PENGAJAR STUDI ISLAM MESTI PAHAM PENDEKATAN 'IRFANI

 

Ada tiga pendekatan penting dalam studi Islam (dirasah Islamiyah), yaitu pendekatan bayani, burhani dan 'irfani. Pendekatan bayani adalah pendekatan kebahasaan. Secara sempit dapat juga disebut pendekatan qauliyah (tekstual). Pendekatan burhani adalah pendekatan rasional-ilmiah, atau disebut juga pendekatan kontekstual. Lalu apa pendekatan 'irfani

'Irfani, arti bahasanya pengetahuan atau bersifat pengetahuan. Makna "pengetahuan" di sini bukan pengetahuan empiri atau rasional, tetapi pengetahuan hati (qalbiyah). Pengetahuan hati itu berupa pengetahuan yang diperoleh melalui rasa (dzauq) terhadap objek-objek metafisik/spiritualitas dan juga pengetahuan yang diperoleh melalui ilham. Pengetahuan ini menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh oleh indra dan rasio.

Pendekatan  bayani dan burhani bertumpu pada akal dalam olah pengetahuan, sementara pendekatan irfani bertumpu pada qalbu. Jika cara kerja akal dalam memahami objek dengan cara memikirkan, menafsirkan dan merenungkan, maka cara kerja hati dalam memahami objek dengan cara menghayati, menyadari, meresapi dan merasakan.

Mendayagunakan hati dalam memahami objek akan mengantarkan seorang pencari ilmu ke dalam wilayah ilmu tertinggi yang tanpa batas. Suatu wilayah ilmu yang berpuncak pada pengetahuan ketuhanan (ma'rifatullah). Ilmu irfani ini merupakan makna-makna hakiki dari ilmu-ilmu empirik dan rasional. Jika ilmu rasional dan empirik merupakan tanda-tanda (al-ayat) dan isyarat (al-isyarah), maka ilmu 'irfani adalah makna-makna dari al-ayah dan al-isyarah itu. 

Pengetahuan agama belum sampai kepada pengetahuan puncak jika belum bersentuhan dengan pengetahuan 'irfani. Bahkan pengetahuan sains pun juga belum sempurna jika tidak berujung pada pengetahuan 'irfani. Namun, jika pengetahuan sains sudah berujung pada pengetahuan 'irfani, maka sains telah benar-benar menjadi ayat Tuhan bagi pencarinya.

Hal yang sama juga berlaku pada pengetahuan agama. Jika pengetahuan agama telah sampai pada pengetahuan 'irfani, maka agama menjadi pengetahuan yang sempurna bagi pencarinya. Dalam tingkatan seperti ini, maka persepsi keagamaannya merupakan persepsi yang kamil (utuh/integratif). Allahu a'lam.

PEMAHAMAN FIQIH MENJADI KAKU TANPA PENGETAHUAN 'IRFANI


Fiqh itu ilmu rasional. Pembahasannya berupa kaifiat, haiat dan juz'iat (tata cara, tingkah pola dan rincian) ibadah dan amaliyah hamba. Karena fiqh bersifat tekstual, rasional dan empirikal, maka di sini banyak terjadi ikhtilaf (perbedaan pemahaman dan pengamalan). Dalam pembahasan fiqih ini para ulama mengasaskannya kepada penalaran berdasarkan dalil dan ijtihad. Konsekuensi naturalnya, terjadi perbedaan metodologi dan selanjutnya tentu saja perbedaan kesimpulan hukum dalam banyak hal.
Ilmu 'irfani (pengetahuan ruhaniah) bekerja mencari dan memahami makna batiniah dari setiap objek, contohnya makna batiniah ibadah shalat. Sarana psikis yang digunakan dalam memahami makna batiniah dimaksud adalah qalbu (hati nurani). Cara qalbu dalam memahami suatu objek (misalnya aspek batiniah ibadah) yaitu dengan cara menghayati, merasakan, meresapi dan menyadari. Perlu diperjelas di sini bahwa objek batiniah itu tak dapat dibatasi, tak bisa dirinci dan tak mungkin diformulasi. Di sini hati setiap hamba akan mempersepsi dan merasakan kelapangan, keluasan, kedekatan dan keintiman hubungan spiritual dengan Allah SWT.

Oleh karena itu jika memahami ibadah hanya menggunakan fiqih, maka ruang pemahaman menjadi sempit karena terbatasi oleh juz'iyyat, haiat dan kaifiyyat suatu ibadah. Tetapi jika pemahaman fiqih ini dipadu dengan pemahaman 'irfani, maka ibadah akan dipahami dengan sangat lapang dan tanpa batas. Hal ini karena yang bekerja memahami ibadah adalah hati (qalbu) yang diikuti oleh akal.

Mengapa ada orang sangat ketat dalam fiqih? Karena dunia ilmunya baru dunia empiri dan rasio. Perlu dipertegas bahwa ilmu fiqih merupakan produk penggunaan akal. Akal hanya mampu menalar objek-objek yang berupa  jism, bentuk atau materi. Sementara makna-makna 'irfani hanya mungkin ditangkap oleh qalbu

Oleh karena itu, mereka yang ketat dalam fiqih tentu saja karena pengetahuannya belum sampai ke tingkat 'irfan. Pengetahuan agama yang yang hanya mengandalkan fiqih saja biasanya akan kaku, sempit dan bisa pula intoleran dalam pemahaman. Tetapi sebaliknya mereka yang mulai terbimbing dengan pengetahuan 'irfani akan lapang, fleksibel dan toleran dalam pemahaman dan pengamalan. Tentu saja fleksibelitas pemahaman dan pengamalannya masih dalam batas-batas Sunnah yang tertoleransi.

Kata Penutup
Pemahaman ibadah yang benar dan lurus tidak mungkin hanya mengandalkan pengetahuan fiqih, tetapi mesti naik ke tingkat pengetahuan 'irfan. Pengetahuan 'irfan ini akan mengantarkan hamba kepada kenikmatan ibadah kepada Allah SWT.
 
Jika fiqh dan ilmu 'irfani dilihat dalam perspektif jism dan jauhar; materi dan substansi; bentuk dan isi, maka fiqih itu adalah jism, materi atau bentuk. Sementara ilmu 'irfani adalah jauhar, substansi dan isi.

Fiqih adalah pengetahuan tentang bentuk-bentuk, sementara pengetahuan 'irfan adalah pengetahuan tentang makna-makna batini. Pengetahuan 'irfan tentu saja berada di atas pengetahuan fiqih. Allahu a'lam.

PERBINCANGAN WA GROUP DOSEN TENTANG PENGUATAN TEOANTROPOEKOSENTRIS

 


Anhar Nasution:

*Pesan Teoantropoekosentris*

Inilah salah satu ayat dari sekian banyak ayat Al-Quran yg berkaitan yg secara eksplisit menekankan agar pembelajaran Sains berujung pada penguatan keyakinan siswa/mahasiswa akan pertemuan dengan Allah.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

اَللّٰهُ الَّذِيْ رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَا لْقَمَرَ ۗ كُلٌّ يَّجْرِيْ لِاَ جَلٍ مُّسَمًّى ۗ يُدَبِّرُ الْاَ مْرَ يُفَصِّلُ الْاٰ يٰتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَآءِ رَبِّكُمْ تُوْقِنُوْنَ

"Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menundukkan matahari dan bulan; masing-masing beredar menurut waktu yang telah ditentukan. Dia mengatur urusan (makhluk-Nya), dan menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu." (QS. Ar-Ra'd 13: Ayat 2).

Jika narasi sains Barat "menjauhkan Tuhan", maka narasi sains kita dalam perkuliahan "wajib menyebut dan mengeksplisitkan pesan-pesan Ilahiyah/Ketuhanan."

Sains Barat bertujuan untuk sains itu sendiri, Sains umat Islam bertujuan "taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah."

Zilfaroni:

Pada dasarnya Al-Quran menyetujui antroposentrisme dan ekosentrisme sebagai landasan penyelamatan lingkungan. Musuh besar dari teoantropoekosentris ini ternyata "MERUSAK".

Tetapi prinsip yang harus dipegang, adanya hubungan timbal balik dan pasti ada perbedaan diantara ketiganya, al-Haq tetap al-Haq, manusia tetaplah manusia dan alam tetaplah alam. Semua makhluk memiliki kesakralan tersendiri dan harus dihargai.

Dan kerusakan pada sisi "Theo" menyebabkan klaim binatang kepada manusia, gangguan psikis tanpa obat, bahkan sebagian alam dan manusia yg dimusnahkan dahulu kala diakibatkan oleh rusaknya "Theo" 

And so....what is our home work??

Irwan Saleh Dalimunthe:

Yang pasti memang seperti yg pernah diurai Cak Anhar bahwa masyarakat kampus kita mesti mahir memanfaatkan pendekatan Burhani (Rasio-Emperikal) dengan Bayani (Penjelasan Ajaran) yang di ayomi dan diadon pada nuansa 'Irfani (kesadaran nurani). Sebab bila tidak mereka yg hanya mahir Burhani terjebak pada Sekularisme-materialisme, yang Bayani bisa Zohiriyah dengan segala sifat kakunya. Maka 'Irfani mampu memberi jembatan manakala mau memdekati konsep pikiran dan Thoriqohnya para 'Arifin yang memahirkan diri pada proses pencarian Taqorrub ila Alloh tadi lewat krangka Tasauf-Falsafi. Sehingga akan menjadi integral dalam memandang Alam dan Manusia sebagai Tajallinya Allah yang tidak mungkin berpisah-pisah...hingga duduk prinsip dasar Aqidah (ikatan) dalam pandangan Tauhid Uluhiyah, Rububiyah, dan Ubudiyah...yg pasti IAIN menuju UIN memberi Pekerjaan Akademik menantang dan menjadi Ujian buat masyarakat di kampus hijau sihitang...sehingga tidak berbuah hasil atau potret kabur seperti di foto....🤠🙏🙏🙏

Anhar Nasution: 

Respon terhadap Irwan Saleh Dalimunthe:

Setuju sekali bang. 

Semua ilmu itu kan nama-nama atau simbol-simbol. Pada Fisika-Biologi-Kimia, banyak sekali simbol-simbol. Pembacaan dan penarasian kita terhadap nama-nama atau simbol-simbol itu, secara aksiologis harus mengantarkan siswa/mahasiswa ke puncak ilmu, yaitu ma'rifatullah (mengetahui Allah dg hati). Di sinilah pentingnya pendekatan *'irfani* itu bagi dosen-dosen sains.

Ayo dosen-dosen sains, atau siapa pun yg menarasikan sains mendiskusikan dan memahami terus-menerus epistemologi bayani-burhani-irfani itu.

Jika tidak, istilah Malik Badri, kita akan tetap berada di lubang buaya epistemologi Barat.🙏😊

Secara sederhana, cara kerja epistemologi 'irfani itu sbb:

Dosen membawa narasi dan diskusi sains ke tingkat yg lebih tinggi. 

Ingat bhw dunia sains itu adalah dunia bentuk/simbol. Bentuk atau simbol atau penomena sains itu pasti memiliki makna. Semua penamaan atau penyimbolan manusia dalam dunia sains itu adalah ayat-ayat (tanda-tanda) Allah. 

*Ketika seorang dosen memasuki pembicaraan "makna", maka dosen telah membawa mhs ke gerbang 'irfani.* Qalbu mhs akan merasakan ada Tuhan dlm sains.

Kurang lebih, contoh spt inilah yg diharapkan paradigma teoantropoekosentris itu.

Respon terhadap Zilfaroni:

Mantap...👍 Pekerjaan rumah kita yg mendesak tampaknya mengislamikan paradigma  keilmuan kita masing-masing lbh dulu, sehingga semua dosen kita berparadigma tauhidiy.

Selanjutnya menguatkan bangunan epistemologi keilmuan teoantropoekosentris (ilahiyah-insaniyah-kauniyah).

Hal ini tentu butuh gerakan dan kegiatan cerdas.

Ini sekedar masukan sj untuk didiskusikan🙏😊

MENDAYAGUNAKAN HATI DALAM MENGGAPAI SHALAT KHUSYUK



Al-Quran memberi tuntunan tentang shalat khusyuk. Bahkan istilah khusyuk sendiri berasal dari Al-Quran. Dalam surat Al-Baqarah ayat 45 disebutkan:

وَا سْتَعِيْنُوْا بِا لصَّبْرِ وَا لصَّلٰوةِ ۗ وَاِ نَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَ 

"Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan (sholat) itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,"

Kemudian pada ayat 46 surat Al-Baqarah, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوْا رَبِّهِمْ وَاَ نَّهُمْ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ

"(yaitu) mereka yang yakin bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya."

Khusyuk artinya tunduk, yaitu tunduk hati kepada Allah SWT. Sejalan dengan khusyuk ini, Allah juga membimbing kita agar tadharru' (rendah hati), khufyah (lemah lembut), khauf (takut), thama' (penuh harap).

Hal ini difirmankan Allah dalam surat Al-A'raf ayat 55 dan 56.

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ 

"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."

Selanjutnya pada ayat 56, Allah Subhanahu wa Ta'ala  berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَ رْضِ بَعْدَ اِصْلَا حِهَا وَا دْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًا ۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan."

Keadaan tadharru'  (rendah hati), khufyah (lemah lembut), khauf  (rasa takut),  dan thama' (penuh harap) ini hanya mungkin diperoleh dengan mendayagunanakan qalbu (hati), dan mengendalikan akal. Oleh karena itu ketika shalat maka hati mesti didominankan untuk "mencerna" shalat. Jika akal yang dominan, maka pikiran akan menalar objek yang bermacam-macam dan dapat menyandra kesadaran batini kita dalam shalat. Dengan mendayagunakan hati dalam shalat maka terasa terjadi penyeimbangan akal dan hati.

Hati (qalbu) adalah salah satu elemen psikologis yang amat penting bagi manusia. Hati yang dimaksud di sini bukan lever (hati dalam pengertian fisik), tapi ---mengutip Imam Ghazali--- sesuatu yang halus (luthf) dan bersifat rabbaniyah (memiliki keterhubungan dengan Tuhan). Hati yang halus ini disebut oleh Allah dapat memahami (lahum qulubun la yafqahuna biha= bagi mereka ada hati tetapi tidak mereka gunakan untuk memahami ayat Allah). Lihat surat Al-A'raf ayat 179. 

Cara hati memahami tentu berbeda dengan cara akal. Jika akal memahami dengan cara memikirkan, menganalisa, membandingkan, mengkritisi, menyimpulkan dan sebagainya, maka hati memahami dengan cara merasakan, menghayati, meresapi dan menyadari.

Oleh karena itu terkait dengan shalat khusyuk, mari kita mendayagunakan hati semampunya dalam memahami semua apa yang kita baca dalam shalat hingga kita suatu saat benar-benar connecting dengan pusat kesadaran yang berwadah di qalbu masing-masing.

Jika akal yang dominan dalam shalat, maka sering kali kita tidak sopan (tuna adab) di hadapan Allah. Kasus tuna adab ini sering menimpa mereka yang memiliki paham fikih yang masih sempit. Sebagai contoh, saat mengikuti shalat berjamaah ada saja jama'ah yang berperan layaknya "juri" dalam MTQ. Alih-alih menundukkan hatinya kepada Allah, justru pikirannya berisik dengan ungkapan-ungkapan, "Bacaan imam ini buruk", "Tajwidnya berantakan", "Pakaiannya tidak sesuai Sunnah", dan lain sebagainya. Pada hal ia sedang berada di atas sajadah menghadap kepada Allah.

Orang-orang yang shalih dan dekat kepada Allah berlindung kepada-Nya dari keadaan Shalat yang bermasalah ini. Itulah sebabnya para ulama yang shalih bertobat dari keadaan shalat dan zikir yang dikendalikan oleh liarnya akal pikiran dimaksud. Mereka sependapat dengan ungkapan berikut, "Taubatul 'awwam minadz dzunub, wa taubatul khawwas minal ghaflah". (Taubat orang biasa itu dari dosa-dosa, sementara taubat orang khusus/shalih yakni dari lalai mengingat Allah).

Di akhir shalat kita dituntun untuk beristighfar. Orang-orang shalih beristighfar (memohon ampun) kepada Allah dari kelalaiannya mengingat Allah yang disebabkan oleh ketunaan adab yang menimpanya saat shalat. Salah satu contoh istighfar dimaksud: Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah. Allahumma antas salam wa minkas salam, tabarakta ya dzal jalali wal ikram (Aku mohon ampun kepada Allah, Aku mohon ampun kepada Allah, Aku mohon ampun kepada Allah. Ya Allah, Engkaulah keselamatan, dari-Mu-lah keselamatan, Maha Berkah Engkau wahai yang Maha Mulia dan Pemilik Kemuliaan).


DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...