AYAT INSANIYAH DALAM NALAR MATEMATIKA: SERI TEOANTROPOEKOSENTRIS


"Jika Allah SWT berkali-kali menyebutkan bahwa pada langit dan bumi ini, dan juga pada diri manusia terdapat ayat (ايات= tanda-tanda Kemahabesaran Allah), maka "keteraturan dalam logika matematika itu" adalah ayat Allah pada alam pikiran (alam akal) manusia."

*******

Secara umum, Sains (Fisika, Biologi, Kimia dan Matematika) itu adalah ilmu "persamaan" (equation). Ruh dari persamaan ini adalah logika deduktif-matematis. Kalau pun penarikan kesimpulan dalam Sains Kealaman hampir selalu menggunakan logika induktif, namun pada dasarnya tetaplah berpijak kepada prinsip-prinsip logika deduktif-matematis. Sinonim dengan "persamaan" (equation) itu adalah conclution (kesimpulan). Lihat persamaan-persamaan fisika berikut ini:1]

Gambar 1:

Gambar 2:


Gambar 3:

Terus terang penulis tidak paham dengan operasi persamaan fisika pada gambar-gambar rumus di atas. Poin yang ingin ditegaskan di sini bahwa Sains adalah ilmu empirik yang substansinya adalah "persamaan" (equation). Dari "persamaan" itu dapat dilakukan eskperimen Sains. Selanjutnya eksperimen Sains akan menghasilkan ilmu teknologi (ilmu yang bersifat teknikal). Teknologi ini kemudian dapat diimplementasikan untuk menciptakan sarana-prasarana kehidupan untuk kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.

Pertanyaan pokok yang diajukan di sini: 
Bukankah penyangga ilmu "persamaan" yang amat teratur dan rapi ini adalah logika deduktif matematika? Lihatlah gambar-gambar rumus di atas, misalnya: y(x,t)= A sin(wt - kx)= ...dst. Rumus y(x,t) itu selanjutnya diurai (dideduksi) menjadi A sin(wt - kx), dst.

Prinsip penalaran demikian ini merupakan pengembangan silogisme (qiyasiy) dari persamaan-persamaan deduktif-matematis
paling rendah (dasar) pada mata pelajaran Matematika. Misalnya: 2= 1+1. Sementara 1= 0,5+0,5, atau 0,25+0,25+0,25+0,25. Angka 0,25= 0,125+0,125. Dalam logika: Jika A=B, dan C=A,  maka C=B, dst., dst.

Lihatlah...! Ada keteraturan dan  kerapian jalannya logika dalam penalaran ini. Mari kita bertanya lebih lanjut? Bukankah adanya keteraturan logika ini adalah sunnatullah (hukum Allah) yang diletakkan Allah pada alam pikiran manusia, dan tidak diletakkan kepada hewan pintar seperti monyet? Bisakah manusia membuat sendiri daya kreasi dan imajinasi intelektual yang amat teratur dan rapi ini? Bukankah manusia hanya mendayagunakan saja rahmat yang amat besar ini? Katakanlah rahmat berupa logika deduktif dan induktif yang amat berharga tersebut ---yang kebetulan dirumuskan abstraksi penalarannya pertama kali oleh Aristoteles?

Jika Allah SWT berkali-kali menyebutkan bahwa pada langit dan bumi ini, dan juga pada diri manusia terdapat ayat (ايات= tanda-tanda Kemahabesaran Allah), maka "keteraturan dalam logika matematika itu" adalah ayat Allah pada alam pikiran (alam akal) manusia. Mari renungkan kutipan terjemahan firman Allah berikut: "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri,..."2]

Penyikapan moral-intelektual seorang ulul albab (ilmuan Muslim yang sadar akan kehambaannya) terhadap kenyataan ayat-ayat Allah dalam alam akal ini akan termanifestasikan secara verbal dalam untaian doanya sebagai berikut:
Rabbana ma khalaqta hadza batila subhanaka faqina 'adzabannar (Wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua yang ada di langit dan di bumi ini dengan sia-sia (percuma). Maha Suci Engkau ---dari anggapan atau pandangan ilmuan atau pelajar sekuler yang tidak pantas bagi-Mu. Selamatkanlah kami dari azab neraka).3]

Dengan demikian, Ilmu Matematika tidak saja mengokohkan kompetensi rasional-intelektual, tapi juga kecerdasan spiritual berupa peningkatan iman dan takwa.

Pada saat seorang ilmuan atau pelajar Muslim sampai kepada kesadaran akan keberadaan ayat-ayat Allah pada alam pikiran Matematika ini, maka saat itu pulalah ia telah bersentuhan dengan ma'rifatullah (pengetahuan 'irfani/ruhaniah tentang Allah). Allahu a'lam.

Catatan:

1] Lihat: https://basyiralbanjari.wordpress.com/2018/05/01/10-persamaan-fisika-paling-kece-versi-olimpiade-fisika/ 

2]Selengkapnya ayat dimaksud sbb:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰ فَا قِ وَفِيْۤ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَـقُّ ۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?" (QS. Fussilat 41: Ayat 53)

3]Baca: Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala berikut:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ وَا خْتِلَا فِ الَّيْلِ وَا لنَّهَا رِ لَاٰ يٰتٍ لِّاُولِى الْاَ لْبَا بِ 

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal," (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 190)

الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَا مًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَا طِلًا  ۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَا بَ النَّا رِ

"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 191). 

Catatan tambahan: Kutipan ayat Al-Quran dan terjemahnya diambil dari https://quran-id.com


Gambar:
Gambar yang indah, belum diketahui lokasi pengambilan gambar ini.


AL-QUR`AN DAN ILMU PENGETAHUAN

 


Al-Qur'an, sebagaimana dinyatakan pada surat Al-Baqarah ayat 2 dan ayat 185, masing-masing dengan frase (idhafahhudan lilmuttaqin dan hudan linnasi,1] tidak hanya kitab yang mengandung petunjuk keagamaan, tapi juga berisi petunjuk keilmuan. Banyak kita temukan ayat-ayat Al-Qur`an yang memberi petunjuk pengembangan ilmu, mulai dari tingkat filosofi, paradigma, konsep/teori, hingga metodologi.

Dalam perspektif paradigma keilmuan teoantropoekosentris, Al-Qur`an dan Sunnah berposisi sebagai grand philosphy dan grand theory pengembangan ilmu. Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dari Kitab Suci ini, diperlukan kecerdasan luar biasa dalam menginterpretasi  dengan pendekatan bayani, burhani dan 'irfani dengan penalaran induksi-deduksi-'irfani untuk menangkap ide-ide filosofi-sufistik keilmuan, untuk selanjutnya dirumuskan menjadi filosofi, paradigma, konsep dan metodologi pengembangan keilmuan. Contoh riil upaya ini adalah perumusan paradigma keilmuan UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary yang diberi nama Haramu Takamul al-'Ulum (Pyramyd of Sciences) Teoantropoekosentris.


Perspektif Al-Qur`an tentang Sumber Ilmu

Sumber dari segala sumber ilmu itu adalah Allah SWT. Namun, agar manusia dapat menangkap ilmu Allah yang ada pada ayat-ayat-Nya, maka Allah melengkapi manusia dengan pendengaran, penglihatan dan hati (as-sam', al-abshar, al-af'idah). 

Ilmu dari Allah itu, ada ilmu hudhuriy (perennial knowledge) dan ilmu hushuliy (acquired knowlwdge). Ilmu hudhury, ada yang diterima secara verbal melalui pewahyuan, dan ada dari balik tabir yaitu melalui ilham atau intuisi. sementara ilmu hushuliy diperoleh melalui usaha manusia, misalnya dengan membaca, memikirkan, dan merenungkan.

Al-Qur'an memberi kita pandangan bahwa Al-Ayah (bahkan al-isyarah) adalah objek ilmu pengetahuan. Al-Ayah ---secara harfiah bermakna  "tanda-tanda" atau "simbol"--- terdiri dari ayat qauliyah, ayat insaniyah dan ayat kauniyah. 

Ayat qauliyah (dalam istilah lain: ayat tanziliyah) adalah objek utama ilmu-ilmu keagamaan. Ayat insaniyah (istilah lain: ayat anfusiyah/nafsiyah) adalah objek utama ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sementara ayat kauniyah (istilah lain: ayat afaqiyah) adalah objek utama ilmu-ilmu kealaman. Perlu ditegaskan di sini, bahwa biologis-jasmaniah manusia termasuk dalam bagian ayat kauniyah.

Tentang ayat sebagai objek ilmu ini lihat musalnya QS Fussilat ayat 53:

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰ فَا قِ وَفِيْۤ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَـقُّ ۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?"

Mari perhatikan makna firman Allah di atas. Di situ ditegaskan bahwa dengan diperlihatkannya kepada manusia ayat-ayat (tanda-tanda asma' Allah) yang ada pada afaq (penjuru semesta), anfus (diri manusia), maka implikasinya akan menjadi jelas bagi manusia bahwa Al-Qur'an (ayat qauliyah) itu benar. 

Dengan penjelasan demikian, dapat dikembangkan pemahaman bahwa studi, riset atau kajian terhadap ayat afaqiyah/kauniyah (alam) dan ayat anfusiyah/nafsiyah/insaniyah (diri manusia) akan menguatkan pemahaman tentang kebenaran ayat-ayat qauliyah. Hal ini mudah dipahami karena ketiga objek ini sama-sama kalam Allah. Ayat qauliyah adalah kalam verbal, sementara ayat insaniyah dan ayat kauniyah adalah kalam simbolik (tajalliyat Allah). Hubungan kedua kalam ini menurut Noeng Muhadjir bersifat interdependensi. Hasan Langgulung mengumpamakan hubungan kedua kalam ini dalam kalimat berikut: Al-Qur'an adalah ensiklopedi bagi alam, sementara alam adalah kamus/tesaurus bagi Al-Qur'an.


Hubungan Iman, Ilmu dan Amal

Untuk memahami hubungan ketiga istilah penting ini, mari kita mulai dari pemahaman terhadap konsep "iman". Iman artinya percaya atau yakin. Dalam Al-Qur`an misalya QS Ali Imran/3: 114 disebutkan yu'minuna billahi walyaumil akhiri (mereka beriman [percaya/yakin] kepada Allah dan Hari Akhir). Al-Qur`an menjelaskan bahwa mengimani Allah tidaklah sekedar percaya kepada wujud Allah. Tapi lebih dari itu, iman harus melahirkan amal shalih berupa ucapan yang shalih dan sikap/tindakan yang shalih. Kalau hanya sekedar mempercayai wujud Allah, maka kaum kuffar Jahiliyah yang zhalim itu sesungguhnya telah sampai ke tingkat kepercayaan seperti ini.

Firman Allah surat Al-Anfal/8 ayat 2-4 berikut ini contoh yang sangat jelas bahwa "iman" harus menjadi energi ruhaniah yang membangun jiwa dan menggerakkan amal shalih:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِ ذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَا دَتْهُمْ اِيْمَا نًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ 

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal," (Ayat 2)

الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ 

"(yaitu) orang-orang yang melaksanakan sholat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka." (Ayat 3)

اُولٰٓئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّا ۗ لَهُمْ دَرَجٰتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ 

"Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia."

Bagaimana dengan ilmu? Meskipun dalam ayat di atas tidak disebut kata ilmu secara harfiah, tidak diragukan lagi bahwa ilmulah yang menyampaikan manusia kepada iman dan amal yang shalih. Iman akan masuk melalui hidayah dan makin kokoh dengan ilmu. Dalam ayat di atas, disebutkan: "...apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya...". Ini artinya, jika mereka diperdengarkan ilmu berupa ayat qauliyah maka hati orang beriman gemetar, dan jika ayat qauliyah itu dibacakan kepada mereka, maka iman mereka bertambah kuat.

Oleh karena itu, prinsip umum yang sangat jelas dapat dipahami dari Al-Qur`an bahwa iman, ilmu dan amal bersifat integral dalam kehidupan seorang Muslim. Iman yang benar, yang berada dalam hati  manusia (fi qulubikum), akan mempengaruhi sikap dan perilaku individu beriman. Iman yang benar hanya diperoleh dengan hidayah dan ilmu yang benar. Ilmu yang benar akan mengokohkan iman yang benar.  Selanjutnya, dengan iman dan ilmu yang benar maka akan melahirkan amal saleh yang berguna bagi manusia dan kemanusiaan. Allahu a'lam.

Catatan:

*Frase hudan linnasi juga ditemukan pada surat Ali Imran/3 ayat 4. Al-Qur`an juga disebut sebagai bayan linnasi dan  mau'izhah lilmuttaqin (QS Ali Imran/3: 138), hudallah (Al-An'am/6: 88), basha`ir min rabbikum dan rahmatun liqaumin yu`minun (Al-A'raf/7: 203). Dalam surat Yunus/10 ayat 57, Allah berfirman: Hai manusia, sesungguhnya  telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.


Catatan:

*Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com

Gambar:

Foto bersama setelah Upacara Hari Santri 22 Oktober 2022 di halaman depan Biro Rektor UIN Syahada Padangsidimpuan.

SHALAT DAN UPAYA TRANSENDENSI DIRI SEORANG MUSLIM


"Untuk transendensi diri menuju kesempurnaan membutuhkan kesucian ruhani dan jasmani. Seorang Muslim tidak mungkin mendekati Allah Yang Maha Suci jika ia tidak mengakui dosa-dosa di hadapan-Nya dan berkomitmen dengan teguh untuk tidak mengulanginya. Kalau pengakuan terhaďap dosa dan komitmen meninggalkannya sudah dibuktikan, maka Allah akan membuka pintu-pintu atau jalan-jalan pendakian (subul) menuju-Nya."
*******

Dalam artikel sebelumnya "Sayap-sayap Ruhaniyah...", dijelaskan bahwa ada tiga lafaz zikir yang paling sering dibaca dalam satu putaran shalat lima waktu, yaitu tasbih, tahmid dan takbir. Ketiga lafaz ini bagaikan sayap-sayap utama yang membawa seorang hamba untuk naik (mi'raj) menuju hadhrat rububiyyah (hadirat Ketuhanan).

Dalam keseluruhan shalat itu, mulai dari niat hingga salam, Allah SWT menghendaki agar seorang Muslim  melakukannya dengan adab yang tinggi. Nilai-nilai adab shalat dimaksud tersimpul dalam satu kata kunci yaitu khusyuk. Hamba yang khusyuk adalah hamba yang qalbunya senantiasa dipenuhi keyakinan dan harapan liqa' (bertemu) secara ruhaniah dengan Allah dan kesadaran akan kembali kepada-Nya.

Kondisi inilah yang mentransendensikan jiwa setiap hamba ketika ia beribadah menyembah-Nya. 

Untuk transendensi diri menuju kesempurnaan membutuhkan kesucian ruhani dan jasmani. Seorang Muslim tidak mungkin mendekati Allah Yang Maha Suci jika ia tidak mengakui dosa-dosa di hadapan-Nya dan berkomitmen dengan teguh untuk tidak mengulanginya. Kalau pengakuan terhaďap dosa dan komitmen meninggalkannya sudah dibuktikan, maka Allah akan membuka pintu-pintu atau jalan-jalan pendakian (subul) menuju-Nya.1]

Pendakian untuk sampai kepada Allah, harus melewati jalan hablun minallah dan hablun minannas secara integral. Hal ini bermakna bahwa seorang Mukmin yang berjuang sampai kepada Allah mesti terus berproses memperbaiki diri agar menjalankan kepatuhan terhadap agama secara utuh (kaffah). Ingat firman Allah:*

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ کَآ فَّةً ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـکُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah/2: 208).

فَاِ نْ زَلَـلْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَا جَآءَتْکُمُ الْبَيِّنٰتُ فَا عْلَمُوْۤا اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَکِيْمٌ

"Tetapi jika kamu tergelincir setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepadamu, ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana." (QS. Al-Baqarah/2 ayat 209).



Dalam konteks masyarakat Jahiliyah Arab pra Islam, yaitu suatu masyarakat yang benar-benar memarjinalkan anak yatim dan kaum fakir miskin, secara khusus Allah SWT menjelaskan bahwa setiap orang di antara mereka yang menerima din al-Islam dan telah bertobat dari kegelapan hidup Jahiliyah, maka proses selanjutnya mesti menempuh jalan mendaki yaitu menolong kehidupan fakir miskin dan membebaskan mereka dari perbudakan. Mari kita baca firman Allah pada surat Al-Balad/90 ayat 12-16 berikut:*
وَمَاۤ اَدْرٰٮكَ مَا الْعَقَبَةُ 
"Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?" (Ayat 12)
فَكُّ رَقَبَةٍ 
"(Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya)," (Ayat 13)
اَوْ اِطْعٰمٌ فِيْ يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍ 
"atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan," (Ayat 14).
يَّتِيْمًا ذَا مَقْرَبَةٍ 
"(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat," (Ayat 15).
اَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍ 
"atau orang miskin yang sangat fakir." (Ayat 16).


Di bagian lain Al-Qur'an ditunjukkan bahwa Allah mencela Muslim yang menjalankan kepatuhan hanya pada aspek hubungan vertikal (hablun minallah) sebagai orang yang beragama dengan penuh kepalsuan (yukadzdzibu biddin). Bahkan Muslim yang demikian ini dikecam sebagai orang yang celaka. (Baca QS. Al-Ma'un/107: 1-7).

Secara psikis, orang yang abai dengan aspek hubungan horizontal (hablun minannas), misalnya menutup mata terhadap derita orang lain, tentu orang seperti inilah yang memelihara kesombongan (egoisme) dalam dirinya. Orang demikian ini, meskipun secara lahiriyah tampak taat beribadah, tapi sesungguhnya ia tidak akan mencapai ke-khusyuk-an. Kesombongan akan jadi dinding penghalang munajat zikir dan do'anya sampai kepada Allah. 

Oleh karena itu, setelah memasuki pintu tobat, maka setiap Mukmin harus membuktikan bahwa ia bersungguh-sungguh menerima  dinullah (agama Allah) dan berada di jalan kepatuhan ini dengan ikhlas dan kaffah (utuh). Selanjutnya dengan kepasrahan jiwa ia istiqamah untuk mentransendensikan dirinya lebih tinggi hingga liqa' (bertemu secara ruhaniyah) dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung setiap kali ia menghadapkan wajah (dirinya) kepada Allah dalam shalat.

Pentransendensian diri yang konsisten (istiqamah) ini, akan menyampaikan hamba ke lubuk ma'rifatullah yang penuh nikmat dan kelezatan ruhaniah. Allahu a'lam.


Catatan:
* Petikan ayat dan terjemahnya diambil dari  Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com
1] Allah SWT:
وَا لَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا  ۗ وَاِ نَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-'Ankabut/ 29 ayat 69).

Gambar:
Upacara Hari Santri di halaman Rektorat UIN Syahada Padangsidimpuan 22 Oktober 2022.


MAKNA PENDIDIKAN ISLAM



Kita akan mendiskusikan makna pendidikan Islam dalam perspektif filsafat. Ingat pembahasan suatu objek dari sudut filsafat setidaknya kita mengkajinya dari salah satu sudut cabang filsafat. Bisa dari sisi ontologi, epistemologi, atau juga aksiologi. Atau memahami objek dengan utuh berdasarkan pendekatan ketiga cabang filsafat tersebut.

Pendidikan 

Pendidikan dari kata "didik". Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pasal 1, disebutkan "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara."

Dalam kata pendidikan terkandung usaha pengkondisian yang natural agar anak secara aktif mengembangkan potensi dirinya secara bebas menuju puncak insaniyah manusia (insan kamil). Dengan demikian, dalam kata "pendidikan" ---meminjam istilah Kuntowijoyo--- terkandung makna  humanisasi (pemanusiaan manusia/insanisasi), liberasi (pembebasan manusia dari mitos menuju logos), dan transendensi (pengorientasian tujuan hidup manusia kepada kesucian, kebenaran dan kebaikan). 

Dalam kata pendidikan terkandung makna pembelajaran. Pembelajaran adalah mesin peggerak proses pendidikan. Mesin ini harus didesain sebermakna mungkin untuk mendorong perkembangan minat, bakat dan kecakapan peserta didik.


Pengertian Istilah Ta'lim, Tarbiyah dan Ta'dib

Ta'lim (تعليم ) adalah bentuk mashdar dari fi'l al-madhi: 'allama, artinya pengajaran. Tarbiyah (تربية ) dari rabba (رب ), artinya pendidikan. Sementara ta'dib (تاءديب ) dari kata addaba (ادب ), artinya pengadaban, pendisiplinan. 

Naquib al-Attas berpandangan bahwa istilah tarbiyah bukanlah istilah yang tepat untuk menyebut pendidikan Islam. Term tarbiyah menurutnya, terma yang relatif baru dan pada hakikatnya tercermin dari konsep paedagogis Barat. Berdasarkan analisis semantik terhadap penggunaan kata rabba dan turunannya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, Al-Attas berpendapat bahwa konsep tarbiyah masih bersifat generik. Semua makhluk hidup, seperti tumbuhan, mineral dan hewan pun  masuk dalam konsep ini. Dengan demikian, kata tarbiyah mengandung unsur pendidikan yang bersifat fisik dan material. Kata tarbiyah juga mengacu kepada kepemilikan, seperti kepemilikan ayah terhadap anaknya. Tujuan tarbiyah secara normal bersifat pisik dan material dan berwatak kuantitatif. Dengan demikian, al-Attas menjelaskan bahwa perbedaan antara ta'dib dan tarbiyah bersifat substantif. Makna tarbiyah lebih menonjol pada aspek kasih sayang (rahmah) pengasuhan dan pemeliharaan, sementara ta'dib, selain berdimensi rahmah juga berdimensi pengajaran ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia berpandangan bahwa konsep ta'dib mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Karena itu, istilah ta'dib, bagi al-Attas adalah istilah yang paling relevan untuk memaksudkan pendidikan Islam. Adapun makna istilah ta'lim, lebih kepada transper of knowledge berupa pengetahuan verbal yang rasional dan empirik.1] 


Al-Qur`an dan Sunnah sebagai Sumber Filosofi, Paradigma, Konsep, Metodologi Pendidikan Islam

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:1]

كَمَاۤ اَرْسَلْنَا فِيْکُمْ رَسُوْلًا مِّنْکُمْ يَتْلُوْا عَلَيْكُمْ اٰيٰتِنَا وَيُزَكِّيْکُمْ وَيُعَلِّمُکُمُ الْكِتٰبَ وَا لْحِکْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ 

"Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 151)

Ayat di atas menegaskan posisi Nabi Muhammad Saw., sebagai subjek (Rasulullah) yang secara khusus diberi tugas mendidik manusia. Sekali gus pula dijelaskan konten/materi yang akan diajarkan. Secara metodologis, dapat juga dilihat bahwa pendidikan di sini dimulai dari tilawah, tazkiyah, dan ta'lim.

Satu ayat ini saja sudah cukup untuk meyakinkan bahwa Al-Qur`an menjadi sumber naqliyah dan inspirasi perumusan filsafat, paradigma, konsep dan metodologi pendidikan Islam. Belum lagi kalau kita membaca dan merenungkan ayat-ayat lain dan hadits-hadits terkait, misalnya surat Al-Baqarah ayat 129, 30-38, surat Adz-Dzariyat ayat 56, surat Al-Jumu'ah ayat 2, surat Al-'Alaq ayat 1-5,   dll. Oleh karena itu sangat tepat jika disebut bahwa Al-Qur`an dan Sunnah adalah sumber utama pendidikan Islam.


Prinsip-pronsip Pokok dan Disntinktif Pendidikan Islam

Prinsip pokok dan distinktif pendidikan Islam adalah tauhid pendidikan (bukan pendidikan tauhid). Tauhid pendidikan dimaksudkan, pemosisian tauhid (Ilahiyah) sebagai hakikat, prinsip pokok dan asasi pendidikan. Secara operatif memposisikan Al-Qur'an sebagai sumber utama pemikiran, konsep, teori dan aksi pendidikan Islam. Dari sumber utama inilah dideduksi prinsip-prinsip partikular pendidikan Islam. Mari kita lihat deduksi Asy-Syaibani berikut:

Omar Mohammad al-Thoumi al-Syaibani (ilmuan Internasional), merinci prinsip umum pendidikan Islam, yaitu:3] 
(1) prinsip universal (asy-syumul), 
(2) keseimbangan (at-tawazun wal i`tidal) antara kepentingan dunia dan akhirat, 
(3) kejelasan (al-wudhuh), 
(4) sinkronisasi (`adam at-tanaqudh), 
(5) realistis (alwaqi`iyyah), 
(6) menerima bentuk perubahan yang diperlukan (as-siyaqah fi syakli taghaiyyurat marghubah), 
(7) memperhatikan perbedaan individual (mar`atul furuq al-fardiyyah), 
(8) dinamis dan menerima perubahan dan perkembangan dalam mengembangkan prinsip-prinsip universalitas Islam (ad-dinamiyyah wa qabilah attaghaiyyur wa at-tathawwur fi itharil qawa`id al-kullyyah lid-din).

Ilham Ramadhan Siregar (ilmuan lokal) mencoba merincikan prinsip-prinsip pokok pendidikan Islam sbb: 4]

1. Prinsip kewajiban belajar dan mengajar dalam Islam.
2. Prinsip pendidikan sepanjang hayat.
3. Prinsip pendidikan untuk semua.
4. Prinsip pendidikan integral dan seimbang.
5. Prinsip pendidikan yang menyenangkan.
6. Prinsip pendidikan berbasis riset dan perencanaan.
7. Prinsip pendidikan yang unggul dan profesional.
8. Prinsip pendidikan berbasis masyarakat dan ummat.
9. Prinsip pendidikan sejak usia dini.

Catatan Kaki:

1]Zulham Efendi, "Pemikiran Pendidikan Muhammad Naquib Al-Attas" Jurnal WARAQAT STAI As-Sunnah Deli Serdang,Volume II, No. 2, Juli-Desember 2017 dalam https://doi.org/10.51590/waraqat.v2i2.61; Sehat Sultoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Bangunan Ilmu Islamic Studies (Yogyakarta: Deepublish, 2018), h. 5-6.  Penjelasan rinci lihat edisi Indonesia karya asli Syed Muhammad Naguib Al-Attas dan Jalaluddin Rakhmat. Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam. Mizan, 1984. (Saat artikel ini ditulis, buku terakhir ini tidak ditemukan).

2]Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com

3]Syabuddin Gade, "Perbandingan Konsep Dasar Pendidikan Antara Dewey dan Asy-Syaibani", Jurnal Ilmiah Didaktika, Vol. 12 No. 1, Agustus 2011, h. 102.

4] Ilham Ramadhan Siregar, "Prinsip-prinsip Pendidikan Perspektif Al-Qur`an dan Hadits", dalam Al-Mu'tabar, Jurnal Ilmu Hadits, Vol. II No. 1 Januari 2022.

Gambar:

Halaman Pascasarjana UIN Syahada P. Sidimpuan, diambil dari lantai 2 Gedung Pascasarjana 21 Oktober 2022.

ZIKIR DENGAN LIRIH AKAN MENYAMPAIKAN KEPADA MA'RIFATULLAH: ANALISIS DENGAN PENDEKATAN INDUKSI-'IRFANI


"Kesimpulan yang dapat ditarik ---Allahu a'lam--- sebagai berikut: Zikir yang dibimbingkan, disukai, diridhai dan dicintai Allah yaitu zikir dengan suara lirih (suara lembut) yang menghunjam dalam lubuk qalbu yang dalam. Zikir demikian inilah yang menyampaikan setiap hamba yang beriman mendapatkan ma'rifat zikir atau do'a sehingga ia dapat sampai ke tingkat ma'rifatullah dan merasakan hati yang tenang, tentram dan damai.."

*******

Pengantar 

Pembahasan artikel singkat ini tidak dalam konteks kajian  sunnah-bid'ah yang bersifat sosio-teologis fiqhiyah yang sempit dan kaku itu. Ini hanya semata-mata berupaya mencari penjelasan induktif-'irfani tentang cara ber-dzikr yang paling ideal dalam Al-Qur'an. Ya, dalam bahasan filsafat fenomenologi, kurang lebih artikel singkat ini mencari cara berzikir berdasarkan inner perspective of God's idea (perspektif pokok ilmu Allah SWT). 

Ingat, berpikir induktif adalah jalan penalaran dari hal-hal khusus atau partikular untuk selanjutnya bergerak mengambil kesimpulan umum (dari khusus ke umum). Sebelum mengambil kesimpulan, maka terjadi interkoneksi akal dan hati dalam menalar objek-objek partikular (khusus), lalu naik ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi, baru kemudian membuat kesimpulan umum. Gambar berikut memvisualkan proses induksi-'irfani yang ditempuh dalam pembahasan ini:

Pertanyaan pokok artikel ini: Bagaimana idealnya dzikr (selanjutnya ditulis: zikir) yang paling diridhai dan dicintai Allah SWT? Atau zikir yang bagaimana yang dapat membawa kepada ma'rifatullah? Apakah Allah dan Rasul-Nya memberi tuntunan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas akan dijawab secara umum dalam suatu bentuk jawaban yang utuh pada penjelasan berikut.


Petikan Ayat Al-Qur'an tentang Adab Berdoa/Berzikir

Allah SWT secara khusus menuntunkan adab berzikir atau berdo'a. Misalnya dalam surat Al-A'raf/7 ayat 55, 56, dan 205 sebagai berikut:

Ayat 55:
اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ 
"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."

Ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَ رْضِ بَعْدَ اِصْلَا حِهَا وَا دْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًا ۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan."

Ayat 205:
وَا ذْكُرْ رَّبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَّخِيْفَةً وَّدُوْنَ الْجَـهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِا لْغُدُوِّ وَا لْاٰ صَا لِ وَلَا تَكُنْ مِّنَ الْغٰفِلِيْنَ
"Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah."

Selanjutnya dalam surat Al-Isra'/ ayat 109 dan 110 Allah SWT berfirman:

Ayat 109:
وَيَخِرُّوْنَ لِلْاَ ذْقَا نِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا
"Dan mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk."

Ayat 110:
قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَ ۗ اَ يًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَ سْمَآءُ الْحُسْنٰى ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَا تِكَ وَلَا تُخَا فِتْ بِهَا وَا بْتَغِ بَيْنَ ذٰلِكَ سَبِيْلًا
"Katakanlah (Muhammad), "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asma'ul Husna) dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam sholat dan janganlah (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu."

Berikutnya surat An-Nisa'/4 ayat 43:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَ نْـتُمْ سُكَا رٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ 
"Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati sholat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, ..."

Penjelasan Ayat

Secara harfiah, sangat jelas bahwa kutipan ayat-ayat Al-Qur'an di atas memberi bimbingan tentang adab berzikir atau berdoa sebagai berikut:

  1. Tadharru': Sikap rendah hati menghadap Rabb 'Arsy Yang Agung (Rabb al-Arsy al-'Azhim). 
  2. Khufyah: Mengucapkan lafaz do'a atau zikir dengan lembut hingga meresap di hati. Di sini menyatu ucapan lisan dengan hati.
  3. Khauf: Rasa takut. Rasa takut tidak didengarnya zikir dan tidak dipedulikannya do'a oleh Allah.
  4. Thama' : penuh harap akan ampunan dan kasih sayang Allah.
  5. Tidak jahar: Tidak mengeraskan suara hingga melampaui batas kelembutan.
  6. Tidak dengan kondisi hati yang ghaflah (lalai).
  7. Khusyu' : Sikap ibadah dengan hati yang tunduk kepada Tuhan semesta alam (Rabb al-'Alamin).
  8. Tabkin:  Menangis atau berurai air mata. Orang tertentu terkadang terisak tangis dalam munajat zikir atau do'anya.
  9. Suara lirih: Antara jahr (terang/kuat) dan sirr (tersembunyi). Sebatas terdengar oleh telinga sendiri.
  10. Mengetahui arti dari lafaz do'a atau zikir yang diucapkan, setidaknya arti lafzhi (harfiah). Lebih baik lagi arti ma'nawi (hakiki).
Mari kita gunakan berpikir induktif-'irfani untuk memahami  dan menganalisis 10 poin di atas. 

Di sini, dengan menggunakan jalan penalaran induktif yang bercorak 'irfani akan diperoleh kesimpulan umum dari penjelajahan terhadap 10 poin adab berzikir dalam Al-Qur'an. Kesimpulan yang dapat ditarik ---Allahu a'lam--- sebagai berikut:  Zikir yang dibimbingkan, disukai, diridhai dan dicintai Allah yaitu zikir dengan suara lirih (suara lembut) yang menghunjam di lubuk qalbu  yang dalam. Zikir demikian inilah yang menyampaikan  setiap hamba yang beriman ---insya Allah---mendapatkan ma'rifat zikir atau do'a sehingga ia dapat sampai ke tingkat ma'rifatullah dan merasakan hati yang tenang, tentram dan damai.

Kesimpulan umum yang demikian ini sesungguhnya bersifat empirik-transenden. Disebut demikian karena kesimpulan ini ditarik dari pemahaman yang dirasakan oleh indra batin manusia (fu'ad) dan bersifat kudus (transenden, suci).


Koherensi (Konsistensi) Pemahaman 
Imam Syafi'i dalam Kitab Al-'Umm, jilid I, halaman 150, ketika menjelaskan tentang bacaan zikir imam dan cara duduknya setelah salam di akhir shalat (Bab Kalam al-Imam wa Julusihi ba'da al-Salam), beliau menyatakan bahwa imam dibolehkan (mubah) menjaharkan zikir sehabis shalat jika dimaksudkan mengajari makmum berzikir. Tetapi jika makmum telah pandai berzikir maka kembali berzikir dengan khufyah (suara lirih, lembut). Hal demikian dilakukan, tegas Imam Syafi'i, karena firman Allah:
"...janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalat, dan janganlah pula menyembunyikannya..." (QS Al-Isra'/17 ayat 110).

Koheren dengan pemahaman Imam Syafi'i, Imam Ghazali menjelaskan tentang beberapa adab berdoa dalam Ihya' 'Ulumuddin, terjemahan Maisir Thaib dan A. Thaher Hamidy, jilid II, halaman 263, salah satunya: Merendahkan suara; antara terdengar jelas dengan tersembunyi. Hal demikian ini dilakukan menurut beliau karena firman Allah dalam surat Al-A'raf/7 ayat 55, "Berdo'alah kepada Tuhan-mu dengan berendah diri dan lemah lembut".

Kedua penjelasan ulama besar yang sangat dihormati dan paling banyak diikuti ini menegaskan koherensi yang amat jelas cara berzikir dengan lirih/lembut sebagaimana tuntunan ayat-ayat Al-Qur'an yang sebagian dikutip di atas.

Taushiyah

Namun demikian, ketika ajaran Islam yang tinggi dan mulia ini masuk ke tengah-tengah umat manusia yang beragam etnik/suku bangsa, adat-sistiadat, budaya dan bahasa, maka individu dan masyarakat yang menerima Islam mengalami proses-proses historis berupa internalisasi, akulturasi, dan adaptasi budaya. Dampaknya, dalam ruang pemahaman keagamaan, terjadilah perkembangan pemahaman, apakah di tingkat filosofi, paradigma, konsep dan metodologi. Para ulama pun kemudian ada yang mempersoalkan terjadinya gap antara idealitas (normatifitas) pemahaman agama dan faktualitas praktik keislaman (historisitas). Gap ini sebenarnya tidak perlu dirisaukan, karena hal ini sunnatullah belaka yang akan terus berproses hingga akhir zaman. Oleh karena itu, hal pokok yang tidak boleh mati dalam relung berpikir setiap Muslim adalah "semangat pencarian". Setiap Muslim tidak boleh jatuh pada statisme (mandeg, jumud). Setiap Muslim harus terus mencari form beragama terbaik untuk diri dan masyarakatnya, hingga ia betul-betul menjadi muslim hanif sebagaimana diteladankan Bapak Monoteisme, Ibrahim a.s. 

Terkait dengan cara pengamalan zikir, fakta historis yang tampak dipermukaan yaitu bagian terbesar umat Islam di muka bumi ini sudah terbiasa dengan zikir jahr, dan kurang "familiar" dengan zikir khufyah (lirih, lembut). Sebagian lain lagi berzikir dengan lirih. Oleh karena itu, mari beri kebebasan dengan pilihan masing-masing. Mari kita jaga kemerdekaan jiwa dalam beribadah dalam semangat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan [dapat juga dibaca: beribadah]). Kaum Muslimin tidak boleh jatuh kepada sikap saling memaksakan pemahaman keagamaan. Dalam dinamika fastabiqul khairat yang sehat akan terjadi interaksi humanis yang edukatif, dinamis,  seimbang, berkeadilan dan berkeadaban. Dalam kondisi interaksi sehat yang demikian ini akan terbentuk dinamika keilmuan yang positif, yang mendorong ilmu keagamaan terus berkembang.

Patut dicatat, dalam konteks fastabiqul khairat yang dimaksudkan dalam tulisan ini, akan selalu saja ada orang yang mengklaim bahwa cara berzikirnyalah paling benar, sehingga ia memaksakan pemahamannya kepada orang lain. Perlu diketahui, sebenarnya orang yang tuna adablah yang berani memaksakan pemahaman zikirnya kepada orang lain. Jika seorang Muslim memiliki tuna adab yang ditandai dengan "sikap benci, apa lagi  memaksakan pemahaman" zikir/doa-nya kepada Muslim lain, maka sesungguhnya ia telah menzhalimi dirinya dengan kesombongan, dan dampaknya ia akan terdinding dari ma'rifatullah dan tidak akan pernah sampai ke samudra kelezatan do'a atau zikirullahAllahu a'lam.

Catatan:
Kutipan ayat Al-Qur'an diambil dari: https://quran-id.com

Gambar:
  1. Lapangan depan Rektorat UIN Syahada Padangsidimpuan dengan latar belakang pohon hijau dan langit biru saat pagi yang cerah 19 Oktober 2022.
  2. Visualisasi proses penalaran induksi-'irfani. 
  3. Foto bersama penulis, istri, dkk., depan Stand UIN Syahada Padangsidimpuan pada Kegiatan Padang Sidempuan Expo di Halaman Bolak 17 Oktober 2022.


FILSAFAT KEILMUAN YUNANI KUNO



Filsafat Keilmuan Pra Socrates

Dalam filsafat Barat, filsafat keilmuan pra Socrates dipandang awal manusia berpikir filsafat. Topik filsafat yang pertama kali dipersoalkan adalah topik-topik ontologi. Ingat bahwa, ontologi adalah cabang filsafat yang mempertanyakan tentang hakikat yang ada.

Tercatat dalam sejarah filsafat bahwa Thales Miletus-lah (sekitar 580 SM) orang pertama disebut-sebut sebagai filosof sungguhan pertama (the first true philosopher). Apa di antara yang jadi pemikiran filsafatnya?

Thales melihat alam sekelilingnya. Ia mengamati seekor lembu yang memakan rumput dan minum air, tetapi bisa mengeluarkan susu (tentu di samping yang lain-lain). Apa yang terjadi? Perubahan. Jika ada perubahan, tentu ada sesuatu yang berubah, tetapi (ada pula yang, pen.*)  tidak berubah. Atau dengan kata lain, apakah unsur asli dan hakiki dari semua benda yang ada di alam ini?1] 

Sebelum Thales sampai ke tingkat memikirkan unsur asli dan hakiki (substansi) benda yang ada di alam, ia telah memiliki pengetahuan awal yang terwariskan dari orang-orang tua bahwa dalam alam ini ada empat unsur yaitu: udara, air, api dan tanah. Thales kemudia mengembangkan analisisnya filsafatnya tentang empat unsur pokok ini. Ia berpandangan bahwa salah satu dari unsur yang empat itu tentu ada unsur asli dan hakiki. Tetapi yang mana? Dari keempat unsur ini, air adalah yang paling jelas penomena berubahnya.

Sungai mengalir membentuk delta. Air membeku menjadi es. Es ditimpa panas mencair menjadi air kembali, dan jika dipanaskan lebih tinggi lagi malah berubah menjadi uap, menjadi udara. Dan udara yang bergerak menjadi angin yang menghembus api. Kalau begitu unsur hakiki itu adalah air. Segala benda di alam ini unsur aslinya adalah air. Alam semesta ini pada awalnya tercipta dari air, atau unsur dasar dari seluruh benda bumi ini.2]

Dalam perspektif fisika modern, penjelasan Tales itu tentu saja mengandung kekeliruan. Hanya saja dalam konteks zaman itu, pemikiran ini amat tinggi, maju dan berharga. Penjelasan Thales itu bagi kita saat ini berharga bukan karena isinya (content), tapi karena bentuknya (form), yaitu form berpikirnya.3]

Bentuk (form) berpikir rasional Thales ---bahwa disebalik semua yang ada ini ada zat tertinggi dan hakiki yang menjelaskan tentang perubahan, dan zat tertinggi itu sendiri tidak berubah--- merupakan suatu loncatan berpikir yang jauh, yang selanjutnya membuka ruang dialektika pemikiran filsafat yang lebih kritis dan luas. 

Suatu anti tesis dari pemikiran Thales muncul dari Anaximander (sekitar 610-546). Ia mengajukan argumentasi: 

...jika sekiranya semua benda adalah air, tentu sudah lama segalanya berubah menjadi air. Lagi pula, bagaimana air bisa berubah bentuk menjadi lawannya, yakni api? Bagaimana suatu kualitas dapat menimbulkan lawannya?4]

Bagi Anaximander, benda hakiki (the ultimate stuff) tidak mungkin salah satu dari empat unsur dimaksud. Tapi pasti sesuatu yang berada di luar empat unsur tersebut. The ultimate staff  itu mestinya sesuatu yang tidak dapat diindera (non empirik), tidak bisa diatur, dan selalu dinamis (tidak tetap). 

Ia menyebutnya Yang Tak Terbatas (The Unlimited). Penjelasan demikian ini tidak memuaskan, bahkan di kalangan murid-murid Anaximander sendiri. Apa gunanya sesuatu yang tidak terbatas, tidak tertentukan, lain dari yang lain dengan sesuatu, (sementara sesuatu, pen.) yang (disebut ini, pen.) sama sekali tidak ada. Kebanyak mengatakan tidak lebih baik (dari pemikiran Thales, pen.), bahkan sebagian menyatakan keduanya sama saja karena Ex Nihilio Nihil (Tidak ada yang timbul dari yang tidak ada). Menyadari hal ini mereka terus mencari.5]  

Bagaimana dari Apeiron (The Unlimited) timbul alam semesta yang banyak ragam ini? Anaximander menjelaskan bahwa berawal dari Apeiron keluar yang panas dan dingin. Tidak diketahui dengan jelas apa zat yang panas dan dingin itu. Selanjutnya yang panas membalut yang dingin. Efeknya, dari yang dingin itu muncul yang cair dan beku. Benda beku inilah kemudian menjadi bumi. Api yang membalut yang dingin itu kemudian pecah terpencar, maka terjadilah matahari, bulan dan bintang.6]

Ada pun bumi yang kita tempati ini pada mulanya dibalut oleh uap yang basah. Karena bumi terus berputar, maka yang basah berangsur menjadi kering, yang tersisa menjadi lautan pada bumi.7]

Diskusi ontologis tentang yang "ada" ini berlanjut terus hingga ke Heraclitus (540-480 SM) dan Parmenides (lahir 540 SM). Dua tokoh ini memiliki pemahaman yang berbeda tentang substansi yang "ada". Heraclitos berpendapat bahwa yang ada hanyalah "perubahan". Dan unsur pembuat perubahan itu adalah api. Api, kelihatannya lebih ia pahami secara simbolik; simbol perubahan. 

Heraclitus menarik beberapa kesimpulan yang mengejutkan dari pandangan ini. Realita bukanlah terdiri dari sejumlah sesuatu/benda, tetapi merupakan suatu proses dari penciptaan dan pemusnahan yang terus menerus. Heraclitus terkenal dengan ungkapan-ungkapannya, "War is King" (Peperangan adalah Raja). Anda tidak mungkin melangkah dua kali pada sungai yang sama (You can't step in the same river twice). Semuanya berubah kecuali perubahan itu sendiri (everything changes but changes itself).8] 

sementara Parmenides berpendapat bahwa yang ada memang benar-benar ada. Parmenides beranggapan bahwa Heraclitos keliru dalam memahami yang "ada". Apa yang disebut oleh Heraclitos tentang perubahan yang terjadi pada setiap entitas hanyalah perubahan bentuk. Tidak ada perubahan pada esensi. Jadi yang ada (esensi) tetap ada (esensi). Hanya ada yang ada.

Pythagoras (lahir antara 580-570) seorang filsuf pra Socrates yang juga memiliki pemikiran filsafat yang unik dan spesifik. Ia memiliki perhatian kepada bentuk-bentuk material dan penyucian jiwa. Terkait esensi bentuk-bentuk material, menurutnya dapat dipahami melalui angka.


Realisme Plato

Plato (427-347 SM) tidak lagi sekedar membicarakan filsafat tentang ada (ontologi), tapi juga epistemologi dan aksiologi. Tema dominan dalam filsafat Plato adalah dualisme metafisik antara yang real dan aktual. Dunia fenomena yang memanifestasikan diri secara indrawi adalah representasi dari dunia real. Plato menyatukan pendapat Heraclitus dan Parmenides tentang hakikat yang ada (Lubis: 80). 

Untuk sampai ke dunia real ini, Plato memulainya dengan teori bentuk. Dalam teori bentuk, Plato menjelaskan bahwa dari berbagai bentuk yang terindra oleh manusia, yang sangat banyak ragamnya itu, manusia terinspirasi untuk mempersepsi idea di balik berbagai bentuk itu. Dari inspirasi dan persepsi terhadap "bentuk" ini, selanjutnya rasio manusia naik ke tingkat berpikir lebih tinggi dan abstrak hingga menangkap ide-ide sempurna. Kesempurnaan menurut Plato hanya ada di alam idea (ideal), tidak di alam indrawi (Lavine: 37-38).

Plato berpandangan bahwa yang "ada tetap" itu adalah alam idea, sementara "ada yang berubah" adalah seluruh wujud materi di alam indrawi. Hubungan kedua alam ini menurutnya yaitu alam indrawi adalah gambaran (tashawwur, abstraksi, manifestasi) dari alam idea.

Pengetahuan yang sebenarnya itu ada pada alam idea (idea), sementara persepsi indra manusia terhadap semua objek indrawi hanyalah gambaran dari apa yang ada di alam idea. Dalam alam idea itu telah ada seluruh konsep semua yang tampak di alam semesta ini. Berdasarkan pemahaman demikian, Muhammad Baqir Ash-Shadr menyebut bahwa pandangan Plato tentang pengetahuan dapat disebut sebagai teori "pengingatan kembali". Disebut demikian karena bagi Plato segala konsep ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia dari berbagai objek material pada hakikatnya adalah "mengingatkan kembali" konsep-konsep abadi (yang tetap dan tidak berubah) di alam idea.


Realisme Aristoteles

Aristoteles (384-322 SM) adalah murid dari Plato. Selama dua ribu tahun, Aristoteles dijuluki Sang Filosof. Di kalangan filsuf Muslim, ia digelari al-Mu'allim al-Awwal (Lubis: 82-83). Ia lama berguru kepada Plato. Ia berbeda dengan gurunya dalam memahami realitas dan sekaligus pula berbeda dalam pandangan epistemologi. 

Ia berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh dari sens indrawi terhadap objek-objek yang dapat diindra. Ia memahami kebenaran sebagai kesesuaian antara pengetahuan dan kenyataan. Kebenaran ada ketika representasi mental otak (idea) sesuai dengan hal-hal yang ada di dunia objektif. Ingat teori kebenaran korespondensi.


Catatan kaki:
*pen. maksudnya penulis. Kalimat dalam kurung pada kutipan langsung adalah tambahan dari penulis.
1]Nur A. Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum (Medan: IAIN Press, 2011), h. 69.
2]Nur A. Fadhil Lubis, h. 69.
3]Nur A. Fadhil Lubis, h. 69. Bentuk pemikiran Thales itu menggambarkan objek formal ontologi filsafat, yaitu suatu metodologi pencarian tentang hakikat yang ada.
4]Nur A. Fadhil Lubis, h. 70.
5]Nur A. Fadhil Lubis, h. 70. The Unlimited disebut juga apeiron, yang diterjemahkan menjadi the boundless, the indefinite, atau the infinite (yang tidak terhingga, tidak tersusun dan tidak terbatas). Menurut Anaximandros (Anaximander), apeiron tidak dapat dirupakan, tidak ada persamaannya dengan salah satu barang yang kelihatan di dunia ini, sebab segala yang kelihatan, yang dapat ditentukan rupanya dengan panca indera kita, adalah barang yang mempunyai akhir yang berhingga. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika (Jakarta: Kencana, 2008), h. 75.
6]Juhaya S. Praja, h. 76.
7]Juhaya S. Praja, h. 76.
8]Nur A. Fadhil Lubis, h. 72.

Gambar:
Bunga mekar depan rumah penulis di Perm. Sidimpuan Indah Lestari, Palopat PK, Padangsidimpuan 17 Oktober 2022.

SAYAP-SAYAP RUHANIYAH TASBIH, TAHMID DAN TAKBIR DALAM SHALAT: PERSPEKTIF FILOSOFI-SUFISTIK



"Jika diterapkan cara berpikir induktif-'irfani dalam melihat sebaran mutiara-mutiara zikir (takbir, tahmid dan takbir) dalam shalat, maka dapat dikonsepsikan (digeneralisasi) bahwa substansi pokok ibadah shalat adalah pen-tauhid-an Allah SWT. Pen-tauhid-an yang semakin ikhlas (murni) akan berdampak terhadap peningkatan derajad hamba di sisi Allah, dan semakin dalam pula ia masuk ke samudra ma'rifatullah."
*******  


Kalau kita menggunakan ilmu filsafat, maka ibadah yang amat sentral ini dapat juga dipahami dari perspektif ontologi, epistemologi dan aksiologi dengan pendekatan penalaran induktif-'irfani.

Perspektif Ontologi
Perspektif ontologi setidaknya melihat bagaimana eksistensi shalat sebagai suatu bentuk ibadah. Bagaimana posisinya di tengah ibadah lain. Penting dimengerti bahwa gerak serta lafaz zikir dan do'a shalat sama-sama menyimbolkan ketundukan dan kepasrahan hamba kepada Allah. Tentang gerak dalam shalat ini, semua Muslim tahu bahwa shalat dimulai dari sikap pasrah dengan berdiri tegak menghadap ke satu arah (Baitullah) sambil mengangkat tangan sebagai simbol penyerahan dan kemudian melipatkannya di dada. Selanjutnya membungkuk sempurna sambil melafazkan zikir "penyucian" dan "pujian". Lanjut dengan berdiri lurus kembali untuk menandaskan pemujian kepada Sang Khaliq. Setelah itu, hamba yang pasrah ini menyungkur sujud hingga kepala dan kakinya sama rendahnya. Saat sujud inilah seorang hamba disebut oleh Nabi Saw., amat dekat kepada Tuhan-nya. Yaitu, saat hamba dipuncak merendahnya di hadapan Rabb 'Arsy Yang Agung.

Nabi Saw., menjelaskan kepada umatnya bahwa shalat ini adalah tiang agama (ash-shalatu 'imaduddin). Jika shalat ditegakkan oleh kaum beriman maka tegak kokohlah agama. Jika ditinggalkan maka runtuhlah agama. Shalat di sini berposisi sebagai penyangga utama agama. Shalat juga amal yang pertama kali di hisab (dihitung, diperiksa). Jika hasil hisab shalat seorang hamba baik, maka akan baiklah seluruh amalnya. Tetapi jika hasil hisab membuktikan sebaliknya yaitu ibadah shalat seorang hamba rusak, maka rusak pulalah seluruh nilai amal ibadah lainnya. Berdasarkan perspektif hisab shalat ini, benarlah bahwa shalat adalah pokok atau tiang agama.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan dari sejumlah hadits di atas, dapatlah dipahami bahwa shalat menempati posisi utama di tengah-tengah amal shaleh lainnya. Hal ini menjadi penegasan bahwa shalat bukanlah ibadah sembarangan. Ia ibadah istimewa. Shalat mengandung rahasia berupa samudra ma'rifat yang menantang untuk dipelajari dan dikaji secara mendalam. 

 
Perspektif Epistemologi
Perspektif ini di sini sekedar melihat bagaimana shalat membentuk pengetahuan 'irfani seorang Muslim dan dalam waktu yang sama membentuk kepribadian. Apa yang dikandungnya sehingga dapat membentuk pribadi kaum beriman, dan mengarahkannya kepada suatu tujuan? Untuk pemahaman awal tentang ini, mari pahami baik-baik seluruh lafaz bacaan shalat. Semua lafaznya berisi untaian lafaz indah yang membaw kepada pengetahuan ruhaniah (pengetahuan 'irfani). Lafaz dimaksud dapat dibagi ke dalam dua hal:
  1. Lafaz yang membawa kesadaran ruhaniyah menuju pemahaman tentang Allah.
  2. Lafaz yang menyadarkan tentang kebergantungan hamba kepada Allah.

Penjelasan: 
Poin 1 berupa lafaz-lafaz zikir dan lafaz ayat Al-Qur`an yang dibaca dalam shalat. Dari keseluruhan lafaz zikir dan lafaz ayat Al-Qur`an dimaksud, ada lafaz zikir yang sering muncul dan diucapkan yaitu tasbih, takbir, dan tahmid. Tasbih, dalam satu putaran shalat  fardhu diucapkan 51x, tahmid sebanyak 85x, dan takbir sebanyak 85x. Secara rinci, perhitungan ini diambil sebagai berikut: Saat membaca Al-Fatihah ada lafaz tahmid dibaca 17×, pada  i'tidal ada tahmid sebanyak 17x. Selanjutnya, tasbih dan atau tahmid (atau tasbih, tahmid,  istighfar) saat rukuk dan sujud* masing-masing 51x. Oleh karena itu, jika tahmid pada Al-Fatihah, rukuk, i'tidal, dan sujud yang masing-masing 17x, 17x, 17x, dan 34x dijumlahkan, maka diperoleh totalnya sebanyak 85x. Jumlah tahmid ini sama dengan takbir, yaitu sama-sama 85x. 

Berdasarkan penjelasan di atas, tampak jelas bahwa dalam satu siklus shalat lima waktu, seorang Muslim ber-tasbih dalam shalat 51x, ber-tahmid 85x dan ber-takbir 85x. Fakta ini tentu bukan kebetulan. Tentu saja ada maksud Allah dibalik pengucapan berulang-ulangnya takbir, tahmid dan tasbih ini. Lafaz tasbih, takbir dan tahmid menempati komposisi paling banyak dalam shalat. Ini menandakan, bahwa setelah  tasbih (penyucian jiwa dan pikiran dari syirik), maka tahmid (pujian [syukur] kepada nikmat dan rahmat-Nya) dan takbir (pengagungan sempurna kepada Kemahabesaran Allah) menempati posisi khusus dalam shalat.  Jika diterapkan cara berpikir induktif-'irfani dalam melihat sebaran mutiara-mutiara zikir (takbir, tahmid dan takbir) dalam shalat, maka dapat dikonsepsikan (digeneralisasi) bahwa substansi pokok ibadah shalat adalah pen-tauhid-an Allah SWT. Pen-tauhid-an yang semakin ikhlas (murni) maka akan berdampak terhadap peningkatan derajad hamba di sisi Allah, dan semakin dalam pula ia masuk ke samudra ma'rifatullah.

Penting dipahamkan bahwa pengucapan berulang-ulang lafaz zikir, jika diucapkan dengan sikap rendah hati (tadharru'), lemah-lembut (khufyah), rasa takut (khauf), dan jiwa yang penuh harap (thama'), maka tentulah mengantarkan kepada pengetahuan ruhaniah ('irfani) yang semakin sempurna, dalam dan berkesan tentang Allah.

Oleh karena itu, tasbih, tahmid dan takbir dalam shalat bagaikan sayap-sayap ruhaniah yang membawa hamba terbang tinggi menuju Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Sementara lafaz-lafaz lain mendorong ketiga lafaz utama tersebut untuk bergerak vertikal menuju liqa' (pertemuan) ruhaniah dengan Allah.

Poin 2 berisi lafaz do'a (permohonan) hamba kepada Allah. Do'a adalah kesadaran akan ketidakberdayaan, kelemahan, kekurangan dan kebergantungan setiap hamba kepada Allah SWT. Do'a juga menjadi sumber kekuatan, kehangatan, kedamaian, pelipur lara orang-orang beriman. Dalam shalat tersimpan silih ganti zikir dan do'a. Misalnya, dalam Al-Fatihah kita temukan ungkapan zikir dan do'a. Begitu pula dalam duduk antara dua sujud. Bahkan dalam rukuk dan sujud, ada lafaz yang mengandung zikir dan do'a sekaligus.

Do'a-doa ---yang berjalin atau silih ganti dengan zikir ini--- akan menghentakkan kesadaran qalbiyah setiap Muslim yang beribadah tentang Allah SWT. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa shalat adalah ibadah yang disediakan oleh sang Khaliq untuk membawa setiap orang beriman naik (mi'raj) secara ruhaniah ke hadhrat ar-rububiyyah (ma'rifatullah). Dalam konteks berpikir demikianlah dapat dipahami adagium sufi: Ash-shalatu mi'raj al-mu'minin (shalat adalah mikraj kaum beriman).

Perspektif Aksiologi
Di atas dijelaskan bahwa ada lafaz-lafaz zikir yang lebih sering diulang-ulang dalam shalat dibanding lafaz-lafaz zikir lainnya. Di samping itu ada pula lafaz-lafaz berupa do'a (permohonan) hamba kepada Tuhan-nya. Lafaz-lafaz yang lebih sering berulang itu bagaikan sayap-sayap ruhaniah yang membawa hamba yang sedang shalat terbang tinggi untuk menemui-Nya. Sayap itu berupa sayap tasbih (pembersihan hamba dari syirik), sayap tahmid (penyadaran hamba sebagai 'ibadurrahman yang amat sangat butuh kepada Allah), dan sayap takbir (simbol pengagungan yang sempurna dan tanda sampainya hamba kepada kebebasan menemui-Nya). 
 
Dengan menjaga dan terus memperbaiki adab/etika hamba dalam shalat, maka pengucapan zikir yang amat penting ini akan memberi dampak bagi setiap hamba yang beribadah. 
Secara harfiah Allah SWT menyatakan dalam Al-Qur`an hal-hal berikut, di antaranya: 
1. Shalat mencegah setiap Muslim dari perbuatan keji dan munkar. 
2. Shalat juga menjadi media ruhani bertemua Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya. 
3. Shalat yang di dalamnya berisi zikir akan membuat hati menjadi damai, tenang dan tentram. 
4. Shalat yang khusyuk membuat seorang Muslim terhindar dari keluh-kesah dan memperoleh keberuntungan. 
5. Shalat menyelamatkan Muslim dari neraka Saqar. Allahu a'lam.


Catatan:
*Untuk bacaan rukuk dan sujud ada beberapa versi hadis, di antaranya: 1) Subhana rabbiyal 'azhim, 2) Subhana rabbiyal 'azhim wa bihamdihi, dan 3) Subhanakallahumma rabbana wabihamdika, Allahummaghfirliy. Sementara bacaan waktu sujud juga ada beberapa versi, di antaranya: 1) Subhana rabbiyal a'la, 2) Subhana rabbiyal a'la wa bihamdihi, dan 3) Subhanakallahumma rabbana wabihamdika, Allahummaghfirliy.

Gambar:
Sudut halaman Masjid Syekh Zainal Abidin Kota Padang Sidempuan dengan latar belakang langit biru berawan yang indah.

HAKIKAT ILMU: PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


"...dalam perspektif pendidikan, Allah-lah Muaddib (Pendidik) Maha Agung. Allah yang memulai pendidikan manusia, menentukan tujuannya, mengarahkannya, mengirimkan para Nabi untuk menyampaikan ilmu-Nya."
*******

Ilmu
Ilmu ( علم) artinya pengetahuan. Ilmu, ada yang dicari (hushuliy) dan ada yang diperoleh (hudhuriy). Ilmu hushuliy didapatkan melalui aktifitas membaca, belajar dan meneliti (lihat misalnya QS Al-'Alaq/96: 1-5). Sementara ilmu hudhuriy diperoleh melalui pewahyuan, ilham atau intuisi (lihat misalnya QS An-Nahl/16: 44).

Islam berbeda dengan Barat dalam memaknai ilmu. Bagi Islam, ilmu itu adalah salah satu dari sifat Allah. Allah sendiri ---dalam Asma' al-Husna--- disebut juga Al- 'Alim (العليم) artinya Maha Berilmu. Dalam penunjukan Adam a.s., sebagai khalifah disebutkan bahwa Allah SWT mengajarkan kepada Adam semua nama-nama benda (asma'a kullaha) (Al-Baqarah: 30). Asma' ini tentu saja ilmu pengetahuan. Artinya, Allah dengan sengaja membekali dan mengajarkan ilmu kepada manusia. 
Dalam At-Tafsir Al-Muyassar disebut demikian: 
وبيانا لفضل ادم عليه السلام علمه الله اسماء الاشياء كلها ثم عرض مسميتها على الملاءكة قاءلا لهم : اخبرني باسماء هءولاء الموجودات ان كنتم في انكم اولى بالاستخلاف في الارض منهم
(Terjemahan bebas: Surat Al-Baqarah ayat 30 adalah suatu penjelasan tentang keutamaan Adam a.s., bahwa Allah mengajarkan kepadanya keseluruhan nama-nama segala sesuatu, kemudian Allah menguji para malaikat mengucapkan/menjelaskan nama-nama itu dengan mengatakan kepada mereka, "Sampaikanlah kepada-Ku keseluruhan nama-nama entitas-entitas itu, jika benar kalian lebih pantas menjadi khalifah dari manusia di muka bumi ini").

Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an, setelah Allah SWT membekali Adam a.s., ilmu pengetahuan, maka beliau diamanahi tugas melakukan transformasi budaya dan peradaban. Proses ini berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya sampai hari ini.
Terkait pemilikan ilmu pengetahuan ini, Allah SWT juga mengingatkan bahwa semula manusia tidak memiliki ilmu pengetahuan sedikitpun tentang berbagai hal. Allah SWT kemudian melengkapi manusia dengan indra utama untuk menyerap pengetahuan yaitu pendengaran, penglihatan dan hati (fu'ad). Allah berfirman:

وَا للّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْــئًا ۙ وَّ جَعَلَ لَـكُمُ السَّمْعَ وَا لْاَ بْصٰرَ وَا لْاَ فْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur." (QS. An-Nahl 16: Ayat 78).

Oleh karena itu, dalam perspektif pendidikan, Allah-lah Muaddib (pendidik) Maha Agung. Allah yang memulai pendidikan manusia, menentukan tujuannya, mengarahkannya, mengirimkan para Nabi untuk menyampaikan ilmu-Nya.

Ilmu Allah itu ditunjukkan melalui ayat-ayat-Nya yang terdiri dari ayat tanziliyah (qauliyah), ayat anfusiyah (nafsiyah), dan ayat kauniyah (afaqiyah). Dalam pengembangannya, ayat qauliyah menghasilkan 'ulum ad-diniyyah, ayat anfusiah menghasilkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, sementara ayat kauniyah menghasilkan sains. Perlu dinyatakan disini bahwa aspek jasmani manusia termasuk ayat kauniyah.

Coba perhatikan, ternyata secara esensial-filosofis, ilmu-ilmu itu secara hakiki satu dan integral (tidak terpisah-pisah) dan bersumber dari Tuhan Yang Maha Satu, Allah SWT. Pemisahan dibutuhkan hanya untuk kebutuhan praktis-sosiologis saja. Hal ini karena saking Maha Luasnya ilmu Allah, ditambah sangat terbatasnya kemampuan manusia. Jadi, sangat tidak mungkin bagi manusia mempelajari semuanya.

Untuk keperluan ini, manusia kemudian memilih dan menentukan batas-batasnya dan mendalami apa yang diminatinya. Dampaknya muncullah spesialisasi (pembidangan) ilmu.

Perspektif Filsafat Keilmuan Barat tentang Ilmu
Barat membagi ilmu kepada: knowledge (pengetahuan biasa [common sense/ good sense]), science (ilmu pengetahuan alam), dan philosophy (filsafat). Sejak kebangkitan filsafat positivisme, Barat mencoret teologi dari wilayah keilmuan. Auguste Comte (1798-1857) menempatkan theology sebagai tingkat paling rendah dan paling primitif perkembangan ilmu. Manusia, menurut Comte, jika semakin cerdas, maka semakin tidak butuh lagi kepada theology (agama). Pada gilirannya nanti, manusia juga tidak butuh kepada metafisika. Manusia modern yang berperadaban menurutnya hanya butuh kepada ilmu pengetahuan positif-objektif, yaitu ilmu yang didasarkan kepada fakta empirik. Di luar penomena dan fakta empirik, bukan wilayah ilmu pengetahuan. Dengan demikian juga tidak perlu dipelajari.

Filsafat positivisme inilah yang menjadi landasan sains modern Barat yang menjelma menjadi Saintisme dan Objektivisme di Barat hingga saat ini. Fenomena inilah yang disebut para ahli sebagai religiusitas modern Barat yang mengenyampingkan Tuhan dari kehidupan.

Para ilmuan Muslim sejak dahulu memiliki cara pandang berbeda dengan kaum positivisme Barat. Secara konsisten, bagi ilmuan Muslim, teologi (pengetahuan tentang Tuhan) adalah wilayah paling tinggi ilmu pengetahuan. Al-Kindi menyebutnya sebagai asyraf al-falsafah (filsafat paling luhur). Di bawahnya ---secara berturut--- filsafat, sains, dan pengetahuan biasa. Dalam literatur Arab: 'Ulum ad-diniyyah, falsafah, 'ulum al-'aqliyah dan 'ilmu al-hissiyah (ilmu-ilmu keagamaan, filsafat, ilmu-ilmu rasional, dan pengetahuan indrawi).



Sumber Ilmu: Indra, Akal dan Hati
Sesungguhnya sumber dari segala sumber ilmu itu adalah Allah SWT. Dalam pembahasan ini, sumber di sini dipahami sebagai sarana dan media insani dari mana ilmu terpancar. Indra adalah sumber bagi ilmu-ilmu empirik, akal adalah sumber bagi ilmu-ilmu rasional, sementara hati adalah sumber bagi 'ilmu ilahiyyin (ilmu ketuhanan). Ketiga sumber pokok ini tidak boleh dipisahkan. Jika dipisahkan maka lahirlah ilmu-ilmu yang dikhotomik, yang bertentangan dengan naluriah dan thabi'iyah manusia. Peradaban Barat modern dengan sekularismenya dan peradaban Islam dengan dikhotomi, bahkan trikhotomi/trialisme keilmuannya ---yang ditandai kecondongan kuat mistisismenya pasca abad ke-12--- telah mengalami kondisi ini.
Dari sisi metodologi, indra dengan metode induktif, akal dengan metode deduktif, dan hati dengan metode 'irfani, juga harus berjalan beriringan dan padu (integral). Dengan cara demikian maka dihasilkanlah ilmu-ilmu integratif.

Ma'rifatullah: Puncak Ilmu
Jika ketiga sumber dan metode keilmuan terintegrasi, maka kajian dalam semua jenis keilmuan akan berujung pada ma'rifatullah
Ma'rifatullah adalah pengetahuan tentang Allah. Inilah capaian aksiologis tertinggi yang akan dicapai setiap ilmuan.
Pencapaian ma'rifatullah ini adalah amanat Ilahi. Di atas telah disebutkan bahwa semua objek ilmu adalah ayat Allah. Dalam bahasa lain, semua objek ilmu adalah tanda atau simbol Kemahabesaran Allah. Oleh karena itu, pada hakikatnya, semua yang dipelajari di penjuru langit dan bumi ini "berbicara" tentang Allah SWT.

Ingatlah firman Allah yang menjelaskan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi ---yang menjadi objek ilmu pengetahuan--- bertasbih, sujud, dan berserah diri kepada Allah SWT.


Gambar:
Atas:
Rumput hijau pinggir jalan By Pass sekitar Masjid Syekh Zainal Abidin Padang Sidempuan 09 Oktober 2022.

Bawah:
Bersama Prof. Muhammad Khair Al-Ghabbani dari Turkiye saat akan mengisi Seminar di UIN Syahada Padang Sidempuan 05 Oktober 2022.


HAKIKAT WUJUD DAN HAKIKAT ALAM SEMESTA


Pendahuluan

Alam semesta adalah ruang bagi manusia membangun peradaban untuk menunaikan tugas kekhalifahan. Dalam konteks pembangunan peradaban, tidak ada cara yang paling cerdas kecuali melalui pendidikan. Oleh karena itu, tidak salah jika dinyatakan bahwa pendidikan merupakan upaya paling strategis dan paling penting untuk ditempuh dalam menunaikan misi pokok kehadiran manusia di muka bumi, yaitu misi pengadaban (li utammima makarim al-akhlaq).

Pendidikan sendiri, pada hakikatnya adalah upaya pengadaban manusia. Pengadaban ini dilangsungkan di suatu ruang kehidupan di alam semesta. Oleh karena itu, pemahaman filosofis tentang alam semesta ini urgen dalam pengembangan pendidikan. Wujud-wujud di alam semesta, selain menjadi ruang pendidikan  juga menjadi sumber daya pengelolaan pendidikan. Dalam kaitan ini, amat penting untuk memahami apa sesungguhnya alam semesta ini. Bagaimana hakikatnya. Bagaimana karakteristik metafisisnya. Bagaimana stratifikasinya, dan sebagainya.


Perspektif tentang Wujud

Perspektif filsafat Barat (positivisme) tentang wujud bertentangan dengan perspektif filsafat Islam. Wujud dalam positivisme hanya dipahami segala yang bersifat material (wujud pisik). Di luar yang material tidak mereka pandang sebagai wujud. Pandangan ini menambah problematik pemahaman tentang alam dan juga manusia. Karena mengingkari adanya wujud yang bersifat non indrawi (abstrak). Bagi umat beragama, pandangan ini akan mendestruksi keimanannya.

Dalam filsafat Islam, wujud dibagi kepada wajib al-wujud dan mumkin al-wujud (wujud mutlak dan wujud relatif). Keberadaan mumkin al-wujud bergantung kepada wajib al-wujud. Wajib al-wujud bersifat qadim dan baqa'. Sementara mumkin al-wujud bereksistensi dalam keterhinggaan, keterbatasan dan ketergantungan. Wajib al-Wujud adalah Tuhan, sementara mumkin al-wujud adalah ciptaan (makhluk), yaitu seluruh wujud selain Allah.

Dalam menjelaskan hubungan antara Tuhan sebagai Wajib al-Wujud (realitas absolut) dengan dunia fisik material jagad raya sebagai mumkin al-wujud (realitas relatif), Syed Muhammad Naquib al-Attas meminjam artikulasi para sufi seperti Ibn al-'Arabiy tentang tanazzul (kemenurunan ontologis) dari Wujud Absolut hingga realitas fisik-material-indrawi dalam lima tahap non spasial-temporal sbb:1]
1) Kesatuan Ilahiy (Wahidiyyah)
2) Nama-nama dan sifat-sifat (al-asma' wa al-shifat)
3) Arketip-arketip permanen (al-a'yan al-tsabitah)
4) Arketip-arketip eksterior (al-a'yan al-kharijiyyah)
5) Alam indrawi ('alam al-syahadah).  


Metafisika Penciptaan

Filosof dan ilmuan Barat sekuler bertahan dengan pandangan bahwa wujud-wujud di alam semesta ini terjadi dengan sendirinya. Penjelasan tentang proses kejadian alam semesta yang berisi ribuan atau mungkin lebih galaksi di dalamnya, hanya berhenti pada teori big bang (ledakan dahsyat). Mereka hanya menyebut bahwa kekuatan mengembang dari ledakan itu disebabkan oleh energi hitam, dan tidak lagi mencari tahu apa dan siapa di balik keteraturan dan keindahan susunan yang ada di alam semesta ini. Mereka menutup mata dan hati dari Allah SWT, Sang Kreator Maha Hebat dari alam semesta ini. Teori ledakan yang dipandang sebagai penyebab tunggal terjadinya alam semesta dengan ribuan atau mungkin lebih galaksinya didasarkan kepada argumentasi ilmiah berikut:

Teori Big bang menggambarkan penciptaan alam semesta sebagai sebuah ekspansi materi yang kemudian meledak seperti balon raksasa yang terus diisi udara. Sisa ledakan tersebut kemudian masing-masing menjadi bibit terbentuknya galaksi, sistem tata surya, dan berbagai objek pengisinya. 

Para kosmolog dan ahli fisika menyebut alam semesta saat ini masih terus meluas sebagai efek dari ledakan Big Bang. Bahkan kecepatan perluasannya diyakini terus bertambah.

Para ilmuwan juga telah menemukan jejak termal yang diprediksi dari Big Bang, radiasi gelombang mikro kosmik yang menyelimuti alam semesta. Dalam jejak termal tersebut tidak ditemukan objek yang lebih tua dari 13,7 miliar tahun. Ini menunjukkan bahwa alam semesta lahir pada sekitar waktu itu (saat fenomena Big Bang).

"Semua hal ini menempatkan Big Bang di atas fondasi yang sangat kokoh," kata Alex Filippenko, astrofisikawan dari University of California, Berkeley. "Big Bang adalah teori yang sangat sukses," imbuhnya.2]

 

Panorama langit yang menunjukkan distribusi galaksi di luar Bimasakti.

Pengamatan mendetail terhadap morfologi dan distribusi galaksi beserta kuasar memberikan bukti yang kuat akan terjadinya Ledakan Dahsyat. Perpaduan selang pengamatan dengan teori menunjukkan bahwa galaksi-galaksi beserta kuasar-kuasar pertama terbentuk sekitar satu milyar tahun setelah Ledakan Dahysyat. Sejak itu pula, beragam struktur astronomi lainnya yang semakin mulia seperti gugusan galaksi mulai terbentuk. Populasi bintang-bintang terus berevolusi dan menua, sehingga galaksi jauh (yang pemantaunnya menunjukkan keadaan galaksi tersebut pada masa awal alam semesta) tampak sangat berlainan dari galaksi dekat. Selain itu, galaksi-galaksi yang baru saja terbentuk tampak sangat berlainan dengan galaksi-galaksi yang terbentuk sesaat setelah Ledakan Dahsyat. Pengamatan ini membantah model keadaan tetap. Pengamatan pada pembentukan bintang, distribusi kuasar dan gaklasi, berlandaskan dengan simulasi pembentukan alam semesta yang diakibatkan oleh Ledakan Dahysat.3]

Penjelasan ilmiah di atas boleh jadi benar, karena tampak dijelaskan dengan konsep dan teori fisika yang konsisten. Hanya saja, penjelasan ini mestinya tidak boleh berhenti pada ketakjuban terhadap penomena kosmik yang dapat dijelaskan dengan hukum-hukum fisika. Ketakjuban itu mestinya ditujukan kepada Sang Maha Kreator Yang Maha Esa, Allah Rabb 'Arsy al-'Azhim  yang telah meletakkan hukum-hukum yang teratur pada alam semesta sehingga manusia dapat mempelajarinya.

Penjelasan Ikhwan al-Shaffa berikut penting untuk dibaca:

Dia menciptakan karya-Nya ini mengejewantah, dengan tujuan akhir agar orang cerdas (ulul albab, pen.) dapat merenungkannya; dan Dia memperlihatkan semua yang ada di dunia-Nya yang tidak terlihat, sehingga pengamat dapat melihatnya dan mengakui keterampilan dan keunggulan-Nya, Kemahakuasaan dan Keesaan-Nya, dan tidak membutuhkan bukti dan demonstrasi. Lebih lanjut, bentuk-bentuk ini yang dirasakan di dunia material, adalah kemiripan yang ada di dunia roh, kecuali yang terakhir ini yang terdiri dari cahaya dan halus; sedangkan yang pertama gelap dan padat. Dan, sebagaimana sebuah gambar yang bersesuaian di setiap anggota tubuh dengan hewan yang diwakilinya, demikian pula bentuk-bentuk ini, bersesuaian dengan yang ditemukan di dunia spiritual. Tapi ini adalah penggerak, dan mereka yang digerakkan... bentuk-bentuk yang di dunia lain bertahan; sedangkan ini binasa dan berlalu.4]

Al-Qur`an, meskipun tidak banyak, juga berbicara tentang  kejadian alam (kosmogoni).  Fazlurrahman menjelaskan, tentang metafisika penciptaan, Al-Qur`an hanya mengatakan bahwa alam semesta beserta segala sesuatu yang hendak diciptakan Allah, tercipta dengan perintahnya, "Jadilah". ([Allah] pencipta langit dan bumi. Apa bila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, "Jadilah!", maka jadilah sesuatu itu. QS Al-Baqarah: 117). Ayat Al-Qur`an lainnya yang juga berbicara tentang penciptaan misalnya surat Ali Imran ayat 47 dan 59, Al-An'am ayat 73, An-Nahl ayat 40, dan lain-lain.4] Menarik membaca ayat penciptaan ini. Al-Qur`an menggunakan fi'il al-mudhari' untuk menyebut terjadinya sesuatu. Secara umum fi'il al-mudhari' dalam Al-Qur`an selalu menggambarkan perbuatan sedang terjadi (dalam proses) atau akan terjadi. Dalam surat Ali Imran ayat 47, ada kata perintah "Jadilah!" dalam konteks kelahiran Nabi Isa. Efek dari perintah itu dapat dimaknai "terjadi dalam proses". Artinya, kejadian Nabi Isa terjadi dalam proses kehamilan Siti Maryam.

Al-Qur`an memang memberi penjelasan gamblang bahwa penciptaan langit dan bumi ini terjadi dalam suatu proses waktu yang panjang. Allah menggambarkan dengan ungkapan fi sittati ayyam (enam masa). Dalam Al-A'raf ayat 54, misalnya, Allah menegaskan, "Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di ats 'Arsy. ...". Dalam proses panjang itu disebutkan bahwa langit dan bumi itu pada mulanya suatu yang padu (kanata ratqan), lalu Allah memisahnya (QS Al-Anbiya` (21): 30). Boleh jadi teori Big Bang juga terinspirasi dari ayat ini.

Menarik untuk memahami lebih lanjut tentang metafisika penciptaan ini. Dalam surat Fussilat (41) ayat 11 dijelaskan bahwa setelah Allah menuju langit, yang ketika itu masih berupa asap, Allah berfirman kepada langit dan bumi, "... "Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku, dengan patuh (suka) atau terpaksa". Keduanya menjawab, "Kami datang dengan patuh." 

Perhatikan ayat ini, langit dan bumi diberi pilihan untuk datang kepada Allah dengan patuh, kesadaran (by nature) atau terpaksa (by accident). Namun, keduanya memilih datang dengan kesadaran. 

Oleh karena alam semesta (langit dan bumi) patuh dengan kesadaran, maka Al-Qur`an menyatakan keseluruhan alam semesta sebagai "Muslim" (yang patuh, pasrah, tunduk). Langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di dalamnya (kecuali manusia yang dapat menjadi atau tidak menjadi "Muslim") menyerah kepada kehendak Allah (QS Ali Imran: 83), dan setiap sesuatu memuji Allah (Al-Hadid [57]: 1, Al-Hasyr [59]: 1, dll). Allah juga menyebut bahwa alam semesta ini bersujud kepada Allah, bahkan juga para malaikat dan sebagian besar manusia (QS Ar-Ra'd [13]: 15, An-Nahl [16]: 49 dan Al-Hajj [22]: 18).5]


Stratifikasi Wujud

Stratifikasi wujud yang terkenal di lingkungan kaum Sufi sebagai berikut:

  1. Alam syahadah (alam semesta yang empirik)
  2. Alam nasut (alam manusia sebagai mikrokosmos)
  3. Alam malakut (alam para malaikat)
  4. Alam lahut (hadhrat rububiyyah)
Berbeda dengan kaum sufi,  para filosof yang tergabung dalam Ikhwan al-Shaffa menyebut ada sembilan strata dalam penciptaan. Strata ini mereka analogikan kepada angka 9. Angka-angka menurut Ikhwan adalah "citra spiritual yang dihasilkan jiwa manusia dari pengulangan kesatuan." Dalam tulisan yang mereka buat, semua angka adalah proyeksi dari angka 1. Karenanya, bagi mereka angka 1 bukan angka pertama. Angka 2 lah bagi mereka angka pertama. Satu atau kesatuan itu sendiri, asal dan prinsip semua angka.6] Memang dapat dimengerti bahwa angka 2 dan seterusnya adalah pengembangan dari angka 1. Angka 9 adalah puncak dari angka. 

Fakta bahwa angka sembilan sebagai angka tertinggi dan terakhir, hal ini menurut Ikhwan menganalogikan adanya 9 strata wujud, yaitu:7]
1. Pencipta (Al-Bari Ta'ala)
2. Akal (al-'aql)
3. Jiwa (an-nafs)
4. Materi (al-hayula)
5. Watak (at-thabi'ah)
6. Tubuh (al-jism)
7. Planet
8. Unsur-unsur
9. Makhluk-makhluk dunia

Tujuan Penciptaan

Al-Quran memberi bimbingan bahwa alam semesta ini diciptakan dengan suatu tujuan yang jelas. Bimbingan ini dapat dipahami dalam konteks penciptaan manusia dalam Al-Baqarah ayat 30 dan Az-Zariyat ayat 56. Dalam Al-Baqarah ayat 30, Allah SWT memberitahu malaikat tentang rencana pasti menempatkan Adam a.s., (sudah tentu juga anak turunannya) untuk menjadi khalifah di bumi. Tugas pokok khalifah adalah memakmurkan bumi. Esensi tugas kekhalifahan itu adalah pengabdian (penyembahan, ta'abbudiyah) kepada Allah.

Menarik bahwa Ibnu Abbas r.a., disebut menafsirkan liya'buduni (untuk menyembah-Ku) pada Az-Zariyat 56 dengan makna liya'rifuni (untuk mengetahui-Ku). Mengetahui di sini adalah mengetahui Allah secara ruhaniah. 

Di kalangan Sufi ada kalimat sufistik populer:

كنت كنزا مخفيا فاجبت ان اعرف فخلقت خلقا فبي عرفوني

(Aku adalah perbendaharaan tersembunyi. Maka Aku mengharuskan bagi diriku agar diketahui. Maka Aku menciptakan makhluk. Sehingga [melalui makhluk itu] mereka mengetahuiku).

Catatan kaki:

1]Ach Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi Agama dan Sains, Jogjakarta: IRCiSoD, h. 182.

2] Artikel CNN Indonesia "Teori Big Bang: Penciptaan Alam Semesta Dimulai dari Singularitas" selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20220211082021-199-757812/teori-big-bang-penciptaan-alam-semesta-dimulai-dari-singularitas.

3]http://p2k.unkris.ac.id/id3/3065-2962/Big-Bang_24229_p2k-unkris.html
4]Seyyed Hossein Nasr, Doktrin-doktrin Kosmologi Islam, Yogyakarta: IRCiSoD, 2022,  h. 79.
5] Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Qur`an,  Bandung: Pustaka, 1996, h. 95.
6] Seyyed Hossein Nasr, h. 84-85.
7] Seyyed Hossein Nasr, h. 88.

Gambar:
Sisi alam yang indah. Diambil saat melintasi jalan by pass Palopat PK-Batunadua Ujung, sekitar Masjid Syekh Zainal Abidin 9 Oktober 2022.

DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...