Istilah teoantropoekosentris pertama kali dimunculkan oleh Prof. Ibrahim Siregar pada saat diskusi di sela-sela pembahasan Proposal Usul Alih Bentuk IAIN Padangsidimpuan menjadi Universitas Islam Negeri pada pertengahan tahun 2020 di Jakarta. Penggunaan istilah ini kemudian didiskusikan dalam Focus Group Discussion Rencana Induk Pengembangan dan Rencana Strategis IAIN Padangsidimpuan dan seterusnya dibahas dalam rapat pimpinan. Istilah teoantropoekosentris ini meskipun tampak sebagai pengembangan istilah paradigma keilmuan UIN Yogyakarta yaitu teoantroposentris, tapi menurut Prof. Ibrahim inspirasi utama istilah teoantropoekosentris adalah Al-Quran surat Fushshilat ayat 53 dan juga ayat Al-Quran lainnya yang terkait, misalnya surat Al-Baqarah ayat 30, Ali Imran ayat 190-191, dan sebagainya. Pada surat Fushshilat ayat 53 tergambarkan dengan jelas bahwa sumber pengetahuan ada tiga yaitu Tuhan (wahyu), manusia, dan alam (Teo-antropo-eko). Ayat dimaksud sebagai berikut:
سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰ فَا قِ وَفِيْۤ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَـقُّ ۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?"
Kata ayatina (ayat-ayat kami) pada surat Fushshilat di atas yaitu afaq (alam semesta), anfus (manusia), al-haq (wahyu). Ayat ini menegaskan bahwa ayat-ayat Allah itu berupa ayat afaqiyah, ayat anfusiyah, dan ayat qauliyah. Oleh karena itu, Fushshilat 53 ini menjadi dasar argumentasi yang kokoh bahwa objek dan sekaligus wilayah ilmu terdiri dari ilahiyah, insaniyah dan kauniyah (Tuhan, manusia, dan alam= theos-anthrophos-eicos).
Pengertian Teoantropoekosentris
Teoantropoekosentris bentukan dari empat kata yaitu teo, antropo, eko, sentris. Teo dari kata theos (bhs. Greek, artinya Tuhan), antropo dari kata antrophos (bhs. Greek, artinya manusia), eko dari kata eicos (bhs. Greek artinya lingkungan/alam), dan centris dari kata centre (bhs. Inggris, artinya tengah, pusat). Secara bahasa, teoantropoekosentris artinya berpusat atau berporos pada Tuhan-manusia-lingkungan/alam. Padanan Arab teoantropoekosentris adalah ilahiyah, insaniyah dan kauniyah.
Sebagai nama bagi paradigma keilmuan UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary, teoantropoekoaentris dipahami sebagai paradigma keilmuan yang berbasis kepada integrasi ilmu-ilmu ilahiyah, insaniyah dan kauniyah. Dalam struktur keilmuan yang dikembangkan, ilmu ilahi (wahyu) menjadi sumber utama sekaligus grand theory pengembangan ilmu. Dari sisi sumber ilmu, maka ilmu yang dikembangkan UIN yang baru ini adalah ilmu yang bersumber dari ayat qauliyah, ayat insaniyah/nafsiyah dan ayat kauniyah.
Al-Quran menempati posisi tertinggi dalam pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta ilmu-ilmu kealaman. Makna posisi tertinggi di sini yaitu menjadi petunjuk atau pembimbing keilmuan mulai dari filosofi, paradigma, teori dan metodologi keilmuan.
Al-Quran---dengan demikian--- menyatukan (mengintegrasikan) semua ilmu, dan dalam operasinya mendorong penginterkoneksian bidang-bidang keilmuan.
Elaborasi Lebih Lanjut
Konsep yang populer dalam pemikiran pendidikan Islam tentang pembagian ayat Allah adalah ayat qauliyah dan ayat kauniyah atau ayat tanziliyah dan ayat kauniyah. Pembagian ini pertama kali dipopulerkan oleh Konferensi Internasional Pendidikan Islam pada 1977 di Makkah. Ayat qauliyah adalah ayat yang turun dari Allah SWT berupa wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, sementara ayat kauniyah adalah ciptaan Allah yaitu manusia dan alam semesta. Pembagian seperti ini tak obahnya memposisikan keberadaan manusia dan alam semesta dalam posisi yang sama, pada hal manusia memiliki posisi eksistensial yang amat berbeda dibanding alam semesta. Perlu diketahui bahwa Al-Qur`an sendirilah yang memosisikan secara mencolok perbedaan realitas manusia dan alam semesta ini. Jika alam disebut sebagai khalq (ciptaan), maka manusia tidak saja disebut sebagai khalq tapi juga 'abd (hamba), khalifah (pemimpin, wakil) dan sebutan-sebutan lainnya yang melambangkan keunggulan (superioritas) manusia dari makhluk lain. Kualitas-kualitas keunggulan itu misalnya teristilahkan dalam terma-terma seperti mu'minin, muttaqin, muhsinin, mukhlishin, 'ibad ar-rahman, dan lain-lain.
Di sisi lain, Al-Qur`an menyebutkan bahwa Allah SWT memuliakan manusia. Pemosisian manusia lebih mulia dari makhluk lain ini wajar sekali karena manusia yang memiliki nafs (jiwa) ini satu-satunya makhluk yang ditiupkan spirit suci (ruh) oleh Allah sehingga manusia layak menjadi khalifah Allah di muka bumi. Manusia dengan demikian, memiliki unsur jasadiah/jismiyah, nafsiah dan ruhaniah. Malaikat hanya memiliki unsur ruhiyah. Setan hanya memiliki unsur nafsiah. Sementara makhluk pisik selain manusia hanya memiliki unsur jasadiah dan nafsiah. Atribut ini menegaskan superioritas manusia terhadap makhluk lain.
Agaknya demikian inilah antara lain yang menjadi alasan, mengapa Kuntowijoyo membagi ayat Allah itu kepada tiga, yaitu ayat qauliyah, nafsiah dan kauniyah. Al-Qur`an sendiri misalnya pada surat Fussilat ayat 53 menegaskan bahwa ayat-ayat Allah itu ada di segenap penjuru alam semesta (afaq), pada diri manusia sendiri (anfus), dan pada Al-Qur`an sendiri (qaul/kalam Allah). Sementara di tempat lain, Allah menegaskan bahwa Al-Qur`an yang sampai kepada kita disebut juga sebagai ayat Allah yang menjadi petunjuk dan pengajaran bagi manusia.
Paradigma teoantropoekosentris menggunakan pembagian Kuntowijoyo dalam mengklasifikasi ayat-ayat Allah dengan sebutan yang sedikit berbeda yaitu ayat ilahiyah, ayat insaniyah dan ayat kauniyah. Dari sinilah kemudian diambil istilah al-ilahiyah, al-insaniyah dan al-kauniyah. Selanjutnya dengan mengambil istilah keilmuan Yunani Kuno, diterjemahkan menjadi teoantropoekosentris. Terjemahan versi Yunani Kuno ini menurut Profesor Ibrahim Siregar diharapkan semakin memudahkan upaya internasionalisasi konsep dan istilah paradigma keilmuan IAIN Padangsidimpuan (sekarang UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan).
Secara filosofis, ketiga bentuk ayat dimaksud tidak mungkin bertentangan karena sama-sama bersumber dari Allah Yang Maha Esa (Allahu Ahad). Fungsinya juga sama yaitu sama-sama menjelaskan Kemahabesaran Allah SWT. Oleh karena itu, jika narasi keilmuan yang keluar dari ketiga ayat yang menjadi objek ilmu tersebut tampak bertentangan, maka sesungguhnya penarasian keilmuan manusialah yang salah (something wrong).
Deduksi-Operatif Teoantropoekosentris
Deduksi-operatif lebih lanjut paradigma keilmuan ini harus tampak pada kurikulum, pembelajaran/perkuliahan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan kehidupan kampus.
1. Kurikulum
Kurikulum dimaknai sebagai jalan (thariqah) yang memuat sejumlah kecakapan dan pengalaman belajar yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan belajar. Secara sederhana, kurikulum berisi pengetahuan, nilai dan keterampilan yang harus dikuasasi oleh peserta didik untuk mencapai standar kompetensi lulusan atau melampaui standar kompetensi lulusan.
Kurikulum terbagi kepada empat komponen, yaitu tujuan, konten (materi), metode, dan evaluasi. Dalam konteks pembelajaran dapat dinyatakan bahwa peserta didik akan terantarkan kepada suatu tujuan/capaian pembelajaran jika keempat komponen dimaksud bekerja sistemik dalam proses pembelajaran.
- Pertama, aspek tujuan. Kurikulum teoantropoekosentris mengarahkan tujuan kurikulum kepada pencapaian perkembangan jasmani, mental dan spiritual peserta didik yang seimbang menuju tercapainya insan kamil (insan seutuhnya/insan paripurna). Dalam konteks pencapaian kompetensi pengetahuan dan keterampilan, maka pengalaman belajar peserta didik dapat diorientasikan kepada suatu capaian pembelajaran tertentu. Namun demikian, orientasi profesionalitas ini diberikan jika syarat-syarat keseimbangan kepribadian telah terpenuhi dengan baik.
- Kedua, aspek konten (materi). Secara garis besar, kurikulum teoantropoekosentris harus berisi muatan ilmu-ilmu keagamaan ('ulum ad-diniyah), ilmu-ilmu sosial dan humaniora ('ulum al-insaniyah), dan ilmu-ilmu kealaman ('ulum al-kauniyah). Dalam operasionalnya, struktur kurikulum semua program studi wajib memiliki muatan tiga bidang besar keilmuan dimaksud. Penekanan kepada bidang keilmuan tertentu dilakukan dengan mepertimbangkan capaian kompetensi pengetahuan dan skill.
- Ketiga, aspek metode atau pendekatan (approach). Dalam pengimplementasian kurikulum, maka kurikulum berparadigma teoantropoekosentris dapat menerapkan pendekatan interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner. Tiga pendekatan ini sangat relevan untuk ilmu-ilmu sosial-humaniora dan sains. Operas ketiga pendekatan integrasi kurikulum ini tetap dalam poros paradigmatik ilahiyah-insaniyah-kauniyah. Sementara pada ilmu-ilmu keagamaan, sangat relevan menggunakan pendekatan bayani, burhani dan 'irfani. Tentu saja, penting juga dinyatakan bahwa dalam wilayah ilmu keagamaan tidak menampik kemungkinan digunakannya pendekatan interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner. Sebaliknya, hemat penulis, dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora dan sains, bahkan dapat pula menggunakan pendekatan 'irfani.*
Pendekatan interdisipliner adalah pendekatan dalam memecahkan suatu masalah keilmuan dan kemanusiaan dengan menggunakan sudut pandang ilmu serumpun yang relevan dan terpadu. Pendekatan multidisipliner adalah pendekatan yang digunakan dalam membahas suatu masalah keilmuan dan kemanusiaan dengan menerapkan sejumlah disiplin ilmu dari rumpun ilmu berbeda. Sementara pendekatan transdisipliner adalah pendekatan keilmuan dalam memecahkan suatu masalah dengan memadukan berbagai sudut pandang disiplin keilmuan, expert, praktisi dan profesional.
Ketiga pendekatan ini dioperasikan dalam lokus paradigmatik keilmuan teoantropoekosentris. Dengan demikian, ketiga pendekatan integrasi kurikulum ini berpijak kepada asumsi-asumsi ontologis, epistemologis dan metodologis teoantropoekosentris (Ilahiyah-Insaniyah-Kauniyah) yang diyakini secara bersama komunitas ilmuan, profesional dan praktisi. Para pengkaji, meskipun dengan latar keilmuan dan profesi yang beragam, mesti memiliki keyakinan keilmuan bahwa semua topik yang dikaji itu pada hakikatnya adalah ayat-ayat Allah, dan tujuan filosofis tertingi setiap kajian terhadap masalah keilmuan dan kemasyarakatan adalah untuk mentransendensikan kepribadian dalam bentuk taqarrub ilallah dan mengetahui secara 'irfani Kemahaagungan dan Kemahabesaran Allah.
Secara lebih praktis dan operatif, ketiga pendekatan ini menghendaki adanya keterlibatan ahli atau ilmuan yang memiliki pengetahuan agama yang komprehensif yang memiliki kompetensi keilmuan 'ulum ad-din (ilmu-ilmu agama), al-fikru al-islami (pemikiran Islam) dan dirasah al-islamiyah (islamic studies).
Jika ketiga macam pendekatan di atas dipandang sulit, maka cara yang paling praktis dan teknikal ditempuh adalah pengintegrasian kurikulum dengan cara tradisional yaitu penerapan proporsi keilmuan antara agama, sosial-humaniora dan kealaman, misalnya untuk program studi ilmu-ilmu sains: agama 10%, sosial-humaniora 15%, dan kealaman 75%. Tentu saja cara terakhir ini bukanlah cara yang cerdas. Dinyatakan demikian, karena proporsionalisasi ini tidak berbasis perspektif teoritik dan konseptual yang matang.
- Keempat, aspek evaluasi. Orientasi evaluasi diarahkan kepada asesmen terhadap pencapaian keseimbangan kepribadian peserta didik. Oleh karena itu, evaluasi pendidikan tidak boleh hanya pada satu aspek taksonomis hasil belajar tertentu. Misalnya hanya aspek kognitif saja. Pencapaian kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial peserta didik dipandang sebagai aspek inti dalam evaluasi. Seorang peserta didik yang masih rendah pada aspek pengetahuan dan keterampilan tidaklah serta merta menjadi alasan untuk menyimpulkan bahwa penerapan kurikulum tidak menuai hasil. Tapi jika pada aspek sikap spiritual dan sikap sosial lemah, maka dapat dinyatakan bahwa penerapan kurikulum tidak berhasil. Statemen seperti ini dibuat karena aspek terpenting capaian kurikulum teoantropoekosentris adalah aspek keimanan, ketakwaan, dan akhlak peserta didik.
2. Pembelajaran/Perkuliahan
Pendidik adalah orang yang paling bertanggung jawab jalannya pembelajaran. Ia diberi tugas mengaransemen skenario pembelajaran yang aktif, efektif, menarik dan menyenangkan. Ia juga paling bertanggung jawab terhadap seduhan materi pembelajaran/perkuliahan. Dalam teoantropoekosentris, seorang dosen harus mampu menyeduh materi perkuliahan yang bermuatan integrasi atau interkoneksi ilmu-ilmu keagamaan, ilmu-ilmu sosial-humaniora, dan ilmu-ilmu kealaman. Integrasi dimaksud, jika belum dapat dilakukan pada level konsep/narasi/deskripsi, maka dapat dilakukan pada level metodologi. Jika dalam level metodologi pun sulit dilakukan, maka setidaknya pada level paradigma. Jika dalam level paradigma masih belum jelas, maka minimal pada level filosofi.
Level Filosofi>>>>> Pendidik telah lurus pandangan ontologi, epistemologi, dan aksiologinya.
Paradigmatik>>>>> Pendidik telah terbentuk paradigma keilmuan teoantropoekosentrisnya.
pendekatan keilmuan integratif (bayani, burhani, 'irfani dan atau
interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner).
Seorang pendidik adalah orang yang mengajak peserta didik dengan hikmah (kearifan yang didasari dengan kemampuan keilmuan yang mendalam dan mumpuni) dan kitab (kemampuan literasi yang kaya). Ia mengajak dan membimbing peserta didik melakukan "pembacaan" terhadap berbagai objek ilmu pengetahuan. Bentuk "pembacaan" ini tentu akan terwarnai oleh paradigma keilmuan seorang pendidik. Pendidik atau dosen yang berparadigma teoantropoekosentris (tauhidiy) tentu saja akan mewarnai "pembacaan" semua objek ilmu dalam perspektif ilahiyah-insaniyah-kauniyah yang integratif.
3. Penelitian
Penelitian (riset) adalah upaya pembelajaran tingkat tinggi bagi seorang dosen atau peneliti. Disebut demikian, karena pekerjaan penelitian berorientasi memproduk ilmu pengetahuan baru atau memperivikasi ilmu pengetahuan sebelumnya. Dalam perspektif paradigma teoantropoekosentris, setiap dosen diharuskan menerapkan pendekatan interdisipliner, multidisipliner atau transdisipliner. Operasi ketiga pendekatan ini ---khususnya dalam ilmu-ilmu sosial, sains, dan humaniora--- mengharuskan terjadinya integrasi atau interkoneksi ilmu agama, sosial-humaniora, dan kealaman. Di sisi lain, operasi pendekatan bayani, burhani, dan 'irfani mesti digalakkan dalam kajian ilmu-ilmu keagamaan.
Penting dijelaskan di sini bahwa meneliti suatu objek memerlukan sistem berpikir riset. Sistem berpikir riset ---mengadopsi dari Burhan Bungin--- dapat digambarkan sebagai berikut:
Filosofi -------> Paradigma------> Konsepsi ------> Metodologi -----> Ilmu Pengetahuan
Penjelasan:
- Pada fase filosofi, yakni fase grand theory (weltstanchaung), seorang peneliti memiliki pandangan Filsafat Keilmuan Perspektif Islam (philosophy of Qur'anic science). Filsafat keilmuan demikian ini mengasaskan pandangan-pandangan ontologi, epistemologi, dan aksiologi kepada Al-Qur`an.
- Pada fase paradigma (mode berpikir), seorang peneliti memiliki mode berpikir teoantropoekosentris (tauhidic paradigm). Paradigma ini muncul sebagai buah konsensus komunitas dosen UIN Syahada tentang asumsi-asumsi ontologi, epistemologi, dan metodologi keilmuan. Buah konsensus ini menumbuhkan keyakinan tentang asumsi-asumsi filosofis keilmuan dimaksud.
- Fase konsepsi. Dari paradigma ini selanjutnya akan terabstraksi menjadi suatu konsepsi (pengertian, paham) yang dapat ditransmisikan kepada komunitas yang lebih besar, setidaknya komunitas civitas akademika.
- Fase metodologi. Fase konsepsi selanjutnya memberi arah dan warna bagi perumusan metodologi. Metodologi penelitian berparadigma teoantropoekosentris menghendaki metode bernalar bayani, burhani, dan 'irfani untuk ilmu-ilmu keislaman, sementara untuk ilmu-ilmu sosial, sains, dan humaniora, menghendaki pendekatan interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner. Namun, dalam hal pendekatan inter-, multi-, dan trans disipliner ini senantiasa harus terlandasi oleh weltanschaung ilahiyah-insaniyah-kauniyah. Era industri 4.0 saat ini tidak relevan lagi jika penelitian hanya dengan pendekatan monodisipliner. Produksi ilmu monodisipliner tidak lagi berkonstribusi bagi peradaban manusia era milenium kedua ini.
- Fase Ilmu Pengetahuan. Penerapan metodologi berparadigma teoantropoekosentris akan melahirkan ilmu pengetahuan yang rahmatan lil'alamin. Secara agak verbal, pengetahuan demikian ini berisi narasi yang berorientasi kepada pemenuhan maqashid asy-syari'ah (hifzh ad-din, hifzh an-nafs, hifzh al-aql, hifzh al-nasl, hifzh al-mal, dan hifzh al-bi'ah).
4. Pengabdian kepada Masyarakat
Pengabdian merupakan bentuk konkret tugas kenabian dan kekhalifahan sebagai operasi (penerapan) ilmu pengetahuan dan berbagai kompetensi yang dimiliki untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat. Dalam perspektif teoantropoekosentris, pengabdian ini adalah amal saleh atau ihsanisasi ipteks yang diperoleh dalam pendidikan, pelatihan dan penelitian. Dengan demikian, dalam pengabdian tidak boleh berorientasi nilai material (money oriented). Tapi harus diorientasikan kepada li ibtigha'i mardhatillah (pencarian keridaan Allah).
Bentuk-bentuk pengabdian harus berporos pada kesepaduan nilai-nilai ilahiyah, insaniyah dan kauniyah. Sebagai tugas propetik (kenabian), maka pengabdian diarahkan dalam rangka pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat. Meminjam istilah ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, pengabdian masyarakat dilakukan dalam kerangka humanisasi, liberasi dan transendensi.
Humanisasi, maksudnya pencerdasan masyarakat dengan ilmu pengetahuan dan skill. Liberasi, yaitu pembebasan masyarakat dari berbagai kekuatan yang membelenggu hidup dan kehidupan masyarakat. Sementara, transendensi adalah penyempurnaan hidup dan kehidupan masyarakat dengan nilai-nilai Ilahiyah yang selanjutnya tercermin dalam kehidupan masyarakat yang beriman dan bertakwa.
Dengan demikian berbagai model pengabdian mengharuskan pula pendekatan interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Sehingga, skema-skema pengabdian yang dilakukan dalam bentuk Partisipatory Action Research (PAR) atau lainnya, selalu diawali dengan gagasan dan narasi keilmuan integratif.
5. Kehidupan Kampus dan Budaya Akademik
Paradigma teoantropoekosentris mengamanatkan terimplementasinya nilai-nilai ilahiyah, insaniyah dan kauniyah secara simultan dalam kehidupan kampus dan budaya akademik. Untuk merealisir hal ini, kampus wajib melakukan tindakan-tindakan terukur sebagai pendaratan nilai-nilai yang yang bersifat tathbiqiyyah (implementatif) dengan berpijak kepada pedoman-pedoman, juknis, SOP dan kode-kode etik yang dirancang untuk mendukung penciptaan kehidupan kampus dan budaya akademik islami, moderat dan berkearifan lokal. Dalam implementasi nilai-nilai keadaban dimaksud, pimpinan kampus pada semua level harus menjadi rool model bagi civitas akademika.
Keterukuran implementasi nilai-nilai ilahiyah-insaniyah-kauniyah dalam kehidupan kampus dapat dilihat dari seberapa tinggi indeks kepuasan stakeholders terhadap layanan akademik dan non akademik, kenyamanan, kerapi-bersihan lingkungan internal kampus. Sementara tingkat budaya akademik dapat dilihat seberapa tinggi indeks capaian dan partisipasi akademik civitas akademika UIN Syahada Padangsidimpuan. Allahu a'lam.***
Catatan:
*Apa yang dimaksud di sini bahwa pendekatan 'irfani dapat diterapkan pada ilmu-ilmu sosial sains dan humaniora, hal ini didasarkan pada pengalaman para saintis Muslim dan Non Musim. Banyak saintis Muslim yang dalam risetnya yang serius terhadap alam, terbantu oleh nalar 'irfani-nya ketika membaca objek risetnya sehingga ia benar-benar merasakan kehadiran Tuhan dalam sains yang digelutinya.
Revisi/penambahan terhadap artikel ini dilakukan pada 04 Desember 2022; 05 Desember 2022.
__________________________________
Foto: Wisuda Sarjana dan Pascasarjana IAIN Padangsidimpuan 27/10/2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar