Senin, 20 Maret 2023

PENCARIAN KEBENARAN SEPANJANG HAYAT ADALAH UNJUK KEHANIFAN ILMUAN MUSLIM



Tugas kita sebagai ilmuan dan pelajar muslim adalah mencari kebenaran sepanjang hayat. 


Pada hakikatnya, secara ruhaniah dan intelektual, seorang Muslim wajib melakukan pencarian kebenaran terus-menerus. Ia tidak boleh jalan di tempat (stagnan), apa lagi mundur. Jalan di tempat (stagnan) dan mundur sama-sama berbahaya bagi perkembangan ruhaniah dan intelektual setiap orang.

Mereka yang stagnan, dapat jatuh kepada pandangan bahwa jalan pencariannya sudah final atau kondisi ruhaniah dan intelektualnya sudah sempurna. Selanjutnya sikap demikian ini dapat jatuh kepada sikap claim of truth (klaim kebenaran), misalnya hanya saya atau kelompok kami yang benar. Selain saya atau kelompok kami pasti salah. Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa orang seperti ini akan jatuh kepada absolutisme (pemutlakan) pandangan atau pemahaman sendiri. Absolutisme pada hakikatnya adalah kepatuhan secara mutlak kepada pemahaman sendiri dengan menutup diri rapat-rapat kepada pemahaman yang berbeda. Pada haikikatnya, hal ini sama dengan penyembahan pemahaman sendiri. 

Dampak absolutisme pemahaman, malah bisa lebih parah yaitu bisa mejadi penentang kebenaran dan menjadi musyrik.

Untuk lebih jelas, di sini dicontohkan pencarian tentang Shalat. Dalam hal shalat ini boleh jadi seseorang merasa ia telah memahami aspek fiqh Shalat dengan baik. Ia telah mengetahui rukun, syarat, dan sunnat Shalat. Ia juga mengetahui kaifiayat, juz'iyyat, dan hai'at Shalat. Tepatkah jika seorang Muslim berpuas diri dengan hanya mengetahui aspek fiqh ibadah Shalat saja? Tentu saja tidak, karena di atas aspek fiqh adalagi aspek burhani (aspek rasional, ilmiah dan filosofis) ibadah Shalat. Aspek rasional, ilmiah, dan filosofis itu misalnya makna-makna induktif dari lafaz-lafaz yang dibaca saat Shalat. Begitu pula bukti-bukti rasional ilmiah bahwa Shalat mencegah perbutan keji dan  munkar. Selanjutnya, jika aspek rasional, ilmiah dan filosofis itu dipandang telah tercapai, maka masih adakah aspek Shalat yang perlu dicari? Jawabannya tentu saja ada, yaitu aspek 'irfani (aspek ruhaniah) ibadah Shalat. Aspek terakhir ini sangat dalam tak berdasar dan sangat luas tak bertepi. Aspek Shalat yang terakhir ini disebut juga aspek sufistik Shalat. 

Penolakan terhadap suatu pemahaman lebih sering terjadi karena kita tidak tahu aspek historis mungaktualnya (menyejarahnya) pemahaman itu di tengah masyarakat, dan begitu pula dengan metodologi keilmuan yang mendasarinya. Sekiranya dua hal ini diketahui dengan baik, maka sikap saling menoleransi akan muncul.

Mari kita ambil contoh kebiasaan Tahlilan yang dilakukan di rumah keluarga yang kemalangan. Profesor Ahmad Zahro menjelaskan bahwa Tahlilan ini tidak muncul begitu saja tanpa ada yang melatarinya. Di awal kemunculannya, Tahlilan adalah bagian dari strategi dakwah Sunan Kali Jaga dalam islamisasi di Jawa, khususnya Yogyakarta dan sekitarnya. Menurut Zahro, kala itu Sunan Kali Jaga mendapati masyarakat Jawa yang beragama Hindu sarat dengan ritual agama yang penuh mantra-mantra, di antaranya adalah mantra-mantra menghadapi kemalangan. Oleh karena itu, agar Islam dapat diterima dengan mudah, maka perlu suatu strategi bersifat kultural dengan cara menyuguhkan ajaran Islam menghadapi kemalangan yang diharapkan lebih baik dari agama Hindu. Alhasil, Sunan Kali Jaga menyuguhkan suatu bentuk ritual kemalangan pengganti ritual agama Hindu yaitu Tahlilan sebagai mana yang dikenal luas hingga saat ini. Dengan tahlilan, maka Sunan Kali Jaga berhasil menggantikan mantra-mantra Hindu dengan kalimat zikir dan do'a. Patut direnungkan, jika bukan dengan strategi islamisasi kultural dengan cara "tahlilan" ini, maka boleh jadi Islam akan sulit diterima oleh masyarakat Jawa-Hindu di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Dengan demikian strategi dakwah yang bersifat akomodatif, adaptasi dan modifikasi menjadi pilihan cerdas berdakwah secara kultural di masa itu.

Begitu pun, tentu proses islmiasasi ini tidak boleh dipandang final. Jika pada aspek kuantitas sudah berhasil dan nyaris sempurna, maka islamisasi selanjutnya harus disempurnakan pula pada aspek kualitas keislaman. Aspek kualitas ini berupa aspek rasional-filosofis (burhani) dan aspek ruhaniah-sufistis ('irfani). Kualitas keislaman setiap orang mesti berproses menuju kualitas penghayatan sebagaimana perspektif pokok para sahabat (ashhabu Rasulillah), dan lebih jauh tentu sebagaimana inner perspective (perspektif pokok) Rasulillah Saw sendiri. Dalam hal ini patut mempertimbangkan gerakan pengilmuan Islam (ilmuisasi Islam) yang dianjurkan oleh Profesor Kuntowijoyo, yaitu suatu gerakan beragama berbasis ilmu.

Lebih kongkret, dalam konteks pencarian kebenaran sepanjang hayat ini, maka bentuk dan esensi berislam Rasulillah dan para sahabat mesti menjadi idealitas, standar, dan batu uji bagi keislaman kaum muslimin hingga akhir zaman. Allahu a'lam.

Gambar: 
Di Krabi-Thailand 23 Februari 2023. Dari kiri ke kanan: Penulis (Dr. Anhar), Dr. Mhd. Darwis Dasopang, Prof Hafiz Zakaria (Malaysia), dan Dr. Erawadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar