KONTAK RUHIYAH DENGAN ALLAH DALAM SHALAT


Kontak ruhiyah maksudnya terjadinya koneksi (hubungan) spiritual seorang hamba dengan Allah ketika ia mendirikan shalat. Istilah yang digunakan Al-Quran untuk kontak spiritual dalam shalat ini adalah khusyuk.

Khusyuk, dari kata kerja kha-sya-'a. Kata kerja ini semakna dengan: 1) ta-waa-dha-'a, artinya merendah, patuh, tunduk. 2) khaa-fa, artinya takut. 3) ta-dzal-la-la, artinya lirih.

Tentang makna lirih ini dapat dilihat dalam surat Thaha/20 ayat 108:

يَوْمَئِذٍ يَّتَّبِعُوْنَ الدَّا عِيَ لَا عِوَجَ لَهٗ ۗ وَخَشَعَتِ الْاَ صْوَا تُ لِلرَّحْمٰنِ فَلَا تَسْمَعُ اِلَّا هَمْسًا

"Pada hari itu mereka mengikuti (panggilan) penyeru (malaikat) tanpa berbelok-belok (membantah); dan semua suara tunduk merendah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga yang kamu dengar hanyalah bisik-bisik." (QS. Thaha/20: Ayat 108)

Allah SWT membimbing hamba yang beriman agar khusyuk dalam beribadah kepada-Nya. Bimbingan ini difirmankan dalam konteks perintah agar memohon pertolongan kepada Allah dari berbagai kesulitan dan penderitaan hidup dengan cara sabar dan shalat. Sementara shalat itu amat berat melakukannya kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.

Mari perhatikan firman Allah dalam surat Al-Baqarah/2 ayat 45-46 berikut:

وَا سْتَعِيْنُوْا بِا لصَّبْرِ وَا لصَّلٰوةِ ۗ وَاِ نَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَ 

"Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan (sholat) itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk," (Ayat 45)

الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوْا رَبِّهِمْ وَاَ نَّهُمْ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ

"(yaitu) mereka yang yakin bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (Ayat 46)

Ayat 45 dan 46 surat Al-Baqarah ini tampaknya sebagai jawaban terhadap pernyataan kita dalam Al-Fatihah ketika shalat, "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" (Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertongan). Pernyataan ini sekaligus menyangkal sikap jahiliyah yang syirik dalam beribadah dan berdoa memohon pertolongan.

Pernyataan hanya kepadaMu kami menyembah menegaskan poin tentang pentingnya memurnikan ibadah kepada Allah. Kemurnian ibadah ini hanya mungkin diperoleh jika kita beribadah dengan khusyuk kepadaNya.

Dalam petikan Al-Baqarah di atas, orang yang khsyuk adalah:

"mereka yang yakin bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." 

Dengan demikian orang yang khusyuk (tunduk, merendah, takut dalam shalat itu) hanyalah orang yang keadaan hatinya yakin bahwa ia akan bertemu dengan Allah untuk mempertanggungjawabkan amalnya di hadapan Allah pada Yaumil Akhir, dan yakin bahwa ia akan kembali pulang kepada Allah. Keadaan hati demikian inilah yang membuatnya khusyuk setiap kali shalat.

Bagaimana dengan orang-orang yang tidak yakin akan adanya pertemuan dengan Allah? Orang-orang yang penuh dosa yang tidak yakin pertemuan dengan Allah ini nanti akan menundukkan kepala menyesali pandangan dan perbuatan mereka di hadapan Allah SWT di Yaumil Akhir. Dalam surat As-Sajadah/32 ayat 32 Allah menggambarkan demikian:

وَلَوْ تَرٰۤى اِذِ الْمُجْرِمُوْنَ نَا كِسُوْا رُءُوْسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَاۤ اَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَا رْجِعْنَا نَعْمَلْ صَا لِحًـا اِنَّا مُوْقِنُوْنَ

"Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata), "Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan. Sungguh, kami adalah orang-orang yang yakin. " 

Khusyuk: Memungsikan Hati Memahami Untaian Bacaan Shalat

Para Nabi yang kemampuan rasional dan spiritualnya jauh melampaui kapasitas para sufi dan filosof, berdasarkan wahyu yang mereka terima, telah menjelaskan bahwa ada tiga sarana penting dalam memahami setiap objek, yaitu akal, hati dan indra. Celakanya filosof Barat yang materialism menghapus hati (qalbu) sebagai sarana memahami objek ilmu pengetahuan. Pandangan materialism ini diikuti pula oleh banyak umat Islam. Buktinya, qalbu tidak mendapat porsi metodologis yang memadai ---untuk mengatakan tidak ada sama sekali--- dalam perkembangan keilmuan pada masyarakat Muslim era modern dan post modern. Keadaan ini, celakanya tidak saja menimpa metodologi ilmu-ilmu sains dan sosial, bahkan juga pada ilmu-ilmu keagamaan.

Dalam shalat, justru qalbu (hati) inilah sesungguhnya yang harus didominankan memahami segala untaian bacaan shalat. Jika akal yang dominan, maka sebagaimana sifat akal yang suka menganalisis, mengkritisi dan mengevaluasi, terlebih diberi bisikan lagi oleh setan, maka seringkali orang yang shalat terbawa untuk menalar berbagai objek yang berada di luar shalat. Objek itu misalnya pekerjaan yang belum selesai, kejengkelan kepada orang lain, pujian orang kepada dirinya, dan lain-lain. Akibatnya, objek pemahamannya tidak lagi murni kepada Allah. Ia telah terjebak untuk menalar dan fokus kepada "berhala-berhala pikiran" di luar dirinya. Orang-orang seperti inilah yang disebut dengan ghafilin (lalai). 

Orang-orang shaleh bertobat kepada Allah dari keadaan shalat yang tidak baik ini. Dalam konteks seperti inilah mereka berkata, "Taubatul awam minadz dzunub, wa taubatul khawwash minal ghaflah". (Taubat orang biasa itu dari dosa-dosa, sementara taubat orang khusus (shaleh) adalah dari kelalaian). Maksudnya orang shaleh itu bertobat dari kelalaian mengingat Allah.

Untuk mengatasi kelalaian ini, maka  menurut para ulama yang shalih tidak ada jalan lain keculi dengan bi hudhuril qalbi (menghadirkan hati) dalam shalat. (Problemnya, hati yang tidak bersih akan sulit dalam menangkap objek Ilahiyah. Sudah tentu pula akan sulit melakukan kontak ruhaniyah/spiritual dengan Allah). 

Bagaimana cara seorang Muslim melakukan kontak ruhiyah dengan Allah? Caranya yaitu memungsikan hati dalam memahami semua untaian bacaan shalat. Perlu diingat bahwa cara hati dalam memahami shalat  tentu berbeda dengan cara akal. Cara hati memahami yaitu dengan merasakan, menyadari dan menghayati semua ungkapan zikir dan doa dalam shalat. 

Oleh karena itu, mari kita rasakan, sadari dan hayati makna dari semua untaian bacaan shalat. Jika belum mampu, maka setidaknya bersikap rendah hati, lemah lembut,  takut dan penuh haraplah kepada Allah sepanjang shalat. 

Untuk mencapai keadaan hati yang demikian,  Allah SWT menuntunkan agar dalam menyeru Allah dan berdoa kepadanya dilakukan dengan cara:

1. Tadharru' (rendah hati) dan khufyah (suara yang lembut).

Allah berfirman dalam surat Al-A'raf ayat 55:

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ

"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."

2. Khauf (takut) dan thama' (penuh harap)

Allah berfirman dalam surat Al-A'raf ayat 56:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَ رْضِ بَعْدَ اِصْلَا حِهَا وَا دْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًا ۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan."

Sikap tadharru', khufyah, khauf, dan thama' dalam menyeru Allah dan berdoa kepadaNya hanya mungkin dilakukan jika hati dihadirkan dalam shalat. Keempat sikap batin ini merupakan adab yang harus dilakukan dalam menyembah Allah. Adab-adab itu berupa sikap rendah hati, sikap lemah lembut, sikap takut dan sikap penuh harap kepada Allah 'Azza wa Jalla.

Setiap hamba yang mampu berendah hati dan berlemah lembut di hadapan Allah Yang Maha Agung, maka insya Allah ia akan mencapai keadaan khusyuk. Selanjutnya, jika ia telah terdidik secara ruhani untuk berendah hati dan berlemah lembut di setiap shalat, maka ia pun akan berendah hati dan berlemah lembut pula berjalan di muka bumi.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَعِبَا دُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَ رْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَا طَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَا لُوْا سَلٰمًا

"Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, "salam," (Al-Furqan 25: Ayat 63).

Hal lain yang dapat digarisbawahi bahwa sikap hati yang angkuh, sombong, dan egoisme yang terbawa-bawa ke dalam shalat, misalnya merasa paling sunnah, paling berilmu, paling dekat kepada Allah dan lain sebagainya, akan menghambat, merusak dan menjauhkan hati dari kekhusyukan dalam beribadah. Konsekuensinya akan memutus kontak ruhaniyah kepada Allah 'Azza wa Jalla. Allahu a'lam.

Gambar: 

Zoom Meeting "Sosialisasi Permenpan RB No. 07 Tahun 2022" tanggal 21 April 2022.

PARADIGMA KEILMUAN ARAB PRA ISLAM

Paradigma diartikan sebagai mode of thought (mode berpikir). Setiap orang tentu memiliki mode berpikir tertentu. Mode berpikir ini akan mencoraki dan mengarahkan cara berpikir dalam memahami setiap objek yang dipelajari atau diteliti. Jadi mode of thought ini selanjutnya akan menentukan mode of inquiry.

Orang Arab Jahiliyah tentu saja juga memiliki mode berpikir atau paradigma keilmuan tertentu. Paradigma keilmuan ini akan mencoraki bentuk pengetahuan atau keilmuan mereka dalam memahami setiap objek, apakah objeknya Tuhan, manusia atau alam semesta. Bagaimana pandangan ontologi,  epistemologi dan aksiologi keilmuan mereka tentu bergantung kepada paradigma berpikir yang mereka anut.

Filosofi berpikir Arab Jahiliyah dapat disebut sebagai filosofi ad-dahriyyah. Istilah ini terambil dari kata ad-dahr (waktu, masa). Dalam Al-Quran surat Al-Jasiyah/45 ayat 24 kaum Jahiliyah berkata, “... wama yuhlikuna illa ad-dahr...” (... tidak ada yang membinasakan kami kecuali waktu...). Jadi, meskipun mereka percaya bahwa Allah pencipta langit dan bumi, tetapi mereka tidak yakin bahwa Allah-lah yang menghidupkan, mematikan, apa lagi membangkitkan kembali. Mereka juga tidak percaya hari Kiamat dan pertanggung jawaban di hadapan Tuhan. Hal demikian ini terkonfirmasi pada ayat Al-Quran berikut:

وَقَا لُوْا مَا هِيَ اِلَّا حَيَا تُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَاۤ اِلَّا الدَّهْرُۗوَمَا لَهُمْ بِذٰلِكَ مِنْ عِلْمٍ  ۚاِنْ هُمْ اِلَّا يَظُنُّوْنَ

"Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa." Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja." (Al-Jasiyah/45: 24).

Dengan demikian, filosofi hidup mereka mirip dengan filosofi hidup kaum materialis era modern yang tidak mempercayai hari berbangkit dan memandang kehidupan itu hanya di dunia ini saja. Perbedaannya, kaum Jahiliyah masih percaya adanya Tuhan, sementara kaum materialis tidak percaya sama sekali.

Dengan filosofi hidup seperti ini maka sumber kebenaran bagi mereka hanyalah tradisi Jahiliyah yang ditopang kepercayaan paganis (penyembahan berhala). Mereka membangun pengetahuan tentang Tuhan, manusia dan alam dalam konteks paganisme dan nilai-nilai hidup Jahiliyah. Selanjutnya Ilmu pembangunan peradaban mereka ditujukan untuk mengukuhkan tradisi Jahiliyah yang paganis. Oleh karena itu pemahaman dan pemikiran keilmuan mereka dalam berbagai aspek didasari oleh keyakinan pada nilai-nilai tradisi Jahiliyah dan paganisme. Dua hal pokok inilah yang menjadi pijakan paradigma berpikir Arab pra Islam.

Cerminan pandangan peradaban mereka dapat dilihat pada bangunan struktur sosial masyarakat Jahiliyah berupa struktur kesukuan (pederasi suku-suku). Suku besar akan melindungi suku yang lemah dan kecil. Sebagai imbalan, suku lemah dan kecil ini membayar upeti kepada suku besar. Suku besar mengatur jalannya kehidupan sosial dan ekonomi di bawah kekuasaan pederasi kesukuan. Suku besar ini juga memiliki kebebasan menjalankan aneka praktik ekonomi mulai dari praktik riba sampai kepada perdagangan manusia (perbudakan). Secara aksiologis, ukuran nilai kemuliaan seseorang bagi mereka dilihat dari kekayaan harta, banyaknya anak dan kebangsawanannya.

Bagi Arab Pra Islam ini, pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan yang diasaskan kepada tradisi Jahiliyah dan kepercayaan paganis. Selain itu harus ditentang.

Atas dasar inilah mereka menentang pengetahuan yang diasaskan kepada tauhid. Berikut segala pengetahuan yang menjadi turunannya yang bersumber dari wahyu Ilahi. Bahkan wahyu Al-Quran, bagi mereka, tak lebih dari asatir al-awwalin (dongeng nenek moyang [Al-An'am/: 25; Al-Anfal/8: 31]) yang tidak bermanfaat sama sekali bagi kehidupan dan masa depan mereka. Allahu a’lam.

 

TADARUS TEOANTROPOEKOSENTRIS: KITA HARUS MEMBACA KEMBALI EKSISTENSI QALBU SEBAGAI SARANA POKOK DALAM MEMPEROLEH ILMU

Filsafat keilmuan Barat yang masuk ke perguruan tinggi di dunia Islam melalui Metodologi Penelitian atau Filsafat Ilmu, sama sekali tidak memposisikan qalbu (hati) sebagi sarana memperoleh ilmu pengetahuan. Filsafat keilmuan ini hanya menyebutkan akal (rasio) dan empiri (indra) sebagai sumber ilmu pengetahuan. 

Penyebab hal ini tentu saja karena filsafat keilmuan dan metodologi penelitian Barat lahir dari rahim Positivisme yang memiliki keyakinan (aqidah) ilmiah yang tidak mengakui agama dan metafisika sebagai sumber kebenaran. Perkembangan selanjutnya muncul pula varian baru filsafat keilmuan yaitu Post Positivisme yang juga menjadi pijakan keyakinan (aqidah) baru dalam pengembangan ilmu. Aqidah keilmuan yang terakhir ini juga tidak menempatkan qalbu sebagai salah satu sumber ilmu.

Banyak ilmuan dan pelajar Muslim tidak menyadari infiltrasi filsafat keilmuan Barat ini ke dalam alam pikiran umat Islam. Akhirnya mereka menerima saja dengan setia berbagai keyakinan ilmiah yang datang dari Barat. Di antara keyakinan ilmiah itu misalnya:

1. Ilmu pengetahuan itu hanya hasil olah rasio dan indra yang didasarkan kepada fakta empirik (indrawi). Di luar itu, seperti teologi (agama) dan metafisika, karena tidak dapat ditunjukkan fakta indrawinya, tidak termasuk kawasan ilmu pengetahuan. 

2. Wahyu (bagi umat Islam: Al-Quran) tidak memiliki kaitan sama sekali dengan Sains. Oleh karena itu membawa argumentasi wahyu ke dalam Sains akan menurunkan derajad Sains.

3.  Konsekuensi poin 2 di atas, maka pemikiran Sains tidak ada sangkut paut dengan ide dan keyakinan tentang Tuhan.

4. Sains, karena tidak berkaitan sama sekali dengan keyakinan tentang Tuhan, maka bersifat bebas nilai. Termasuk nilai Ketuhanan (Ilahiyah).

5. Sains hanya berhubungan dengan fakta objektif. Oleh karena itu pengetahuan wahyu, ilham atau intuisi bukan bagian dari Sains.

Ada Apa dengan Qalbu?

Al-Quran berkali-kali menyebut qalbu. Mulai dari keadaan qalbu, fungsinya dan posisinya bagi manusia. Berdasarkan penjelasan Ilahi tentang qalbu itu, Nabi Saw., memberi penegasan bahwa qalbu menempati posisi paling sentral dalam diri pribadi manusia. Nabi Saw., bersabda:

ان في الجسد مدغة اذا صلحت صلح جسدكله واذا فسدت فسد جسد كله الا وهي القلب

Artinya:

Sesungguhnya pada diri jasmani manusia ada segumpal daging. Jika ia baik maka baiklah seluruh diri jasmani manusia. Tetapi jika ia rusak, maka rusaklah seluruh diri jasmani manusia. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah qalbu.

Islam mengajarkan bahwa qalbu menempati posisi paling sentral dalam membangun diri pribadi manusia, termasuk dalam hal ini pengetahuan manusia. Sebenarnya qalbu lebih sentral dari akal dan indra dalam memperoleh pengetahuan.

Qalbu berfungsi memahami dimensi ilmu yang berada di atas dan melampaui akal dan indra. Jika akal (rasio) dan empiri (indra) hanya mampu memahami ilmu pada wilayah pemikiran deduksi, induksi dan apduksi, maka qalbu memahami ilmu pada wilayah abstraksi yang lebih tinggi dari sekedar deduksi, induksi dan apduksi, yaitu pengetahuan ilham atau intuisi yang berasal dari malaikat dan Tuhan. Objek pengetahuan qalbu ini adalah alam malakut dan alam lahut (alam malaikat dan alam ilahi). Kedua alam yang disebut terakhir ini adalah stratifikasi wujud yang berada di atas alam syahadah (alam dunia). 

Ilmuan Barat modern tidak mengakui stratifikasi wujud yang demikian ini, karena qalbu mereka telah tertutup kepada pengetahuan tentang alam malakut dan alam lahut. Mereka ---pasca renaissance--- telah menutup diri terhadap pengetahuan ilahiyah dan bahkan juga segala pengetahuan yang bersifat metafisik.

Dampak pencampakan qalbu dari wilayah keilmuan ini, manusia Barat modern hanya mengejar pencapaian kesejahteraan dan peradaban material. Mereka justru gagal mencapai kesejahteraan peradaban ruhaniyah atau spiritual. Pada hal mestinya capaian kesejahteraam peradaban umat manusia harus berisi keseimbangan antara material dan spiritual.

Peradaban material telah melahirkan krisis multi dimensi, mulai dari krisis air, pangan, energi, lingkungan, hingga krisis kemanusiaan. Saat tulisan ini dimunculkan, Rusia membombardir Ukraina. Timur Tengah tidak pernah sepi dari letusan senjata ringan dan berat. Israel dengan keras kepala tetap memperluas wilayah pemukiman penduduk negaranya ke wilayah Palestina. Amerika selalu bertingkah sebagai negara yang memaksakan kehendaknya kepada negara-negara lain dengan dalih demokrasi dan HAM, dan sebagainya. Pertanyaannya, beginikah bentuk peradaban ideal yang dikehendaki umat manusia? Tentu saja jawabannya, "Tidak". Peradaban dunia seperti ini telah lari tanpa kendali ke jurusan yang menistakan umat manusia sendiri.

Kata Penutup

Qalbu, yang sejak era renaissance dicampakkan oleh Barat dari rahim epistemologi keilmuan harus kita fungsikan kembali. Kemestian pemungsian qalbu ini merupakan tuntutan keimanan kita kepada Kitab Suci Al-Quran. Peradaban Islam zaman keemasan telah membuktikan pemaduan akal, qalbu dan indra ini dalam pengembangan ilmu dan peradaban. Oleh karena itu epistemologi qalbu ini mesti dipungut kembali. Jika mode berpikir epistemologi Barat itu ditiru dan diteruskan oleh umat Islam, maka sama saja artinya dengan melanjutkan perjalanan peradaban material Barat yang telah mendehumanisasi umat manusia. Wallahu a'lam.


TEOANTROPOEKOSENTRIS: PENGETAHUAN IRFANI ADALAH PUNCAK PENGETAHUAN SAINS

By: Anhar dan Candra Adi Putra

Pengetahuan 'irfani adalah pengetahuan ruhaniah (spiritual) yang kudus tentang Kemahabesaran, Kemahaagungan dan Kemahamuliaan Allah SWT. Al-Qur`an memberi bimbingan bahwa pengetahuan kita tentang objek-objek indrawi (empirik) mesti berpuncak kepada pengetahuan tentang Allah itu sendiri. Pengetahuan yang demikian ini disebut dengan pengetahuan 'irfani atau dalam istilah Imam Al-Ghazali dinamakan ma'rifatullah.

Mari kita renungkan ayat di bawah ini:

اَفَلَا يَنْظُرُوْنَ اِلَى الْاِ بِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ 
"Maka tidaklah mereka memerhatikan unta, bagaimana diciptakan?"
وَاِ لَى السَّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ 
"Dan langit, bagaimana ditinggikan?"
وَاِ لَى الْجِبَا لِ كَيْفَ نُصِبَتْ
"Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan?"
وَاِ لَى الْاَ رْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ 
"Dan bumi bagaimana dihamparkan?" (Al-Ghasyiyah 17-20).

Maksud hakiki ayat ini tentu saja agar kaum beriman mampu melihat secara mendalam bahwa pada penciptaan unta, langit, bumi dan gunung mengandung pesan yang sangat jelas tentang Kemahabesaran penciptanya, yaitu Allah SWT.

Selanjutnya surat Ali Imran ayat 190-191 juga memberi bimbingan bahwa pengetahuan tentang ciptaan Allah (dapat dibaca: sains) akan mengantarkan pelajar atau ilmuan Muslim kepada pengetahuan tentang Allah (ma'rifatullah). Dalam ayat dimaksud dapat dimaknakan  bahwa pelajar atau ilmuan Muslim adalah seorang Ulul albab. Ulul albab disebut oleh ayat adalah orang yang senantiasa berzikir (zikrullah) dan berpikir (atau mengkaji) ciptaan Allah. Secara aksiologis (perspektif nilai ilmu pengetahuan), hasil dari zikir dan pikir akan membuahkan kesadaran ilahiyah (ketuhanan) yang dalam dengan buah iman dan takwa yang kuat.  

Dalam perspektif epistemologi (perspektif filsafat dalam memperoleh ilmu),  ayat-ayat Al-Quran yang disebut di atas membimbing pelajar dan ilmuan Muslim agar:

Menangkap dan merenungkan dengan baik dan mendalam makna Ilahiyah (Ketuhanan) tentang penciptaan unta; langit yang ditinggikan; gunung yang ditegakkan; dan bumi yang dihamparkan; penciptaan langit dan bumi serta penomena siang-malamnya. 

Untuk menangkap makna Ilahiyah itu tentu lebih dulu harus dicari makna ilmiahnya (makna rasional dan empirikalnya). Makna ilmiah dipahami melalui akal dan indera, yang selanjutnya mengantar kepada makna ilahiyah yang dipahami melalui qalbu (hati). 

Pesan epistemologis ayat di atas ---sangat jelas--- supaya ilmuan atau pelajar Muslim memadukan indra, akal dan qalbu dalam mempelajari alam (ayat kauniyah).

Tanggapan Candra Adi Putra:
Semua ayat yang diujungnya ada ungkapan afala yatafakkarunafala ya'qilun (apakah kalian tidak berfikir/berakal) dan lainnya menurut pandangan ilmu saya yang sedikit ini, itu ayat-ayat teo antropo ecocentris. Berarti kita diminta meneliti..walohua'alam

Anhar:
Ya benar Mas Can. Hanya saja suruhan berpikir dalam ayat itu tidak boleh berhenti pada batasan rasio dan empiri sebagaimana mode berpikir ilmiah Barat itu. Tapi harus naik lagi ke tingkat 'irfani (pengetahuan tentang Tuhan).

Candra:
Yang saya pahami begitu Pak.. setelah dipikirkan maka makin beriman, bukan malah makin jauh dari Tuhan.

Ada kisah seorang mantan pilot jet tempur jaman perang dunia dulu (dimana jet tempur dulu blm pakai masker oxygen). Dia terbang tinggi "mendaki" langit... makin sesak napasnya...

Suatu waktu dia menemukan ayat dalam Quran Surat Al-An'am/ 6: 125. Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Dia kemudian kaget bagaimana Nabi Muhammad tahu kalau makin ke atas oxigen makin tipis dan dada sesak... Maka dengan 1 ayat ini dia diberitakan masuk Islam.. Hal menarik, pemilihan kata dalam Alquran.. bukan mendaki gunung tapi mendaki langit.... itu yang bikin muallaf takjub. Masya Allah... Gitu pak.. menurut saya ini contoh pemahaman berparadigma teoantropoecocentris... Wallahu a'lam

Anhar
Exactly mas Can.
Rahasia-rahasia sains, apakah konsep atau teori yang rumit, yang melahirkan ketakjuban pada hati ilmuan, tentu saja mesti tertuju kepada ketakjuban terhadap Sang Penciptanya (Allah SWT).
Kalau kondisi seperti ini terjadi, maka seorang ilmuan telah bersentuhan dengan ilmu 'irfani.
Terintegrasilah pikir, zikir dan amal dalam aktifitas keilmuannya. Kondisi ini yang diharapkan oleh paradigma teoantropoekosentris itu.

Candra:
Satu lagi pak ayat yang bikin astronom atheis terbelalak tentang asal mula alam semesta dan sumber khidupan adalah air. Para astronom ketika melihat exoplanet maka yang dicari adalah unsur air. Mereka kaget baca ayat berikut ini: 

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Al Qur’an, 21:30).

Saya baca dari kisah astronom atheis bahwa dengan  ayat itu akhirnya pintu hidayah terbuka baginya untuk menerima Islam. Jadi, hanya perlu satu ayat untuk membuat seorang atheis masuk Islam.. Tapi kita baca Quran tiap hari --yang saya rasakan --iman gak nambah2 Pak..."intropeksi diri" . Kurang ilmu irfani sepertinya pak WR??? 

Anhar:
Setuju mas Can. 
Apa yang disebut oleh mas Candra ini adalah contoh-contoh bagaimana seorang ilmuan akhirnya sujud (tunduk) di hadapan Allah. Ia telah melewati pengetahuan sains yg rasional dan empirikal.
Kalau pengetahuan Sains kita dan generasi kita masih dalam batas-batas rasional-empirikal --- tidak pernah naik lebih tinggi ke wilayah pengetahuan Ilahiyah--- maka sama saja kita dengan ilmuan Barat yang positivistik (bahkan ateistik) itu. Semoga Allah mengampuni kita.

(Dari chat diskusi pada grup WA "Dosen Tetap IAIN Psp" 02 April 2022 dengan sedikit penyempurnaan redaksi)

DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...