فَاِ نْ حَآ جُّوْكَ فَقُلْ اَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلّٰهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ ۗ وَقُلْ لِّلَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ وَا لْاُ مِّيّٖنَ ءَاَسْلَمْتُمْ ۗ فَاِ نْ اَسْلَمُوْا فَقَدِ اهْتَدَوْا ۚ وَاِ نْ تَوَلَّوْا فَاِ نَّمَا عَلَيْكَ الْبَلٰغُ ۗ وَا للّٰهُ بَصِيْرٌ بِۢا لْعِبَا دِ
"Kemudian jika mereka membantah engkau (Muhammad) katakanlah, "Aku berserah diri kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi kitab dan kepada orang-orang buta huruf (kaum yang ummi), "Sudahkah kamu masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat petunjuk, tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 20)*
Perbedaan dalam memulai puasa Ramadhan antara golongan umat Islam telah sering terjadi. Golongan yang sering mendapat sorotan adalah Muhammadiyah sendiri. Tidak sedikit tokoh yang menyebut bahwa Muhammadiyah tidak patuh kepada pemerintah. Sebutan yang bertendensi celaan ini muncul karena mereka tampaknya melupakan prinsip kemerdekaan atau kebebasan menjalankan ajaran agama yang tertuang pada pasal 29 UUD 1945. Mereka juga kelihatannya lupa posisi agama dan posisi pemerintah di negara bangsa yang berfalsafah Pancasila ini.
UUD 1945 sesungguhnya menempatkan pemerintah sebagai fasilitator kehidupan beragama. Dalam hal ini kementerian yang diberi tugas untuk mengurusi urusan pemerintahan di bidang agama adalah Kementerian Agama. Sebagai fasilitator, Kementerian Agama tidak boleh masuk atau campur tangan dalam pemahaman dan pengamalan agama. Pemerintah ---sekali lagi--- hanya boleh memfasilitasi. Oleh karena itu, dalam konteks penentuan awal Ramadhan, boleh saja pemerintah memfasilitasi untuk menyahuti semangat kebersamaan, tetapi tidak semestinya mengeluarkan keputusan atas nama Negara. Sebab jika Negara mengeluarkan keputusan terkait pemahaman dan pengamalan agama, maka Negara telah mengangkangi filosofi Negara Pancasila dan secara khusus pasal 29 UUD 1945.
Mari kita rayakan atau gembirakan perbedaan, karena perbedaan adalah Sunnatullah. Pada hakikatnya, jangankan dengan non Muhammadiyah, sesama warga Muhammadiyah saja pun ada perbedaan kita dalam menghayati dan mengekspresikan agama. Apatah lagi dengan saudara-saudara Muslim kita yang bukan Muhammadiyah. Bahkan, perlu diketahui, jangankan kita sebagai Muslim mutaakkhirin, Muslim salaf sendiri pun juga kerap berbeda dalam pemahaman agama. Untuk menyebut contoh: Khalifah Umar bin Khattab r.a., pernah berbeda dengan banyak sahabat dalam hal posisi mu'allaf sebagai mustahiq zakat. Umar ketika itu tidak lagi memasukkan mu'allaf sebagai mustahiq. Keputusan Umar ini tentu saja mendapat penentangan dari banyak sahabat. Bagi sebagian sahabat ---yang kemungkinan sekali memandang tekstualitas Al-Qur`an sebagai suatu yang kudus (suci)--- maka sampai kapan pun, mu'allaf mesti diberi bagian zakat. Pemberlakuan ajaran Al-Qur`an tidak boleh terpengaruh situasi. Namun, tidak begitu bagi Umar r.a. Bagi beliau, justru yang paling penting diperhatikan adalah pesan ideal-moral Al-Qur`an. Untuk melaksanakan pesan ideal-moral dimaksud, maka boleh keluar dari pesan tekstual. Justru dengan cara demikian inilah bagi beliau sebagai cara mengamalkan ajaran Al-Qur`an yang paling tepat dan ideal tang sesuai dengan ruh Al-Quran (baca mis: Ahmad Fauzi, "Konsep Muallaf dalam Islam", Madania: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Volume (11) Nomor (1), Juni 2021). Khalifah kedua ini melihat bahwa saat itu tidak perlu lagi membujuk orang untuk masuk Islam, karena Islam telah menyebar luas. Oleh karena itu, dana zakat tidak perlu lagi dikeluarkan kepada mereka yang baru masuk Islam.
Warga Muhammadiyah mesti menunjukkan kedewasaan bahwa mereka berposisi sebagai orang-orang yang dengan kerendahan hati berupaya meneladankan diri sekaligus menjadi saksi dalam melaksanakan Sunnah Rasulillah Saw., di tengah-tengah masyarakat. Setiap warga persyarikatan, tidak boleh meperlakukan Muslim yang bukan Muhammadiyah dalam posisi terpaksa apa lagi terintimidasi menerima pemahaman dan pengamalan agama Muhammadiyah. Setiap warga Muhammadiyah ---dalam konteks dakwah--- harus memposisikan Muslim yang bukan Muhammadiyah dalam keadaan bebas-merdeka dalam menerima atau menolak dakwah Muhammadiyah. Ingat, tugas dakwah kita adalah hanya menyampaikan pesan Islam. Tidak lebih dari itu. Jika orang menolak, maka ingat pesan Allah kepada Rasulillah, "...fa'in tawallau, fa innama 'alaikal balagh." (...jika mereka menolak, (ingatlah) engkau hanya dibebani tugas sebagai penyampai agama (tidak lebih dari itu). [Lihat QS Ali Imran ayat 20; lihat juga yang semakna, misalnya Al-Maidah ayat 92, 99, dll.]. Siapa pun dari warga Muhammadiyah yang memaksa orang menerima Muhammadiyah, maka ia telah jatuh kepada prilaku sewenang-wenang dalam beragama. Perilaku sewenang-wenang ini adalah penindasan terhadap hak asasi orang lain untuk menentukan pilihan kepada kebenaran. Hal ini bertentangan sekali dengan moral yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya dalam mendakwahkan agama Islam. Oleh karena itu, mari syiarkan agama Allah dalam semangat fastabiqul khairat. Allahu a'lam.
______________
*Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com
Penampakan bulan sabit yang umurnya sudah 2 Ramadhan versi Muhammadiyah. Gambar diambil di Perumahan Sidimpuan Indah Lestari, Kota Padangsidimpuan setelah shalat Maghrib 1 Ramadhan 1445/11 Maret 2024 versi Pemerintah. Gambarnya blur, karena resolusi kamera yang rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar