Mengomentari umat Islam Indonesia, seorang antropolog Barat, Gunnar Myrdal berkata, "Etically, Indonesia is soft nation". Secara etika, Indonesia adalah bangsa yang lemah. Etika di sini maksudnya etika berkemajuan dan berperadaban. Realitas ini, telah lama dirisaukan oleh intelektual bangsa kita semisal Harun Nasution, Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Harun Nasution berkesimpulan bahwa umat Islam Indonesia, dalam hal memandang kehidupan, memiliki teologi (paham ketuhanan) yang jabariy (fatalis). Oleh karena itu menurutnya, pemahaman teologis fatalis ini harus dirubah menjadi pemahaman teologis yang dinamis-progresif (teologi rasional). Untuk usaha ini beliau memelopori reformasi kurikulum ilmu-ilmu keagamaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
Apa hasilnya? Penelitian menunjukkan bahwa, dalam hal tauhid uluhiyah (pemahaman tentang Tuhan sebagai sembahan), alumni PTKIN masih kental dengan teologi tradisional Asy'ariyah. Tetapi dalam hal tauhid rububiyah (pemahaman tentang Tuhan sebagai pencipta, pengatur dan pemelihara), alumni PTKIN lebih condong kepada teologi rasional Muktazilah. Hal ini menandakan bahwa alumni PTKIN telah mengalami reformasi pandangan teologis tentang hidup dan kehidupan.
Problem di depan mata kita sehari-hari, secara umum umat Islam, lebih khusus ASN dalam berbagai institusi, mempertontonkan kelemahan dalam berintegritas.
Apa itu Integritas?
Integritas adalah kemenyatuan. Integritas kepribadian artinya kemenyatuan dan keutuhan nilai-nilai pada suatu pribadi. Lebih sederhana adalah menyatunya "kata" dengan "perbuatan; komitmen dengan tindakan. Seseorang dapat disebut berintegritas tinggi jika nilai, norma, komitmen dan aturan benar-benar mendasari sikap, perbuatan dan tindakannya dalam lingkup pribadi dan institusi.
Problem Kita
Problem kita adalah konsistensi memegang teguh nilai, komitmen, janji, aturan dan regulasi dalam prilaku kerja sangatlah lemah. Sebagian kita mendikhotomikan nilai, janji dan komitmen bekerja pada lembaga atau institusi dengan komitmen memegang teguh nilai keagamaan. Tampaknya sebagian kita berpandangan bahwa sikap dikhotomis ini tidak memiliki konsekuensi keakhiratan (iman kepada Hari Akhir). Akibatnya keislaman kita juga bersifat dikhotomik. Visi berislam kita tidak menyatu dengan visi perilaku kerja. Inilah penomena berislam dalam ritual tetapi kurang berislam dalam aktifitas kerja.
Dengan demikian ada masalah dalam penganutan Islam kita. Tampaknya penganutan Islam kita belum berkonstribusi nyata untuk kemajuan peradaban kita. Agamakah yang salah? Tentu bukan. Yang salah adalah corak penganutan agama kita. Agama yang menyulut api kemajuan itu redup pada diri kita. Jika kondisi penganutan agama yang fatalis ini masih dipelihara, maka kita akan sulit masuk ke dalam budaya maju atau progresif. Allahu a'lam. ***