NEGARA ISLAM: PERLUKAH BAGI MUSLIM INDONESIA?


Negara yang bagaimana sesungguhnya dikehendaki Islam? Adakah konsep Negara Islam (Islamic State) dalam al-Qur`an sebagaimana disebut-sebut oleh para pendukung konsep ini? Inilah yang menjadi topik renungan singkat ini.

Sejauh yang diketahui, secara harfiah (litera) tidak ditemukan istilah daulah islamiyah atau khilafah islamiyah dalam al-Qur`an maupun Sunnah. Istilah ini muncul --- menurut sebagian pakar --- justru pada era belakangan saja (era modern), yakni ketika Barat telah menguasai hampir seluruh negeri-negeri Muslim. Kemunculan konsep daulah islamiyah atau khilafah islamiyah lebih dipicu oleh persoalan politik dari pada persoalan religius atau akademis dan teoritis-ilmiah, yakni kebutuhan politis berupa penegasan tentang urgensi identitas kekuasaan bagi umat Islam yang sedang “cerai-berai” sebagai akibat kolonialisme dan imperialisme Barat.

Jika kita melihat jauh ke belakang, tidak diragukan lagi bahwa pasca Khulafa` al-Rasyidin, bentuk pemerintahan umat Islam jatuh kepada monarki-hereditis. Poros kekuatan politik monarki ini berada pada suatu bani (clan atau suku). Bani ini memerintah turun-temurun sampai kekuasaannya berakhir (hancur dalam perjalanan sejarah). Setelah kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir (khalifah keempat dari Khulafa` al-Rasyidin), muncullah dalam sejarah pemerintahan Daulah Bani Umaiyah, Daulah Bani Abbasiyah, Daulah Fathimiyah, Daulah Murabithun, Daulah Muwahhidun, dan sebagainya.

Sejak kekuasaan politik umat Islam jatuh kepada monarki hereditis, praktis dimulailah pemisahan kekuasaan agama dari negara. Khalifah yang berkuasa tidak lagi menjadi pemimpin agama. Adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang memulai pemisahan agama dari negara ini. Kekuasaan agama secara natural jatuh kepada ahli-ahli agama yang bertebaran di seantero wilayah.

Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat tersebar di berbagai pelosok dunia Islam. Umumnya mereka menduduki posisi kepemimpinan keagamaan dan intelektual. Mereka menjadi tempat bertanya orang-orang di daerahnya untuk dimintai keputusan berkaitan dengan berbagai persoalan.[1]

Terdapat perbedaan yang mencolok gaya dan tipe kepemimpinan Khulafa` al-Rasyidin dengan para khalifah Bani Umaiyah, Abbasiyah dan dinasti penerusnya. Para khalifah monarki hereditis ini ¾ kecuali sebagian kecil dari mereka ¾ mencontoh cara berkuasa raja-raja Persia dan Romawi yang pragmatis dan hedonis. Di antara sahabat shalih yang masih hidup seperti Abu Dzar al-Ghiffari meresahkan dan mengeritik keras gaya hidup khalifah Bani Umaiyah yang mempertontonkan kemewahan dan karakter raja-raja non-Muslim.

Kepemimpinan Khulafa` al-Rasyidin penuh kesahajaan dan kesederhanaan. Mereka adalah sahabat setia Nabi yang tidak mengejar kemewahan duniawi. Mereka adalah contoh pemimpin penerus Nabi yang sungguh-sungguh berkhidmat bagi rakyatnya.

Berdasarkan survey singkat ke sejarah masa lalu, maka dapatlah dinyatakan bahwa masa ideal pemerintahan dalam Islam itu adalah masa Nabi Saw dan empat khalifah rasyidah sesudah beliau.

Pertanyaannya kemudian, dapatkah dikatakan bentuk pemerintahan masa Nabi dan khulafa` al-rasyidin sebagai bentuk pemerintahan Negara Islam? Tentu terlalu simplistik jika disimpulkan demikian. Jawaban yang paling realistis ¾ sepanjang yang penulis ketahui ¾ adalah Nabi Muhammad Saw tidak pernah menyebut pemerintahan pada masa beliau sebagai Daulah Islamiyah, atau nama lain yang secara konseptual dapat disamakan dengan istilah Negara Islam. Suatu hal yang menarik, justru Nabi Saw menukar Yatsrib (Yetroba, dalam bahasa Yunani kuno) dengan nama Madinah. Istilah madinah biasa diartikan “kota” sebagai lawan dari a’rab (orang Arab badui atau dusun). Madinah juga bermakna beradab. Sedangkan a’rab atau badui adalah belum beradab. Dengan demikian, Nabi Saw membangun suatu negeri yang beradab atau madani. Dalam upaya membangun landasan kehidupan yang madani bagi warga Madinah, Nabi Saw kemudian membuat regulasi yang dikenal dengan nama Mitsaq al-Madniyyah (Piagam Madinah). Piagam Madinah ini dipandang oleh para ahli sejarah sebagai konstitusi pertama yang menjunjung tinggi hak-hak sipil di dunia. Jadi, Nabi Saw tidaklah memperlakukan al-Qur`an sebagai konstitusi negara, sebagaimana yang dipahami secara sempit oleh sementara orang. Semangat Piagam Madinah itu adalah semangat rekonsiliasi dan rekonstruksi kehidupan sosial-politik warga Madinah yang plural. Piagam Madinah itu dapat dilihat sebagai objektifikasi nilai-nilai al-Qur`an dalam kehidupan sosial politik Madinah, sehingga merupakan hukum positif yang mengikat warga Madinah. Namun, sangat disayangkan kemudian, warga Yahudi dan Nasrani menghianati Piagam ini, hingga mereka terpaksa diusir dari Madinah. Pengusiran warga Yahudi dan Nasrani pada masa itu adalah pilihan yang mesti dilakukan, karena pembangkangan kedua komunitas ini akan sangat potensial merusak kohesivitas sosial umat Islam yang baru terbentuk.

Islam dan Keindonesiaan

Usaha Nabi SAW dalam menerjemahkan nilai-nilai al-Qur`an dalam kehidupan sosial politik Madinah menjadi contoh yang sangat baik bagi kita dalam mengukuhkan semangat keindonesiaan.

Disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara oleh seluruh komponen bangsa dapat dipandang sebagai suatu kalimatun sawa’ (common platform) bagi bangsa ini. Mitsaq al-Madaniyah dapat dianalogkan dan dipandang sebagai referensi historis bagi dasar dan falsafah Negara.

Usaha formalisasi Islam sebagai dasar dan falsafah negara, tidak saja bertentangan dengan semangat kebinekaan atau pluralitas bangsa, tapi justru akan mereduksi Islam yang tinggi itu begitu rendah hingga sejajar dengan hasil-hasil pemikiran manusia.

Islam (baca: al-Qur`an dan Sunnah) harus tetap diposisikan sebagai sumber perumusan falsafah dan dasar negara, begitu juga menjadi sumber perumusan hukum. Islam mesti diobjektifikasi dalam kehidupan sosial-politik bangsa, hingga setiap warga bangsa --- apa pun latar belakang agama dan sukunya --- akan merasakan rahmat dari objektifikasi Islam dalam kehidupan publik bangsa ini.

Dengan demikian, usaha cerdas yang kita butuhkan adalah substansialisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan cara seperti ini, maka secara natural “islamisasi” bangsa ini akan berjalan tanpa harus berbenturan dengan nilai-nilai kebinekaan atau pluralitas bangsa.

Pengalaman masa lalu bangsa kita, bahwa usaha sebagian umat Islam yang hendak memformalisasi ajaran Islam dalam konsep Negara Islam justru hampir saja membuat bangsa ini bubar. Oleh karena itu ¾ sekali lagi ¾ yang kita butuhkan saat ini adalah usaha cerdas umat Islam untuk melakukan substansialisasi nilai-nilai Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian yang kita butuhkan sekarang bagaimana agar bangsa ini terkukuhkan dengan nilai-nilai Islami, sehingga dapat dengan mantap menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Pendekatan yang cerdas dilakukan adalah pendekatan kultural, sebagaimana yang telah berlangsung selama ini. Pendekatan struktural, sebagaimana yang ingin dipaksakan oleh perwakilan umat Islam pada sidang-sidang konstituante masa orde lama, sudah cukup menjadi pelajaran bagi kita. Jika juga hari ini masih dilakukan, maka sama saja dengan membenturkan kepala ke tembok.

Diakui atau tidak, dengan bentuk negara seperti saat ini ¾ meskipun belum dapat dikatakan sebagai bentuk paling ideal ¾ setiap Muslim dapat dengan bebas mengekspresikan keislamannya. Kebebasan berkeyakinan atau beragama ¾ sebagai sesuatu yang substansial dalam ajaran Islam ¾ dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Diakui bahwa masih banyak nilai-nilai Islam yang belum terdaratkan dalam kehidupan berbangsa. Kenyataan seperti ini, harus kita sikapi sebagai tantangan dalam berfastabiqul khairat dengan umat agama lain dalam membangun bangsa.

Kecerdasan, kearifan dan ketinggian moral umat Islam dalam melakukan peran-peran konstruktif, insya Allah nilai-nilai Islam akan semakin kukuh dan mantap menjadi penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahu a’lam.

Penutup

Negara-bangsa (nation state) yang berfalsafah Pancasila saat ini dapat dipandang sebagai bentuk negara yang paling cocok untuk zaman kita. Dengan bentuk negara seperti ini kita bebas mengekspresikan kehidupan keagamaan kita. Kita dapat membangun kehidupan bersama dengan umat agama lain dalam semangat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) sebagaimana semangat hidup bersama yang pernah dibangun oleh Nabi Saw di Madinah pada abad ke-7. Dengan bentuk negara yang ada saat ini, umat Islam sebagai warga mayoritas bangsa ditantang untuk membangun kehidupan masyarakat madani. Wallahu a’lam.

[1]Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad sebelum Tertutup, Cet. Ke-2, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), h. 14.

KHUTBAH JUM'AT: MENCAPAI PUNCAK TAUHID DAN IMPLEMENTASINYA DALAM MEMIMPIN


Kita awali khutbah ini dari firman Allah dengan surat An-Nisa ayat 125:

Artinya:

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.

Ayat ini dimulai dengan kata tanya, “Siapakah yang lebih baik agamanya…” Ayat ini menegaskan bahwa ada bentuk beragama terbaik. Sebaliknya tentu ada pula bentuk beragama yang kurang baik.

Beragama terbaik itu, pertama, aslama wajahahu lillah (berserah diri dengan ikhlas kepada Allah). Dalam surah al-Bayyinah ayat 5 ada ayat terkait: Wama umiru illa liya’budullaha mukhlishina lahuddin. (Pada hal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama). Kedua, wa huwa muhsinun (sedang diapun mengerjakan kebaikan), atau berbuat ihsan. Ketiga, wattaba’a millata ibrahima hanifa (mengikuti millah/agama Ibrahim yang lurus).

Hadirin… jama’ah Jum’at rahimakumullah…

Pada kesempatan khutbah ini, khatib akan lebih banyak menjelaskan yang pertama, yakni tentang upaya mencapai puncak kemurnian tauhid. Tetapi dengan tetap mengaitkannya dengan yang kedua dan ketiga.

Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah…

Pengesaan atau pentauhidan Allah itu memerlukan usaha dan perjuangan yang terus-menerus, hingga suatu tahap atau martabat dimana kita telah benar-benar bebas dari segala perintang pisik dan psikis dalam menyembah/ ber’ubudiyah kepada Allah SWT sebagai satu-satunya Ilah. Perintang pisik dan psikis itu dapat menyandera pemasrahan diri kita kepada Allah. Apa saja yang menyandera pemasrahan diri kita kepada Allah, maka hal itu akan menjadi ilah kita.

Hal yang sulit bagi kita adalah membebaskan diri kita dari perintang nafsiah atau psikis. Misalnya perasaan sombong, sikap balas dendam, sulit memaafkan orang lain, dan sebagainya. Hal-hal ini membuat kita tidak berhasil mencapai kebebasan atau kemerdekaan yang hakiki. Akibatnya suasana hati kita pun tidak sehat. Dengan demikian, perintang psikis itu sebenarnya penyakit.

Hadirin…

Bang Imad (Imaduddin Abdulrahim) mengatakan, secara hakiki semakin baik tauhid kita, maka kita semakin bebas (semakin independen). Yakni semakin bebas dari ilah-ilah selain Allah. Ilah selain Allah itu bisa bersumber dari diri kita sendiri. Al-Qur`an berkata, “Afaraita manittakhadza ilahahu hawahu”. (Apakah engkau tidak melihat Muhammad, orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah-nya).

Rasa sombong, atau perasaan suka membalas dendam, sulit memberi maaf dan penyakit hati lainnya sebenarnya muncul dari peng-ilahan hawa nafsu. Penyakit-penyakit hati ini membuat jati diri manusia yang selalu ingin dekat kepada Tuhan sebagai asalnya menjadi tersandera, terkungkung dan dengan demikian tidak merdeka. Oleh karena ia berada di bawah kendali hawa nafsunya, maka ia menjadi pelaku destruksi diri (zhalimnun li nafsihi) dan destruksi sosial (fasad fil ardh).

Hadirin…

Perlu kita ketahui bahwa puncak kebebasan tertinggi yang diraih seorang Muslim dalam kehidupan sosial itu, ditandai oleh kemampuan jiwa raganya untuk berbuat baik kepada siapa saja, sebagaimana Allah berbuat baik kepada dirinya. Hal inilah yang dimaksudkan firman Allah dalam surat al-Qashash/28 ayat 77:

Artinya:

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu akan (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Para sufi (orang yang tauhidnya telah mencapai puncak) merumuskan pengertian ahsin kama ahsanallahu ilaik dengan kalimat: takhallaqu bi akhlaqillah (Berakhlak dengan akhlak Allah).

Hadirin…

Sebagai seorang ilmuan atau calon ilmuan Muslim, kita harus paham ini, dan berusaha sungguh-sungguh mencapai kesempurnaan tauhid, yang juga kesempurnaan akhlak ini.

Saudara-saudaraku, umur kita tidak lama. Setiap saat kita harus introspeksi (muhasabah) diri. Sudah sampai dimana tarap atau martabat ketauhidan kita.

Dalam konteks kita memimpin sedikit atau banyak orang, di kampus atau di luar kampus: Apakah kita sudah mampu menempatkan diri kita pada posisi muhsinin? 

Dengan posisi muhsinin ini, kita berupaya agar benar-benar memahami mereka, sehingga misalnya, meskipun kita memberi sanksi hukum kepada mereka, karena memang pantas dan etis diberi sanksi. Kita jatuhkan sanksi bukan karena memuaskan rasa balas dendam, tetapi benar-benar karena mendidik mereka. Ketika kita menetapkan sanksi, kita berusaha melihat diri kita bahwa kita sungguh-sungguh khalifah (wakil/pengganti) Allah dalam menetapkan sanksi. Kita juga beristighfar atas keputusan kita, sembari kita berdo’a semoga yang kita pimpin itu kembali kepada aturan yang benar.

Hak-hak mereka di luar itu tetap kita berikan. Hubungan kemanusiaan tetap kita pelihara. Hal ini kita lakukan karena kita berusaha bebas dan merdeka dari sikap meng-ilah-kan hawa nafsu atau egoisme kita. Kita ingin menjadi manusia yang bebas dan merdeka. Kita ingin tetap pada posisi penghambaan yang benar-benar lurus dan ikhlas kepada Allah. Lebih dari itu, kita nanti ingin bersama Rasulullah Saw di surga, karena kita telah berusaha menjadikannya uswatun hasanah dalam hidup dan kepemimpinan kita.

Hadirin…

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa dalam memberikan sanksi, hati kita mesti berkata: “Saya jatuhkan sanksi bukan karena kehendak diri/pribadi saya, tetapi karena aturan menghendaki demikian. Jika saya sampai terjebak menjatuhkan sanksi karena egoisme saya, maka sungguh saya telah tunduk/berpasrah diri kepada hawa nafsu saya. Jika demikian terjadi, maka saya telah meng-ilah-kan diri saya.”

Dalam kaitan inilah agama mengajari kita agar memperbanyak sujud. Dalam shalat, perbuatan yang paling banyak kita lakukan adalah melakukan sujud. Dalam sujud kita diajari meredam dan mengubur dalam-dalam egoisme kita. Sujud mengajari kita naik menuju Allah. Sujud adalah puncak mi'raj kita. Kata Nabi, saat sujud adalah saat hamba paling dekat dengan Tuhan. Saat itu pula kita ucapkan Subhana rabbiyal a’la atau do’a lain.

Setelah shalat, kita diajarkan oleh Nabi berdzikir. Jika kita renungkan makna dzikir-dzikir itu, maka penekanannya adalah pada pendidikan jiwa kita agar terbebas dari segala ilah palsu. Dalam sebuah hadits shahih, Nabi Saw mengajari kita agar membaca sebanyak 10 kali setelah shalat Shubuh dan Maghrib dzikir berikut:

La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah lahulmulku walahulhamd biyadihil khair yuhyi wa yumitu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir.

(Tidak ada ilah selain Allah, Maha Esa, tidak ada syerikat bagi-Nya. Milik-Nya lah kekuasaan dan pujian. Di tangan-Nya lah kebaikan. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan Dia berkuasa atas segala sesuatu).

Ketika membaca dzikir ini dengan rendah hati (tadharru’) dan lemah lembut (khufyah), maka konsentrasi atau fokus hati kita perlulah kita tujukan kepada penafian ilah-ilah yang bersifat psikis itu, misalnya rasa sombong, suka balas dendam, sulit memaafkan orang lain, dan sebagainya. Begitu juga kita harus menafikan pengagungan kita kepada keturunan, kekayaan, kekuasaan, ilmu atau apa saja selain Allah. Sehingga tidak ada lagi perintang kita dalam penghambaan kepada Allah. Dengan cara ini, mudah-mudahan Allah menyampaikan kita kepada puncak tauhid, yakni berada sedekat-dekatnya di sisi Allah SWT. Wajjahtu wajhiya lilladzi fatharassamawati wal ardh, hanifan muslima wama ana minal musyrikin. (Ku hadapkan diriku kepada Dzat pencipta langit dan bumi dengan lurus dan tunduk, dan aku bukanlah golongan orang-orang yang musyrik). 

(Disampaikan pertama kali pada Khutbah Jum’at Mesjid Ulul ‘Ilmi IAIN Padangsidimpuan, 7 Maret 2014)

KETELADANAN: KATA KUNCI MEMPERBAIKI AKHLAK MAHASISWA

Ada yang lebih penting dari sekedar usaha kita memonitor akhlak mahasiswa dan memberi sanksi jika mereka melakukan pelanggaran. Hal amat penting itu adalah memperkuat keteladanan (uswah) dan melakukan pendekatan fatherhood approach dan motherhood approach ketika kita melayani dan berinteraksi dengan mereka. Keteladanan dan pendekatan yang humanis ini akan sangat berhasil dalam menanamkan nilai-nilai akhlak mulia.

Tidak sedikit orang berhipotesis bahwa semakin banyak pengetahuan kognitif mahasiswa tentang akhlak mulia, maka akhlak mahasiswa akan semakin baik. Hipotesis ini memang perlu dibuktikan melalui penelitian. Namun, realitas yang kita saksikan bahwa tidak sedikit pula mahasiswa kita yang berlatar belakang pendidikan agama--- yang nota bene mengetahui secara kognitif batasan-batasan moral --- ternyata berprilaku buruk. Kenyataan ini perlu menjadi objek perenungan kita. Apa yang menjadi masalah di sini? Mengapa bobot kognisi mereka tentang akhlak tidak menambah bobot afeksi mereka?

Jawaban sementara yang dapat saya ajukan adalah sbb: Para penganjur nilai-nilai akhlak al-karimah belum memiliki secara utuh nilai-nilai dimaksud. Secara agak kasar, mereka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan.

Untuk menambah tingkat penerimaan kita terhadap jawaban sementara itu, marilah kita lihat dengan saksama Rasulullah Saw. Pujian Allah kepada beliau bukan pada kehebatan kognisi beliau,tetapi pada keagungan atau kemahaluhuran akhlak beliau. Dalam surat Al-Qalam Allah SWT berfirman: Wa innaka la'ala khuluqin azhim (Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung). Kekuatan utama beliau dalam membangun keadaban terletak pada kekuatan akhlak beliau.

Memberikan pengetahuan kognitif tentang akhlak tetap penting. Tetapi jika keteladanan (uswah) diabaikan, maka anjuran atau konsep-konsep akhlak yang kita berikan akan kehilangan spirit, sehingga tidak menyentuh hati mahasiswa. Wallahu a'lam. P. Sidimpuan, 20-9-2014.

DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...