerakan melepas diri dari agama menjadi pemenang.
Jadi secara genealogi keilmuan, filsafat Yunani tidak boleh diremehkan sebab dari Filsafatlah muncul Fisika, Matematika, Kimia, Biologi, dsb. Ada masih tergolong Filsafat Murni, ada pula yang sudah terapan. Internet, HP atau Laptop umpamanya... setahu saya neneknya adalah Filsafat, sedang Ayahnya Fisika dan Matematika Terapan. Teknik adalah terapan dari Fisika dan Matematika. (Komputer bin Matematika bin Filsafat).
Jadi kalo ada mengharamkan filsafat ya sudahlah yang make HP sudah tergolong ....entah apalah...!
Begitu juga tentang Metafisika...dengan kajian metafisika orang bisa mau tahu tentang Tuhan... sehingga orang sadar tak akan puas mendapat jawaban Filsafat kalau sudah soal eksistensi Tuhan, Alam Kubur, Sorga, Neraka dsb., yang Ghaib serta Manhajul Haya..., maka AGAMA ADALAH JAWABANNYA... Oleh karena itu, yang paham Filsafat pasti paham bagaimana manusia butuh agama....
Ini Adinda TATA KELOLA INTLEKTUALITAS yang mendewasakan... Allohu Akbar wa A'lam....
Anhar: Barakallah... Terima kasih. Betul bang dan Bapak Ibu jama'ah... Setuju sekali. Filsafat membimbing kita untuk mengabstraksi penomena empirik, hingga kita mendapatkan penggambaran-penggambaran pengetahuan yang mengagumkan jauh di atas penomena empirik. Di sini selanjutnya kita menemukan substansi dan hakikat objek yang jadi fokus kajian. Bahkan kita dapat terhubungkan dengan hikmah yang tinggi (hikmah muta'aliyah), hingga ke ma'rifatullah.
Terkait Filsafat Barat, filsafat ini pada mulanya menempatkan Tuhan dan metafisika lebih tinggi dari objek-objek indrawi. Pasca renaissance, Tuhan dan metafisika dijauhkan dari filsafat. Dalam konteks renaissance ini muncul mazhab rasionalisme dan empirisme. Selanjutnya positivisme, post positivisme, fenomenologi dst dst. Di atas filsafat demikian inilah ilmu dan peradaban Barat berkembang. Diakui, banyak yang bisa diambil. Tapi juga banyak yang harus disaring dan dibuang. Contoh, doktrin tentang wujud dan hukum alam (hukum kausalitas yg memafikan Tuhan) wajib kita ganti dengan metafisika Islam tentang wujud dan sunnatullah (hukum Allah yg berlaku di alam).
Salah satu upaya kecil dan taktis penguatan Teoantropoekosentris ini sudah semestinya ada mata kuliah Filsafat Sains Islam atau Filsafat Integrasi Keilmuan, atau nama lain yang sama.