FILSAFAT KEILMUAN DUNIA ISLAM ERA KLASIK

Filsafat keilmuan di dunia Islam era klasik dapat mulai dilacak pada Al-Kindi yang hidup pada abad ke 9 M. Membaca penjelasan Harun Nasution dapat diketahui bahwa beliau telah mencurahkan pemikiran filsafat pada bagaimana hubungan wahyu dan akal (rasio) yang nota bene menjadi sumber ilmu pengetahuan. 

Al-Kindi berpendapat bahwa wahyu dan akal (rasio) tidak bertentangan. Bahkan bagi Al-Kindi, wahyu dan akal dapat disatukan dalam mencari kebenaran. Al-Kindi berargumen bahwa tujuan filsafat (dapat dibaca: akal) adalah kajian/pembahasan tentang yang benar dan wahyu itu pula objek pembahasannya. Bahkan wahyu menyajikan informasi yang kebenarannya lebih tinggi dari kebenaran 'aqliyah (rasional). Dengan demikian, dua sumber yang amat penting bagi manusia ini sama-sama membahas kebenaran. Dengan demikian dilihat dari perspektif tujuan, maka genre wahyu dan akal ini benar-benar sama, yaitu jika akal (rasio) bergerak-berjalan menuju kebenaran, maka wahyu membentangkan kebenaran.

Secara hirarkis, semuan filsuf Muslim, dan tentu saja Al-Kindi memandang posisi wahyu lebih tinggi dari akal. Akal dalam perspektif ini membantu dan membimbing akal dalam menemukan kebenaran. Jika wahyu menyebutkan Al-Haqq (Allah SWT) sebagai tujuan akhir pencarian, maka daya akal juga berjalan menuju Al-Haqq. Demikianlah, Al-Kindi menginspirasikan bahwa kegiatan keilmuan dengan akal sebagai lokomotifnya terintegrasi dengan wahyu yang berposisi sebagai pembantu dan pembimbing bagi akal dalam menemukan kebenaran.

Al-Farabi, filsuf Muslim yang lahir setelah Al-Kindi, lebih merinci fase/tingkatan pencapaian akal dalam mencapai kebenaran ilmu pengetahuan. Rincian dimaksud sebagai berikut:

1. Akal potensil (العقل الهيولاني), akal yang kemampuannya baru sebatas menyimpan dan mengolah laporan indera dari objek-objek material-indrawi dalam bentuk yang sederhana.

2. Akal aktual (العقل بالفعل), akal yang kempuannya telah dapat mengolah objek-objek material/indrawi dan mengabstraksikannya menjadi makna, arti dan bentuk.

3. Akal mustafad (العقل المستفاد), yakni akal perolehan, akal yang yang telah dapat menangkap makna dan bentuk-bentuk abstrak yang lebih tinggi yang tidak terkait dengan hal-hal material-indrawi dan mempunyai kemampuan mengadakan komunikasi dengan akal ke-10 (malaikat Jibril) dan menerima limpahan ilmu darinya.

Satu tingkat kemampuan akal dapat naik ke tingkat di atasnya hanya dengan bantuan 'aql al-fa'al yang terpisah darinya dengan cara menyinarinya.

Dengan demikian 'aql al-fa'al bagi Al-Farabi melanjutkan limpahan cahaya Allah kepada akal di bawahnya. Perlu dijelaskan di sini bahwa tingkatan akal di sini maksudnya adalah tingkatan dayanya. Jadi, orang-orang tertentu dengan latihan terus-menerus dalam menyempurnakan daya akalnya dapat sampai kepada akal tertinggi (aql al-fa'al). Hal ini tentu saja maksudnya tingkat kemampuan abstraksi akal dalam menangkap ilmu pengetahuan dari berbagai objek baik yang material maupun yang non material. Kemampuan akal serupa ini menurut Al-Farabi sudah setingkat dengan kemampuan akal para Nabi. Perbedaannya, jika para Nabi dianugerahi kemampuan akal yang tinggi, maka para filsuf (manusia biasa) mesti melakukan latihan-latihan yang sungguh-sungguh untuk sampai kepadanya.

Tampak bahwa perjalanan akal versi Al-Farabi ini dimulai dari kemampuan mengolah dan menalar objek yang material sampai kepada objek non material dengan tingkat abstraksi pengetahuan yang paling tinggi. Pada tingkat paling tinggi ini, bagi sebagian pemikir Muslim  bukan lagi pekerjaan akal semata, tapi sudah melibatkan ketajaman mata hati. Namun Al-Farabi menyebutnya sebagai area perjalanan akal manusia.

Di sisi lain, Imam Ghazali berpandangan bahwa tingkat tertinggi capaian pengetahuan manusia biasa adalah ma'rifatullah. Istilah ini ia berikan sebagai nama bagi puncak pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang hadhrat rububiyyah (hadirat ketuhanan). Pengetahuan serupa ini adalah pengetahuan tentang Allah sendiri.

Jika pengetahuan indrawi hanya berupa informasi tentang tanda-tanda adanya Allah ('ain al-yaqin), dan pengetahuan rasional baru abastraksi filosofis yang masih tingkatan 'ilm al-yaqin (kebenaran rasional), maka pengetahuan tentang hadhrat rububiyyah adalah pengetahuan yang sudah sampai kepada tingkat haqq al-yaqin. Inilah tingkat tertinggi pengetahuan manusia berupa abstraksi sufistik yang diyakini kebenarannya lahir dan batin.

Imam Ghazali menyebut ma'rifatullah ini sebagai pengetahuan paling indah dan berseri. Karena tidak ada lagi objek pengetahuan yang paling indah selain hadhrat rububiyyah sendiri. Untuk sampai ke tingkat ini, tidak lagi melalui olah rasio, tapi melalui olah qalbu (hati) melalui tahapan maqamat ash-shufiyyah (tangga pendakian spiritual) yang lazim dalam tasawuf.

*****

KENDALIKAN LIARNYA OTAK KIRIMU DENGAN MENDOMINANKAN KESADARAN QALBUMU SAAT ENGKAU BERSUJUD KEPADA-NYA

Secara empirik, masing-masing orang pasti bisa merasakan bahwa ada 2 (dua) elemen psikologis penting yang berperan dominan ketika kita beribadah kepada Allah, yaitu:
1. Akal (rasio)
2. Qalbu (hati)

Selanjutnya, secara empirik juga kita akan merasakan bahwa jalan nalar akal (rasio) kita punya kecenderungan kepada 2 (dua) jalan berbeda:
1. Ke luar kesadaran, dan 
2. ke dalam kesadaran

Kesadaran itu sendiri ada pada qalbu kita. Untuk membuktikan kesadaran ada dalam qalbu, cukup dengan menutup sementara pandangan mata kita atau nalar liar otak kiri kita terhadap objek luar. Ketika hal ini dilakukan, kita akan langsung merasakan bahwa kesadaran kita langsung mengaktual. Perlu diketahui bahwa dalam qalbu itu ada lubuk kesadaran Ilahiyah (Ketuhanan). Lubuk kesadaran Ilahiyah inilah yang diistilahkan dengan Fu'ad. 

Berdasarkan penjelasan singkat di atas, maka secara epistemologis dapat dijelaskan bahwa khusyuk itu adalah upaya menahan liarnya jalan nalar menuju ke luar kesadaran, dan membuka jalan nalar yang lapang menuju ke dalam kesadaran.
 
Tampaknya, jalan nalar yang menuju ke luar kesadaran inilah yang disebut dengan jalan otak kiri, sementara jalan nalar menuju ke dalam kesadaran disebut dengan jalan otak kanan.

Bagaimana pengalaman empirik kita masing-masing saat beribadah Shalat? Penulis sendiri merasakan bahwa seringkali ketika mulut ini komat-kamit membaca bacaan Shalat, nalar penulis berjalan menuju luar kesadaran. Saat penomena ini terjadi maka yang menjadi objek nalar saya adalah hal-hal di luar diri saya. Dalam keadaan seperti ini, na'udzubillah, Tuhan-pun seolah kita tinggalkan. Tetapi jika arus nalar yang menuju luar kesadaran itu kita stop, dan kita arahkan menuju ke dalam kesadaran, maka "kita kembali bersama Tuhan". 

Allah SWT membimbing cara yang amat cerdas mengarahkan jalan nalar menuju ke dalam kesadaran, yaitu dengan bersikap tadharru' (rendah hati), khufyah (lemah lembut), khauf (takut), dan thama' (harap). Tentang hal ini penulis teringat nasehat seorang ulama, "Sebelum engkau berdiri di atas sajadah itu, buang jauh-jauh perasaan dan sikap sombongmu supaya Allah mendengar komat-kamit zikirmu."

Nasehat ulama itu logis sekali. Secara aksiologis shalat memang mendidik untuk rendah hati. Ketika kita berdiri dan mengucapkan Allahu Akbar, kita mengagungkan Kemahabesaran Allah sembari kita meredam egoisme kita. Dalam setiap bergerak memasuki fase-fase gerakan shalat, kita mengucapkan ucapan dahsyat ini di tambah ucapan-ucapan lain setiap perhentian fase-fase gerakan shalat. Kesadaran kita pun menghunjam ke fu'ad (lubuk hati) kita bahwa "kita tidak ada apa-apanya, kita makhluk yang lemah dan tak berdaya. La haula wala quwwata illa billah."

Allahu a'lam.

Catatan tambahan:
Analisis di atas masih berbau asumtif. Untuk analisis yang utuh perlu melihat kaitan elemen akal dan qalbu dengan ruh dan nafs.


RESPON BALIK DISKUSI TENTANG URGENSI BERPIKIR DEDUKTIF-INTERPRETIF PADA WA GROUP FTIK IAIN P. SIDIMPUAN

Respon balik terhadap tanggapan bang Irwan Saleh Dalimunthe:

Masya Allah... dosen awak ni yang ngasih tanggapan. Terima kasih bang.

Saya makin percaya, ilmu akan sulit berkembang jika berpikir deduktif itu tidak diasah. Noeng Muhadjir menjelaskan bhw berpikir deduktif menggunakan "imajinasi rasional" sebagai kekuatan kreatif manusia. Imajinasi rasional ini merupakan imajinasi yg tertuntun olh kemampuan rasional kreatif manusia; tertuntun olh kemampuan teoritis ilmu pengetahuan manusia, ---- bukan oleh stimulasi empiri manusia.

Berpikir deduktif itu mengerahkan kemampuan imajinasi rasional. Jika semakin terlatih, dan mampu menguatkannya dengan kemampuan interpretasi, maka akan terbentuk kemampuan deduktif-interpretif yg hebat.

Untuk mengetahui dan selanjutnya tertuntun kpd kemampuan deduktif-interpretif mk cara yg mudah yaitu belajar filsafat ilmu dan membiasakan membaca pemikiran2 kritis.

Abanganda Irwan Saleh sejak dulu telah terlibat menuntun berpikir deduktif-interpretif (D-I) ini. 

Oleh karena kita lemah pd D-I ini, mk kemampuan kita dlm mengkaji teks/nash agama baru sebatas mengoleksi pendapat dan mencoba mendamaikannya dengan kaidah al-jam'u wa at-taufik.

Sisi lain, seperti sisi analitika bahasa, misalnya kajian ontologi-kebahasaan terhadap teks/nash hampir terabaikan. Padahal klo kita gunakan ini, kita akan melihat lbh jelas ternyata Al-Qur'an itu tersusun dlm anatomi ide yg rapi, mulai dari ide "primer" sampai kpd ide yg rinci (partikular). Fazlurrahman membantu kita memahami ide primer itu dg bukunya Tema Pokok Al-Quran. Tema pokok itu adalah ide-ide primer. Ide-ide primer ini masih bisa di-jami'kan (disubstansikan) menjadi "ide primer awal" yaitu "tauhid". Allahu a'lam.

*****

Ini kutipan dari Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian,  h. 76:

"Dalam berbagai tulisan terdahulu penulis (Noeng Muhajir) menyatakan bhw terjadi proses pemiskinan teori bila kita menggunakan positivisme. Cukup banyak bukti bahwa teori-teori ilmu sosial tidak pernah berkembang. Teori ekonomi terhenti pada teori klasik dan teori Keynesian. Filsafat sosial terhenti pada liberalisme dan sosialisme. Teori psikologi terhenti pada psikoanalisis, behaviorisme, dan terhenti sampai psikologi humanitis." 

Rasionalisme sebagai bagian dari logika rasional empirik objektif dengan kemampuan berpikir deduktifnya diharapkan dapat membuat ilmuwan menjadi lebih produktif dalam membangun teori.

Penelitian kuantitatif yang positivistik itu perlu terus dikembangkan. Tapi menurut alm. Pak Noeng, mari kita terus mengkritisi seberapa jauh konstribusinya dalam membangun teori baru dlm ilmu2 sosial.

Tapi klo terhadap sains, ya jelas sekali konstribusinya.

#####


Tanggapan saya terhadap artikel bang Irwan Saleh Dalimunthe, Islam dan Inklusivitas:

Mantap bang.

Islam inklusif (terbuka/rahmatan lil'alamin) yang dikampanyekan Cak Nur dkk., itu, hemat saya ---dalam bahasa fenomenologi--- adalah Islam bersasarkan inner perspective (kesadaran pokok) Nabi. Simpulan seperti ini dapat dilihat dari cara beliau mengeksplorasi pemahaman keislaman dalam konteks keindonesiaan.

Pertama, ia berupaya sungguh-sungguh menangkap "kesadaran prima" keberislaman. Ini tahapan ontologisnya. Hakikat berislam itu, apa sebenarnya.

Kedua, ia berupaya melihat secara jernih masalah kemasyarakatan dan kebangsaan kita. Termasuk ke dalam hal ini masalah keterjebakan umat kepada keberislaman yg formal dan simbolik, cita-cita/romantisme negara Islam pada sebagian kalangan, dll.

Ketiga, dengan inner perspective pemahaman keislaman yang inklusif itu, ia memberi tawaran-tawaran solutif untuk perjalanan Islam di Indonesia.

Sayangnya, banyak orang tidak paham jihad intelektual besar beliau ini. Orang lebih banyak menyoroti Cak Nur dari aspek fikih, lalu melabeli beliau dengan
"liberal", "murtad", "agen Barat" dll.

Ketidak paham ini karena keberislaman ummat terpasung oleh tradisi teks yang masih belum beranjak dari "koleksi teks". Pada hal kalau saja kita mau memadu tradisi teks itu dengan pendekatan modern dalam memahami teks, maka akan bermunculan pemahaman cerdas dan aktual dangan kebutuhan ummat. Allahu a'lam.

*****


KEMAMPUAN KOLEKSI INFORMASI-PLUS DALAM PEMAHAMAN AGAMA

Dalam pengalaman mengikuti mudzakarah (diskusi keagamaan) pada berbagai tempat di Padangsidimpuan, secara umum tampak kemampuan mengkaji ilmuan agama kita (ulama) dalam menjawab masalah-masalah agama, baru pada tingkat koleksi informasi-plus. Manhaj seperti ini lazim disebut sebagai metode qawli, yaitu suatu metode mencari jawaban suatu masalah hukum agama dengan mencari qaul/wajh (ungkapan tekstual) kitab. 

Tidak jarang cara ini menemui kerumitan. Contoh kerumitan itu, ketika qaul/wajah yang dirujuk saling bertentangan. Memang telah ada kaidah/cara-cara penyelesaian yang dirumuskan oleh para ulama. Hanya saja, kaidah penyelesaian pertentangan teks ini seringkali tidak memuaskan nalar sehat kita, dan terasa tertinggal dengan metodologi yang lebih modern.

Satu hal hemat penulis yang perlu dijamah oleh ulama kita di daerah yaitu penggunaan nalar deduksi interpretis dengan menggunakan pendekatan hermeneutika dalam penalaran terhadap teks.

Contoh penerapan pendekatan ini sebagai mana pada pembahasan masalah hukum agama berikut:

Bagaimana status harta wakaf yang secara teks hadis mesti ditahan "pokok"-nya?

Dalam pembahasan "pokok" harta wakaf ini, secara qawli,  ada pendapat ulama yang melarang merubah "pokok" harta wakaf. Di sisi lain, ada yang membolehkan. Masalahnya di sini, kita tidak memperoleh penjelasan yang memuaskan, mengapa seorang ulama melarang  dan mengapa pula yang lain membolehkan. Terhadap masalah seperti ini perlu tinjauan lain terhadap status "pokok" harta wakaf dengan pendekatan deduktif-interpretif-hermeneutik.

Operasi metode ini, pertama, memahami status ontologis "wakaf" dengan menggunakan filsafat bahasa. Filsafat bahasa mengajarkan bahwa bahasa terbentuk memiliki struktur ide. Termasuk ke dalam hal ini bahasa Al-Qur'an. Ada ide primer (utama) dan ada ide sekunder.  Ada pula substansi dan ada materi, ushul dan furu',  kulli  dan juz'i, dll. Bahkan, bahasa itu memiliki anatomi ide yang bisa dipelajari.

Dalam bahasa agama, misalnya untuk membaca kemusliman, maka secara anatomi kebahasaan, dapat dilihat mulai dari 3 (tiga) ide pokok, yaitu    iman, islam dan ihsan. Hal-hal lain dalam Islam adalah perincian dari 3 ide pokok itu. 

Bagaimana dengan wakaf? Kata waqf (wakaf) sendiri tidak ditemukan penggunaannya dalam Al-Qur'an dan Hadits. Dengan demikian istilah ini dimunculkan oleh ulama dalam konteks sedekah, yang  berfungsi membedakannya dengan sedekah biasa yang bersifat limited dan insidentil.

Terkait perintah Allah menginfakkan rezki yang kita terima, maka berdasarkan penelusuran terhadap ayat Al-Qur'an dan Hadits yang berkaitan, dapat diketahui bahwa ada sejumlah ide turunan dari "perintah berinfak (anfiqu minma razaqnakum)". Ide-ide dimaksud yaitu sedekah, zakat, infak (dalam pengertian fikih), hibah dan hadiah. Dengan demikian, secara ontologi-kebahasaan, wakaf itu sebetulnya ide rincian dari ide tentang infak secara umum.

Oleh karena wakaf adalah bagian dari perintah berinfak, maka terhadap wakaf tentu pula berlaku aturan-aturan umum pembelanjaan harta (menginfakkan harta).

Kedua, melihat aspek epistemologi dan aksiologi harta wakaf. Dalam kaitan ini, dapat dilihat terlebih dahulu bagaimana perspektif pengelolaan infak 'am  dan pemanfaatannya dalam konteks mu'amalah. Selanjutnya, dijadikan pijakan umum dalam merumuskan pengelolalaan wakaf. Secara aksiologis (maqashid asy-syari'ah), mesti pula dipahami bahwa tujuan pokok wakaf adalah untuk kesejahteraan manusia lahir dan batin. Oleh karena itu wakaf tidak boleh dilepaskan dari konteks mu'amalah. Dengan demikian perlu memperhatikan asas manfaat dan maslahat dari materi wakaf.

Konklusinya: Perintah Nabi Saw untuk menahan "pokok" harta tidak mesti dipahami secara skriptural atau tekstual. Jadi mesti dipahami dalam konteks mu'amalah pembelanjaan rezki (infaq 'am). Jadi yang ditahan adalah nilai intriksiknya, bukan nilai ekstrinsiknya. Nilai ekstrinsiknya dapat saja berubah-ubah sesuai konteks bermu'amalah.

Khatimah

Hemat penulis, metode deduktif-interpretif ini akan memperkaya sudut pandang, sehingga kita tidak hanya berhenti pada kaidah al-jam'u wattaufik dalam menganalisis teks/nash agama yang tampak bertentangan sementara sama-sama shahih.

Di sini kita diperlihatkan bahwa pendekatan bayani klasik perlu dipadu dengan deduktif-interpretif-hermeneutik.

Allhu a'lam bi al-shawwab.


MENIMBANG "DALIHAN NATOLU" SEBAGAI METAFORA PARADIGMA KEILMUAN IAIN PADANGSIDIMPUAN

 "Dalihan natolu" (tungku yang tiga) adalah pranata budaya Tapanuli yang menyimbolkan nilai tradisional berupa hubungan sosial kekeluargaan yang erat dan kuat antar keluarga di tengah masyarakat Tapanuli. Jika dilihat dari perspektif seorang ayah sebagai kepala keluarga, maka mora adalah keluarga pihak ibu, kahanggi  adalah keluarga pihak saudara ayah dan se-marga,  dan anak boru adalah keluarga ipar (menantu laki-laki ayah). Pranata sosial "Dalihan natolu" ini terbentuk melalui hubungan pernikahan. Dengan "dalihan natolu" pada gilirannya terbangun integrasi sosial warga masyarakat. Seluruh anggota masyarakat terintegrasi dengan nilai "dalihan natolu".

Kehadiran Islam sebagai agama turut memperkuat nilai-nilai kekerabatan "dalihan natolu" yang telah hidup dan berakar kuat di tengah masyarakat. Posisi wahyu (Al-Qur`an) dalam realitas kekerabatan "dalihan natolu" ini menjadi sumber penguatan setiap nilai-nilai yang relevan dengan Qur`an.

Dalam arti yang lebih luas, "dalihan natolu" dimaksud dapat pula dimaknai sebagai nilai moderasi, harmonisasi dan toleransi antar berbagai etnis dan suku yang memiliki hubungan pernikahan dengan etnik Tapanuli. Disebut demikian karena etnis mana pun yang memiliki hubungan pernikahan dengan etnik Tapanuli, akan dapat diposisikan berdasarkan nilai kekerabatan "dalihan natolu". Di sisi lain, terdapat pula nilai moral-filosofis yang berangkai dengan "dalihan natolu" yaitu "malo mar-Tuhan, malo marroha, malo marbisuk" (bertauhid, memiliki kepekaan nurani dan memiliki kecerdasan/intelektualitas).

Nilai "mar-Tuhan" dan "marroha" dapat dipadankan dengan nilai ilahiyah dan insaniyah. Sementara "marbisuk" dapat dipadankan dengan kemampuan intelektualitas yang mesti terintegrasi dengan "mar-Tuhan" dan "marroha". Dengan demikian, "dalihan natolu" secara ontologis mengimplisitkan integrasi ketuhanan dan keinsanan. Sementara dimensi intelektualitas tumbuh kembang seiring dengan ketuhanan dan keinsanan.

Konsep "dalihan natolu" ini sebenarnya terbuka untuk diinterpretasi dengan cerdas sampai kepada aspek integrasi epistemologis. Hal ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Disebut demikian karena secara operatif, nilai "mar-Tuhan", "marroha" dan "marbisuk" ini telah terterapkan dalam bahasa verbal dan narasi keilmuan warga Tapanuli.

Wallahu a'lam.


DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...