Minggu, 18 Februari 2024

PEMILU 14 FEBRUARI 2024: TERKHIANATINYA NILAI-NILAI DEMOKRASI PANCASILA

Pemilu 2014 sarat dengan dinamika politik yang secara terang-benderang ---bagi banyak kaum intelektual kampus, mahasiswa, dan cendekiawan di masyarakat--- mengkhianati nilai-nilai demokrasi Pancasila. Bukankah demokrasi Pancasila menghendaki proses demokrasi yang berjalan di atas nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan, Kerakyatan yang dipimpin/dibimbing oleh hikmah kebijaksanaan, dan keadilan sosial bagi semua?

    Melihat keadaan buruk demokrasi ini, beberapa hari jelang Pemilu, kaum intelektual kampus kompak bersuara menyampaikan keprihatinan terhadap kondisi demokrasi dan meminta agar Pemilu dilangsungkan dengan jujur dan adil. Dimulai oleh guru besar UGM, dan disusul oleh UII Yogyakarta, UI, UAD, UIN Jakarta, UNDIP, dan kampus-kampus lain di Indonesia, dengan serius menyampaikan kritik dan keprihatinan nasib demokrasi Indonesia.

    Fakta yang teramati di lapangan yakni telah terjadi pengangkangan terhadap nilai-nilai luhur demokrasi Pancasila. Pengkhianatan nilai yang paling menonjol adalah pengingkaran terhadap nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dan nilai kerakyatan yang dipimpin/dibimbing oleh hikmah kebijaksanaan. Hal ini tampak pada, misalnya ketimpangan yang krusial relasi antara pemerintah dan rakyat. Banyak rakyat, terutama kaum miskin, berada dalam posisi yang subordinat atau terintimidasi dalam menentukan pilihan Calon Presiden (Capres) pra pencoblosan dan bahkan saat pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Intimidasi kepada kaum miskin oleh oknum-oknum aparat dilakukan melalui ancaman pemutusan paket bantuan dan layanan sosial lainnya. Kejadian ini terjadi di banyak daerah di Indonesia. Salah satu bentuk intimidasi verbal yang dimunculkan yaitu "Jika Bapak/Ibu sekeluarga tidak memilih Capres X, maka Bansos dan PKH akan dihentikan." Pada hari "H" Pemilu oknum kepala dusun dan kepala lingkungan di banyak tempat membagi-bagi uang kepada rakyat miskin dengan tagihan memilih pasangan Capres-Cawapres tertentu yang memiliki hubungan keluarga dengan Presiden Joko Widodo.

    Secara kualitatif, ancaman ini tampak terjadi secara hirarkis dan masif dengan juga melibatkan oknum-oknum aparat pemerintahan, kepolisian, dan kejaksaan. Oknum aparat kepolisian di lapis bawah mengancam Lurah dan Kepala Desa agar mengintimidasi rakyat kecil untuk memilih pasangan tertentu. Lurah dan Kepala Desa diancam dengan jerat hukum pidana penyelewengan uang Negara jika mereka tidak melaksanakan perintah. Lebih parah lagi, Kepala Desa dan Lurah diarahkan menggunakan sebagian dana desa atau anggaran kelurahan untuk pemenangan Capres tertentu.

    Penomena ini tampaknya tidak berdiri sendiri. Sangat kuat dugaan bahwa kecurangan ini diawali oleh praktik "cawe-cawe" Presiden Joko Widodo terhadap pelaksanaan Pemilihan Umum. Praktik cawe-cawe ini semakin nyata ketika Joko Widodo "memaksakan" anak sulungnya menjadi Cawapres di masa injuri time pendaftaran Capres/Cawapres Pemilu 2014. 

    Untuk keperluan lolos sebagai Cawapres, Mahkamah Konstitusi, yang ketika itu dipimpin oleh adek ipar Joko Widodo sendiri yaitu Anwar Usman, meloloskan uji meteri usia Capres dan Cawapres. Selanjutya, tanpa harus merevisi peraturan KPU, dengan gegabah KPU menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres. Sikap gegabah ini divonis oleh Komisi Etik KPU sebagai pelanggaran etik berat kedua yang dilakukan oleh pimpinan KPU, Hasyim Asyari, dkk.

    Dalam hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga surve, Pemilu yang buruk (dirty vote) ini melahirkan pemenang yakni pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Meskipun perhitungan resmi hasil Pemilu belum dinyatakan dalam Pleno KPU, Joko Widodo telah mengucapkan selamat kepada pasangan ini. Banyak pihak yang menyayangkan sikap presiden yang mengingatkan ojo kesusu ini, justru ujug-ujug mengucapkan selamat kepada Capres dan Cawapres pemenang versi hitung cepat.

    Pertanyaan penting terkait masalah ini? Bagaimana nasib demokrasi di masa mendatang? Akankah terus tersandra dengan politik dinasti ala Joko Widodo? Bagaimana pula nasib tuntutan reformasi 98 agar Indonesia bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)?

    Pertanyaan ini menjadi tantangan dan beban bagi perjalanan demokrasi bangsa di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar