Sabtu, 24 Februari 2024

ISRA` WAL MI'RAJ DAN SHAUM RAMADHAN: Ujian dan Rahmat di Jalan Dakwah serta Perjalanan Ruhaniah Rasulullah Saw

        Artikel singkat ini menjelaskan tentang Isra' wal Mi'raj dan Shaum Ramadhan dengan stresing penjelasan pada tekanan, perundungan bahkan siksaan yang dialami Nabi Saw dan sahabat dalam jalan dakwah serta perjalanan ruhaniah Nabi ---yang  dengan kesempurnaan ruhaniah beliau--- bertemu langsung dengan Allah SWT di 'Arsy.
 
Tahun Duka Cita
        Tahun ke-10 kenabian adalah tahun duka cita ('amul huzni) bagi Nabi. Istri dan paman yang menjadi penopang utama dakwah beliau wafat. Padahal Nabi dan para sahabat masih dalam tekanan dan ancaman untuk menetap di Makkah. Kematian dua tokoh ini membuat kehidupan Nabi dan dakwahnya mendapat penentangan yang semakin keras. Bayangkan saja, orang awam sudah berani melemparkan kotoran ke atas kepala beliau. Suatu waktu beliau pulang ke rumah dengan berlumuran tanah. Melihat hal ini putri beliau Aisyah ---yang baru saja ditinggal seorang ibu yang kuat dan melindungi--- menangis sambil membersihkan kotoran di kepala Rasulullah. Tangisan putri tercinta ini tentu saja sangat memilukan hati Rasulillah. Namun, dengan hati yang sabar dan tenang, Rasulullah berkata kepada putrinya, "Janganlah engkau menangis wahai anakku. Sesungguhnya Allah akan menolongku." 

Meninggalkan Makkah Menuju Tha'if
    Setelah mengalami perundungan dan tekanan yang makin keras yang dilancarkan kaum kuffar Quraisy, Rasulullah Saw., berangkat ke Tha'if mencari dukungan dan perlindungan dari Bani Tsaqif serta berharap agar mereka menerima ajaran Islam.
        Setibanya di Tha'if, beliau menuju tempat pembesar Bani Tsaqif. Beliau menjelaskan tentang Islam dan mengajak mereka supaya beriman kepada Allah. Akan tetapi ajakan beliau ditolak mentah-mentah dan direspon dengan kasar. Rasulullah Saw., dan para sahabat meninggalkan mereka seraya berharap supaya mereka merahasiakan berita kedatangan ini kepada kaum Quraisy, tetapi hal ini pun mereka tolak.
     Pembesar Tha'if lalu mengerahkan penjahat dan para budak untuk mencerca dan melempari Rasulullah dengan sehingga mengakibatkan cedera pada kedua kaki Rasulullah Saw. Zaid bin Haritsah berusaha keras melindungi Rasulillah, tetapi ia kewalahan dan ia sendiri mengalami luka pada kepalanya.
       Para penjahat dan budak terus mengejar Rasulullah dan beberapa sahabat berupaya menyelamatkan diri dari pengejaran. Pengejaran berhenti di kebun milik Uqbah bin Rabi'ah. Di bawah pohon anggur ---yang ketika itu tampak oleh dua orang anak Rabi'ah yang ada di kebun--- Rasulullah Saw., mengangkat kepalanya seraya berdo'a:
"Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku, dan ketidakberdayaan diriku berhadapan dengan manusia, Wahai Zat Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Engkaulah pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku. Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Jika Engkau tidak murka kepadaku, semua itu tak ku hiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan akhirat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegur dan mempersalahkan diriku hingga Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu."
        Mendengar doa ini, timbul rasa iba di hati kedua anak Rabi'ah ini. Merekapun  memanggil seorang pelayan bernama Addas untuk memberi buah anggur kepada Rasulullah. Rasulullah pun menerima dan memakannya dengan mengucapkan, "Bismillah."
        Ucapan Bismillah itu membuat takjub Addas. Ia berkata, "Demi Allah, kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk daerah ini." Selanjutnya terjadi dialog antara Nabi dengan Addas, yang selanjutnya membuat Addas berlutut di hadapan Rasulullah setelah ia mengetahui bahwa Muhammad Saw juga seorang Nabi yang sama dengan Nabi Yunus bin Mathius yang ia imani.
        Dalam problematik dakwah seperti ini, setelah terusir dari Thaif, tidak ada jalan lain bagi Nabi kecuali kembali ke Makkah. Zaid bin Haritsah bertanya kepada Rasulillah, "Bagaimana engkau hendak pulang ke Makkah, sementara penduduknya telah mengusir engkau dari sana?" Belian menjawab, "Hai Zaid, sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya."

Isra' wal Mi'raj
        Menurut Ibnu Sa'ad dalam Thabaqat-nya, peristiwa ini terjadi delapan belas bulan sebelum Hijrah. Kisah ini disebutkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shahih-nya.
       Di abad ke-7, dengan latar belakang masyarakat Jazirah Arab yang mengandalkan unta sebagai kenderaan utama melewati gurun, peristiwa Isra' wal Mi'raj adalah peristiwa yang tidak masuk akal. Peristiwa ini menambah semangat Kuffar Quraisy untuk mencerca Nabi sebagai orang yang benar-benar gila. Mu'jizat ini bukan membuat mereka beriman kepada kenabian Rasulullah Saw., malah mereka tambah membangkang/engkar kepada kerasulan beliau.
        Peristiwa perjalanan agung ini hanya berlangsung dalam satu bagian malam. Beliau berangkat dari Masjidil Haram, Makkah menuju Masjidil Aqsha di Al-Quds/Palestina hingga terus ke puncak jagat yang paling ujung, Sidratul Muntaha dan kembali lagi pada malam itu ke Masjidil Haram di Makkah.
        Latar belakang Isra' wal Mi'raj ini tidak dapat dilepaskan dari peristiwa memilukan perjalanan dakwah beliau. Ketika tekanan di Makkah semakin hebat, akhirnya  memaksa beliau mencari tempat perlindungan baru yaitu Tha'if. Beliau berharap, bahwa para pembesar Tha'if akan menerima beliau. Namun yang terjadi adalah penolakan kasar dan pengejaran. Derita Nabi atas perlakuan buruk pembesar Bani Tsaqif di Tha'if tergambar dalam doa Nabi saat beristirahat di kebun milik 'Uqbah bin Rabi'ah. Dalam bait-bait do'a yang diucapkan tampak bahwa beliau sedang berada dalam puncak kesulitan, penderitaan, dan penentangan dalam dakwah. Meskipun beliau tetap yakin akan datangnya rahmat Allah bagi jalan dakwah, namun dari do'a yang dipanjatkan, kita dapat menangkap sisi lain dari makna ungkapan do'a Nabi Saw, kira-kira seperti ini: "Ya Rabb, ke bumi mana lagi dakwah ini ku sampaikan; Kepada kelompok manusia yang mana lagi dakwah ini ku serukan. Jika Engkau tidak murka kepadaku, niscaya penolakan terhadap dakwah ini tak ku hiraukan." 
     Dalam kondisi terpuruk seperti itu, malaikat Jibril meminta Nabi berdoa agar Allah memperkenankan malaikat penjaga bukit mengangkat bukit Tha'if lalu melemparkannya ke penduduk Bani Tsaqif yang telah menyakiti Rasulullah. Nabi menjawab, "La, innahum qaumun la ya'lamun." (Tidak, mereka adalah kaum/penduduk yang tidak mengerti).     
        Di puncak ujian kerasulan ini, Allah SWT membuktikan kesabaran beliau. Allah-pun kemudian memanggil kekasihnya ini untuk menemui-Nya di Sidratul Muntaha pada malam Isra' wal Mi'raj. Dalam perjalanan Mi'raj menuju Allah, beliau ditemani malaikat Jibril. Hubungan Nabi Muhammad dengan malaikat Jibril di malam Mi'raj itu dilukiskan  dalam Al-Qur`an sebagai berikut:
Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak (pula) keliru. Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur`an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur`an) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai keteguhan; maka (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli (rupa yang bagus dan perkasa). Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat (pada Muhammad), lalu bertambah dekat. Sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu disampaikannya wahyu kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang dilihatnya itu? Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain. (Yaitu) di Sidratilmuntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidaratilmuntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatan (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar. (QS An-Najm/53: 1-18). 


Shaum (Puasa)
        Perjalanan Mi'raj itu menginspirasi banyak ulama dan intelektual Muslim tentang kontak ruhaniah seorang manusia dengan alam malakut (alam malaikat), dan selanjutnya alam lahut (alam ketuhanan). Al-Farabi misalnya menjelaskan kontak istimewa ini dalam teori kenabiannya. Ia menyatakan bahwa orang-orang tertentu dengan kapasitas intelektual dan ruhaniahnya yang tinggi dapat berhubungan dengan al-'aql al-fa'al (akal aktif/malaikat Jibril) sehingga mendapatkan limpahan ilmu ilahi dari Allah SWT melalui malaikat yang yang bertugas mentransmisikan ilmu Allah kepada Nabi dan manusia biasa. Di kalangan Sufi, penomena Mi'raj ini menjadi dasar argumentasi (melalui penerapan manhaj iktisyafi) untuk liqa'a rabbihi (bertemu secara ruhaniah dengan Allah).
        Para sarajana Muslim yang terpelajar melihat, dengan Mi'raj ini maka Nabi Saw telah mencapai tahap kesempurnaan secara ruhaniah untuk mengemban misi kerasulan. Kepribadian beliau telah berada jauh di atas desakan, kungkungan, godaan yang bersifat fisik-jasmaniah dan nafsu-syaithaniah. Beliau telah mencapai kepribadian yang kamil (paripurna). Dengan berbekal kepribadian yang demikian, maka jalan dakwah Rasulillah semakin dimudahkan oleh Allah menuju al-fath (hari kemenangan).
        Kurang lebih 3,5 tahun setelah peristiwa Mi'raj, Allah SWT menitahkan perintah menjalankan ibadah puasa Ramadhan kepada Rasulullah dan kaum beriman. Puasa, pada hakikatnya adalah bulan latihan ruhaniah. Titik tekannya adalah pada pengendalian hawa nafsu yang merusak kepribadian. Hasil akhir atau kualitas kepribadian yang diperoleh dari ibadah puasa adalah kepribadian yang bertakwa (muttaqin). Pencapaian kepribadian ini diperoleh dengan jalan tazkiyatunnafs yang sungguh-sungguh melalui upaya menahan (shaum) diri dari kelezatan jasmaniah apakah berupa makanan atau minuman dan ucapan yang tak berguna, tindakan jahil, keji, dan perangai yang buruk. Dalam fragmen-fragmen ajaran Rasulillah tentang shaum disebutkan misalnya "Puasa itu perisai. Jika seseorang memprovokasimu untuk saling caci maki atau berkelahi, maka katakan, "Saya sedang berpuasa". Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya." Di lain waktu, Nabi mengingatkan agar orang yang berpuasa supaya menghindari perbuatan keji, tindakan jahil, dan menahan marah. Dengan demikian, puasa yang sungguh benar-benar mendidik jiwa seorang hamba untuk men-tazkiah (menyucikan) dirinya sendiri.
        Puasa diiringi dengan shalat Qiyamu Ramadhan, i'tikaf, dan amal-amal shalih lainnya. Tentu saja, shaum Ramadhan ini, selain ladang amal yang berlipat ganda, juga mengedukasi seorang yang berpuasa untuk menaikkan maqam (jenjang) spiritualnya di hadapan Allah SWT. 
        Dengan demikian, shaum Ramadhan pada hakikatnya adalah jalan untuk mi'raj (naik secara ruhaniah) menuju Allah SWT.

Penutup Kata
        Dalam jalan dakwah, Rasulillah Saw menghadapi ujian dan bahkan penderitaan. Tetapi bersama kesulitaan dan derita selalu ada kemudahan dan nikmat yang tiada tara. Di tengah kebuntuan pikiran, gerakan, dan stretagi, dan juga di puncak ujian dan cobaan dari kaum Kuffar Jahiliyah, Allah SWT memberi nikmat dan rahmat yang tiada tara, yaitu perjalanan ruhaniah (spiritual journey) menuju hadirat Allah SWT. Tidak ada kebahagiaan melampaui Mi'raj ini.
        Mi'raj adalah penanda utama bahwa Allah benar-benar ridha kepada kepribadian sang Rasul yang diamanatkan mendakwahkan agama terakhir ini. Allah SWT tidak saja menyampaikan titahnya melalui malaikat Jibril, tetapi juga melalui penyampaian langsung dalam pertemuan yang penuh rahmat di Sidratilmuntaha.
        Di sisi lain, ketika Nabi Saw telah berhasil mengkonsolidasikan umat Islam menjadi kesatuan kepemimpinan dan masyarakat di Madinah, maka Allah pun kemudian ---secara berangsur--- menurunkan syariatnya untuk dijalankan oleh masyarakat Muslim yang baru terbentuk ini. Pada tahun kedua Hijrah, Allah SWT menurunkan perintah menjalankan shaum Ramadhan. Shaum ini sesungguhnya ibadah yang memi'rajkan kaum beriman menuju capaian kepribadian muttaqin. Kepribadian yang dicintai oleh Allah SWT. Allahu a'lam.

Catatan:
Sumber utama artikel ini adalah sejarah hidup Muhammad Saw., yang ditulis oleh Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthy, Husein Haikal, dan Fuad Hashem).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar