Sabtu, 02 Maret 2024

HUKUM DI NEGERI KITA INI SANGAT POSITIVISTIK-MATERIALISTIK


Lihatlah rangkaian Pemilu yang baru saja berlangsung pada 14 Februari 2024 yang lalu. Warga menyaksikan bahwa di berbagai tempat di tanah air, Kepala Desa/Lurah terlibat dalam dukungan politik praktis kepada pasangan Capres-Cawapres tertentu. Dukungan masif ini tidak dipandang sebagai kasus pelanggaran hukum Pemilu karena tidak ada satu pun Kepala Desa/Lurah yang berani melaporkan, dan warga juga tidak berani untuk menunjukkan bukti keterlibatan Kepala Desa /Lurah yang ia ketahui. Belum lagi keterlibatan pejabat pemerintah di atasnya seperti Camat, Bupati/Walikota, Gubernur, dan bahkan Menteri.

Pengawas Pemilu hanya berdiam diri menunggu pengaduan. Institusi ini tidak menjalankan fungsi kepengawasan semestinya. Tidak terdengar informasi bahwa Pengawas ini bekerja mengawasi lalu menemukan sendiri bukti pelanggaran.

Penyikapan Institusi ini terhadap pelaporan dugaan pelanggaran pun banyak mengecewakan masyarakat di berbagai tempat. Lagi-lagi para pelapor diminta menunjukkan bukti material-fisik-indrawi pelanggaran.

Eviden hukum di negeri ini mesti fisik-material-indrawi. Meskipun telah memunculkan kerusakan demokrasi dan sosial dalam masyarakat, dan para penegak hukum menyaksikan akibat-akibat destruktif itu, namun mereka tetap memaksakan bukti-bukti pisik-material-empirikal dimaksud. Jika tidak, maka mereka akan tetap berkata, "Tidak ada pelanggaran."

Sebagai orang yang tidak berlatar kesarjanaan dalam ilmu hukum, pertanyaan yang hemat saya patut dikemukakan, "Apakah pembuktian pelanggaran itu hanya menggunakan paradigma positivistik-empirik-meterialistik? Bukankah pembuktian pelanggaran hukum juga dapat menggunakan pendekatan kualitatif-interpretif? Hukum positivistik-materialistik kelihatannya akan selalu terlambat dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan rasa adil.

Namun demikian, penulis juga menyadari bahwa para penegak hukum ---dalam konteks kepemiluan ini--- berada dalam ruang yang tidak merdeka dalam menegakkan aturan. Ada kekuatan besar yang mangepung dan menghadang mereka untuk bertindak di atas nilai kejujuran dan keadilan. Di sisi lain, mereka juga tampak kurang memiliki good will dan keberanian untuk menindaklanjuti setiap pelanggaran yang mereka saksikan sendiri, apa lagi dalam menindaklanjuti  laporan pelanggaran.

La quwwata illa billah... nasib hukum kita. Bagaimana masa depan peradaban anak cucu kita di tengah ketidakpastian penegakan hukum ini.

Gambar: 

Wisuda UIN Syahada, 02 Maret 2024

4 komentar:

  1. Bagaimana kira-kira pak gerakan kecil agar rakyat biasa ini bisa mengucapkan kebenaran itu?
    Karena banyak yg takut atas konsekuensi yg akan terjadi kepada mereka.

    BalasHapus
  2. Yang ditanyakan itu benar-benar problematik saat ini. Pemerintah dan Rakyat dalam hubungan kenegaraan sangat tidak setara. Rakyat tidak memiliki kekuatan untuk menyatakan kebenaran di hadapan pemerintah/penguasa. Krn itu dlm situasi spt ini kaum intelektual mesti turun menjadi penyangga rakyat kecil menyuarakan kebenaran atau hak-hak politik dan sosialnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sangat setuju pak dengan yg bapak sampaikan. Namun, apakah kaum intelektual semua bermental seperti yg kita harapkan, karena info dari rakyat kecil, bebarapa yg menjadi aktor ketimpangan itu malah dari kaum akademisi bermental sebungkus rokok dan menjadi parasit. Apakah kita masih bisa mengulangi peristiwa 1989 dengan semua kekiri2an ini pak?

      Hapus
    2. Ya, itu sangat disayangkan. Ternyata kaum intelektual yang masih memegang idealisme harus juga berhadapan dengan kaum intelektual yang menggadaikan idealisme karena memperoleh keuntungan-keuntungan material. Tapi yakinlah, mereka yang terakhir ini lemah dan rapuh. Insya Allah akan kalah oleh kaum intelektual dan cendikiawan yang memegang idealisme membangun bangsa.

      Hapus