Mengapa pada 1912, K.H. Ahmad Dahlan yang dibantu sahabat-sahabat beliau berinisiatif melakukan gerakan/aksi sosial keagamaan (religious social movement) yang diberi nama Muhammadiyah dengan cita-cita "Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya?" Mengapa K.H. Ahmad Dahlan dan sahabat-sahabat beliau berpandangan bahwa gerakan sosial keagamaan yang dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya itu adalah gerakan Islam yang melakukan tajdid (pemurnian/pembaruan)? Lalu, mengapa pula Islam yang dibawakan oleh tokoh-tokoh pendiri (the founding parents) ini adalah Islam yang Berkemajuan?
Gerakan Muhammadiyah
Aksi Sosial Keagamaan yang mereka gerakkan, mereka beri nama Muhammadiyah. Gerakan ini adalah jawaban terhadap problem dan kondisi umat Islam Nusantara yang ---pada masa itu--- terjajah, lemah, miskin, dan terbelakang. Haedar Nashir menjelaskan bahwa K.H. Ahmad Dahlan dkk., menyaksikan dengan kesadaran yang dalam bahwa umat Islam tidak memegang teguh spirit dan ajaran Al-Qur`an dan As-Sunnah (Nashir, 2019: 25). Islam yang yang dianut oleh muslim Nusantara pada masa itu dalam pandangan Dahlan dkk., adalah Islam yang ternodai oleh syirik, bid'ah, dan khurafat. Akibatnya, al-Islamu mahjubun lilmuslimin (Islam yang sebenarnya tertutup oleh umat Islam sendiri). Pemahaman Islam yang otentik/natural (bersih dari syirik, bid'ah, dan khurafat) menurut Dahlan akan membuat penganutnya bangkit dari kemiskinan, ketertinggalan, dan kebodohan. Islam yang demikian inilah yang membangkitkan masyarakat Arab abad ke-7 dari kejahiliyahan, dan selanjutnya menjadikan mereka sebagai generasi terbaik (khairu ummah), hingga selama kurang lebih lima abad kemudian, peradaban Islam menjadi peradaban yang paling gemilang di muka bumi.
Gerakan ini Mengusung Islam Berkemajuan
Islam berkemajuan, menurut Muhammadiyah, adalah jawaban terhadap problem umat Islam yang lemah dalam berbagai aspek. "Berkemajuan" sendiri adalah watak atau nature asli Islam sejak kelahirannya di Arabia abad ke-7 M. Ali Syariati, seorang syahid dari Iran mengumpamakan para Nabi pembawa Islam bagai api yang meloncat dari batu yang bertabrakan. Dengan risalah Islam yang mereka bawa, Nabi-nabi ini kata beliau membangkitkan zaman yang mati, menghidupkan semangat pergerakan dalam urat nadi ummat yang lamban, sehingga ummat bangkit dan berjuang dengan harta dan jiwa untuk yad'una ila al-khairi, waya`muruna bi al-ma'rufi wa yanhauna 'an al-munkar (menyeru manusia kepada kebajikan, dan menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah umat manusia dari kemungkaran) (QS Ali Imran ayat 104).
Manhaj (Jalan Berpikir) Tarjih dan Tajdid
Untuk mendapatkan pemahaman Islam yang natural, maka Muhammadiyah menempuh jalan tarjih dan tajdid. Jalan (manhaj) ini dipimpinkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, selanjutnya dimandatorikan kepada pimpinan dibawahnya secara hirarkis.
Tarjih, semula dipahami adalah membandingkan dan menilai dalil-dalil syar'i yang secara zhahir (tekstual) tampak bertentangan, selanjutnya menentukan dalil yang paling kuat sebagai landasan beramal. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah tarjih dalam Muhammadiyah dipahami sebagai upaya ijtihad menentukan dalil yang paling kuat, memilih qiyas (analogi) paling tepat, dan menetapkan maslahat paling baik dalam setiap masalah keagamaan yang membutuhkan jawaban.
Muhammadiyah menghargai pemahaman dan pengamalan agama yang terbentuk secara kultural, namun bagi Muhammadiyah, sebagai konsekuensi dari watak tarjih dan tajdid, perlu dilakukan pemilahan dan pemilihan terhadap pemahaman dan pengamalan agama yang diikhtiarkan paling sesuai dengan Sunnah.
Apakah Muhammadiyah bermazhab? Jawabannya tidak. Muhammadiyah tidak menyandarkan pemahaman agamanya kepada ulama tertentu atau mazhab tertentu. Muhammadiyah justru bersandar kepada hasil pemahaman kolektif para ulama yang bersidang dalam forum Tarjih (Muktamar atau Munas Tarjih). Dengan demikian, dalam Muhammadiyah tidak ada tokoh sentral yang jadi rujukan atau sandaran keagamaan. Itulah sebabnya, mengapa pendapat-pendapat ulama, apakah ulama mazhab atau ulama non-mazhab diposisikan hanya sebagai referensi dalam forum kajian tarjih dan tajdid. Dengan cara demikian, dalam Muhammadiyah tidak terbangun sikap manut intelektual kepada ulama tertentu dalam keagamaan. Di sinilah salah satu titik beda kita dengan saudara-saudara kita di Nahdlatul Ulama dan Al-Jam'iyyatul Washliyah. Bahkan juga dengan saudara-saudara kita kaum Salafi-Wahabi.
Kaum Salafi-Wahabi, meskipun juga gerakannya memiliki semangat kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah, namun golongan ini menjadikan ulama-ulama tertentu sebagai rujukan utama. Misalnya Nashiruddin Al-Albaniy dan Syaikh Bin Baz. Golongan ini tidak memiliki lembaga formal semacam Majelis Tarjih dan Tajdid yang bekerja merumuskan tuntunan keagamaan. Penting juga dicatat, bahwa golongan ini tidak menerapkan pendekatan bayani, burhani, dan 'irfani dengan bantuan ilmu-ilmu modern (sosiologi, antropologi, dan hermeneutika) dalam mengkaji agama. Sementara Muhammadiyah menerapkan pendekatan demikian ini dalam kajian agama, dan menetapkannya sebagai bagian dari manhaj dalam bertarjih. Masalahnya belum banyak intelektual, ulama, dan ustadz Muhammadiyah yang memahami dengan baik pendekatan bayani, burhani, dan 'irfani dengan bantuan ilmu modern ini.
Bermuhammadiyah ala Generasi Awal
Generasi awal Muhammadiyah mengajarkan dan meneladankan bermuhammadiyah yang lapang, terbuka, dan toleran. Mari simak penjelasan mereka tentang Tarjih yang dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah tahun 1936:
"Keputusan Majelis Tarjih mulai dari merundingkan sampai kepada menetapkan, tidak ada sifat perlawanan, yakni menentang atau menjatuhkan segala yang tidak dipilih oleh Tarjih itu. Penyelidikan dan pertimbangan dengan berdalil Al-Qur`an dan Hadits, itulah putusan Majelis Tarjih yang dapat mempersatukan dan menjaga Muhammadiyah daripada kemasukan perselisihan yang mesti dilenyapkan. Malah kami berseru juga kepada sekalian 'ulama, supaya suka membahas pula, akan kebenaran Majelis Tarjih itu, dimana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat dalilnya diharap supaya diajukan, syukur kalau dapat memberikan dalilnya yang lebih tepat dan terang, yang nanti akan dipertimbangkan pula, diulangi penyelidikannya, kemudian kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan. Sebab waktu mentarjihkan itu ialah menurut sekedar pengertian dan kekuatan kita, pada waktu itu." (Lihat "Penerangan Tentang Hal Tarjih" Nukilan dari Suara Muhammadiyah No. 6/1355 (1936) muka 145, sebagaimana dikutip dalam buku Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1432/2011, h. 382).
Tuntunan ini dikeluarkan sebagai respon terhadap warga Muhammadiyah yang pada masa itu sebagian mereka berpandangan bahwa hanya Putusan Tarjih yang benar. Sementara pemahaman agama di luar Putusan Tarjih tidak benar. Dalam konteks demikianlah, Hoofd Bestuur (Pimpinan Pusat) mengingatkan bahwa keputusan Majelis Tarjih tidaklah untuk menentang, apa lagi menjatuhkan pemahaman agama yang tidak dipilih oleh Majelis Tarjih.
Selanjutnya sebagai peneguhan terhadap sikap di atas, maka pada masa kepemimpinan K.H. Mas Mansur dirumuskan langkah Muhammadiyah 1938-1940 yang dinyatakan sebagai "12 Langkah Muhammadiyah". Salah satu langkah dimaksud (langkah ke-2) yaitu "Memperluas Faham Agama". Ditegaskan dalam langkah ke-2 ini, dengan mengutip hadits, bahwa agama itu lapang, dan tidak ada orang yang bersempit kaku dalam beragama, melainkan sikap sempit kakunya itu sendiri yang membuat dia susah dan repot dalam mengamalkan agama. (Baca "Tafsir Langkah Muhammadiyah Tahun 1938-1940" dalam buku Manhaj Gerakan Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1433/2012, h. 412-419)
Lebih tegas lagi, tak lama setelah Indonesia merdeka, dirumuskan tentang Al-Qiyas dalam Kitab al-Masa'il al-Khams (Kitab Masalah Lima). Sedikit dikutipkan bagian yang relevan di sini:
...wa ma'al al-'ilmi anna ayya qararin yuttakhadzu, innama huwa tarjihun baina al-ara`i al-ma'rudhati duna ibthali ayyi ra`yin mukhalifin. ... (... dan dengan MENGINSYAFI bahwa tiap-tiap keputusan yang diambil olehnya itu hanya sekedar mentarjihkan di antara pendapat-pendapat yang ada, tidak berarti menyalahkan pendapat yang lain. ...) (Lihat bab Kitab Masalah Lima dalam Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1432/2011, h. 279).
Berlomba-lomba dalam Beragama
Bagaimana kita menata hubungan cinta dan persahabatan kita dengan golongan Muslim lainnya, seperti Nahdlatul Ulama, Al-Jam'iyyatul Washliyyah, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah? Jawabannya mari kita tata silaturrahim kita dalam semangat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Jangan lihat perbedaan kita dalam konteks hadits yang mennyatakan bahwa umat Islam terpecah menjadi 73 Golongan. Hadits ini tidak relevan untuk menjelaskan perbedaan kita. Penting digarisbawahi bahwa perbedaan kita hanya pada ekspresi keislaman. Tuhan kita sama, Nabi kita sama, Kitab kita sama, Akidah kita sama, dan Syari'at kita juga sama. Kita semua sama-sama berharap hidup hasanah fiddunya wal akhirah. Kita juga sama-sama memiliki semangat berhukum kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan cara (manhaj) yang berbeda. Kita juga sama-sama berharap agar Allah SWT memasukkan kita semua kelak ke dalam surga yang dijanjikan Allah kepada hamba-hamba yang beriman dan beramal saleh.
Dalam perlombaan ini akan terjadi dinamisasi dan kemajuan dalam ilmu dan peradaban. Lihat saja hasilnya sekarang. Misalnya amal usaha di bidang pendidikan. Sekiranya Muhammadiyah, NU, Al-Washliyah, Perti, dll., tidak berpartisipasi dalam pembangunan pendidikan, maka bangsa ini akan kewalahan menyediakan SDM pendidikan dan sarana prasarana pendidikan bagi puluhan juta anak bangsa.
Terkait dengan fastabiqul khairat dalam ilmu keagamaan, setiap warga Muhammadiyah penting mengkomunikasikan ilmu dan pemahamannya kepada orang lain dengan dilandasi adab yang luhur sebagaimana diteladankan oleh Nabi dan para sahabat, salafus shalih dan generasi awal Muhammadiyah. Di antara adab keilmuan yang amat penting dipeliharan adalah mengkomunikasikan ilmu dengan hikmah dan mau'izhah hasanah, menghindari debat-kusir, menghindar dari sikap suka menyalahkan orang lain, tidak memandang diri paling benar, sabar dalam menerima kritik, serta lapang dada dan terbuka menerima kebenaran.
Penutup
Amat penting bagi warga persyarikatan memahami gerakan Muhammadiyah sebagaimana dipahami oleh pendiri dan generasi awal Muhammadiyah. Pemahaman dimaksud adalah pemahaman yang diikhtiarkan berdasarkan inner perspective of human behavior, yaitu pemahaman berdasarkan perspektif pokok pendiri (K.H. Ahmad Dahlan) dan generasi awal Muhammadiyah. Pemahaman yang berpijak kepada inner perspective ini akan menjadi suluh penerang dan pengarah bagi warga persyarikatan dalam mendayung gerakan keagamaan ini dalam mencerahkan warga dan masyarakat di manapun berada.
Insya Allah, jika Muhammadiyah dibawakan sebagaimana spirit dan keteladanan pendiri dan generasi awal Muhammadiyah, maka gerakan Muhammadiyah akan semakin disukai dan dicintai oleh masyarakat. Allahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar