Khusyuk, dari kata kerja kha-sya-'a. Kata kerja ini semakna dengan: 1) ta-waa-dha-'a, artinya merendah, patuh, tunduk. 2) khaa-fa, artinya takut. 3) ta-dzal-la-la, artinya lirih.
Tentang makna lirih ini dapat dilihat dalam surat Thaha/20 ayat 108:
يَوْمَئِذٍ يَّتَّبِعُوْنَ الدَّا عِيَ لَا عِوَجَ لَهٗ ۗ وَخَشَعَتِ الْاَ صْوَا تُ لِلرَّحْمٰنِ فَلَا تَسْمَعُ اِلَّا هَمْسًا
"Pada hari itu mereka mengikuti (panggilan) penyeru (malaikat) tanpa berbelok-belok (membantah); dan semua suara tunduk merendah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga yang kamu dengar hanyalah bisik-bisik." (QS. Thaha/20: Ayat 108)
Allah SWT membimbing hamba yang beriman agar khusyuk dalam beribadah kepada-Nya. Bimbingan ini difirmankan dalam konteks perintah agar memohon pertolongan kepada Allah dari berbagai kesulitan dan penderitaan hidup dengan cara sabar dan shalat. Sementara shalat itu amat berat melakukannya kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.
Mari perhatikan firman Allah dalam surat Al-Baqarah/2 ayat 45-46 berikut:
وَا سْتَعِيْنُوْا بِا لصَّبْرِ وَا لصَّلٰوةِ ۗ وَاِ نَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَ
"Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan (sholat) itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk," (Ayat 45)
الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوْا رَبِّهِمْ وَاَ نَّهُمْ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ
"(yaitu) mereka yang yakin bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (Ayat 46)
Ayat 45 dan 46 surat Al-Baqarah ini tampaknya sebagai jawaban terhadap pernyataan kita dalam Al-Fatihah ketika shalat, "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" (Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertongan). Pernyataan ini sekaligus menyangkal sikap jahiliyah yang syirik dalam beribadah dan berdoa memohon pertolongan.
Pernyataan hanya kepadaMu kami menyembah menegaskan poin tentang pentingnya memurnikan ibadah kepada Allah. Kemurnian ibadah ini hanya mungkin diperoleh jika kita beribadah dengan khusyuk kepadaNya.
Dalam petikan Al-Baqarah di atas, orang yang khsyuk adalah:
"mereka yang yakin bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya."
Dengan demikian orang yang khusyuk (tunduk, merendah, takut dalam shalat itu) hanyalah orang yang keadaan hatinya yakin bahwa ia akan bertemu dengan Allah untuk mempertanggungjawabkan amalnya di hadapan Allah pada Yaumil Akhir, dan yakin bahwa ia akan kembali pulang kepada Allah. Keadaan hati demikian inilah yang membuatnya khusyuk setiap kali shalat.
Bagaimana dengan orang-orang yang tidak yakin akan adanya pertemuan dengan Allah? Orang-orang yang penuh dosa yang tidak yakin pertemuan dengan Allah ini nanti akan menundukkan kepala menyesali pandangan dan perbuatan mereka di hadapan Allah SWT di Yaumil Akhir. Dalam surat As-Sajadah/32 ayat 32 Allah menggambarkan demikian:
وَلَوْ تَرٰۤى اِذِ الْمُجْرِمُوْنَ نَا كِسُوْا رُءُوْسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَاۤ اَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَا رْجِعْنَا نَعْمَلْ صَا لِحًـا اِنَّا مُوْقِنُوْنَ
"Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata), "Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan. Sungguh, kami adalah orang-orang yang yakin. "
Khusyuk: Memungsikan Hati Memahami Untaian Bacaan Shalat
Para Nabi yang kemampuan rasional dan spiritualnya jauh melampaui kapasitas para sufi dan filosof, berdasarkan wahyu yang mereka terima, telah menjelaskan bahwa ada tiga sarana penting dalam memahami setiap objek, yaitu akal, hati dan indra. Celakanya filosof Barat yang materialism menghapus hati (qalbu) sebagai sarana memahami objek ilmu pengetahuan. Pandangan materialism ini diikuti pula oleh banyak umat Islam. Buktinya, qalbu tidak mendapat porsi metodologis yang memadai ---untuk mengatakan tidak ada sama sekali--- dalam perkembangan keilmuan pada masyarakat Muslim era modern dan post modern. Keadaan ini, celakanya tidak saja menimpa metodologi ilmu-ilmu sains dan sosial, bahkan juga pada ilmu-ilmu keagamaan.
Dalam shalat, justru qalbu (hati) inilah sesungguhnya yang harus didominankan memahami segala untaian bacaan shalat. Jika akal yang dominan, maka sebagaimana sifat akal yang suka menganalisis, mengkritisi dan mengevaluasi, terlebih diberi bisikan lagi oleh setan, maka seringkali orang yang shalat terbawa untuk menalar berbagai objek yang berada di luar shalat. Objek itu misalnya pekerjaan yang belum selesai, kejengkelan kepada orang lain, pujian orang kepada dirinya, dan lain-lain. Akibatnya, objek pemahamannya tidak lagi murni kepada Allah. Ia telah terjebak untuk menalar dan fokus kepada "berhala-berhala pikiran" di luar dirinya. Orang-orang seperti inilah yang disebut dengan ghafilin (lalai).
Orang-orang shaleh bertobat kepada Allah dari keadaan shalat yang tidak baik ini. Dalam konteks seperti inilah mereka berkata, "Taubatul awam minadz dzunub, wa taubatul khawwash minal ghaflah". (Taubat orang biasa itu dari dosa-dosa, sementara taubat orang khusus (shaleh) adalah dari kelalaian). Maksudnya orang shaleh itu bertobat dari kelalaian mengingat Allah.
Untuk mengatasi kelalaian ini, maka menurut para ulama yang shalih tidak ada jalan lain keculi dengan bi hudhuril qalbi (menghadirkan hati) dalam shalat. (Problemnya, hati yang tidak bersih akan sulit dalam menangkap objek Ilahiyah. Sudah tentu pula akan sulit melakukan kontak ruhaniyah/spiritual dengan Allah).
Bagaimana cara seorang Muslim melakukan kontak ruhiyah dengan Allah? Caranya yaitu memungsikan hati dalam memahami semua untaian bacaan shalat. Perlu diingat bahwa cara hati dalam memahami shalat tentu berbeda dengan cara akal. Cara hati memahami yaitu dengan merasakan, menyadari dan menghayati semua ungkapan zikir dan doa dalam shalat.
Oleh karena itu, mari kita rasakan, sadari dan hayati makna dari semua untaian bacaan shalat. Jika belum mampu, maka setidaknya bersikap rendah hati, lemah lembut, takut dan penuh haraplah kepada Allah sepanjang shalat.
Untuk mencapai keadaan hati yang demikian, Allah SWT menuntunkan agar dalam menyeru Allah dan berdoa kepadanya dilakukan dengan cara:
1. Tadharru' (rendah hati) dan khufyah (suara yang lembut).
Allah berfirman dalam surat Al-A'raf ayat 55:
اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ
"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."
2. Khauf (takut) dan thama' (penuh harap)
Allah berfirman dalam surat Al-A'raf ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَ رْضِ بَعْدَ اِصْلَا حِهَا وَا دْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًا ۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan."
Sikap tadharru', khufyah, khauf, dan thama' dalam menyeru Allah dan berdoa kepadaNya hanya mungkin dilakukan jika hati dihadirkan dalam shalat. Keempat sikap batin ini merupakan adab yang harus dilakukan dalam menyembah Allah. Adab-adab itu berupa sikap rendah hati, sikap lemah lembut, sikap takut dan sikap penuh harap kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Setiap hamba yang mampu berendah hati dan berlemah lembut di hadapan Allah Yang Maha Agung, maka insya Allah ia akan mencapai keadaan khusyuk. Selanjutnya, jika ia telah terdidik secara ruhani untuk berendah hati dan berlemah lembut di setiap shalat, maka ia pun akan berendah hati dan berlemah lembut pula berjalan di muka bumi.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَعِبَا دُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَ رْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَا طَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَا لُوْا سَلٰمًا
"Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, "salam," (Al-Furqan 25: Ayat 63).
Hal lain yang dapat digarisbawahi bahwa sikap hati yang angkuh, sombong, dan egoisme yang terbawa-bawa ke dalam shalat, misalnya merasa paling sunnah, paling berilmu, paling dekat kepada Allah dan lain sebagainya, akan menghambat, merusak dan menjauhkan hati dari kekhusyukan dalam beribadah. Konsekuensinya akan memutus kontak ruhaniyah kepada Allah 'Azza wa Jalla. Allahu a'lam.
Gambar:
Zoom Meeting "Sosialisasi Permenpan RB No. 07 Tahun 2022" tanggal 21 April 2022.