MENINGKATKAN PERFORMA ADAB DAN LAYANAN: DARI PENGHAMBAAN KEPADA TUHAN HINGGA ADAB DAN LAYANAN PRIMA KEPADA MANUSIA



Apa penyebab asasi adab dan layanan rendah? 

Tentu ---secara ilmiah--- banyak faktor. Di sini tidak akan disampaikan faktor-faktor ilmiah itu. Silakan dibaca hasil-hasil penelitian yang relevan. Penyampaian di sini bersifat teologis-ideologis.

Al-Qur`an mengajari kita bahwa hal pertama yang harus dikokohkan dan dicerahkan adalah aqidahnya. Aqidah akan melahirkan ideologi. Ideologi adalah asumsi-asumsi dasar atau nilai-nilai dasar perjuangan yang  diyakini benar dan selanjutnya diperjuangkan penegakannya. Oleh karena itu ---dalam konteks pembicaraan ini--- urgen bagi kita untuk memahami, meyakini dan menjadikan nilai-nilai Ilahiyah, Insaniyah dan Kauniyah sebagai pijakan dasar adab dan layanan kita di kampus.

Dalam perspektif keilmuan, nilai-nilai dasar ini membentuk asumsi-asumsi filosofis keilmuan. Kalau asumsi-asumsi filosofis keilmuan itu telah kita yakini dan sepakati bersama, maka jadilah sebagai paradigma keilmuan yang akan membentuk tidak saja mode berpikir ilmiah kita, tetapi juga mode keadaban dan layanan kita. UIN Syahada merumuskan paradigma keilmuannya dengan nama Teoantropoekosentris.


Untuk performa adab dan layanan yang prima, dari mana kita mulai?

Mari kita mulai penguatan interaksi humanis di kampus tercinta ini dari perbaikan adab-adab 'ubudiyah kepada Allah (khususnya ibadah shalat). Sementara orang lain mendeskripsikan interaksi humanis dalam perspektif profesionalisme kerja, kita mendeskripsikannya dalam perspektif tauhidiy (Ilahiyah). Atau dapat kita sebut perspektif teoantropoekosentris (Ilahiyah Insaniyah Kauniyah Paradigm).

Shalat adalah ibadah yang membawa setiap muslim untuk mentransendensi diri secara teratur. Dalam bahasa yang agak fulgar, seorang Muslim ---lima kali sehari-semalam--- mencelupkan jiwanya ke samudera ruhaniah yang suci sehingga ia tetap ingat bahwa statusnya dimuka bumi adalah hamba Allah ('abdullah). Wama khalaqtul jinna wal insa illa liya'budun, "Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menghamba kepada-Ku." (Az-Zariyat: 56).

Shalat ---ibadah yang paling pokok ini--- tidak saja unjuk ketaatan seorang hamba dalam melaksanakan perintah Allah, tapi juga empirikasi jiwa raga dengan cara menghadirkan hati (bi hudhur al-qalbi) untuk mengetahui Allah. Pengetahuan tentang Allah di sini bukan pengetahuan rasional ('aqliyah), tetapi pengetahuan 'irfani (qalbiyah). Lihatlah lafaz-lafaz yang kita baca saat shalat mulai dari takbir hingga salam. Ada lafaz-lafaz yang paling sering terulang, dan ada pula hanya sekali diucapkan. Makna hakiki semua lafaz suci itu mengantarkan kita untuk mengetahui Allah (ma'rifatullah).

Untuk diingat kembali, shalat terdiri dari gerak dan bacaan-bacaan suci, yang diulang-ulang terus-menerus pada waktu-waktu yang ditentukan. Mengiringi shalat lima waktu itu, seorang Muslim dituntut pula untuk senantiasa zikir dalam semua keadaan hidup. Zikir dalam semua keadaan ini tentu saja tidak harus verbal, tetapi yang paling ditekankan adalah memelihara keadaan/kondisi hati yang senantiasa mengingat Allah. Kondisi hati yang selalu bersama Allah (dzikrullah) inilah yang memunculkan sikap diri untuk menolak kecurangan, keculasan, kebohongan, manipulasi, khianat dan berbagai praktik buruk lainnya dalam hidup dan kehidupan. 

Dalam unjuk ketaatan dalam ibadah shalat ini, Allah SWT menghendaki seorang hamba menunjukkan adab yang tinggi, baik lahiriyah maupun batiniyah.

Adab lahir, misalnya suci badan dari hadats dan najis. Sementara pakaian dan tempat yang dipakai dalam ibadah harus suci pula dari najis. Bahkan untuk performa jasmaniah, seorang yang hendak shalat dituntut memakai pakaian yang bagus dan indah. Allah berfirman: Ya bani adama khudzu zinatakum 'inda kulli masjidin... "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, ...(Al-A'raf: 31)

Sementara adab batin dalam shalat ---bagian ini paling penting,  Allah membimbing demikian: 
1. Ta'lamu ma taqulun (mengerti apa yang kamu ucapkan)
2. Tadharru' (rendah hati) [Al-An'am: 63; Al-A'raf: 55; Al-A'raf: 205]
3. Khufyah (suara yang lembut) [Al-An'am: 63; Al-A'raf: 55]
4. Khifah (takut) (Al-A'raf: 205)
5. Thama' (harap) (Al-A'raf: 56; As-Sajdah: 16)
6. Dunal jahri minal qaul (tidak mengeraskan suara) (Al-A'raf: 205)

Pembiasaan adab-adab dalam ibadah ini akan memberi dampak terhadap adab kepada diri sendiri dan orang lain.  Oleh karena itu, adab yang kasar di hadapan Tuhan saat beribadah, akan membuat kita jauh dari Tuhan, dan akan jauh pula dari manusia. Di sisi lain, kita meyakini doktrin idz ahsantum ahsantun li anfusikum, fa in asa'tum falaha... (Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri...) (QS Al-Isra`/17 ayat 7). Itulah sebabnya, kita meyakinkan diri kita masing-masing bahwa jika kita unjuk adab dan layanan prima kepada orang lain, maka pada hakikatnya kita sedang mempersiapkan balikan (out come) yang baik untuk diri kita sendiri.

Pembiasaan adab yang baik ini ---menurut Kitab Suci kita--- akan tampak pada sikap hamba dalam interaksinya dengan manusia lain, yaitu rendah hati, tidak menyombongkan diri, konstruktif (tidak destruktif), dan menebarkan salam (damai, kesejukan, kenyamanan). Mari lihat QS Al-Furqan/25 ayat 63 berikut:

وَعِبَا دُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَ رْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَا طَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَا لُوْا سَلٰمًا

"Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, "salam,"


Bagaimana menurunkan adab ini kepada orang lain, secara khusus kepada mahasiswa?

Dosen (pendidik) memiliki hubungan spesial dengan peserta didik (mahasiswa), yaitu hubungan keilmuan. Hubungan ini dinamai juga hubungan kenabian. Dosen melakukan misi mengeluarkan (mencerahkan) mahasiswa dari "kegelapan" menuju "cahaya" (minazhzhulumati ilannur). Hubungan inilah yang jadi salah satu pintu yang mengekalkan aliran pahala kepada masing-masing pendidik ketika ia telah dipanggil kelak menghadap Allah.

Cara yang dapat dilakukan:
  1. Unjuk integritas diri sebagai warga civitas akademika.
  2. Unjuk keteladanan sebagai insan akademis kepada mahasiswa.
  3. Unjuk layanan yang humanis kepada mahasiswa.
  4. Unjuk kerja yang berhasil guna dan bermanfaat untuk sesama.
Wallahu a'lam.

METODOLOGI PENALARAN INDUKTIF-IRFANI DALAM PEMAHAMAN ILMU KEISLAMAN DAN KEMUNGKINANNYA DALAM ILMU SOSIAL, HUMANITIS DAN SAINS



Pengertian

Metode induktif adalah metode penalaran yang bertujuan mencari kesimpulan umum (substantif, prinsip) dari hal-hal/fakta-fakta partikular. Sementara, 'irfani adalah pengetahuan yang diperoleh melalui persepsi dan perenungan qalbu (batin) terhadap objek-objek ilmu pengetahuan yang menjadi fokus kajian. 

Penalaran induktif yang dipadu dengan epistemologi 'irfani dimaksudkan sebagai metode penalaran yang bertujuan memperoleh kesimpulan berupa makna batiniah yang bersifat umum (substantif, prinsip) dari hal-hal atau fakta-fakta objektif ilmu pengetahuan. Kesimpulan seperti ini dapat disebut sebagai kesimpulan induktif-'irfani.


Kelanjutan Bayani dan Burhani

Epistemologi bayani adalah pemahaman objek (nash/teks) dengan penerapan kaidah ilmu bahasa. Sementara, epistemologi burhani adalah pemahaman objek (nash/teks) dengan penerapan kaidah-kaidah ilmiah seperti sejarah, sosiologi, antropologi, dan hermeneutika. 

Epistemologi bayani mengantarkan capaian pengetahuan pada makna kebahasaan atau tafsir lughawi dari objek. Sementara epistemologi burhani menyempurnakan capaian bayani hingga objek terpahami secara kontekstual. Pemahaman demikian ini dapat juga disebut sebagai tafsir kontekstual-saintifik terhadap objek.

Epistemologi bayani dan burhani masih berada pada wilayah akal (rasio). Oleh karena itu, tidak salah jika dinyatakan bahwa capaian bayani dan burhani masih berada pada wilayah al-'ulum al-'aqliyah (ilmu-ilmu rasional).

Oleh karena itu, untuk sampai pada wilayah ilmu 'irfani, maka selanjutnya mesti melibatkan aspek qalbiyah yang intens. Fase keilmuan yang disebut terakhir ini adalah fase penerapan epistemologi 'irfani.


Pelibatan Aspek Batiniyah (Qalbiyah) yang Intens

Pemahaman objek dengan nalar 'irfani yang intens akan menyampaikan kepada pemahaman konsep-konsep 'irfani yang lebih abstrak, hakiki dan substantif. Pemahaman demikian ini akan semakin menemukan konsepsi atau bentuk-bentuk pengetahuan yang lebih terang jika dibarengi dengan upaya-upaya tazkiyyatunnafs (تزكية النفس) dan praktik-praktik zikir dalam shalat dan luar shalat yang lebih sungguh pula. Jiwa (atau lebih tepatnya qalbu) yang semakin suci akan lebih peka dalam menangkap pengetahuan langsung dari Allah yang muncul secara intuitif (ilhamiy). Secara induktif, konsep-konsep yang dihasilkan oleh bayani-burhani, yang selanjutnya diteruskan dengan pelibatan nalar 'irfani, maka konsep-konsep yang masih rasional ini akan terantar kepada tingkatan-tingkatan abstraksi konsep 'irfani yang lebih hakiki dan substantif.


Operasional Metodologis

Contoh operasional metodologis yang gamblang yaitu tentang pencarian makna substantif tasbih dalam shalat. 

Tasbih ditemukan pada tiga tempat/ keadaan dalam shalat, yaitu saat rukuk, saat sujud pertama, dan saat sujud kedua. Setelah salam, seorang muslim dianjurkan pula bertasbih 33 kali (dirangkai dengan tahmid dan takbir). 

Secara bayani, apa makna tasbih ini? Penjelasan bayani terbaik tentu saja diberikan oleh Al-Quran. Dalam Al-Quran ditemukan sejumlah ayat yang mengandung kosa kata tasbih. Setelah mengumpul sejumlah ayat dimaksud, maka operasi induktif sudah bisa dimulai. Ayat-ayat dimaksud pada tahap awal diposisikan sebagai hal-hal partikular (juz'iyah, rincian), yang untuk selanjutnya ---sambil terus bernalar ke arah pencarian substansi makna dari keseluruhan ayat-ayat tersebut--- secara sirkular-dialektis dilanjutkan pula ke tahap pencarian burhani

Pencarian burhani menerapkan pemikiran kritis ilmiah yang berfokus pada aspek-aspek kontekstual dari masing-masing ayat yang berbicara tentang tasbih. Pada bagian ini, penalaran dibantu dengan kaidah-kaidah ilmiah (metodologi) ilmu, sosiologi, antropologi dan atau hermeneutika. Hasilnya adalah dicapainya pemahaman makna substantif tasbih yang bersifat rasional-filosofis.

Tahapan selanjutnya setelah induksi-bayani dan induksi-burhani adalah induksi-'irfani. Induksi-'irfani dilakukan dengan menyelam lebih dalam pada makna tasbih yang dihasilkan oleh induksi-bayani-burhani. Penyelaman lebih dalam ini dilakukan dengan pelibatan nalar qalbiyah yang intens, sembari bolak-balik mereferen secara imajinatif ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadits yang terkait dan pandangan-pandangan sufistik yang relevan dengan objek perenungan. Dalam hal tasbih, yang penekanan maknanya adalah bersih dari syirik, maka dalam operasional metodologis yang digerakkan oleh operasi  induksi-'irfani ini, akan tampak tahap lanjutan konseptualnya yaitu ikhlas (mukhlishina lahuddin). Ikhlas adalah buah tauhid yang murni. Kemurnian di sini, bukan lagi dalam akal, tapi melampaui akal, yaitu dalam qalbu. Bersamaan dengan pengetahuan tentang tauhid yang murni ini diperoleh pula pengetahuan tentang pemasrahan diri yang ikhlas kepada Allah SWT (hanifan musliman).


Kemungkinan Penerapan dalam Penalaran Ilmu Sosial, Humanitis dan Sains

Ada kemungkinan yang terang untuk menerapkan penalaran induksi-'irfani dalam penalaran ilmu sosial, humanitis dan sains pasca penalaran ilmiah dalam ilmu ini dilakukan. Untuk diingat, bahwa penalaran ilmiah berhenti pada terdeskripsikannya fakta, teori, atau hukum ilmiah. Tahap ilmiah ini murni wilayah rasional-empirikal. Seorang peneliti muslim-beriman, dapat melanjutkan ke tahap penalaran induksi-'irfani, yaitu merenungkan makna dibalik fakta, teori, dan hukum ilmiah dengan pelibatan nalar qalbiyah yang intens. Dalam operasional metodologis induksi-'irfani  pada wilayah keilmuan ini, sembari bolak-balik mereferen secara imajinatif ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadist terkait dan juga asumsi-asumsi filosofis ontologis keilmuan perspektif Islam, maka seorang ilmuan muslim-beriman akan sampai kepada pengetahuan tentang fitrah dasar manusia dan alam semesta yang bersujud, tunduk dan menyerahkan diri kepada hukum-hukum Allah (Sunnatullah). Perenungan yang semakin intens, akan dapat membuka peluang untuk mendapatkan pemahaman konsep-konsep 'irfani yang lebih substantif dan dalam dari pengetahuan sosial, humanitis dan sains. Allahu a'lam.

MENCAPAI PUNCAK MAKNA TAHMID (PUJIAN KEPADA ALLAH) DALAM SHALAT: SUATU PENCARIAN INDUKSI-IRFANI



"Di atas tasbih ada tahmid. Di atas tahmid ada  syukur. Di atas syukur ada ridha
Di atas ridha ada cinta."
*******

Kita menemukan bacaan tahmid hampir di semua gerakan shalat. 
Pertama, saat berdiri membaca Al-Fatihah. 
Kedua,  saat rukuk
Ketiga, saat i'tidal (bangkit dari rukuk)
Keempat, saat sujud pertama
Kelima, saat sujud kedua
Keenam, saat duduk tasyahhud.

Saat tasyahhud (membaca At-tahiyyat), kita membaca "At-tahiyyatul mubarakatush shalawatuth thayyibatu lillah... (Segala kehormatan, keberkahan, shalawat dan kebaikan untuk Allah...) atau At-tahiyyatu lillahi wash-shalawatu wath-thayyibat...(Segala kehormatan milik Allah, begitu pula shalawat dan kebaikan...). Kalimat awal tasyahhud ini berisi lafaz pujian yang agung. Meskipun secara tekstual (harfiah) bunyi bacaanya bukan tahmid (pujian), tapi maknanya adalah pujian/sanjungan hamba yang penuh hormat (agung) kepada Allah. 

Menarik melihat kaitan kalimat awal tasyahhud ini dengan bacaan tahmid saat i'tidal. Perlu digarisbawahi bahwa berdiri saat i'tidal adalah satu-satunya gerakan shalat yang secara khusus diperuntukkan untuk membaca lafaz tahmid yang sempurna. Di antara bacaan tahmid yang lafaznya memiliki kesamaan dengan tasyahhud adalah "Rabbana lakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih". Kalau bacaan i'tidal ini disandingkan dengan bacaan tasyahhud "At-tahiyyatul mubarakatush shalawatuth thayyibatu lillah" atau "At-tahiyyatu lillahi wash-shalawatu wath-thayyibat", maka terdapat lafaz-lafaz yang memiliki kesamaan makna yaitu thayyiban <-> thayyibat dan mubarakan <-> mubarakat. Di sinilah tampak bahwa saat kita duduk tasyahhud ternyata kita mengawali bacaan dengan megucapkan lafaz pujian yang agung. Dan ---Allahu a'lam--- saat tasyahhud inilah posisi spiritual seorang hamba bagaikan duduk di puncak mi'raj, menghadap Allah, lalu mengucapkan simpul kalimat tahmid, "Attahiyyatu...". Ingat kalimat para sufi, "Ash-shalatu mi'raj al-mu'minin" (Shalat itu mi'rajnya orang beriman).

Marilah kita renungkan! Mungkinkah kita mencapai makna terdalam tahmid jika hati, pikiran dan pandangan kita masih belum bersih dari syirik? Tentu saja tidak mungkin. Seorang musyrik yang memuji Allah tak obahnya orang yang berpura-pura menyanjung Kemahaagungan Allah. Pujian seorang  musyrik ini sebenarnya pujian palsu, yaitu pujian yang tidak murni, tidak tulus dan tidak ikhlas. Dengan demikian, tazkiyatun nafs (kesucian jiwa) dari segala kesyirikan [dan juga dosa-dosa] menjadi tangga untuk sampai kepada puncak tahmid.

Atas alasan inilah mengapa kita nyatakan bahwa tahmid (pujian) yang sempurna hanya mungkin dicapai oleh muslim yang tasbih-nya sempurna pula. 

Jadi, kita tidak mungkin mendapatkan makna hakiki tahmid, jika tasbih kita belum benar dan lurus. Tasbih yang benar dan lurus adalah tasbih mereka yang bersih dari syirik dan bertobat dari perbuatan dosa.

Tahmid, sebagaimana disinggung di atas berisi pujian/sanjungan kepada Allah. Tahmid yang tulus melahirkan kondisi hati yang bersyukur. Oleh karena itu, mengucapkan pujian yang tulus kepada Allah sama dengan mengucapkan syukur atas curahan kasih sayang Allah berupa nikmat dan rahmat yang tiada terhitung.

Renungkanlah, syukur yang dalam akan membuat kita ridha. Yaitu ridha atas nikmat dan ujian Allah. Allah-pun ridha kepada hamba-Nya. Ridha hamba yang semakin tulus akan melahirkan cinta kepada Allah (lihat QS Al-Baqarah ayat 165). Ingat bahwa hamba-hamba yang beriman bersangatan cintanya kepada Allah (walladzina amanu asyaddu hubban lillah). Sebaliknya, balasan cinta Allah kepada hamba-Nya tentu jauh lebih bersangatan lagi.

Jadi, dapatlah ditegaskan di sini bahwa pujian untuk Allah (tahmid) dalam shalat itu akan berpuncak pada cinta. 

Dengan demikian, di atas tasbih ada tahmid. Di atas tahmid ada syukur. Di atas syukur ada ridha. Di atas ridha ada cinta. Allahu a'lam.


Tanggapan pada WAG "FTIK Excellent dan Ceria":

Muhammad Ichsan: Kalau saya lebih sepakat untuk menyebutkan: Puncak dari keseluruhannya dimulai dari cinta karena dengan mahabbah kita dapat bertasbih, dapat mengungkapkan rasa syukur baik syukur lisan atau perbuatan.  Kalau kami menilai bukan cinta yang akhir dari kesemua tersebut, akan tetapi cinta yang menjadi pemicu pertama untuk melahirkan tahmid dan lain sebagainya.🙏🙏

Suheri Rangkuti: Sejatinya filsafat Islam dibuat membaca realitas, untuk menghadirkan sesuatu yg baru. Jika konstruk filsafatnya seperti ini haya akan mengulang-ulang yg sudah ada.

Penulis: Barakallah...wa jazakumullah respon positifnya.
Sekaligus menjawab adinda S Ray.
------ Artikel singkat ini sebenarnya membaca realitas tahmid yang ada dalam shalat.
-----Kalau kita mulai secara induktif melihat riil tahmid dalam shalat, maka kita akan jumpai ternyata tahmid adalah lafaz yang paling sering diulang dalam shalat.
-----Selanjutnya, ketika kita menyelam ke dalam tahmid menggunakan nalar irfani, apa yg akan ditemukan?
-----Hamba dapat menemukan bahwa tahmid bermakna syukur.
-----Setelah syukur yang ikhlas, apa selanjutnya? Hamba dapat menemukan ridha.
------Setelah ridha, apa lagi? Hamba dapat menemukan cinta.
-----Benarkah ini? Secara empirik, kebenaran hal ini dapat dikonfirmasi melalui pengalaman ibadah masing-masing hamba.

Suheri Rangkuti: Bukankah hal seperti ini sudah dibahas tuntas oleh al-Ghazali pak.
Kecuali bapak mencoba mengkritik al-Ghazali misalnya menggunakan pendekatan 'irfani yg lebih canggih, mungkin saja kita menemukan hal baru.

Penulis: Saya sangat yakin sudah ada. Krn kita sendiri pun sangat dipengaruhi olh ulama-ulama kita itu. Tapi ----sebagai awam--- kita ingin belajar memverifikasi.

Irwan Saleh Dalimunthe: Apapun jua saling menguatkan satu sama lain sangat berguna. Maka karya sekecil apapun akan bermanfaat. Apalagi para audiens tidak semua dapat menjangkau hal besar maka tulisan satu dua paragraf juga bermanfaat. Tentu polemik konstruktif seperti ini juga mesti muncul, sebab dengan itu kita saling meningkatkan dan memberi motivasi untuk menemukan tradisi baru meraih kebesaran. Insya Alloh segala niatan yang tulus akan menguatkan dan memberi berkah.

Suheri Rangkuti: misalnya, Amin Abdullah mengeritik etika al-Ghazali dan Imanuel Kant,
dengan menawarkan integrasi.
Karena baik buruk menurut al-Ghazali ditimbang oleh hati. Sementara Imanuel Kant menganggap bahwa baik buruk ditimbang oleh akal praktis. Amin Abdullah menawarkan integrasi akal dan hati.

Metodologi baru itu kemudian dikembangkan lagi dengan sebutan integrasi interkoneksi.

Muhammad Ichsan: (Tanggapan terhadap Suheri Rangkuti). Lanjutan dari integrasi interkoneksi ini seharusnya dikembangkan lagi Buya Godang, sehingga melahirkan konstruksi baru dalam pengembangan teori.😁🙏🙏

(Tanggapan terhadap Penulis: "Saya sangat yakin..."). Merekonstruksi yang baru itu bagus tentunya dengan menjaga perkara yang lama, sehingga pertemuan antara keduanya akan melahirkan energi yang komplit.
Syukran pak atas umunisi-amanusi baru yang memberikan semangat baru kepada kami 🙏🙏

Irwan Saleh Dalimunthe: Kita tunggu semua karya dari yang kecil hingga Akbar... Kami selalu menunggu hal-hal yang bersifat konstruktif.

Penulis: (Tanggapan terhadap Muhammad Ichsan, juga selanjutnya terhadap Suheri Rangkuti, bang Irwan Saleh): Sama-sama ustadz.
Berbeda cara pandang banyak orang terhadap ibadah shalat ini. 
>>> Ada yg memandang shalat ini ibadah biasa saja.
---- Tapi saya yakin kita di grup ini memandang ibadah ---yg disebut Nabi Saw sebagai tiang agama--- ini adalah ibadah yg istimewa.
---- Olh krn istimewa, maka tetap menarik dikaji mendalam.

Dalam beberapa artikel singkat, saya mencoba menggunakan pendekatan filosofi-sufistik dengan metode penalaran induksi-irfani.

Pendekatan filosofi-sufistik (dapat juga disebut tasauf-filosofis) ini kita maksudkan sbb:
Shalat --sebagai objek kajian-- dikaji dari sudut ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Penalarannya menggunkan induksi-irfani.
---Untuk diingat, induksi itu adalah penalaran yg dimulai dari melihat objek-objek partikular (khusus) menuju penyimpulan umum/substantif.
---Lalu mengapa dikaitkan dengan 'irfani? Karena ketika melihat objek-objek partikular itu, kita melibatkan perasaan batin (dzauq) kita yang mendalam.

Contoh pada artikel di atas adalah fakta-fakta partikular tahmid. Tahmid ini ada pada beberapa tempat dalam shalat. Dengan menerapkan pendekatan dan metode penalaran yang kita maksudkan, maka pertanyaan-pertanyaan berikut penting diajukan:
  • Secara ontologis, apa hakikat tahmid ini?
  • Secara epistemologis, dengan berulangnya tahmid ini, bagaimana zikir ini (tentu saja bersama lafaz takbir dan tasbih) membentuk pengetahuan 'irfani kita tentang Allah?
  • Secara aksiologis, nilai apa yang ingin dibentuk oleh zikir-zikir yang berulang ini dalam kepribadian kita?
Kalau pendekatan filosofi-sufistik ini menerapkan metode penalaran induksi-irfani, maka insya Allah, Allah memberi ruang untuk cakrawala pengetahuan yg lebih luas.

Syukur kpd Allah, sering kali dalam pencarian itu, Allah membahagiakan hati kita dengan suatu keadaan. Misalnya, apa yang diilhamkan Allah ke dalam pikiran kita saat kita mencari, ternyata sama dengan yang pernah dituliskan oleh ulama kita berabad-abad yg lampau. Allahu Akbar. Begitu kira-kira adindaku ustadz Ichsan dan ustadz S.Ray, bg Iwan dan Jamaah WAG sekalian.🙏

Jadi, meskipun ilmu yg terilhamkan kepada kita adalah pengulangan, tapi pengulangan yang serasa mendapat pembenaran dari ulama yang mumpuni. Betapa ini nikmat yang luar biasa nilainya. Allahu ya 'Alim, subhanaka la 'ilma lana illa ma 'allamtana...🤲

Muhammad Yusuf Pulungan: Relaksasi dulu pak warek dua. Nonton bola.

Penulis: Hehhh... diskusi ini lebih dari relaksasi. Insya Allah.

Gambar:
Pemandangan langit Sumatera Utara. Diambil dari pesawat Citilink dari Kualanamu menuju Pinangsori pada 11 November 2022.

DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...