PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN KUALITATIF-DESKRIPTIF: MASIH KELIRUKAH?



Realitasnya banyak mahasiswa yang keliru dalam membuat rumusan masalah penelitian kualitatif-deskriptif (istilah lain: quasi kualitatif). Kebanyakan rumusan masalah dimaksud tidak terarah dengan baik untuk menjawab fokus penelitian. Hal ini terjadi disebabkan:

1. Mahasiswa keliru dalam memandang dan menentukan fokus atau objek penelitian. 

Contoh kekeliruan menentukan objek penelitian ini misalnya terjadi pada Skripsi berjudul "Peran Guru dalam Meningkatkan Minat Baca Kitab Kuning pada Pondok Pesantren X Kabupaten Padang Lawas."

Ketika mahasiswa ditanya, "Apa objek penelitian kamu?" Ia menjawab, "Minat membaca Kitab Kuning." Ini adalah jawaban yang keliru. Jika dipahami judul di atas dengan baik, mestinya ia menjawab bahwa objek penelitiannya adalah "peran guru". Dalam hal ini peran yang dilakonkan guru dalam meningkatkan minat baca kitab kuning santri.

Berdasarkan objek penelitian tentang "peran guru..." tersebut, maka si peneliti selama proses penelitian harus memfokuskan perhatian kepada "peran guru...". Sekali lagi "peran guru...". Jadi ia harus membatasi risetnya pada situs "peran guru" dimaksud. Ia mengkaji (meneliti) situs itu se dalam-dalamnya dan  menutup perhatiannya kepada yang lain. 

Dengan fokus pada titik perhatian yang tepat dan jelas, maka pertanyaan penelitian yang dirumuskan pun hanya akan menjawab fokus/objek penelitian yang dipilih.

Perlu ditegaskan bahwa "minat baca Kitab Kuning" dalam contoh di atas bukan objek penelitian. Dengan demikian si peneliti tidak perlu masuk ke dalam lokus "minat baca Kitab Kuning" dimaksud. 

Oleh karena itu dalam penelitian "Peran Guru dalam Meningkatkan Minat Baca Kitab Kuning..." ini, peneliti justru hanya meriset salah satu "fenomena" yang telah memberi implikasi kepada terjadinya "peningkatan minat baca". Fenomena dimaksud adalah "peran guru". Jadi, ibarat penelitian tentang "Peran AC dalam menyejukkan suhu kamar", maka yang diteliti adalah "peran AC" bukan "suhu kamar".  


2. Mahasiswa keliru dalam cara merumuskan masalah

Implikasi kekeliruan dalam menentukan objek/fokus penelitian akan berlanjut pada kekeliruan dalam hal merancang rumusan masalah. Dalam kasus Skripsi di atas, si peneliti merumuskan masalah yang keliru (baca juga: mengambang) sebagai berikut:

a. Bagaimana minat baca Kitab Kuning pada Pondok Pesantren X Kabupaten Padang Lawas?

b. Peran apa saja yang dilakukan guru dalam meningkatkan minat baca kitab kuning pada Pondok Pesantren X Kabupaten Padang Lawas?

c. Apa saja kendala dalam meningkatkan minat baca kitab kuning pada Pondok Pesantren X Kabupaten Padang Lawas?

Perlu dipahami bahwa rumusan masalah a dan c berada di luar fokus/objek atau situs penelitian yang berjudul "Peran Guru dalam Meningkatkan Minat Baca Kitab Kuning...". Jika peneliti tetap berkeras untuk menjawab rumusan masalah a dan c, maka ia akan menghabiskan waktu untuk meriset sesuatu yang berada di luar situs penelitiannya. Akibatnya, penelitian seperti ini tidak akan menghasilkan riset yang berdisiplin, komprehensif dan mendalam. Dan tidak pula akan membuahkan informasi ilmu yang berharga dan terjamin novelty (kebaruan)-nya. 

Penting digarisbawahi bahwa hal demikian ini terjadi karena si peneliti belum paham apa sesungguhnya objek riset yang dipilihnya. Ia terjebak dengan persepsinya sendiri yang tidak metodologis tentang penelitian yang dilakukannya. Lebih disayangkan lagi ia menggunakan logika orator (ahli pidato) dalam memahami objek penelitian. Ia tidak bisa membedakan antara analisis dalam narasi pidato dan analisis dalam narasi penelitian. Ia memerangkap dirinya sendiri untuk menghabiskan waktu dalam membahas objek di luar situs penelitian. Oleh karena itu tidak heran jika deskripsi hasil penelitian yang dibuat tak obahnya seperti teks pidato atau laporan jurnalis yang tidak mementingkan kedalaman analisis.


Bagaimana seharusnya?

Seharusnya peneliti hanya benar-benar fokus pada rumusan masalah b yaitu: Peran apa saja yang dilakukan guru dalam meningkatkan minat baca kitab kuning pada Pondok Pesantren X Kabupaten Padang Lawas?

Pada saat peneliti memfokuskan perhatian yang serius pada situs penelitian, ia dapat merumuskan berbagai poin pertanyaan sebagai turunanan dari pertanyaan pokok penelitian (rumusan masalah "b"). Misalnya:

a. Apakah guru berperan sebagai konselor dalam meningkatkan minat baca kitab kuning?

b. Apakah guru berperan sebagai inspirator dalam meningkatkan minat baca kitab kuning?

c. Apakah guru berperan sebagai motivator dalam meningkatkan minat baca kitab kuning?

d. Apakah guru berperan sebagai fasilitator dalam meningkatkan minat baca kitab kuning?

Kalau peneliti sungguh-sungguh mencari jawaban pertanyaan a, b, c dan d pada situs penelitian, maka ia akan menyuguhkan informasi penelitian kualitatif yang komprehensif dan mendalam.


Gambar: 

Bersama Wakil Rektor Bid. Akademik dan Pengembangan Lembaga UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 04 Agustus 2022.


TRAINING PENDIDIKAN KARAKTER RELIGIUS BAGI MAHASISWA MA'HAD AL-JAMI'AH



Latar Belakang
Pembentukan karakter   mahasiswa/mahasantri yang islami salah satu pekerjaan menantang bagi pengelola Ma'had Al-Jami'ah. Di antara nilai karakter yang menantang untuk diinternalisasikan pada diri mahasantri adalah religius,  jujur, toleran, disiplin, damai, dan tanggung jawab. 

Nilai-nilai karakter ini merupakan nilai-nilai keadaban yang dituntut dimiliki setiap Muslim. Namun, realitasnya nilai-nilai dimaksud sering alpa dalam kehidupan praktis seorang Muslim, tak terkecuali dalam kehidupan keseharian mahasantri. Nilai yang sering alpa dimaksud misalnya nilai jujur. Nilai ini belum benar-benar termanifestasi sebagai nilai keadaban ma'had dan kampus meskipun mahasiswa telah melewati proses "nyantri/mondok" pada Ma'had Al-Jami'ah. Bukti yang mencolok yaitu mahasantri yang tidak telaten menyimpan uang dan barang maka ia sering mengalami kehilangan.

Oleh karena itu, di samping proses "mondok" yang berjalan selama ini, maka perlu dilakukan langkah-langkah strategis pengadaban lain dalam bentuk pendidikan dan pembelajaran yang lebih intensif berupa training pendidikan karakter.

Kriteria Peserta Training
Kriteria pokok peserta adalah mahasiswa/ mahasantri Ma'had yang diidentifikasi masih memiliki karakter religius (religiusitas) yang masih rendah (bermasalah) sehingga memerlukan penanganan khusus. Jumlah peserta per kegiatan sebanyak 35 s.d. 40 orang yang terdiri dari 35% laki-laki dan 65% perempuan, atau sesuai kebutuhan.

Cara Mengidentifikasi Calon Peserta
Mahasiswa yang dapat dikategorikan memiliki karakter religus yang rendah (bermasalah) adalah:
1. Mahasiswa yang paling sering melalaikan shalat.
2. Mahasiswa yang paling sering melanggar kode etik berma'had atau yang berkategori adab rendah.

Untuk yang pertama dapat diidentifikasi dari rekapitulasi laporan shalat berjama'ah. Sementara yang kedua dengan cara surve akhlak harian menggunakan instrumen form surve selama dua minggu atau lebih.

Bentuk dan Kegiatan Training
Mahasiswa dikondisikan secara total mengikuti forum pelatihan selama 4 x 24 jam, yang dimulai misalnya Senin sampai Kamis Shubuh. (Dengan demikian peserta dapat puasa Sunnah hari Senin dan Kamis).
Kegiatan utama forum adalah Shalat Fardhu Berjamaah Lima Waktu, Shalat Tahajjud Berjamaah, Shalat Dhuha, Puasa Sunnah Senin atau Kamis, Tilawah dan Tadabbur Al-Quran, Kegiatan Pembelajaran di Forum, Kultum, Muhasabah, dan Pengukuhan Agen Pembinaan Karakter.

Kegiatan Pembelajaran
Pembelajaran dilaksanakan dalam bentuk andragogi (pembelajaran orang dewasa). Dalam pembelajaran seperti ini, peserta menjadi pembelajar aktif, sementara pengelola (instruktur) lebih berperan sebagai fasilitator jalannya forum.

Materi Pembelajaran
a. Ma'rifatullah
b. Ma'rifaturrasul
c. Ma'rifatul insan
d. Tazkiyatunnafsi: Taubat, Tawakkal dan Ridha
e. Alam Barzakh dan Yaumul Mahsyar
f. Shalat Khusyuk: Pendekatan Sufistik
g. Birrulwalidain
h. Kisah-kisah Akhlak Salafus Shalih
i. Integrasi Ilmu Pengetahuan: Paradigma
    Teoantropoekosentris
j. Islam dan Moderasi Beragama

Catatan: 
Elaborasi materi mengutamakan pendekatan 'irfani (sufistik).

Evaluasi
Di akhir sesi penyampaian seluruh materi dilakukan evaluasi pembelajaran untuk melihat tingkat keberhasilan pembelajaran, sekaligus untuk menentukan hasil belajar masing-masing peserta.

Suplemen
Kegiatan dalam forum diiringi nyanyian zikir sufi, misalnya "Astaghfirullah rabbal baraya...", "Ya Rasulullah salamun 'alaik...", "Ilahi lastu lil firdausi (iftirasy)", dll.

_________________

Gambar: Mewakili Rektor pada Safari KKL di Sorkam, Tapanuli Tengah 21 Agustus 2022.




ZIKIR SESUDAH SHALAT: PENJENJANGAN MAKNA TASBIH, TAHMID DAN TAKBIR (Bag. 2)




Berdasarkan hadis shahih yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw., bersabda: "Barangsiapa bertasbih setiap selesai mengerjakan shalat sebanyak 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 33 kali, lalu jadilah 99 kali." Kemudian sabdanya: "Selanjutnya menyempurnakannya menjadi 100 dengan membaca: la ilaha illallahu wahdahu la syarikalahu, lahulmulku walahulhamdu wa huwa 'ala kulli syai'in qadir, maka dosanya diampuni meskipun sebanyak buih di lautan." (HR Muslim, I: 267 dan Ad-Darimi, I: 312).

Susunan zikir ini ---jika dipahami dan dirasakan makna ruhaniahnya--- terasa betul penjenjangan (hirarki) makna yang dikandungnya.

1. Subhanallah (Maha Suci Allah). Dalam sejumlah ayat Al-Quran, ungkapan ini ditujukan untuk pembersihan segala pandangan dan pemahaman kita tentang syirik. Selain itu juga bermakna penentangan dan perlawanan diri kita terhadap kesyirikan. Dalam potongan ayat Al-Quran surat At-Thur/52 ayat 43 misalnya tersebut  ...subhanallahi 'amma yusyrikun (...Maha Suci Allah dari hal apa saja yang mereka syirikkan). Dengan demikian, dalam pendakian spiritual ini, tasbih yang diulang-ulang terus-menerus ini adalah tangga pertama menuju kesempurnaan penafian (peniadaan) segala ilah selain Allah. Dalam tasauf, penafian ini bagian dari proses takhalliy (pengosongan) diri dari segala kesyirikan, kezaliman dan dosa.

2. Jika kita telah mensucikan Allah, dan semoga kita bersih dari syirik, maka tahap (maqam) selanjutnya adalah tahmid, yaitu mengucapkan alhamdulillah (segala puji bagi/milik Allah) 33 kali. Zikir pada tahap ini tunjukannya adalah menegaskan dan menguatkan rasa syukur kita atas segala nikmat dan rahmat Allah, dan lebih dari itu, juga untuk syukur kita atas ujian yang diberikan Allah yang berguna meningkatkan iman dan takwa kita. Nabi kita mengajarkan bahwa pengucapan alhamdulillah ditujukan untuk segala nikmat yang jadi penyempurna kebaikan bagi hidup kita dan untuk segala keadaan yang kita alami dan rasakan.  (الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات؛ الحد لله الذى على كل حال). Berdasarkan bimbingan Nabi tersebut,  para ulama mewariskan ucapan "alhamdulillahi 'ala kulli halin wa fi kulli halin wa bi ni'matin" (segala puji bagi Allah pada segala keadaan dan dalam segala keadaan dan nikmat) yang kita terima. Semoga kesadaran tahmid ini menyampaikan kita kepada 'abdan syakura (hamba yang bersyukur). Mengucapkan tahmid membimbing ruhaniah kaum beriman untuk terbebas dari sikap sombong, congkak, angkuh dan berbagai syirik khafi (syirik halus) lainnya.

3. Tahapan selanjutnya, setelah fase tahmid (syukur), maka kita naik lebih tinggi ke puncak tauhid dengan mengucapkan takbir (Allahu Akbar). Pada fase (maqam) takbir ini, setelah tadinya kita telah merdeka dari syirik dan kesadaran syukur kita telah menghunjam, maka kita mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar) 33 kali. Di puncak ini, kita men-tajalli-kan (memanifestasikan) dengan sempurna keyakinan tauhid sehingga hanya Allah Yang Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Tinggi dan Maha Sempurna. Berbarengan dengan itu, kita hanya takut kepada Allah, dan tidak lagi takut kepada makhluk.

Di puncak pembebasan dari syirik dan pencapaian tauhid yang murni ini, kita sempurnakan zikir kita dengan ucapan pamungkas: la ilaha illallahu wahdahu la syarikalahu, lahulmulku walahulhamdu wa huwa 'ala kulli syai'in qadir (Tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, Dia-lah yang memiliki segala kekuasaan, dan Dia pula yang memiliki segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu).

Insya Allah, dengan membaca zikir di atas setiap selesai shalat dengan tadharru' (rendah hati), khufyah (lemah lembut), khauf (rasa takut) dan thama' (penuh harap), maka Allah akan menggugurkan dosa-dosa kita. Amin...
Allahu a'lam.

Gambar: Safari KKL di Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan, 27 Agustus 2022

PENGETAHUAN: 'ILM, KNOWLEDGE DAN SCIENCE



Definisi
            Istilah Arab untuk pengetahuan adalah 'ilm, sementara dalam bahasa Inggris, pengetahuan diistilahkan dengan knowledge dan science. Filsafat Barat membedakan knowledge dan science. Istilah knowledge dimaksudkan untuk menyebut semua kesan indrawi yang masuk ke dalam intelek manusia sehingga manusia memiliki pengetahuan dan pemahaman tingkat paling awal tentang berbagai objek. Pemahaman paling awal ini belum teruji kebenarannya, karena baru kesan pertama tentang objek. Kesan pertama ini terkadang objektif tetapi sering pula bersifat subjektif. Oleh karena itu dalam filsafat Barat, knowledge ini disebut juga common sense (pengetahuan awam) atau good sense  (pengetahuan yang dipandang baik dalam ukuran awam). Di sisi lain science (sains) yang dalam filsafat Barat dipahami sebagai pengetahuan ilmiah. Sebagai pengetahuan ilmiah, maka menurut Kemeny (1959) science adalah semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah (all knowledge collected by means of scientific method). Titus (1984) menjelaskan bahwa science dipahami oleh banyak ahli seagai suatu istilah yang menunjuk suatu metode yang berguna untuk memperoleh pengetahuan yang objektif dan dapat diuji kebenarannya. (Adib, 2017: 49). Science (sains) di Barat dipahami sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat objektif/faktual, rasional, dan empirik. Di luar sifat yang demikian maka bagi filsafat keilmuan Barat tidak dikategorikan sebagai sains. 

       Dalam perspektif filsafat Islam, ilmu ('ilm) tidaklah sekedar sains, tapi juga menunjuk pengetahuan yang jauh di atas sains yang lazim disebut pengetahuan 'irfani. Pengetahuan 'irfani adalah pengetahuan ruhaniah tentang Allah SWT yang diperoleh melalui zikrullah dan tazkiyatunnafsi (penyucian diri). Oleh karena itu dapat dipahami, mengapa Imam Syafi'i menyebut ilmu itu sebagai cahaya Allah. Dan cahaya Allah itu hanya dipancarkan kepada mereka yang dekat kepada Allah.

Jenis Pengetahuan
      Berdasarkan sumbernya (indra, akal dan hati), maka jenis-jenis pengetahuan terdiri dari pengetahuan biasa (common sense/good sense), pengetahuan ilmiah (science)  dan pengetahuan ilham. Termasuk ke dalam jenis pengetahuan ilham adalah pengetahuan agama/wahyu dan pengetahuan mistik. Dalam perspektif filsafat Islam, jenis pengetahuan terdiri dari 'al-ulum al-'aqliyah (ilmu-ilmu rasional: sains dan filsafat),  dan 'ulum ad-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan).

        Dalam pembagian yang lebih modern, jenis ilmu terdiri dari ilmu-ilmu keagamaan (al-'ulum ad-diniyyah), ilmu-ilmu sosial dan humaniora (al-'ulum al-insaniyyah), ilmu-ilmu kealaman (al-'ulum al-kauniyyah).

Klasifikasi dan Hirarki Pengetahuan
    Secara hirarkis ---mulai dari yang rendah ke yang tinggi--- pengetahuan diklasifkasi kepada pengetahuan biasa (common sense), pengetahuan ilmiah (science), pengetahuan filsafat (philosophy), dan pengetahuan agama (religious science). Dalam perspektif Filsafat Islam, klasifikasi pengetahuan terdiri dari 'ulum al-hissiyah (ilmu-ilmu indrawi), 'ulum al-'aqliyyah (ilmu-ilmu rasional/sains), falsafah (filsafat), dan 'ulum ad-din (ilmu-ilmu keagamaan).

Historisitas Perkembangan Ilmu di Barat
        Pasca renaissance Eropa (abad ke-14 s.d.17), sebagai dampak konflik ilmuan dan tokoh gereja, para ilmuan Barat melepaskan ilmu keagaman dari wilayah ilmu pengetahuan (sains). Dalam doktrin baru yang dikembangkan, sains harus bebas nilai, terutama nilai agama. Implikasi lebih lanjut, sains hanya berkaitan dengan rasio dan empiri. Dalam pandangan ini, di luar wilayah rasio dan empiri bukan wilayah sains dan bukan wilayah ilmu pengetahuan.

Bagaimana dalam Islam?
        Sejak awal, secara konsisten, para ilmuan Muslim memiliki pandangan bahwa wahyu (dalam hal ini Al-Qur'an) berposisi sebagai pijakan philosophy, paradigma dan grand theory pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan cara demikian, maka dalam Islam tidak mendikhotomikan ilmu agama, sains dan humaniora. Meskipun secara operasional tampak memiliki otonomi pengembangan masing-masing, namun pada hakikatnya tiga bagian ilmu ini satu (wahdah al-'ilmi). Semua ilmu bersumber dari Allah dan bertujuan untuk mengenal Allah (ma'rifatullah).

(Gambar: Pemandangan jelang Kota Barus dalam rangka Safari KKL, 22 Agustus 2022)

DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...