Kita awali khutbah ini dari firman Allah dengan surat An-Nisa ayat 125:
Artinya:
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.
Ayat ini dimulai dengan kata tanya, “Siapakah yang lebih baik agamanya…” Ayat ini menegaskan bahwa ada bentuk beragama terbaik. Sebaliknya tentu ada pula bentuk beragama yang kurang baik.
Beragama terbaik itu, pertama, aslama wajahahu lillah (berserah diri dengan ikhlas kepada Allah). Dalam surah al-Bayyinah ayat 5 ada ayat terkait: Wama umiru illa liya’budullaha mukhlishina lahuddin. (Pada hal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama). Kedua, wa huwa muhsinun (sedang diapun mengerjakan kebaikan), atau berbuat ihsan. Ketiga, wattaba’a millata ibrahima hanifa (mengikuti millah/agama Ibrahim yang lurus).
Hadirin… jama’ah Jum’at rahimakumullah…
Pada kesempatan khutbah ini, khatib akan lebih banyak menjelaskan yang pertama, yakni tentang upaya mencapai puncak kemurnian tauhid. Tetapi dengan tetap mengaitkannya dengan yang kedua dan ketiga.
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah…
Pengesaan atau pentauhidan Allah itu memerlukan usaha dan perjuangan yang terus-menerus, hingga suatu tahap atau martabat dimana kita telah benar-benar bebas dari segala perintang pisik dan psikis dalam menyembah/ ber’ubudiyah kepada Allah SWT sebagai satu-satunya Ilah. Perintang pisik dan psikis itu dapat menyandera pemasrahan diri kita kepada Allah. Apa saja yang menyandera pemasrahan diri kita kepada Allah, maka hal itu akan menjadi ilah kita.
Hal yang sulit bagi kita adalah membebaskan diri kita dari perintang nafsiah atau psikis. Misalnya perasaan sombong, sikap balas dendam, sulit memaafkan orang lain, dan sebagainya. Hal-hal ini membuat kita tidak berhasil mencapai kebebasan atau kemerdekaan yang hakiki. Akibatnya suasana hati kita pun tidak sehat. Dengan demikian, perintang psikis itu sebenarnya penyakit.
Hadirin…
Bang Imad (Imaduddin Abdulrahim) mengatakan, secara hakiki semakin baik tauhid kita, maka kita semakin bebas (semakin independen). Yakni semakin bebas dari ilah-ilah selain Allah. Ilah selain Allah itu bisa bersumber dari diri kita sendiri. Al-Qur`an berkata, “Afaraita manittakhadza ilahahu hawahu”. (Apakah engkau tidak melihat Muhammad, orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah-nya).
Rasa sombong, atau perasaan suka membalas dendam, sulit memberi maaf dan penyakit hati lainnya sebenarnya muncul dari peng-ilahan hawa nafsu. Penyakit-penyakit hati ini membuat jati diri manusia yang selalu ingin dekat kepada Tuhan sebagai asalnya menjadi tersandera, terkungkung dan dengan demikian tidak merdeka. Oleh karena ia berada di bawah kendali hawa nafsunya, maka ia menjadi pelaku destruksi diri (zhalimnun li nafsihi) dan destruksi sosial (fasad fil ardh).
Hadirin…
Perlu kita ketahui bahwa puncak kebebasan tertinggi yang diraih seorang Muslim dalam kehidupan sosial itu, ditandai oleh kemampuan jiwa raganya untuk berbuat baik kepada siapa saja, sebagaimana Allah berbuat baik kepada dirinya. Hal inilah yang dimaksudkan firman Allah dalam surat al-Qashash/28 ayat 77:
Artinya:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu akan (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Para sufi (orang yang tauhidnya telah mencapai puncak) merumuskan pengertian ahsin kama ahsanallahu ilaik dengan kalimat: takhallaqu bi akhlaqillah (Berakhlak dengan akhlak Allah).
Hadirin…
Sebagai seorang ilmuan atau calon ilmuan Muslim, kita harus paham ini, dan berusaha sungguh-sungguh mencapai kesempurnaan tauhid, yang juga kesempurnaan akhlak ini.
Saudara-saudaraku, umur kita tidak lama. Setiap saat kita harus introspeksi (muhasabah) diri. Sudah sampai dimana tarap atau martabat ketauhidan kita.
Dalam konteks kita memimpin sedikit atau banyak orang, di kampus atau di luar kampus: Apakah kita sudah mampu menempatkan diri kita pada posisi muhsinin?
Dengan posisi muhsinin ini, kita berupaya agar benar-benar memahami mereka, sehingga misalnya, meskipun kita memberi sanksi hukum kepada mereka, karena memang pantas dan etis diberi sanksi. Kita jatuhkan sanksi bukan karena memuaskan rasa balas dendam, tetapi benar-benar karena mendidik mereka. Ketika kita menetapkan sanksi, kita berusaha melihat diri kita bahwa kita sungguh-sungguh khalifah (wakil/pengganti) Allah dalam menetapkan sanksi. Kita juga beristighfar atas keputusan kita, sembari kita berdo’a semoga yang kita pimpin itu kembali kepada aturan yang benar.
Hak-hak mereka di luar itu tetap kita berikan. Hubungan kemanusiaan tetap kita pelihara. Hal ini kita lakukan karena kita berusaha bebas dan merdeka dari sikap meng-ilah-kan hawa nafsu atau egoisme kita. Kita ingin menjadi manusia yang bebas dan merdeka. Kita ingin tetap pada posisi penghambaan yang benar-benar lurus dan ikhlas kepada Allah. Lebih dari itu, kita nanti ingin bersama Rasulullah Saw di surga, karena kita telah berusaha menjadikannya uswatun hasanah dalam hidup dan kepemimpinan kita.
Hadirin…
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa dalam memberikan sanksi, hati kita mesti berkata: “Saya jatuhkan sanksi bukan karena kehendak diri/pribadi saya, tetapi karena aturan menghendaki demikian. Jika saya sampai terjebak menjatuhkan sanksi karena egoisme saya, maka sungguh saya telah tunduk/berpasrah diri kepada hawa nafsu saya. Jika demikian terjadi, maka saya telah meng-ilah-kan diri saya.”
Dalam kaitan inilah agama mengajari kita agar memperbanyak sujud. Dalam shalat, perbuatan yang paling banyak kita lakukan adalah melakukan sujud. Dalam sujud kita diajari meredam dan mengubur dalam-dalam egoisme kita. Sujud mengajari kita naik menuju Allah. Sujud adalah puncak mi'raj kita. Kata Nabi, saat sujud adalah saat hamba paling dekat dengan Tuhan. Saat itu pula kita ucapkan Subhana rabbiyal a’la atau do’a lain.
Setelah shalat, kita diajarkan oleh Nabi berdzikir. Jika kita renungkan makna dzikir-dzikir itu, maka penekanannya adalah pada pendidikan jiwa kita agar terbebas dari segala ilah palsu. Dalam sebuah hadits shahih, Nabi Saw mengajari kita agar membaca sebanyak 10 kali setelah shalat Shubuh dan Maghrib dzikir berikut:
La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah lahulmulku walahulhamd biyadihil khair yuhyi wa yumitu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir.
(Tidak ada ilah selain Allah, Maha Esa, tidak ada syerikat bagi-Nya. Milik-Nya lah kekuasaan dan pujian. Di tangan-Nya lah kebaikan. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan Dia berkuasa atas segala sesuatu).
Ketika membaca dzikir ini dengan rendah hati (tadharru’) dan lemah lembut (khufyah), maka konsentrasi atau fokus hati kita perlulah kita tujukan kepada penafian ilah-ilah yang bersifat psikis itu, misalnya rasa sombong, suka balas dendam, sulit memaafkan orang lain, dan sebagainya. Begitu juga kita harus menafikan pengagungan kita kepada keturunan, kekayaan, kekuasaan, ilmu atau apa saja selain Allah. Sehingga tidak ada lagi perintang kita dalam penghambaan kepada Allah. Dengan cara ini, mudah-mudahan Allah menyampaikan kita kepada puncak tauhid, yakni berada sedekat-dekatnya di sisi Allah SWT. Wajjahtu wajhiya lilladzi fatharassamawati wal ardh, hanifan muslima wama ana minal musyrikin. (Ku hadapkan diriku kepada Dzat pencipta langit dan bumi dengan lurus dan tunduk, dan aku bukanlah golongan orang-orang yang musyrik).
(Disampaikan pertama kali pada Khutbah Jum’at Mesjid Ulul ‘Ilmi IAIN Padangsidimpuan, 7 Maret 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar