SEYYED HOSSEIN NASR: FILSAFAT PERENNIAL

A.    
Pendahuluan

Seyyed Hossein Nasr (selanjutnya disebut Nasr) adalah salah satu seorang di antara sedikit emikir muslim abat ke-20 yang menaruh perhatian terhadap perlunya kembali menghidupkan nilai-nilai tradisional (tasauf) sebagai tawaranalternatif penyembuha krisi manusia modern.

Di dunia Islam, pada umumnya perhatian paling banyak ditujukan terhadapusaha-usaha kebangkitan di bidang perasaban. Perhatian ini muncul didasari oleh pandangan bahwa umat Islam telah jaun trtinggal di bidang tersebut dibandingkan dengan Barat. Tentetan dari pandangan ini adaah munculnya anggapan dikalangan banyak muslim bahwa nilai-nilai tradisional(tasauf) adalah penyebab hilagnya dinamika Isam, bahkan juga dipandang penyebabnya kuatnya dominasi Barat atas dunia Islam memiliki akar dalam sufisme.

FALSAFAH DAN KEARIFAN ISLAM TENTANG ALAM: Menguak Pesan Dakwah tentangPelestarian Lingkungan


Abstrak

Islam adalah ajaran yang sempurna. Salah satu bagian ajaran Islam tersebut adalah pesan-pesan yang bermakna dalam tentang pelestarian lingkungan. Sebagian besar pesan-pesan tentang pelestarian lingkungan itu berbobot filosofis dan sufistik yang tinggi, yang dapat dirumuskan menjadi world view (pandangan dunia) muslim tentang alam semesta.

Point-point penting pandangan dunia dimaksud adalah pertama, alam bukanlah kepunyaan manusia tetapi ciptaan dan milik Allah. Kedua, alam memiliki keseimbangan dan keteraturan (sunnatullāh). Keteraturan itu ditundukkan kepada manusia sebagai khalīfah Allah. Ketiga, dalam pengelolaan dan penikmatan alam, manusia harus bertindak secara moral (atas dasar taqwa). Keempat, Islam mewajibkan manusia untuk mengkaji dan memahami tanda-tanda Allah (āyāt) di alam. Point-point di atas mesti mendasari pesan dakwah Islam tentang pelestarian lingkungan. Pesan dakwah Islam tentang pelestarian lingkungan, dapat disimpulkan pada tiga hal: Pertama, Upaya kongkret pelestarian lingkungan (da’wah bi al-hāl) yang diorientasikan kepada visi pelestarian lingkungan yakni alam sebagai tempat sujud, sebagai rumah suci dan sebagai ayat-ayat Allah. Suatu visi pelestarian yang propetis, Ilahiah, yang merupakan kongkritisasi kehendak Ilahi di bumi.

Kedua, Upaya jihad intelektual (pemikiran dan konseptual) dalam pelestarian lingkungan (da’wah bi al-lisan). Yakni elaborasi konsep-konsep al-Quran dan Sunnah yang bersepadu dengan konsep-konsep saintifik untuk pelestarian lingkungan.

Ketiga, Pengejewantahan sikap atau idealisme untuk konsisten (istiqāmah) menolak setiap ajakan dan tindakan yang merusak alam (da’wah bi al-qalb).

Kata-kata Kunci:

Pelestarian Lingkungan, Dakwah Islam, Falsafah dan Kearifan Islam, Da’wah bi al-Hāl, Da’wah bi al-Lisan, Da’wah bi al-Qalb.

I.                   Pendahuluan

Islam adalah agama rahmatan lil’ālamīn. Di dalamnya terkandung pesan atau ajaran tentang berbagai hal. Di antaranya, Islam mengandung pesan yang penuh makna tentang alam. Pesan-pesan dimaksud akan mudah ditemukan dalam ayat al-Qur`an dan Hadis Nabis Saw. Secara garis besar, ayat dan hadis dimaksud berisi petunjuk tentang cara pandang seorang muslim terhadap alam, pemanfaatan alam dan bagaimana memelihara alam.

Makalah ini mencoba menguak pesan falsafah dan kearifan dakwah Islam tentang pelestarian lingkungan. Kajian ini diharapkan berguna sebagai sedikit usaha dalam mengatasi masalah lingkungan yang semakin problematis pada era ini. Makalah ini akan dimulai dengan pembahasan tentang pandangan Islam tentang alam, dilanjutkan dengan pembahasan problematika lingkungan, baru kemudian dibahas pesan dakwah Islam tentang pelestarian lingkungan. Simpul dari kajian ini, akan ditempatkan pada bagian penutup.

II.                Pandangan Islam tentang Alam

Alam adalah ciptaan Allah[1], bukan ada dengan sendirinya, seperti pandangan para filsuf materialis atau suatu kejadian buruk yang terjadi atas Brahma yang Absolut, sebagaimana dalam wawasan kosmis Hindu.[2] Alam diciptakan melalui suatu proses penyempurnaan. Di dalam ayat al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-A’raf/7 ayat 57, dan Yunus/10 ayat 3, bahwa Allah menciptakan langit  dan bumi dalam enam masa, dan ketika itu Allah SWT bersemayam di atas ‘arsy, sedangkan ‘arsy berada di atas air.[3]

Pernyataan ayat ini menggambarkan bahwa kejadian langit dan bumi melalui suatu proses yang ditetapkan. Proses ini, menurut Ibn Rusyd dimulai dari air.[4] Ayat inilah yang kemudian mengantarkan sebagian filsuf muslim sampai kepada pandangan bahwa alam diciptakan dari sesuatu yang sudah ada, yaitu air. Pandangan ini bertolak belakang dengan kaum teolog (mutakallimīn) yang memiliki pandangan cretio ex nihilio, yakni menciptakan dari sesuatu yang tidak ada.[5] Meskipun para ilmuan muslim masa lalu berbeda pendapat tentang proses penciptaan alam, namun mereka sepakat mengatakan bahwa alam adalam ciptaan, bukan ada dengan sendirinya.

Alam yang terbentang sangat luas, adalah suatu cosmos, bukan chaos. Pandangan ini telah ada pada masa filsuf Yunani Kuno.[6] Wahyu al-Qur`an, meskipun dengan paradigma yang berbeda, ternyata juga menegaskan demikian (al-Furqān/25: 2; Abasa/80: 19).[7] Al-Qur`an menyebut penciptaan alam beserta berbagai penomena alamiah di dalamnya sebagai āyāt. Di antara ayat al-Quran yang menyatakan demikian adalah sebagai berikut:

Artinya:

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur`an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhan-mu menjadi Saksi atas segala sesuatu?[8]

Ayat biasa diterjemahkan sebagai tanda-tanda kebesaran Allah atau petanda Allah. Dalam bagian lain al-Qur`an dinyatakan demikian:

Artinya:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan  siang dan malam terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (Āli Imrān/3: 190-191).[9]

Oleh karena penciptaan alam dan berbagai penomena alamiah adalah ayat Allah, maka memahaminya akan memantapkan keyakinan kepada keesaan Allah SWT. Pemahaman seperti ini tentu tidak ada pada wawasan kosmik Yunani kuno. Oleh karena itu, wawasan kosmik Islam adalah pengejewantahan dari wawasan tauhid, yakni suatu wawasan yang menempatkan Allah sebagai eksistensi paling utama dan menjadi asal dan tujuan akhir seluruh ciptaan atau makhluk.[10] Juga menjadi tempat bergantung seluruh makhluk.

Alam demikian sempurna. Tidak ada jurang pemisah di alam. Tidak ada obyek atau kejadian di alam ini yang berupa kebetulan. Segala kejadian terjadi dengan sebab-akibat yang dapat diperkirakan. Menurut Ismail R. al-Faruqi, bisa jadi kejadian sebab-akibat itu tidak diketahui, tetapi ia ada, dan pertaliannya dengan sesuatu atau kejadian adalah sungguh nyata.[11]

Susunan alam bukanlah sekedar susunan sebab dan akibat material, susunan ruang dan waktu dan kategori teoritis lainnya. Alam adalah suatu kenyataan yang bertujuan, dan segala sesuatu di alam mempunyai fungsi memenuhi tujuan, dan karena itu ikut memberi dampak bagi kesejahteraan dan kesetimbangannya. Dari sebutir kerikil di lereng bukit, plankton dipermukaan laut, kuman di perut kayu, hingga galaksi dan matahari, ikan paus dan gajah ― segala sesuatu kelahiran dan pertumbuhannya, hidup dan matinya; memenuhi tujuan yang telah digariskan Tuhan. Semuanya tunduk kepada kehendak Tuhan.[12] Semua makhluk bergantung satu sama lain, dan seluruh penciptaan berjalan karena keselarasan sempurna di antara bagian-bagiannya. Dalam Al-Qur`an surat ke-65 ayat 3 disebutkan bahwa segala sesuatu ditetapkan Allah ukurannya.[13]

Alam bagi muslim sebagai masjid (tempat sujud). Sebagai masjid, maka alam adalah tempat menghambakan diri kepada Allah SWT. Sujud adalah tanda kedekatan seorang hamba kepada sang Khaliq. Sujud dilakukan dengan cara menundukkan kepala dengan cara mencium tanah sebagai lambang berendah diri dihadapan Allah SWT. Sujud juga akan mengantarkan hati manusia untuk menyadari asal penciptaannya, yakni tanah. Sujud akan memancarkan kesadaran tentang hakikat diri manusia yang berasal dari hakikat yang hina (tanah) dan mulia (ruh). Sujud juga akan memancarkan kesadaran akan kesemestaan, karena ketika sujud, manusia benar-benar berinteraksi penuh dengan alam (tanah) yang menjadi asal penciptaan jasadnya. Sujud dapat pula mengantarkan seseorang untuk mencintai tanah, tempat berdiri kokoh manusia dan berbagai binatang dan tanaman.

Doktrin Islam juga mengajarkan bahwa alam adalah rumah suci. Rumah suci artinya tempat hunian yang suci. Ia suci, karena memang tanpa cacat (al-Mulk/67: 3-4).[14] Alam begitu teratur, indah, apik dan rapi. Alam dengan hukum-hukumnya yang seimbang. Di alam, semua makhluk mendapatkan kebutuhannya. Allah SWT telah mengaturnya demikian (al-Baqarah/2: 29).[15] Semua ciptaan mendapatkan rezkinya di alam. Alam telah melimpahkan berbagai kenyamanan dan kesenangan bagi hidup manusia. Alam telah ditundukkan kepada manusia (Luqmān/31:20).[16] Agar manusia senantiasa hidup nyaman di dalamnya, manusia tentu mesti menjaga hukum-hukumnya. Allah menyebutnya sebagai sunnatullāh. Jika sunnatullah dilanggar, maka alam bisa berubah menjadi tempat yang tidak nyaman. Hal ini ditandai dengan munculnya bencana alam. Oleh karena itu, manusia harus menjaga hukum-hukumnya, hidup dengan baik dalam keseimbangannya. Hal inilah yang diingatkan Allah agar manusia tidak melampaui batas.

Alam ini adalah rumah sementara atau persinggahan manusia. Ibarat suatu perjalanan yang panjang, alam adalah tempat transit manusia sebelum melanjutkan perjalanan menuju tujuan terakhir yang abadi yakni kehidupan akhirat. [17] Selama di dunia, manusia tidak boleh lengah, yang menyebabkan ia keluar dari ketakwaan. Allah SWT mewajibkan manusia untuk meninggalkan amal atau karya terbaiknya di bumi, sehingga dapat menjadi amal jariah baginya. Karya atau amal yang paling baik itu adalah karya atau amal yang dapat memberi kemaslahatan kepada manusia lain dalam waktu yang panjang. Dengan begitu, setiap muslim sesungguhnya memiliki wawasan nilai untuk senantiasa meninggalkan amal atau karya yang lestari di bumi.

III.       Problematika Lingkungan Hidup

Keadaan lingkungan hidup manusia saat ini sudah memprihatinkan. Bencana yang lebih besar diperkirakan akan muncul jika manusia tidak segera kembali memperhatikan hukum-hukum keseimbangan alam (sunnatullāh). Berbagai bencana yang muncul seperti kekeringan, ketidakstabilan suhu panas bumi, polusi yang meningkat serta berbagai masalah yang ditimbulkannya seperti sunami, banjir, longsor, gempa bumi dan sebagainya adalah akibat dari rusaknya keseimbangan di alam. Hal inilah yang diingatkan Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur`an surat ar-Rum ayat 41:

Artinya:

Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan karena  perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).[18]

Ancaman bagi lingkungan hidup manusia dapat digambarkan berdasarkan ancaman memprihatinkan akan bahaya yang dipastikan akan datang. Saat ini, berton-ton karbon doiksida dibuang ke atmosfir, jutaan spesies makhluk hidup telah punah/mati, padang pasir sahara bertambah luas, panas bumi yang semakin   meningkat. Prediksi ilmiah mengatakan bahwa ancaman bahaya kelaparan dunia sudah mengintai di depan mata, bahaya kekeringan akan makin hebat, jutaan manusia akan mengalami krisis energi dan air. Jika prediksi ini benar-benar terjadi, maka bumi ini tidak lagi menjadi tempat atau hunian yang layak bagi manusia dan makhluk lainnya.[19]

Mengapa hal ini terjadi? Mengapa bumi, dari yang tadinya tempat yang menyenangkan bagi manusia, kini diambang mala petaka besar? Berbagai hipotesis telah dirumuskan untuk memberi jawaban pertanyaan tersebut. Telah banyak pertemuan dilakukan, mulai dari pertemuan lokal, Nasional dan Internasional. Pada tingkat Internasional, telah dilaksanakan dua kali Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi)[20], disamping forum Internasional lainnya seperti Perjanjian Kyoto, Protokol Montreal dan Pertemuan Bali.  Dari berbagai forum dimaksud telah banyak dirumuskan usulan-usulan kongkrit penyelamatan planet bumi ini. Di sampaing itu, banyak pula usulan-usulan konseptual yang dihasilkan.

Secara umum, berbagai usulan itu berkisar pada follow up yang operasional dan teknis penyelamatan lingkungan alam (bumi).[21] Usulan teknis dan operasional dimaksud seperti pengurangan emisi gas rumah kaca oleh Negara-negara maju, penumbuhkembangan energi elternatif yang memiliki dampak polusi lebih kecil, menghindari pembakaran hutan di Negara-negara yang memiliki cadangan luas hutan, menggalakkan konservasi alam, dan sebagainya.

Pada tataran yang filosofis dan sufistis, para pakar juga menyampaikan berbagai pandangan konseptual untuk tawaran bagi pemecahan problem lingkungan alam. Sebagai contoh, para filsuf perennial menawarkan konsep perubahan cara pandang terhadap alam. Jika sains yang sedang  berkembang (sains Barat) mendasarkan dirinya kepada filsafat positivistik, yang memandang alam sebagai rival atau sesuatu yang harus ditundukkan dan selanjutnya dieksploitasi, maka mereka menawarkan cara pandang terhadap alam yang lebih holistik dengan cara menghidupkan kembali nilai-nilai tradisional (agama) dalam memandang alam.[22] Akar masalah krisis lingkungan tersebut, menurut mereka berakar pada pandangan yang distortif terhadap alam. Alam harus dipandang sebagai sahabat, rumah suci dan tempat menghambakan diri kepada Tuhan. Alam tidak untuk ditundukkan, tetapi dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran. Dunia dibangun dengan indah, sehingga menjadi hunian yang sehat, aman dan damai.[23]

Para ahli mistisisme atau tasauf menawarkan konsep aktualisasi nilai-nilai spiritual dalam menyelamatkan bumi ini. Aktualisasi nilai-nilai spiritual dimaksudkan adalah pengejewantahan nilai-nilai ketuhanan tentang penciptaan alam, sehingga manusia menyadari dengan baik bagaimana Tuhan membimbing dia untuk berinteraksi dengan alam raya ini. Para sufi dan ahli mistis berkeyakinan bahwa agama-agama menyimpan nilai-nilai yang luhur yang dapat dipegang ketika manusia berinteraksi dengan alam sekitarnya. Nilai-nilai luhur dimaksud akan merubah cara pandang manusia terhadap alam, yang sekaligus juga merubah prilakunya ketika berinteraksi dengan alam.[24]

IV.        Pesan Dakwah Islam tentang Pelestarian Lingkungan

Dalam tulisan ini, pesan dakwah Islam dimaksudkan adalah falsafah dan kearifan Islam dalam melakukan seruan untuk pelestarian lingkungan. Atau lebih tepatnya misi Islam tentang pelestarian lingkungan, yang dapat dijadikan acuan para da’i (penyeru) pelestarian lingkungan dengan pendekatan kearifan dan falsafah.

Secara garis besar, penyampaian pesan dakwah Islam, tak terkecuali tentang topik pelestarian lingkungan dapat dibagi kepada da’wah bi al-hāl, da’wah bi al-lisan dan da’wah bi al-qalb.[25]

Pada bagian ini, penulis mencoba menjelaskan pesan dakwah dengan pendekatan falsafah dan kearifan Islam berkenaan dengan da’wah bi al-hal, da’wah bi al-lisān dan da’wah bi al-qalb tentang pelestarian lingkungan.

1.      Da’wah bi al-Hāl dalam Pelestarian Lingkungan

Sebagai agama terakhir dan sempurna, Islam menekankan bahwa tindakan (‘amal) dalam pelaksanaan misi Islam adalah paling berguna dibanding dengan upaya-upaya konseptual atau sikap abstain (da’wah bi al-qalb) untuk menyelesaikan sesuatu. Dalam konteks pelestarian lingkungan, Islam memandang bahwa tindakan-tindakan nyata bagi penyelamatan masa depan bumi harus menjadi prioritas. Oleh karena itu, pada prinsipnya Islam sependapat dengan hasil-hasil pertemuan lokal, nasional dan internasional, yang merekomendasikan tindakan kongkret tentang pelestarian lingkungan. Hanya saja Islam memiliki kearifan dalam bertindak-nyata melestarikan lingkungan. Di antara butir-butir kearifan dimaksud sebagai berikut: Pertama, setiap upaya nyata pelestarian lingkungan didasarkan kepada kesadaran akan amanat kekhalifahan manusia. Sebagai khalifatullāh fi al-ard (khalifah Allah di bumi)[26], maka setiap tindakan manusia merupakan manifestasi ilahiah. Dengan demikian, setiap upaya kongkret yang diperbuat harus karena keridaan Allah SWT. Oleh karena itu, pelestarian lingkungan bagi Islam adalah amanat Ilahi. Jika tidak dipertanggungjawabkan maka akan memiliki konsekuensi keakhiratan.

Di sisi lain, Islam mengajarkan bahwa alam adalah milik Allah SWT, dan manusia diberi izin sementara waktu untuk memakmurkannya. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan manusia harus senantiasa memperhatikan hukum-hukum keseimbangan yang telah diletakkan oleh Allah di jagat raya ini. Pengingkaran terhadap hukum-hukum ini sama dengan pengingkaran terhadap Kitab Allah yang tertulis (wahyu). Dikatakan demikian, karena penciptaan alam semesta beserta penomena di dalamnya disebut juga sebagai ayat-ayat Allah. Islam mengajarkan penghormatan terhadap alam, bahkan dianjurkan menciumnya ketika bersujud sebagai ritual penghambaan (beribadah) kepada penciptanya, Allah SWT. Konsekuensinya, tindakan yang sia-sia terhadap alam seperti keserakahan, eksploitasi berlebihan, pengelolaan hutan yang sembarangan, dan lain sebagainya merupakan pembangkangan terhadap Allah SWT .[27]

Kedua, setiap upaya nyata pelestarian lingkungan adalah penghambaan diri (ibadah) kepada Allah SWT. Seorang muslim mesti memandang pelestarian lingkungan sebagai investasi akhirat bagi dirinya. Islam mengajarkan bahwa tindakan yang berdampak permanen terhadap generasi manusia dan alam akan menjadi ‘amal jariah (amal yang terus mengalirkan pahala) kepada pelakunya. Dengan demikian, seorang muslim yang melakukan tindakan pelestarian lingkungan, ia berpeluang besar mendapatkan ampunan Tuhan dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.[28] Jadi penyelamatan alam sesungguhnya adalah manifestasi ketundukan dan kepasrahan kepada Allah SWT.

Ketiga, setiap tindakan pelestarian alam harus senantiasa melakukannya dengan orientasi rahmatan lil ‘ālamīn (rahmat bagi alam semesta). Sebagai contoh, seorang muslim tidak diajarkan melakukan konservasi alam dengan merusak ekosistem alam, membakar hutan, bahkan merusak keindahan alam. Seorang muslim diharuskan memiliki kesadaran bahwa di hutan hidup komunitas binatang yang perlu mendapat perlindungan. Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar seorang muslim tidak menunjukkan keserakahannya ketika mengambil hasil hutan, mengusir komunitas hewan, apa lagi melakukan illegal logging (penebangan liar).

2.      Da’wah bi al-Lisan dalam Pelestarian Lingkungan

Da’wah bi al-lisān artinya dakwah dengan kekuatan pikiran, yakni berdakwah dengan kekuatan argumen atau penalaran. Apakah penalaran lisan atau tulisan. Seorang muslim mesti juga terlibat secara konseptual dalam pelestarian lingkungan. Keistimewaan konsep-konsep Islam adalah kekayaan dan keunggulan konsepnya karena merujuk kepada dua sumber ilmu secara integral, yakni wahyu Ilahi dan sains. Jawaban-jawaban Islam yang saintis akan memberi arah yang sempurna, integral dan propetik. Jawaban tersebut tentu meniscayakan kesejatian pembangunan lingkungan. Dikatakan demikian karena konsep dan pemikiran yang disampaikan muncul dari kedalaman spiritual dan ketajaman rasional seorang muslim.

Pendekatan da’wah bi al-lisān dalam pelestarian lingkungan secara garis besar dapat dikelompokkan kepada dua model pendekatan. Pertama, pendekatan ilmiah rasional yang ditujukan kepada para elit pengambil kebijakan dan kepada para pemikir dan aktivis lingkungan. Seorang muslim yang berada pada atau memiliki link dengan kelompok elit ini harus dengan berani dan lugas menyampaikan konsep-konsep falsafah dan kearifan Islam tentang pelestarian lingkungan. Salah satu bagian terpenting disampaikan adalah kearifan (tradisi Islam, Islamic tradition) tentang pemeliharaan lingkungan. Inti dari tradisi Islam dimaksud adalah integrasi wawasan spiritual dalam cara pandang sains Islam. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh Barat. Di Barat, spiritualisme bersifat pragmented jika dihadapkan dengan sains. Akibatnya, penyelesaian Barat tidak menyentuh akar paling dalam dari masalah lingkungan, yakni sikap dan cara pandang terhadap alam. Selama ini, Barat memiliki sikap dan cara pandang yang antagonistik terhadap alam.[29] Di satu sisi, alam bagi Barat adalah harus ditundukkan, tetapi di sisi lain, Barat menyadari perlunya penyelamatan kriris lingkungan.

Selama ini, konsep-konsep penyelamatan lingkungan adalah dominasi Barat, yang lahir dari paradigma pikir yang terpisah bahkan menentang “tradisi”, yakni paradigma sekularistik yang memandang alam sebagai rival yang harus ditundukkan.[30] Meskipun belakangan ini, telah nampak perubahan pendekatan terhadap alam, namun pada tataran filosofis, Barat belum beranjak dari pandangan dasar yang tidak bersahabat terhadap lingkungan.

Kedua, pendekatan ilmiah-tradisional, yakni pendekatan da’wah bi al-lisān yang ditujukan kepada masyarakat di lapisan bawah. Pendekatan seperti ini tetap berporos ilmiah tetapi dibungkus dengan bahasa tradisional. Lebih jelasnya, seruan dan ajakan dengan pendekatan kultural dalam pelestarian lingkungan. Seorang penyeru (aktivis dakwah) mesti menguasai terma-terma budaya dan wawasan kultural masyarakat yang diseru. Hal ini sebagai pengejewantahan ajaran al-Qur’an tentang pentingnya menyampaikan ajakan dengan “bahasa kaum” atau bahasa dan cita rasa adat dan budaya masyarakat.

Selama ini, terma-terma yang dilontarkan terlalu jauh dari jangkauan bahasa masyarakat bawah. Akibatnya, ajakan pelestarian lingkungan itu tidak efektif mempengaruhi masyarakat. Lebih aneh lagi --- sebagaimana ditunjukkan oleh suatu survey --- masyarakat bawah memandang idiom dan terma krisis lingkungan sebagai isu kelas menengah ke atas (isu orang modern dan kota).[31] Dengan persepsi demikian, maka mereka menganggap dirinya tidak perlu berperan serta pada upaya pelestarian lingkungan. Bahkan sebagian besar di antara mereka memandang dirinya sebagai orang yang tidak pernah merusak alam. Mereka merasa sebagai bagian yang mengintegral dengan alam.[32]

Seorang penyeru tentu harus menentukan cara terbaik dalam memilih ‘bahasa’ yang digunakan. Jika bahasa penyelamatan hutan tidak efektif disampaikan, maka dapat mengambil bahasa yang lain. Salah satu topik yang berkaitan langsung dengan kehidupan mereka misalnya tentang sanitasi, pengelolaan sampah dan pemanfaatan air bersih.

Jika bahasa yang digunakan tidak berkait dengan problem atau masalah spesifik mereka, sebagaimana yang mereka rasakan, maka mereka akan sangat mungkin menolak. Masyarakat akan mungkin sekali mengatakan, “Jangan ajari kami cara mengatasi masalah kami.” Oleh karena itu, menentukan ‘bahasa’ yang dipandang tepat, akan  sangat tergantung kepada sejauh mana seorang aktivis dakwah mengetahui dan menyelami jiwa masyarakat. Kegagalan pada bagian ini akan berdampak terhadap gagalnya misi dakwah.

3.      Da’wah bi al-Qalb dalam Pelestarian Lingkungan

Da’wah bi al-qalb adalah dakwah dengan sikap. Hal ini adalah pilihan terakhir, jika da’wah bi al-hāl dan da’wah bi al-lisān tidak mampu dilakukan. Dakwah dengan sikap adalah dakwah dengan menunjukkan sikap antipati terhadap tindakan perusakan lingkungan. Seorang muslim dapat menempuh cara ini jika ia tidak mampu melakukan tindakan pisik dan upaya konseptual atau “seruan” dalam penyelamatan lingkungan.

Hadis Rasulullah SAW berbunyi:

Jika kamu melihat kemungkaran maka lenyapkanlah dengan kekuatan pisikmu, jika kamu tidak sanggup, maka hadapi dengan lisanmu, tetapi jika dengan lisan pun kamu tidak sanggup, maka hadapi dengan hatimu (sikap abstain). Sikap abstain ini adalah selemah-lemah iman.[33]

Pada tingkat tertentu, sikap anti pati terhadap perusakan lingkungan dapat menjadi pressure terhadap orang-orang yang merusak lingkungan. Apa lagi jika sikap anti pati dilakukan dengan terorganisir. Bahkan, cara ini dapat menjadi bentuk protes yang arif tapi efektif untuk menghentikan tindakan perusakan lingkungan. Pressure seperti ini menurut hemat penulis dapat bernilai da’wah bi al-hāl.

Pada kasus-kasus tertentu, masyarakat dapat diajak untuk tidak proaktif atau bersikap abstain terhadap ajakan orang ‘kota’ mengelola lingkungannya terutama hutannya. Kerusakan bahkan hampir punahnya tanah atau hutan adat, salah satunya karena sikap permisif masyarakat terhadap kedatangan orang ‘kota’ yang dengan bebas mengelola hutan adat mereka.

Para aktivis dakwah penting memiliki keterampilan dan kemampuan dalam memberdayakan masyarakat, membangkitkan semangat dan ideologi mereka,  serta mendorong partisipasi mereka, agar mereka memiliki perhatian yang cukup terhadap lingkungannya. Dalam konteks da’wah bi al-qalb, idealisme masyarakat harus dibangkitkan agar pada suatu saat mereka dapat melancarkan protes pasiv terhadap upaya perusakan lingkungan mereka.[34]

V.           Penutup

Di akhir tulisan ini, penulis membuat simpulan sebagai berikut:

1.      Islam mengajarkan cara pandang yang religio-kosmis tentang alam. Simpul utama pandangan Islam adalah penekanan bahwa alam dan segala isinya adalah ciptaan Allah dan Allah telah menetapkan hukum-hukum di dalamnya (sunnatullāh). Sunnatullah itu sendiri adalah ayat Allah, yakni tanda-tanda kebesaran Allah. Pandangan ini menegaskan bahwa mengetahui alam sesungguhnya mengetahui penciptanya, Allah SWT. Inilah simpulan dasar-dasar paradigma kosmis yang harus dipahami oleh seorang aktivis dakwah muslim.

2.      Pesan dakwah Islam tentang pelestarian lingkungan, dapat disimpulkan pada tiga hal:

Pertama,upaya kongkret pelestarian lingkungan (da’wah bi al-hāl) yang diorientasikan kepada visi pelestarian lingkungan yakni alam sebagai ciptaan dan milik Allah yang diamanahkan kepada manusia untuk memakmurkannya. Suatu visi pelestarian yang propetis, Ilahiah, yang merupakan kongkritisasi kehendak Ilahi di bumi.

Kedua,upaya jihad intelektual (pemikiran dan konseptual) dalam pelestarian lingkungan (da’wah bi al-lisān). Yakni elaborasi konsep-konsep al-Quran dan Sunnah yang bersepadu dengan konsep-konsep saintifik untuk pelestarian lingkungan.

Ketiga, upaya menunjukkan sikap atau idealisme untuk konsisten (istiqāmah) menolak setiap ajakan dan tindakan merusak alam (da’wah bi al-qalb).

Wallāhu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Al-Madāris al-Falsafiyah. Kairo: al-Maktabah al-Misriyah, 1965.

Al-Faruqi, Ismail R. Islam dan Kebudayaan. Bandung: Mizan, 1989.

Bagir, Haidar dan Zainal Abidin, “Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan”, dalam Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains menurut al-Qur`an. Bandung: Mizan, 1991.

Dep. Agama RI. Al-Qur`an dan Terjemahnya. Semarang: CV Diponegoro, 2007).

Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: P.T. Tintamas, 1980.

LSM API, “Hasil Survey LSM Asosiasi Independen Petani Indonesia, Tahun 2007.

Murdiyarso, Daniel. “Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim”, Kompas, Jakarta, 2003.

Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred, (Edinburg: Edinburg University Press, 1981)

Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

--------. Menjelajah Dunia Modern. Diterjemahkan oleh Hasti Tarekat. Bandung: Mizan, 1995

P.T. Raju, The Great Asian Religion. New York: The Macmillan Co., tt.

“Ratifikasi Perjanjian Kyoto1997” dalam http://www. voanews.com/In-donesian/archive/2002-09/a-2002-09-01.cfm

Shariati, Ali. Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: C.V. Rajawali, 1989)

“Wawancara” dengan Sigrid Nökel, “Krisis Lingkungan adalah Krisis Spiritual”, dalam http://id.qantara.de/webcom/show.

Wora, Emanuel. Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, tt.
Psp., 26 Agt 2009








*Anhar adalah Lektor dalam mata kuliah Filsafat Umum pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Padangsidimpuan.




[1]Banyak ungkapan ditemukan di dalam al-Quran yang menyatakan bahwa alam adalah ciptaan Allah, bukan terjadi dengan sendirinya. Misalnya lihat dalam surat al-Mulk/67: 3-4; an-Naml/27: 88, al-An’ām/6: 14, dll).




[2]Lihat P.T. Raju, The Great Asian Religion, (New York: The Macmillan Co., tt), hlm. 5-6.




[3]Lihat Dep. Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Semarang: CV Diponegoro, 2007), hlm. 157 dan 208.




[4]Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Madāris al-Falsafiyah, (Kairo: al-Maktabah al-Misriyah, 1965), hlm. 45.




[5]Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 50-51.




[6]Herakleitos (540-480 SM) berpendapat bahwa dunia ini memiliki hukum, yaitu logos.  Logos juga menguasai diri manusia. Hukum dalam alam yang besar tidak berbeda dengan hukum dalam alam yang kecil (diri manusia). Pendapat ini menjelaskan bahwa bagi Herakleitos, alam jagat ini beraturan (cosmos) bukan sesuatu yang  berantakan (chaos). Lihat Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: P.T. Tintamas, 1980), hlm. 16.




[7]Dep. Agama RI, hlm.  359 dan 585.




[8]Dep. Agama RI, hlm. 482. (Fussilat/ 41:53).




[9]Departemen Agama RI, hlm. 75.




[10]Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern. Diterjemahkan oleh Hasti Tarekat (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 48.




[11]Ismail R. Al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 49.




[12]Dalam surat Āli Imrān/3: 83 dinyatakan sebagai berikut: “Maka mengapa mereka mencari agama yang lain selain agama Allah, padahal apa yang ada di langit dan di bumi berserha diri kepada-Nya, (baik) dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan? Dep. Agama RI, hlm. 60.




[13]Departemen Agama RI, hlm. 558. Lihat Ismail R. al-Faruqi, hlm. 54.




[14]Dep. Agama RI, hlm. 562.




[15]Ibid., hlm. 5.




[16]Ibid., hlm.  413.




[17]Ibid., hlm. 131, 404, 510. (Surat al-An’ām/6: 32; al-Ankabūt/29: 64; Muhammad/47: 36).




[18]Dep. Agama RI, hlm. 408.




[19]Ekosistem alam kini berada dalam keadaan yang amat labil, karena terlalu banyak campur tangan manusia di dalamnya, baik yang direncanakan maupun tidak. Efek rumah kaca sebagai akibat makin banyaknya gas karbon dioksida hasil pembakaran bahan bakar fosil tidak hanya mengancam sebagian dunia, tapi seluruh dunia. Ancaman lain adalah menipisnya lapisan ozon atmosfer karena gas-gas yang dilepaskan pada penggunaan penyegar, mislanya deodorant dan aerosol. Meskipun jumlahnya kecil, hanya seperjuta bagian, ozon sangat berguna untuk melidungi kehidupan dari serangan ultraviolet sinar matahari. Berkurangnya ozon, bisa mengakibatkan bencana bagi kesehatan manusia maupun makhluk lainnya. Tanah-tanah produktif di Dunia Ketiga berubah menjadi gurun dengan kecepatan yang mencengangkan. Setiap tahunnya, enam juta hektar tanah produktif berubah menjadi gurun. Lihat Haidar Bagir dan Zainal Abidin, “Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan”, dalam Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains menurut al-Qur`an, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 8.




[20]Tahun 1992 dilaksnakan KTT Bumi tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan di Brazilia. Tujuan utama konvensi ini adalah menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfir pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim. Daniel Murdiyarso, “Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim”, Kompas, Jakarta, 2003. Pada 2002, KTT Bumi dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan. KTT ini memfokuskan pembahasan pada urgensi ratifikasi perjanjian Kyoto1997 mengenai naiknya suhu bumi. Para delegasi sepakat menyetujui sebuah deglarasi mendukung perjanjian Kyoto. Baca http://www. voanews.com/Indonesian/archive/2002-09/a-2002-09-01.cfm




[21]Baca http://www.mail-archive.com/iplhi@terranet.or. id/msg00027.html




[22]Bede Griffiths, sebagaimana dikutip Emanuel Wora, mencoba mengungkapkan beberapa pola kebangkitan filsafat perenial, yang disebutnya sebagai pola-pola abad baru dalam kehidupan manusia kontemporer. Pola-pola itu antara lain: adanya sebuah relasi yang baru dengan alam; adanya suatu perasaan kebersatuan (sense of communion) dengan seluruh semesta yang luas; dan munculnya suatu bentuk komunitas manusiawi yang baru. Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius),  hlm. 62.




[23]Bandingkan dengan  Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, (Edinburg: Edinburg University Press, 1981), hlm. 1.




[24]Menurut Seyyed Hossein Nasr sebagaimana dijelaskan oleh Sigrid Nökel, sejak zaman pencerahan Eropa, manusia sayangnya mengingkari tatanan yang seimbang (Tuhan, manusia, alam) dan menggantinya dengan tatanan antroposentric yang menempatkan manusia sebagai poros utama. Dan karena kurangnya hubungan dengan tatanan yang lebih tinggi (Ilahiyah), tatanan antroposentric itu memberikan kebebasan kepada manusia untuk menguras alam. Lihat   http://id.qantara.de/webcom/show. “Wawancara” dengan Sigrid Nökel, “Krisis Lingkungan adalah Krisis Spiritual”.




[25]Hal ini sesungguhnya didasarkan kepada salah satu hadis Nabi yang bermakna sebagai berikut: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka enyahkanlah dengan kekuatan pisikmu (bi yādih), jika kamu tidak sanggup maka dengan kekuatan lisanmu (bi lisānih), dan jika masih juga kamu tidak sanggup, maka dengan hatimu (bi qalbih). Hal terakhir ini (dengan hati) adalah selemah-lemah iman.” Lihat  Sahīh Muslim, Kitab 1 Hadis 78; Sunan Abi Daud, Kitab 2 Bab 239; Sunan at-Tirmizī, Kitāb 38, Bab 6; Sunan Nasā`i, Kitab 47, Bab 17; Sunan Ibnu Mājah, al-Muqaddimah, Bab 9.




[26]Dep. Agama, hlm. 6.




[27] Dep. Agama RI, hlm. 129. (al-An’ām/6: 11-12).




[28]Kaitkan misalnya dengan ayat, “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” Dep. Agama RI, hlm. 67. (Āli Imrān/3: 133).




[29]Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: C.V. Rajawali, 1989), hlm. 53-54.




[30]Filsafat alam (kosmologi) Kristen mengaggap alam sebagai ciptaan Tuhan yang suatu kali pernah sempurna, tetapi setelah dinodai oleh “kejahatan”, maka menjadi jahat. Noda penciptaan, secara ontologism, adalah akibat dari drama penyelamatan Tuhan, inkarnasi-Nya pada diri Yesus, penyaliban dan kematiannya. Setelah drama itu, secara teoritis, Kristen berpendapat bahwa pemulihan kembali tidak dapat terjadi pada penciptaan. Selanjutnya pendapat itu menganggap penciptaan sebagai jatuhnya dosa, dan alam sebagai kejahatan.

Pandangan yang hampir  sama juga menyelimuti era pencerahan (renaissance) Eropa dan humanismenya. Manusia dianggap sebegitu hebat dan kuat, sampai manusia dipandang menyamai Tuhan. Alam adalah sesuatu yang tidak memiliki makna teleologis, dan oleh karena itu harus ditundukkan. Ismail R. Al-Faruqi, hlm. 47-48.




[31]Survey dilaksanakan di dua tempat di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Pasaman, yaitu wilayah desa yang dikenai perambahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Ketika mereka ditanya, misalnya mengapa sungai di wilayah mereka makin kecil, mereka menjawab bahwa hal itu ulah orang-orang kota. Mengganti hutan tropis menjadi kelapa sawit bagi sebagian besar masyarakat tradisional adalah ‘perusakan’ lingkungan tempat tinggal mereka. Hasil Survey LSM Asosiasi Independen Petani Indonesia, Tahun 2007.




[32]Sebagian alasan masyarakat tradisional memang benar. Realitasnya yang datang membabat hutan mereka adalah nota bene orang-orang kota, yang tanpa mereka ketahui asal-usulnya. Mereka dalam kenyataannya secara terpaksa menerima hutannya ‘dimasuki’ orang-orang modern kota.

Masyarakat tradisional sesungguhnya memiliki cara pandang yang khas tentang lingkungannya. Mereka memiliki kearifan tradisional dalam berhadapan dengan bencana di lingkungannya. Sebagai contoh, mereka memperlakukan hutan dengan penuh penghormatan. Misalnya melihat hari baik ketika akan merambah hutan untuk kebun, memanjatkan do’a kepada Sang Pencipta, dan lain-lain.




[33]Lihat catatan kaki nomor 25.




[34]Bandingkan dengan Ali Shariati, hlm. 195-196.

PUSAT-PUSAT KEILMUAN PALING AWAL DI NUSANTARA: Deskripsi HistorisHalaqah dan Sentra Keilmuan Lain

Oleh: Anhar

A.     Pendahuluan

Secara historis pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Dikatakan demikian karena aktifitas penyebaran Islam, pada hakikatnya juga merupakan aktifitas pendidikan Islam. Pendidikan sendiri diartikan sebagai usaha sadar untuk mendewasakan manusia yang ditandai dengan perubahan positif pola pikir, sikap dan prilaku peserta didik. Dalam konteks pendidikan, sesungguhnya para penyebar (muballig) Islam telah melakukan misi pendidikan, yakni melakukan transinternalisasi nilai-nilai keislaman kepada penduduk Nusantara.

NASIONALISME RELIGIUS: IDENTITAS WAWASAN KEBANGSAAN UMAT ISLAMINDONESIA*

 Oleh: Anhar**

I.       Pendahuluan

Negara bangsa (Nation State) akhirnya menjadi pilihan mayoritas mutlak umat Islam Indonesia. Pilihan ini diambil setelah melalui dinamika politik yang rumit. Kerumitan dimaksud tergambarkan dengan jelas pada sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebelum proklamasi kemerdekaan.

Pada perjalanan berikutnya, terutama pada masa praktik demokrasi liberal, konflik ideologis tentang dasar negara muncul kembali dengan sengit. Ada tiga ideologi yang bersaing, yaitu Islam, Nasionalis dan Sosialis. Kelompok pengusung ideologi Islam yang berhadapan dengan kelompok nasionalis menempati porsi perdebatan paling besar. Realitas selanjutnya, perdebatan dalam sidang-sidang Majelis Konstituante itu tidak menemukan titik temu. Hal inilah yang menyebabkan Soekarno mengeluarkan dekrit untuk kembali kepada UUD1945 dan sekaligus membubarkan Konstituante.


Sesuatu yang mengherankan kemudian khususnya sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tokoh-tokoh umat Islam di panggung politik Nasional tidak lagi mengusung ideologi Islam sebagai ideologi Negara kecuali hanya sebagai slogan politik oleh segelintir orang yang biasa disampaikan untuk mengundang simpati rakyat pada musim kampanye Pemilu. Bahkan sejak era reformasi 1998, ideologi Islam sebagai ideologi bangsa dipandang tidak aktual lagi untuk diusung dan diwacanakan.[1] Mengapa demikian? Pertanyaan inilah yang akan dicari jawabannya dalam makalah ini.

Makalah ini pertama-tama akan membahas panjang lebar perjalanan historis umat Islam merumuskan wawasan kebangsaan, yang dari sana akan diambil butir-butir untuk menjelaskan pembahasan berikutnya yakni sintesis nasionalis ‘neutral agama’ (nasionalis sekuler) dan Islam, baru dilanjutkan dengan nasionalisme religius, umat Islam dan masa depan bangsa. Makalah ini diakhiri dengan simpulan tulisan yang ditempatkan pada bagian penutup.


REFLEKSI SINGKAT ATAS KONSEP PENDIDIKAN RASULULLAH: Peluang Cerah MasaDepan Pendidikan Islam di Indonesia


Semakin kita mendalami kepribadian Rasulullah Saw., maka kita pun akan semakin yakin pula bahwa beliau juga uswatun hasanah dalam bidang pendidikan. Beliau menjadi sumber inspirasi yang tidak habis-habisnya bagi konsep, teori dan pelaksanaan pendidikan Islam. Masalahnya, beliau, melalui hadis-hadisnya belum mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari para pemikir pendidikan Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas studi atau riset. Indikasi masih kurangnya perhatian menurut Profesor Abuddin Nata adalah masih sedikitnya kajian atau riset tentang hadis-hadis pendidikan.

Sebagian konsep-konsep dan teori pendidikan modern yang bermunculan, sesungguhnya benih-benihnya, bahkan konsepnya telah ada pada sirah dan hadis-hadis beliau. Sebagai contoh misalnya konsep tentang soft skill dalam dunia pendidikan. Konsep ini baru saja go public dalam dunia pendidikan di Indonesia. Elfindri dalam buku Soft Skills untuk Pendidik (2010) mengatakan bahwa keberhasilan seseorang di tengah masyarakat bukan semata-mata dijelaskan oleh peranan keilmuan dan keterampilannya, yang lazim disebut sebagai hard skills. Akan tetapi keberhasilan individu ternyata juga ditentukan oleh keterampilan penunjang ‘soft skills’. Menurutnya, di antara 16 komponen soft skills yang penting adalah keterampilan berkomunikasi, kejujuran, kerja keras, kekerabatan, santun, dan berbudi. Nilai-nilai soft skills dimaksud sebenarnya adalah nilai-nilai etik yang menjadi bagian penting ajaran Islam. Internalisasi nilai-nilai etik itu sendiri adalah misi utama kerasulan Muhammad Saw, yang disebut oleh beliau sebagai misi penyempurnaan akhlak manusia.


MENGAPA KHAWATIR FAKULTAS KEAGAMAAN TERMARGINALKAN?

Oleh: Anhar

Lahirnya Universitas Islam Negeri (UIN) mengkhawatirkan banyak orang akan termarginalisasinya fakultas keagamaan selain fakultas tarbiyah, yakni fakultas syariah, ushuluddin, dakwah dan adab. Beralasankah kekhawatiran itu? Untuk menjawab kekhawatiran ini perlu perenungan (kontemplasi) filosofis yang sungguh-sungguh.

Saya berpendapat --- paling tidak untuk saat ini --- kekhawatiran itu tidak perlu terjadi. Alasannya, karena kekhawatiran yang demikian muncul disebabkan oleh romantisme dan justifikasi sejarah ilmu keagamaan Islam, mendominasi pikiran kita dalam mengembangkan pendidikan tinggi Islam.

Kalau kita memiliki pandangan bahwa dimasa kini dan masa depan ahli-ahli di bidang keagamaan hanya mungkin lahir dari bentuk fakultas keagamaan seperti selama ini (fakultas syariah, ushuluddin, dakwah dan adab), itu artinya bentuk fakultas yang sudah mapan itu harus dipertahankan sepanjang sejarah. Ini adalah cara berpikir yang status quois. Saya katakan demikian, karena kita tidak lagi memiliki alternatif berpikir tentang bentuk fakultas (lebih luas bentuk lembaga pendidikan Islam) yang strategis, efektif dan visioner untuk melahirkan ahli-ahli agama.

Pandangan yang status quo itu juga melihat bahwa dari fakultas sosial dan sains UIN, tidak akan mungkin lahir ahli agama. Hal demikian terjadi karena dalam benak mereka ahli agama yang harus dilahirkan itu adalah ahli-ahli agama seperti abad pertengahan Islam, atau seperti ulama-ulama tempo doeloe.

Mari kita pikirkan lebih dalam. Kalau misalnya sistem pendidikan tinggi Islam seperti yang dilakukan UIN Malang, atau pendidikan tinggi Islam lain, yakni menyantrikan mahasiswa selama satu atau dua tahun pertama di kampus, dan membekali mereka dasar-dasar Al-Qur`an, Hadis, dan Sirah Nabawiyah serta bahasa, kemudian mengarahkan mereka untuk mengambil program studi (prodi) yang mereka sukai, walaupun yang mereka pilih adalah sains, apakah tidak mungkin melahirkan ahli agama? Saya sangat yakin, jawabannya ya. Akan lahir ahli-ahli agama yang berbeda, yakni sesuai dengan zaman mereka, bukan seperti zaman doeloe, dan bukan pula seperti zaman abad pertengahan Islam. Apa lagi prodi yang mereka pilih adalah prodi keagamaan.

Keterlambatan kita melakukan terobosan-terobosan pendidikan Islam itu menurut saya karena paradigma pikir kita tentang pengembangan pendidikan Islam  tidak up to date lagi. Pikiran kita sudah memfosil tanpa kita sadari. Akibatnya kita tidak berusaha menilai dengan ukuran-ukuran masa kini dan masa depan. Kita memandang pendapat kita benar hanya karena sesuai dengan zaman kita, atau sesuai dengan zaman lampau yang kita puja. Wallahu a’lam.

SHALAT YANG MEMI'RAJKAN DAN MENENTERAMKAN HATI



Mi’raj artinya naik menuju Allah. Hati yang mi’raj maksudnya hati yang fokus (tertuju) kepada Allah. Ada ucapan yang terkenal di kalangan ulama sufi:

الصلاة معراج المومنين


Artinya:

Shalat itu mi’raj (naiknya hati)  orang-orang beriman.

Sepanjang yang saya tahu, ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadis tentang shalat lebih banyak menuntun gerak hati dari pada gerak pisik. Hanya saja dalam kajian fiqh ibadah, gerak hati kurang menjadi kajian. Sebagaimana lazimnya, fiqh sebagai ilmu zhahir tentu lebih banyak mengkaji yang zhahir dari pada yang bathin. Itulah sebabnya, para sufi menyebut fiqh sebagai ilmu zhahir. Di samping itu fiqh disajikan untuk umat Islam dalam segala tingkatan. Realitasnya, pengkajian tentang gerak hati dipandang oleh sebagian ulama hanya bisa diikuti oleh segmen tertentu dari umat Islam, katakanlah mereka yang secara relatif telah memiliki pengetahuan fiqh ibadah yang memadai. Pada hal, gerak hati dimaksud sebenarnya bisa dilakukan tanpa harus mengawalinya dengan pengkajian teoritis. Oleh karena itu siapa pun dari umat Islam bisa mengalami mi’raj hati dimaksud.

Dalam Al-Qur`an surat surat Thaha/20: 14, Allah berfirman:

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي


Artinya:

Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku.

Ayat ini berisi perintah, “dan dirikanlah Shalat untuk mengingat-Ku”. Shalat adalah untuk mengingat Allah, dan ketika shalat seseorang harus berusaha melepaskan ingatan kepada selain Allah. Bahkan Allah melarang kita menghampiri shalat jika kita sedang hilang kesadaran (mabuk), hingga kita sadar apa yang kita ucapkan. Dengan demikian, kesadaran orang yang shalat dengan zikir dan do’a yang diucapkannya pada saat shalat menjadi syarat batini dalam melaksanakan shalat. Allah berfirman dalam surat  An-Nisa`/4: 43 sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ


Artinya:

Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu lakukan shalat jika kamu dalam keadaan mabuk hingga kamu sadar apa yang kamu ucapkan.

Selanjutnya, dalam surat Al-A’raf/7: 205, Allah berfirman:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِين


Artinya:

Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.

Ayat yang senada sebagai mana firman Allah dalam surat Al-A’raf/7: 55:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِين


Artinya:

Berdoalah kepada Tuhan-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Ayat di atas menuntun agar menyebut nama Allah dalam hati dengan berendah diri di hadapan Allah dan perasaan takut akan ke-Maha Perkasaan-Nya, azab dan siksa-Nya, dan dengan suara yang lemah lembut. Allah juga mengingatkan kita agar tidak termasuk orang yang lalai. Ketika shalat, hati kita sangat mungkin terdinding oleh kelalaian. Dinding kelalaian itu misalnya angan-angan duniawiyah, atau masalah duniawiyah. Setiap kali dinding kelalaian ini muncul, maka kita harus segera membuangnya, dan mengembalikan ingatan dan kesadaran kita kembali kepada Allah. Di akhir shalat, kita pun dituntun oleh Rasulullah mengucapkan zikir: Astaghfirullahal azhim. Zikir ini kita ucapkan sebagai permohonan ampun kita kepada Allah, karena dalam shalat seharusnya ingatan dan kesadaran kita fokus kepada Allah, tetapi sering kali ingatan itu tertuju kepada yang lain. Semoga Allah mengampuni kita.

Dalam suatu hadis, Nabi kita mengatakan betapa banyak orang yang shalat, lalu ia tidak mendapatkan apa pun dari shalatnya kecuali penat dan letih. Nabi kita juga pernah menyuruh seorang sahabat untuk mengulangi shalatnya, karena Nabi melihat bahwa sahabat tersebut tidak mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.

Shalat yang dikerjakan dengan benar-benar mengingat Allah, berendah diri, perasaan takut kepada-Nya, ucapan yang lemah lembut dan berkesan, mengenyahkan dinding-dinding kelalaian akan memi’rajkan hati seorang hamba kepada Allah, maka Allah pun akan menurunkan sakinah (ketenangan) ke dalam hati hamba-Nya. Firman Allah dalam surat al-Fath/48 ayat 4:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمً


Artinya:

Dialah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang yang beriman agar  iman mereka bertambah kuat di samping iman mereka (yang sekarang). Kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Kemudian dalam surat Ar-Ra’d/13: 27-28, Allah berfirman:

...قُلْ إِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ أَنَابَ (27) الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوب ( 28)


Artinya:

Katakanlah,“Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Ia kehendaki dan menunjuki orang yang bertobat kepada-Nya.(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.

Wallahu a’lam.

(Referensi utama tulisan ini: Al-Ghazali, Ihya` ‘Ulumiddin, Juz III).

Padang, 15 Mei 2011

SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Anhar

I.      Pendahuluan

Kajian tentang sumber ilmu dalam filsafat adalah masuk dalam rumpun epistemologi.  Dalam perjalanan sejarah pemikiran manusia, kajian tentang epistemologi telah dilakukan sejak zaman Yunani kuno. Dalam dunia Islam, pembahasan tentang epistemologi ilmu sudah dilakukan sejak masa al-Kindi (796-873 M). Secara agak khusus, kajian tentang epistemologi ini dilakukan dalam kajian filsafat ilmu.[1] Dalam kajian epistemologi di Barat,[2] pembahasan tentang sumber ilmu melahirkan tiga mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant.[3] Keberatan Islam terhadap ketiga mazhab ini sebagaimana akan ditunjukkan nanti, terutama karena pengingkarannya terhadap wahyu sebagai objek ilmu pengetahuan.

Dalam Islam, kajian terhadap sumber ilmu memadukan bahan-bahan empirikal (kealaman) dan spiritual (kewahyuan). Pemaduan kedua bahan inilah yang akan memunculkan konsep epistemologi Islam yang berbeda dengan konsep epistemologi Barat. Konsep tentang sumber ilmu selanjutnya akan berimplikasi terhadap perumusan isi kurikulum dalam pendidikan Islam.

Makalah ini akan akan mencoba menjelaskan sumber ilmu perspektif Islam dan implikasi konsep ini terhadap isi kurikulum pendidikan Islam.

II.    Teori-teori tentang Sumber Ilmu Pengetahuan

Sebagaimana disinggung di atas, kajian yang pokok tentang sumber ilmu diwakili oleh tiga mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant. Berikut akan dijelaskan ketiga mazhab dimaksud, baru kemudian penulis akan menjelaskan pandangan Islam tentang sumber pengetahuan.

a.       Rasionalisme

Mazhab ini berasal dari para filosof Eropa seperti Rene Descartes (1596-1650) dan Immanuel Kant (1724-1804), dan lain-lain yang populer disebut sebagai teori rasional.[4] Menurut teori ini ada dua sumber bagi pengetahuan (konsepsi). Pertama, penginderaan (sensasi). Menurut teori ini, konsepsi manusia tentang panas, cahaya, rasa dan suara karena penginderaan terhadap hal-hal itu. Kedua, adalah fitrah, dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera, tetapi ia sudah ada dalam lubuk  fitrah. Dalam pengertian yang terakhir ini, jiwa menggali gagasan-gagasan tertentu dari dirinya sendiri. Rene Descartes berpandangan konsepsi-konsepsi fitri ini adalah ide “Tuhan”, jiwa, perluasan dan gerak serta pemikiran-pemikiran yang mirip dengan semuanya itu dan bersifat sangat jelas dalam akal manusia. Tetapi bagi Kant, semua pengetahuan manusia adalah fitri, termasuk dua bentuk ruang dan waktu serta duabelas kategori Kant.[5]

Menurut mazhab ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya sumber. Di samping indera, ada fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam akal.

Menurut Shadr, yang mengharuskan kaum rasionalis menganut teori rasionalis dalam menjelaskan konsepsi-konsepsi manusia adalah sebagai berikut:

Mereka tidak mendapatkan alasan munculnya sejumlah gagasan dan konsepsi dari indera, karena memang ia bukan konsepsi-konsepsi inderawi. Maka ia harus digali secara esensial dari lubuk jiwa. Dari sini, jelaslah bahwa motif filosofis bagi perumusan teori rasional  ini akan hilang sama sekali, jika kita dapat menjelaskan secara meyakinkan konsepsi-konsepsi mental, tanpa perlu mengandaikan gagasan-gagasan fitri.[6]

Menurut Descartes, untuk sampai kepada kebenaran, maka tidak mungkin hanya mengandalkan indera. Secara metodologi, maka ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti, meskipun ilmu pasti bukanlah metode ilmu yang sebenarnya. Ilmu pasti hanya boleh dipandang sebagai penerapan yang paling jelas dari metode ilmiah. Metode ilmiah itu sendiri menurutnya lebih umum. Segala konsepsi dan gagasan baru bernilai benar jika secara metodologis dikembangkan dari intuisi yang murni (fitrah,-Shadr).[7]

Sesuatu yang dipandang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctly). Apa yang jelas dan terpilah-pilah itu, tidak mungkin didapatkan dari apa yang berada di luar kita. Sebagai ilustrasi, Harun Hadiwijono menjelaskan berikut:

Coba kita memperhatikan lilin (Jawa: malam) dan sarang madu (Jawa: tala). Jikalau kita mengamati sebuah sarang madu ada beberapa hal yang tampak pada indera kita: lidah kita merasakan madunya, hidung kita mencium bau bunganya, mata kita melihat rupa dan warnanya, jari kita merasa keras dan rasa dinginnya. Akan tetapi jikalau sarang madu itu kita letakkan di atas suatu wadah yang berada di atas api, sifat-sufatnya berubah, sekalipun lilinnya tetap ada. Sifat-sifat itu sekarang cair, lunak, lemah, mudah lentur, dan lain sebagainya. Jadi yang tampak, yang dapat kita amati bukanlah lilin itu sendiri. adanya lilin itu kita ketahui dengan rasio atau akal kita. Maka benda yang disebut lilin itu pada dirinya tidak dapat diamati. Sebab benda itu dengan cara yang sama tercakup dalam segala penampakannya. Pengetahuan kita tentang lilin itu bukan karena wahyu, bukan karena pengamatan atau sentuhan atau khayalan, melainkan karena pemeriksaan rasio. (Bnd. kalau kita melihat orang berjalan-jalan, yang kita lihat pakaiannya, dll). Apa yang kita duga kita lihat dengan mata kita itu hanya dapat kita ketahui semata-mata dengan kuasa penilaian kita, yang terdapat di dalam rasio atau akal. Pengetahuan melalui indera adalah kabur. Di dalam hal ini kita sama dengan binatang.[8]

Menurut Hadiwijono, Descartes dipengaruhi oleh berbagai pertentangan pemikiran filsafat pada zamannya. Pertentangan ini menyebabkan ia bersikap meragukan segala sesuatu. Dalam konteks ini hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala sesuatu). Sifat meragukan ini bukan khayalan, melainkan suatu kenyataan. Aku ragu-ragu, atau aku berpikir, dan oleh karena aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Memang menurut Descartes, apa saja yang dipikirkan bisa saja merupakan suatu khayalan, aka tetapi bahwa kegiatan berpikir bukanlah khayalan. Dalam hal ini “tiada seorangpun yang dapat menipu saya, bahwa saya berpikir, dan oleh karena itu di dalam hal berpikir ini saya tidak ragu-ragu, maka aku berada.”[9]

b. Empirisme

Istilah empirik berasal dari kata Yunani emperia, yang berarti pengalaman inderawi. Kaum empiris memberi tekanan kepada empirik (pengalaman), baik pengalaman lahiriah maupun batiniah sebagai sumber pengetahuan. Dengan demikian, empirisme bertentangan dengan rasionalisme. Di antara tokohnya adalah Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704).[10]

Teori ini berpendapat bahwa penginderaanlah satu-satunya yang membekali akal manusia dengan berbagai konsepsi dan gagasan, dan bahwa potensi mental akal-budi adalah potensi yang tercermin dalam berbagai persepsi inderawi. Jadi ketika manusia mengindera sesuatu, ia akan dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya, yakni menangkap form dari sesuatu itu dalam akal budi. Adapun tentang gagasan-gagasan yang tidak terjangkau oleh indera, menurut aliran ini, tidaklah dapat diciptakan oleh jiwa, demikian pula jiwa tidak dapat membangunnya secara esensial dalam bentuk yang berdiri sendiri.[11]

Akal budi berdasarkan teori ini, hanyalah berfungsi mengelola konsepsi dan gagasan inderawi. Hal itu dilakukan dengan cara menyusun konsepsi-konsepsi dan membagi-baginya. Shadr mengatakan:

Dengan begitu, ia mengonsepsikan “sebungkal gunung emas” atau membagi-bagi “pohon” kepada potongan-potongan dan bagian-bagian atau dengan abstraksi dan universalisasi, misalnya dengan memisahkan sifat-sifat dari bentuk itu, dan mengabstraksikan bentuk itu dari sifat-sifatnya yang tertentu agar darinya akal dapat membentuk suatu gagasan universal. Hal ini dapat dicontohkan dengan upaya mengkonsepsikan Zayd, dan mengurungkan setiap kekhasan yang membedakannya dari ‘Umar. Dengan proses substraksi (pengurangan) ini, akal menyarikan suatu gagasan abstrak yang berlaku, baik atas Zayd maupun ‘Umar.[12]

Thomas Hobbes, orang pertama yang mengikuti aliran empirisme di Inggris pada abad ke-17 telah membangun suatu sistem filsafat yang lengkap mengenai “yang ada” secara mekanis, yang menjadi pijakan dasar filsafat empirisme. Ia adalah seorang materialis pertama dalam filsafat modern.[13]

Menurut Hobbes, segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi dimaksudkan ialah segala sesuatu yang tidak bergantung kepada gagasan kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung karena keharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi  terliput di dalam gerak itu. Segala obyektifitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki eksistensi atau keber-“ada”-an sendiri. Ruang justru gagasan tentang hal yang ber-“ada” itu. Sedangkan waktu adalah gagasan tentang gerak.[14]

Konsistensi gagasannya juga terlihat dalam pandangannya tentang manusia. Ia memandang manusia tidak lebih dari pada suatu bagian alam bendawi yang mengelilinginya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terjadi pada manusia dapat dijelaskan sebagaimana kejadian alamiah bendawi lainnya secara mekanis. Jiwa itu sendiri menurutnya adalah kompleks dari proses-proses mekanis dalam tubuh. Akal bukanlah pembawaan, melainkan hasil perkembangan karena kerajinan.[15]

Seperti di singgung di atas, pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman. Pengalaman adalah awal segala pengetahuan. Pengenalan dengan akal hanya memiliki fungsi mekanis, karena pengenalan dengan akal pada hakikatnya mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengan akal dimulai dengan pemakaian kata-kata (pengertian-pengertian), yang hanya mewujudkan tanda-tanda menurut adat-kebiasaan saja, dan yang menjadikan jiwa manusia dapat memiliki gambaran yang diucapkan dengan kata-kata itu. Selanjutnya, hal ini akan membentuk pengalaman (empirik). Isi pengalaman itu adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan di dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lampau.[16]

b.      Fenomenalisme Kant

Filsuf Jerman abad ke-18 Immanuel Kant melakukan pendekatan kembali terhadap masalah hakikat rasio dan indera sebagai sumber pengetahuan setelah memperhatikan kritikan-kritikan yang dilancarkan oleh David Hume terhadap sudut pandang yang bersifat empiris dan rasional. Mengapa pendirian Kant disebut sebagai fenomenalisme? Berikut penjelasannya.

Kant berpendapat bahwa sebab akibat tidak dapat dialami. Marilah kita memperhatikan pernyataan: “Kuman tipus dapat menyebabkan demam tipus.” Bagaimanakah kita sampai dapat mengetahui keadaan yang mempunyai hubungan sebab-akibat ini? Kebanyakan orang akan mengatakan, “Setelah diselidiki para ilmuan diketahui bahwa bila ada orang yang menderita demam tipus, tentu terdapat kuman tersebut; dan bila kuman ini tidak terdapat di dalam diri seseorang, maka orang itu tidak menderita deman tipus.”[17]

Dari penjelasan di atas dengan jelas terlihat bahwa syarat “adanya kuman tipus” dan “demam tipus” mesti ada sebelum disimpulkan bahwa kuman tersebut menyebabkan demam. Karena boleh jadi “seorang yang dalam dirinya ada kuman tipus” tapi tidak menderita demam. Bagaimanapun, pengamatan akan mengungkapkan kepada kita tentang kuman tersebut dan juga tentang orang yang sehat atau yang sakit.

Tetapi pengamatan, betapapun juga banyaknya tidak dapat menunjukkan kepada kita kuman yang menyebabkan penyakit tersebut.  Bagaimanakah kita dapat memperoleh pengetahuan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit tersebut? Ditinjau dari sudut pandangan empiris, Hume menolak bahwa kita akan dapat mengetahui sebab-akibat sebagai suatu hubungan yang bersifat niscaya.[18]

Jika kita melihat seekor kucing dan kemudian kita memukulnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa kucing itulah yang menyebabkan kita memukulnya, meskipun kita lakukan berkali-kali. Dalam kedua peristiwa di atas tidak tampak hubungan sama sekali. Maka mengapakah kita bila melihat kuman dan kemudian melihat orang sakit, kita lalu mengatakan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit?

Indera hanya dapat memberikan data indera. Data itu ialah warna, cita rasa, bau, rasa dan sebagainya. Memang benar, kita mempunyai pengalaman; tetapi sama benarnya juga bahwa untuk mempunyai pengetahuan (artinya menghubungkan hal-hal), maka kita harus keluar dari atau menembus pengalaman, kata Kant. Bagaimanakah ini mungkin terjadi? Jika dalam memperoleh pengetahuan kita menembus pengalaman, maka jelaslah, dari suatu segi pengetahuan itu tidak diperoleh melalui pengalaman, melainkan ditambahkan pada pengalaman.

Jika orang tidak dapat membayangkan berupa apakah suatu “rasa yang bersahaja” dengan “suatu bunyi yang kasar”, maka jelaslah bahwa data indera yang murni tidaklah merupakan pengetahuan. Pengetahuan terjadi bila akal menghubungkan, misalnya  “rasa menekan yang bersahaja” dengan “bunyi yang kasar” untuk memperoleh fakta bahwa tekanan terhadap sesuatu menyebabkan terjadinya bunyi tersebut. Hubungan ialah suatu cara yang dipakai oleh akal untuk mengetahui suatu kejadian; hubungan itu tidak alami. Hubungan ialah bentuk pemahaman kita, dan bukan isi pengetahuan.[19]

III. Sumber Ilmu Perspektif Islam

Memperhatikan kajian teoritis di atas, diskusi tentang sumber ilmu pengetahuan tampaknya dipusatkan pada pertanyaan: Apa sebenarnya yang memberi manusia pengetahuan? Rasiokah, empirikkah, atau fenomenologikah? Berikut penulis akan menjelaskan kajian tentang sumber ilmu menurut Islam. Namun, sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu akan dijelaskan bagaimana pandangan Islam tentang fakultas manusia yang memberi manusia ilmu pengetahuan.

1. Fakultas/Alat Mendapatkan Ilmu

  1. Rasio (العقل)  


Dalam al-Qur`an dijumpai 49  kali kosa kata yang berakar kata a-q-l (عقل) dalam berbagai bentuk. Misalnya: عقلوا - تعقلون- نعقل – يعقل – يعقلون .[20] Sebarannya sebagai berikut: kata عقلوه (‘aqaluh) dijumpai dalam 1 ayat, kata تعقلون (ta’qilun) 24 ayat, نعقل (na’qil) 1 ayat, يعقتها (ya’qiluha) 1 ayat, dan يعقلون (ya’qilun) 22 ayat. Makna kosa kata itu dalam arti paham dan mengerti.[21] Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat-ayat berikut:

افتطمعون ان يؤمنوا لكم وقد كان فريق منهم يسمعون كلام الله ثم يحرفونه من بعد ما عقلوه وهم يعلمون ()


Maka apakah kamu (muslimin) sangat mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, sedangkan segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, padahal mereka mengetahuinya? (Al-Baqarah/2: 75).[22]

افلم يسيروا فى الارض فتكون لهم قلوب يعقلون بها او اذان يسمعون بها فانها لا تعمى الابصار ولكن تعمى القلوب التي فى الصدور()


Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj/22: 46).[23]

كذلك يبين الله لكم ايته لعلكم تعقلون ()


Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya agar kamu mengerti. (Al-Baqarah/2: 242).[24]

وقالوا لو كنا نسمع او نعقل ما كنا في اصحب السعير ()


Dan mereka berkata, “Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala. (Al-Mulk/67: 10).[25]

وتلك الامثال نضربها للناس وما يعقلها الا العالمون ()


Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu. (Al-Ankabut/29: 43).[26]

Dalam Lisan al-‘Arab dijelaskan bahwa al-‘aql berarti al-hijr (menahan) dan al-āqil adalah orang yang menahan diri (yahbis) dan mengekang hawa nafsu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa al-‘aql mengandung arti kebijaksanaan (al-nuhā), lawan dari lemah pikiran (al-humq). Al-‘aql juga mengandung arti al-qalb (kalbu). Lebih lanjut disebutkan bahwa kata ‘aqala mengandung arti memahami.[27]

Menurut Harun Nasution, kata ‘aqala kelihatannya bermakna mengikat dan menahan. Orang yang āqil di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan hammiyah atau darahnya  panas, adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.[28]

Dari keseluruhan kosa kata yang berakar pada a-q-l dapat disimpulkan bahwa al-‘aql adalah fakultas manusia yang berfungsi untuk mengerti atau memahami sesuatu. Al-‘aql (rasio) dalam ayat-ayat di atas tidak dibicarakan dalam konteks sumber ilmu tetapi dalam konteks alat yang darinya manusia memperoleh ilmu. Baharuddin mengatakan bahwa dari keseluruhan ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki akar kata a-q-l, tidak satu pun ayat yang menyebut akal sebagai kata benda, semuanya dalam bentuk kata kerja (fi’il). Baharuddin melanjutkan:

Hal ini menunjukkan bahwa ‘aql bukanlah suatu substansi (jauhar) yang bereksistensi, melainkan aktivitas dari suatu substansi. Jika dipahami demikian, akan mengandung suatu pertanyaan, yaitu substansi apakah yang berakal itu? Pertanyaan itu dapat dikembalikan kepada Al-Qur`an. Dalam ayat lain dijelaskan bahwa substansi yang mampu ber-‘aql itu adalah qalb. Firman Allah menjelaskan:

 افلم يسيروا في الارض فتكون لهم قلوب يعقلون بها


Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi? Mereka mempunyai kalbu yang mereka ber-‘aql dengannya…[29]

  1. Indera


Dalam Al-Qur`an alat-alat indera yang beraktifitas dan berfungsi bagi manusia dalam memperoleh pengetahuan adalah al-sam’ dan al-absar. Kata al-sam’ dan berbagai kata jadiannya disebut 185 kali, sedangkan kata al-sam’ sendiri dijumpai 12 kali dalam Al-Qur`an.[30] Kata al-absar dan berbagai kata jadiannya disebut 148 kali. Sementara kata al-absar disebut 18 kali. Di antara ayat-ayat yang mengandung kosa kata al-sam’ sebagai berikut:

قل من يرزقكم من السماء والارض امن يملك السمع و الابصار ومن يخرج الحي من الميت و يخرج الميت من الحي ومن يدبر الامر  فسيقولون الله فقل افلا تتقون()


Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (Yunus/10: 131).[31]

والله اخرجكم من بطون امهتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والابصار والافئدة لعلكم تشكرون()


Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (An-Nahl/16: 78).[32] 

 

و هو الذي انشئا لكم السمع و الابصار والافئدة قليلا ما تشكرون ()


 

Dan Dialah yang telah menciptakan bagimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur. (Al-Mu`minun/23: 78).[33]

ثم سوه ونفخ فيه من روحه وجعل لكم السمع والابصار والافئدة قليلا ما تشكرون ()


Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur. (As-Sajdah/32: 9).[34]

Di antara ayat yang mengandung kosa kata al-absar sebagai berikut:

قد كان لكم اية في فئتين التقتا فئة تقاتل في سبيل الله واخرى كافرة يرونهم مثليهم راءي العين والله يؤيد بنصره من يشاء ان في ذلك لعبرة لاولى الابصار ()


Sesungguhnya, telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang berhadap-hadapan. Satu golongan berperang di jalan Allah dan yang lain (golongan) kafir yang melihat dengan mata kepala, bahwa mereka (golongan muslim) dua kali lipat mereka. Allah menguatkan dengan pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan. (Ali Imran/3: 13).[35]

لا تدركه الابصار وهو يدرك الابصار وهو اللطيف الخبير ()


Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus, Maha Teliti. (Al-An’am/6: 103).[36]

افلم يسيروا في الارض فتكون لهم قلوب يعقلون بها او اذان يسمعون بها فانها لا تعمى الابصار ولكن تعمى القلوب اللتي في الصدور ()


Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj/22: 46)[37]

Berdasarkan penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an yang memiliki kosa kata al-sam’ dan al-absar dapat dijelaskan bahwa kemampuan mendengar karena manusia diberikan alat berupa telinga (uzun) dan kemampuan melihat karena manusia diberikan alat berupa mata (‘ain). Mata, yang memiliki kemampuan melihat, bisa saja tidak memberi manusia pengetahuan, oleh karena qalbu-nya tidak paham (buta). Sesuatu yang jelas terlihat bahwa bagi Al-Qur`an, al-sam’ dan al-basr adalah aktifitas

c.       Hati (Fuad)

Kata fu`ad dan yang seakar kata dengannya tersebar dalam 16 ayat. Semuanya dalam bentuk kata benda, yakni al-fu`ad dan al-af`idah.[38] Mahmud Yunus mengartikannya sebagai hati atau akal.[39] Kedua kata ini seakar dengan fā`idah (jamak: fawā`id) artinya faedah atau guna.[40] Makna yang dapat ditarik dari penggunaan Al-Qur’an terhadap kata al-fu`ad dan al-af`idah adalah bahwa al-fu`ad memiliki fungsi akal (memahami, mengerti), sama dengan al-qalb.[41] Dalam surat Yusuf/12: 120 disebutkan:

و كلا نقص عليك من انباء الرسل ما نثبت به فؤادك وجاءك في هذه الحق و موعظة و ذكرى للمؤمنين ()


Dan semua kisah-kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman.[42]

Secara tekstual, Allah menceritakan, yang bermakna Nabi Saw mendengarkan kisah-kisah Rasul terdahulu. Lalu dengan kisah-kisah itu menjadi kuat ­fu`ad (hati) Nabi. Dengan al-fu’ad itu berarti Nabi mendapatkan makna atau hikmah sejarah.

Dalam ayat lain disebutkan:

و اصبح فؤاد ام موسى فرغا ان كادت لتبدي به لولا ان ربطنا على قلبها لتكون من المؤمنين ()


Dan hati ibu Musa menjadi kosong. Sungguh hampir saja dia menyatakan (rahasia tentang Musa), seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, agar dia termasuk orang-orang yang beriman (kepada janji Allah).[43]

Makna al-fuad dalam ayat terakhir juga sama dengan makna al-fuad pada ayat sebelumnya. Makna yang sama juga dinyatakan oleh Allah ketika menjelaskan bahwa hati Nabi Saw tidak mendustakan apa yang ia lihat oleh beliau ketika Jibril mendekat kepadanya untuk menyampaikan wahyu.(An-Najm/53: 1-19).[44]

Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa al-fu`ad merupakan sentral dan pengendali bagi aktifitas al-‘aql dan al-qalb dalam menetapkan pengetahuan yang benar, baik dan berguna bagi manusia.

Secara umum, bagi Al-Qur`an indera dalam dan luar manusia seperti al-‘aql, al-qalb, al-fu’ad,  al-sam’, al-absar adalah alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dan obyek pengetahuan adalah ayat-ayat Allah baik yang qauliyah/tanziliyah maupun yang kauniyah. Berbeda sekali dengan perspektif Barat yang memandang bahwa akal dan indera sebagai fakultas yang memberi manusia pengetahuan. Hemat penulis, Barat berpandangan demikian karena hirarki pengetahuan mereka hanya berhenti pada tataran empirikal. Asumsi-asumsi teologis-metafisik telah terputus dari epistemologi keilmuan Barat, sejalan dengan pandangan humanis mereka yang sekular-ateistik.

2. Pendapat para Ilmuan Muslim

Kajian sumber ilmu dalam Islam, tepatnya kajian tentang epistemologi ilmu telah dilakukan sejak zaman klasik Islam. Kemudian, untuk masa yang lama terhenti ― kajian berlanjut di Barat hingga kini ― baru memasuki abad modern umat Islam kembali melakukan kajian.

Ilmuan klasik, Al-Kindi menyebutkan ilmu terbagi dua yaitu ‘ilm ilāhiy (divine science) dan ‘ilm insāniy (human science). ‘Ilm Ilahiy adalah pengetahuan langsung yang diperoleh dari Nabi dan Tuhan. Dasar pengetahuan seperti ini ialah keyakinan. Sedangkan ‘ilm insaniy adalah pengetahuan yang diperoleh dari manusia dan alam. Dasar pengetahuan yang disebut terakhir adalah pemikiran (ratio-reason).[45] Abu Hamid al-Gazali (w. 1111 M) membagi ilmu terkesan tidak jelas. Dalam Mizan al-Amal, ia membagi ilmu kepada teoritis (nazariyyah) dan praktis (‘amaliyah).[46] Pada buku lainnya, ia membagi ilmu kepada fardu ‘ain dan fardu kifayah.[47] Di sisi lain, ia membagi ilmu kepada ilmu religius (syar’iyyah) dan intelektual (‘aliyah). [48] Al-Gazali juga membagi ilmu kepada hudluri (yang dihadirkan) dan hushuli (yang dicapai).[49] Dari pembagian ini, nampak dengan jelas bahwa al-Gazali memandang bahwa sumber ilmu yang utama adalah wahyu ilahi dan sumber kedua adalah pengalaman (empirik).[50] Dalam mendapatkan ilmu, manusia menurut al-Gazali menggunakan indera, akal dan qalb.[51]

Mahdi Ghulsyani menyebutkan, secara hakiki Al-Qur`an lah sebagai sumber ilmu. Ia mengatakan:

Prinsip ilmu-ilmu ini, yang telah kami jelaskan dan yang belum kami spesifikasikan, bukanlah di luar Al-Qur`an, karena seluruh ilmu ini di raih dari salah satu lautan pengetahuan-Nya, yaitu lautan karya-Nya. Telah kami sebutkan bahwa Al-Qur`an itu laksana lautan yang tak bertepi, dan bahwa sekiranua lautan itu menjadi tinta (untuk menjelaskan) kata-kata Tuhanku, sungguh lautan itu akan habis sebelum kata-kata Tuhan itu berakhir. Di antara perbuatan Allah yang (karena keluasannya dapat disebut) lautan perbuatan-Nya, misalnya adalah menyembuhkan dan menimbulkan penyakit, sebagaimana Allah menceritakan ucapan Ibrahim yang mengatakan, “Ketika aku sakit Dia-lah yang menyembuhkan aku… Perbuatan ini saja hanya dapat diketahui oleh orang yang mengetahui ilmu obat-obatan dengan sempurna, karena ilmu ini tidak berarti apa-apa selain pengetahuan tentang seluruh aspek penyakit sekaligus gejalanya, juga pengetahuan penyembuhan dan cara-caranya. Di antara perbuatan Allah (juga) adalah penentuan pengetahuan (manusia) tentang matahari, bulan, dan pengetahuan tentang tingkatan-tingkatannya yang sesuai dengan waktu peredarannya, sebagaimana Allah SWT berfirman, “Matahari dan bulan itu berjalan sesuai dengan peredarannya yang pasti, dan Dia atur perjalanan bulan itu sehingga kamu dapat belajar bagaimana cara menghitung tahun dan menentukan waktu…[52]

3. Analisis: Sumber Ilmu dan Alat Mendapatkan Ilmu

Untuk mendapatkan analisis filosofis sumber ilmu perspektif Islam, maka terlebih dahulu harus dibahas: Apa sebenarnya tujuan berilmu? Tujuan puncak berilmu dalam Islam adalah untuk mengetahui Allah, yakni pengetahuan yang haqq al-yaqin dan dekat kepada-Nya.[53] Sedangkan tujuan praktis berilmu adalah membantu manusia merealisasikan amanah sebagai khalifah Allah di bumi.  Dalam kaitan ini, Allah telah membantu manusia untuk mengenalinya dengan ayat (petanda Allah). Ayat dimaksud terbagi dua, yaitu ayat tanziliyah (naqliyah) dan ayat kauniyah (aqliyah). Ayat tanziliyah, adalah wahyu yang diturunkan melalui malaikat Jibril, sedangkan ayat kauniyah adalah ciptaan (karya) Allah SWT.[54]

Pada puncaknya, sebagaimana dialami oleh para ilmuan, aktifitas keilmuan yang terus-menerus akan mengantarkan seorang ilmuan kepada ketinggian moral atau akhlak, yakni suatu kondisi yang sangat sadar dan mengerti posisinya dalam kesemestaan ini. Dalam kondisi seperti ini, ia benar-benar paham dan mengerti kebesaran dan keagungan Sang Maha Pencipta ― Allah SWT. Kondisi demikianlah yang dirasakan oleh Imam Syafii. Ia mengatakan:

كلما زادني علما زادني فهما بجهلي


Setiap kali Tuhan menambah ilmuku, semakin pahamlah aku akan kejahilanku (kebodohanku).[55]

Al-Gazali juga berpandangan bahwa seorang yang benar-benar ‘alim akan menyampaikannya ke pencapaian ilmu ladunni. Ilmu ini menurutnya diperoleh seorang ‘alim tanpa perantara, yang menghubungkan jiwa manusia dengan Sang Pencipta. Ia semata-mata seperti pancaran cahaya dari lampu kegaiban yang diarahkan pada qalb (hati) yang jernih, kosong dan lembut.[56]

Disebutkan bahwa Einstein, dalam suatu diskusi dengan Murphy, ia mengatakan:

Berbicara tentang spirit yang memberikan kabar investigasi saintifik modern, saya berpendapat bahwa semua spekulasi prima yang ada dalam dunia sains bersumber dari perasaan religius yang terdalam, dan tanpa perasaan semacam itu semua investigasi saintifik tidak akan berubah. Saya juga yakin, perasaan religius semacam ini, yang sangat terasa pada investigasi saintifik hari ini, adalah satu-satunya aktivitas religius yang kreatif di abad kita ini.[57]

Berangkat dari penjelasan di atas, maka Allah SWT yang ‘Alim, Basir, Sami’, Khabir,   menjadi sumber dan tujuan berilmu. Pada awalnya manusia tidak memiliki ilmu sedikitpun. Untuk mendapatkan ilmu Allah Yang Maha Luas itu, maka manusia diberi pendengaran, penglihatan dan hati nurani. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah:

والله اخرجكم من بطون امهاتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع و الابصار والافئدة لعلكم تشكرون ()


            Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (An-Nahl/16: 78).[58]

Di samping ketiga sarana itu menjadi alat untuk mendapatkan ilmu, namun Allah mengingatkan agar senantiasa digunakan untuk mendapatkan ilmu yang benar. Sebab as-sam’, al-absar, dan al-af’idah akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah kelak. (Al-Isra`/17: 36).[59]

Objek ilmu, sebagaimana disinggung di atas adalah pertama, wahyu, dan yang kedua adalah ciptaan (manusia dan alam). Jalaluddin Rakhmat merincinya kepada empat sumber, pertama, Al-Qur`an dan Sunnah, kedua, alam semesta, ketiga, diri manusia, keempat, tarikh umat manusia.[60]

Dalam kaitan ini, apa fungsi ‘aql, qalbu atau fu’ad? Dalam beberapa ayat al-Qur`an, al-‘aql, al-qalb, dan al-fu’ad berfungsi untuk memahami, mengerti dan menyadari fungsi ilmu bagi diri manusia. Sebenarnya, secara operasional makna ketiga kosa kata ini memiliki kesamaan. Namun, kata al-fu’ad sebagaimana disebut pada al-Qasas/28: 10, an-Najm/53: 11, Hud/11: 120,  al-Furqan/25: 32, dan al-An’am/6: 113 kelihatannya menjadi sentral bagi indera dalam.[61] Pekerjaan yang dilakukan oleh akal setelah mendapat input dari alat indera manusia, maka fu’ad menjadi penentu akhir bagi proses keilmuan ini. Namun di dalam itu semua, fitrah manusia sebagai hanif menjadi bingkai penentu kecenderungan bagi  pilihan-pilihan yang dilakukan oleh fu’ad manusia. Al-fuad inilah yang akan membimbing manusia untuk sampai kepada ma’rifatullah (dalam istilah Al-Gazali) atau religiosity versi Albert Einstein.

IV.        Implikasinya terhadap Isi Kurikulum Pendidikan Islam

Kata “kurikulum” berasal dari bahasa Yunani curir artinya pelari, atau curare artinya tempat berpacu. Jadi istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga pada zaman Romawi Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis strat sampai garis finish.[62] Dalam Qamus Tarbiyah, kurikulum pendidikan (manhaj al-dirasah) adalah seperangkat perencanaan dan media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.[63] Crow and Crow menurut Ramayulis mendefenisikan kurikulum sebagai rancangan pengajaran atau sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis untuk menyelesaikan suatu program untuk memperoleh sertifikat atau ijazah.[64]

Secara operasional, fungsi kurikulum dalam konteks pendidikan Islam adalah:

…sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya kea rah tujuan tertinggi pendidikan Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam hal ini proses pendidikan Islam  bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu kepada konseptualisasi manusia paripurna (insane kamil) yang strateginya telah tersusun secara sistematis dalam kurikulum pendidikan Islam.[65]

Menurut Ramayulis, komponen kurikulum meliputi: tujuan yang ingin dicapai, isi kurikulum, media (sarana dan prasarana), strategi, proses pembelajaran dan evaluasi.[66]

Isi kurikulum berupa materi pembelajaran yang diprogram dan disusun untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Materi dimaksud disusun ke dalam suatu silabus bidang studi atau mata kuliah. Kemudian secara praktis-operasional dituangkan ke dalam satuan pembelajaran atau rencana program pembelajaran. Perlu digarisbawahi, bahwa setiap materi pembelajaran tersebut harus jelas scope dan squen-nya.[67]

Jika sumber ilmu perspektif Islam terdiri dari ayat tanziliyah dan ayat kauniyah, maka bagaimana implikasinya terhadap isi kurikulum pendidikan Islam? Implikasinya jelas bahwa isi kurikulum harus turunan dari kedua bentuk ayat itu. Hal ini tidak dapat di tawar-tawar, karena manusia yang hendak dibentuk oleh pendidikan Islam adalah Manusia Universal atau Sempurna ((الانسان الكامل . Dengan demikian, maka ilmu-ilmu yang menjadi isi kurikulum harus berguna dan bertujuan dalam kerangka membentuk al-insan al-kamil.[68]

Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia Kedua Tahun 1980 di Islamabad Pakistan merumuskan isi kurikulum pendidikan Islam sebagai berikut:

Kelompok I: Perrennial:

1.      Al-Qur`an:

a)      Qira`ah, hafalan (hifz), tafsir

b)      Sunnah

c)      Sirah (tarikh) Nabi Saw, para sahabat, dan pengikut

d)      Tauhid

e)      Usul Fiqh dan Fiqh

f)        Bahasa Qur`an (fonologi, sintaksis, semantik)

2. Pengetahuan Pembantu:

a) Metafisika Islam

b) Perbandingan Agama

c) Kebudayaan Islam

Kelompok II: Acquired:

1.      Pengetahuan Imajinatif (arts)

a. Arsitektur Islam

  1. Bahasa-bahasa


2.      Pengetahuan Intelektual

a.       Pengetahuan Sosial:

Kesusastraan, filsafat, pendidikan, ekonomi, pengetahuan politik (pandangan Islam tentang politik, ekonomi, kehidupan social, perang dan damai, dan lain-lain), geografi, sosiologi, lingusitik, psikologi, antropologi.

b.      Pengetahuan Kealaman:

Filsafat sains, matematika, statistika, fisika, kimia, life sciences, astronomi, pengetahuan tentang ruang angkasa, dan lain-lain.

3.      Applied Sciences:

Rekayasa dan teknologi, kedokteran, pertanian, dan kehutanan.

4.      Pengetahuan Praktis:

Perdagangan, administrasi, perpustakaan, home sciences, komunikasi.

Semua pengetahuan jenis kedua ini (yang diperoleh) harus diajarkan dengan menggunakan perspektif Islam. Itulah satu cara mengintegrasikan ilmu pengetahuan.[69]

Al-Attas berpendapat bahwa rumusan kurikulum, tentu saja dalam hal ini isinya, harus dimulai dari tingkat universitas. Hal ini dilakukan karena di universitaslah tempat terakhir pembentukan Manusia Universal atau Kamil (الانسان الكامل), baru kemudian diturunkan ke tingkat di bawahnya secara hirarkis-sistematis. Kegagalan dalam perumusan tingkat universitas, maka akan berdampak terhadap tingkat pendidikan di bawahnya. Dengan demikian, isi kurikulum di tingkat universitas harus benar-benar diintrodusir dari sumber ilmu yaitu ayat-ayat tanziliyah dan ayat-ayat kauniyah secara padu atau utuh.[70]

V.     Penutup

Dalam Islam, sumber ilmu sesungguhnya adalah pemilik ilmu itu sendiri, yakni Allah SWT.  Ilmu yang amat sedikit (qalil) yang diperoleh manusia melalui pengerahan indera dalam dan indera luar, adalah ilmu yang didatangkan (yu`ta) dari dan oleh Allah.

Secara garis besar, sumber ilmu itu ada dua, yakni ayat tanziliyah dan ayat kauniyah. Ayat tanziliyah diperoleh manusia melalui perantaraan utusan Allah, yaitu para Nabi dan Rasul Allah, sedangkan ayat kauniyah diperoleh manusia melalui usahanya mempelajari ciptaan Allah SWT. Kedua sumber ilmu ini bersifat komplementer, yakni saling melengkapi. Pemisahan keduanya berakibat  munculnya dualisme keilmuan, sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, dan berbahaya bagi masa depan peradaban manusia.

Implikasinya dalam isi kurikulum, yakni kemestian bahwa kurikulum pendidikan Islam harus berisi ilmu yang bersumber dari kedua ayat dimaksud. Hal ini menjadi lebih niscaya lagi, karena manusia yang hendak dibentuk oleh pendidikan Islam adalah Manusia Universal atau Sempurna (الانسان الكامل). Dengan demikian, aspek ruhaniah dan jasmaniah setiap peserta didik harus dididik dengan sempurna dan integral, sehingga ia benar-benar dapat menjadi khalifah sekaligus ‘abd yang taat. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA


 


Al-Gazali, Abu Hamid. Al-Munqiz min al-Dalal. Kairo: Silsilah Saqafat Islamiyah, tth.

-------. Ihya`‘Ulum al-Din. Jilid II. Kairo: Dar al-Ma’arif, tth.

-------. Ihya`‘Ulum al-Din. Jilid III. Kairo: Dar al-Ma’arif, tth.

-------. Ihya` ‘Ulum al-Din. Jilid V. Kairo: Dar al-Ma’arif, tth.

-------. Risalah al-Laduniyyah, dalam Qushur al-Awwali, dihimpun oleh Mustafa Muhammad Abu al-A’la. Mesir: Makatabah al-Jundi, tth.

‘Abd al-Baqy, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur`an al-Karim. Kairo: Dar al-Hadis, 1422 H/2001 M.

‘Abdulrahim, Muhammad ‘Imaduddin. “Kata Pengantar”, dalam Jalaluddin Rakhmat. Islam Alternatif. Cet. IX. Bandung: Mizan, 1998.

Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib. Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan  Islam. Cet. 4. Bandung: Mizan, 1992.

Ash-Shadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna. Cet. III. Terj. M. Nur Mufid bin Ali. Bandung: Mizan, 1993.

Baharuddin. Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.

Dep. Agama RI. Al-Qur`an dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Al-Qur`an, tth.

Ghulsyani, Mahdi. Filsafat-Sains menurut Al-Quran. Terj. Agus Effendi. Cet. IV. Bandung: Mizan, 1991.

Hamka. Tafsir al-Azhar. Juz III. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002.

Izutzu, Toshihiko, Litt. D. God and Man in the Quran. Tokio: Keio University, 1964.

Jammer, Max. Agama Einstein: Teologi dan Fisika. Yogyakarta: Relief-CRCS, 2004.

Kattsof, Louis O. Pengantar Filsafat, Cet. Ke-7. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996.

Kuswanjono, Arqom. Integrasi Ilmu dan Agama: Perspektif Filsafat Mulla Sadra. Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2010.

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI- Press), 1986.

--------. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cet. 7. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Praja, Juhaya S.  Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Cet. Ke-3.  Jakarta: Kencana, 2008.

Rakhmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. Cet. IX. Bandung: Mizan, 1998.

Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. Ke-2. Jakarta: Kalam Mulia, 2010.

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Cet ke-7. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

Siddik, Dja’far. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Cita Pustaka Media, 2006.

Solihin, M. Epistemologi Ilmu dalam Sudut Pandang al-Gazali. Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1411 H/ 1990 M.







*Disajikan pada Seminar Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam, S.3 Prodi Pendidikan Islam Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, tanggal 23 Oktober 2010, di bawah asuhan Prof.Dr. H. Ramayulis, M.A.




[1]Di Indonesia, kajian tentang filsafat ilmu misalnya dilakukan oleh Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Cet. XIII (Jakarta: Sinar Harapan, 2000)  The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, 1987). Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008).




[2]Barat yang dimaksud dalam kajian ini adalah pemikiran, konsep, teori  yang berasal dan atau yang berparadigma Barat.




[3]Lihat Amsal Bakhtiar, h. 98-107.  Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, Cet. Ke-7 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996), h. 142.




[4]Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna. Cet. III. Terj. M. Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1993), h. 28. Tokoh lain seperti Blaise Pascal (1623-1662), Baruch Spinoza (1632-1677). Lihat Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat-2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 25 dan 27.




[5]Dua belas kategori Kant adalah: (1) kuantitas, yang di bawahnya ada (a) unitas, (b) pluralitas, dan (c) totalitas; (2) kualitas, yang di bawahnya ada (a) realitas, (b) penafian, dan (c) limitasi; (3) hubungan, yang di bawahnya ada (a) inherence dan substance (substansi dan aksiden), (b) kausalitas dan kebergantungan (sebab dan akibat) dan (c) resiprositas komunitas  antara agen dan pasien; (4) modalitas, yang di bawahnya ada (a) kemungkinan-kemustahilan, (b) ada-tiada, dan (c) keniscayaan-ketakniscayaan. Ash-Shadr, h. 29.




[6]As-Shadr, h. 29-30.




[7]Hadiwijono, h. 18-19.




[8]Ibid., h. 19-20.




[9]Ibid., h. 21.




[10]Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Cet. Ke-3  (Jakarta: Kencana, 2008), h. 105. Hadiwijono, h. 32 dan 36.

Para pemikir Inggris bergerak kearah yang berbeda dengan tema yang telah dirintis Descartes. Mereka lebih mengikuti jejak Francis Bacon, yaitu aliran empirisme, yang memberi tekanan kepada empiri atau pengalaman sebagai sumber pengenalan. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa rasionalisme sama sekali ditolak. Dapat dikatakan, bahwa rasionalisme dipergunakan dalam rangka empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam rangka empirisme. Hadiwijono, h. 31-32.




[11]Shadr, h. 31-32.




[12]Ibid., h. 32.




[13]Hadiwijono, h. 32.




[14]Ibid., h. 33.




[15]Ibid.




[16]Ibid., h. 33-34.




[17]Louis O. Kattsof, h. 142.




[18]Ibid.




[19]Ibid., hlm. 142-143.




[20]Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur`an al-Karim, (Kairo: Dar al-Hadis, 1422 H/2001 M), h. 574-575.




[21]Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI- Press, 1986), h. 5.




[22]Dep. Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Al-Qur`an, tth), h. 11.




[23]Dep. Agama RI, h. 337.




[24]Ibid., h. 39.




[25]Ibid., h. 562.




[26]Ibid., h. 401.




[27]Lisan al-‘Arab, Jilid XIII, h. 485-486.




[28]Nasution, h. 6-7. Prof. Izutzu, mengatakan bahwa ‘aql di zaman jahiliyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence)  yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Setiap kali ia dihadapkan kepada problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab zaman jahiliyah. Toshihiko Izutzu, Litt. D., God and Man in the Quran, (Tokio: Keio University, 1964), h. 65.




[29]Al-Qur`an surat al-Hajj/22: 46. Lebih lanjut lihat Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 118.




[30]‘Abd al-Baqiy, h. 442.




[31]Dep. Agama RI, h. 212.




[32]Ibid., h. 275.




[33]Ibid., h. 347.




[34]Ibid., h. 415.




[35]Ibid., h. 51.




[36]Ibid., h. 141.




[37]Ibid., h. 337.




[38]Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, h. 621/2.




[39]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, ( Jakarta: Hidakarya Agung, 1411 H/1990 M), h. 306.




[40]Ibid.




[41]Jalaluddin Rakhmat, h. 209.




[42]Dep. Agama RI, h. 235.




[43]Ibid., h. 386.




[44]Lihat Ibid., h. 526.




[45]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,Cet. 7 (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 15.




[46]Abu Hamid al-Gazali, Mizan al-Amal, h. 36-37.




[47]Abu Hamid al-Gazali, Ihya`, Jilid 2, h. 30-72.




[48] Abu Hamid al-Gazali, Ihya`, Jilid 2, h. 36; Risalah al-Laduniyyah, h. 360-68.




[49]Abu Hamid al-Gazali, Ihya`, Jilid III, h. 1376.




[50]Dalam Ihya` ‘Ulum al-Din, al-Gazali mengutip kata-kata Ibnu Mas’ud: “Jika seseorang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan pengetahuan modern, selayaknya dia merenungkan Al-Qur`an.” Kemudian ia menambahkan, “Ringkasnya, seluruh ilmu tercakup di dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan Al-Qur`an adalah penjelasan esensi, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada batasan terhadap ilmu-ilmu ini, dan di dalam Al-Qur`an terdapat indikasi pertemuannya (Al-Qur`an dan ilmu-ilmu).” Abu Hamid al-Gazali, Ihya` ‘Ulum al-Din, Jilid V (Kairo: Dar al-Ma’arif), h. 1.




[51]Perbincangan tentang kekuatan dan kelemahan indera sebagai alat untuk mendapatkan ilmu dapat dilihat pada karya al-Gazali, Mi’yar al-‘Ilm, h. 62; Misykat al-Anwar, h. 18-19 dan Al-Munqiz min al-Dalal, h. 9.




[52] Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains menurut Al-Quran, Terj. Agus Effendi. Cet. IV (Bandung: Mizan, 1991), h.138.  Al-Qur`an, di samping mengandung petunjuk-petunjuk dan tuntutan-tuntunan yang bersifat ‘ubudiyah dan akhlaqiyah (moral), juga mengandung petunjuk-petunjuk yang dapat dipedomani manusia untuk mengolah dan menyelidiki alam semesta, atau untuk mengerti gejala-gejala dan hakekat hidup yang dihadapinya dari masa ke masa. Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,Cet. Ke-2 (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 79.




[53]Secara umum ilmu dalam Islam berfungsi 1) untuk ber’ubudiyah kepada Allah, 2) untuk dapat membedakan yang hak dengan yang batil, 3) sebagai modal untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Lihat Ramayulis dan Samsul Nizar, h. 80.




[54]Mempelajari sains tidak lain dari pada menangkap sunnatullah di alam semesta. Bukankah ayat-ayat Allah tampak secara tersurat sebagai ayat-ayat Qur`aniah dan tersirat sebagai ayat-ayat kauniyah? Kedua jenis ayat ini sama pentingnya untuk dipelajari. Bagiku sains adalah metode mengamati alam secara empiris. Sebagai jenis observasi yang obyektif, tidak ada persoalan antara sains yang Islami dengan sains yang tidak Islami. Observasi yang obyektif jelas Islami. Bukankah Allah berkali-kali menyuruh kita menggunakan alat-alat indera kita dan mengancam dengan neraka orang-orang yang menyia-nyiakannya? (QS. 7: 179). Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim, “Kata Pengantar”, dalam Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, Cet. IX (Bandung: Mizan, 1998), h. 19. Lihat juga  Arqom Kuswanjono, Integrasi Ilmu dan Agama: Perspektif Filsafat Mulla Sadra, (Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2010), h. 74.




[55]Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), h. 110.




[56]M. Solihin, Epistemologi Ilmu dalam Sudut Pandang al-Gazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 91.




[57]Max Jammer, Agama Einstein: Teologi dan Fisika, (Yogyakarta: Relief-CRCS, 2004), h. 49.




[58]Dep. Agama RI, h. 275.




[59]Ibid., h. 285.




[60]Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, Cet. IX (Bandung: Mizan, 1998), h. 203-205.




[61]Lihat




[62]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ,Cet ke-7 (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 150.




[63]Ibid.




[64]Ibid., h. 150.




[65]Ibid., h. 152.




[66]Ibid., h. 154-155.




[67]Ibid., h. 154.




[68]Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan  Islam, Cet. 4 (Bandung: Mizan, 1992), h. 84.




[69]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992),  h. 8-9. Ramayulis, h. 165-166. Dja’far Siddik, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2006), h. 125-126.




[70]Al-Attas menyatakan: “Perwujudan paling tinggi dan paling sempurna dari sistem pendidikan Islam adalah universitas.  Dan mengingat bahwa universitas merupakan sistematisasi pengetahuan yang peling tinggi dan paling sempurna ― yang dirancang untuk mencerminkan yang universal ― maka ia mestilah juga merupakan pencerminan dari bukan sekedar manusia apa saja, melainkan Manusia Universal atau Sempurna (al-Insan al-Kamil). …Jadi, universitas Islam itu mesti mencerminkan Nabi dalam hal pengetahuan dan tindakan yang benar; dan fungsinya adalah untuk menghasilkan manusia, laki-laki dan perempuan, yang mutunya sedekat mungkin menyerupai beliau ― masing-masing sesuai dengan kapasitas dan potensi bawaannya ― untuk menghasilkan laki-laki dan perempuan yang baik; untuk menghasilkan laki-laki dan perempuan yang beradab sebagai tiruan dia yang bersabda: “Tuhanku telah mendidikku, dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik.” Al-Attas, h. 84-85.


DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...