Selasa, 15 September 2020

ANHAR NASUTION: CATATAN PENGALAMAN MERAIH GELAR DOKTOR

 


ASA MERAIH KUALITAS INSAN CITA:

Catatan Pengalaman Pribadi Meraih Gelar Doktor

 

Oleh: Dr. Anhar Nasution, M.A.

Email: anhar_nasution@iain-padangsidimpuan.ac.id

 

Saya anak keempat dari enam bersaudara yang lahir dari keluarga petani kecil di suatu kampung di Pasaman Barat, Sumatera Barat pada 14 Desember 1971. Ayah, Taudin Nasution yang hanya mengenyam pendidikan sampai kelas V pesantren, adalah seorang yang tegas dan keras dalam mengawal ibadah dan pendidikan anak-anaknya. Ayah tidak segan memukul anak-anaknya menggunakan tangkai sapu rumah jika ketahuan meninggalkan shalat atau bolos dari sekolah. Bagi ayah ketika itu, anak-anaknya harus menyelesaikan pendidikan minimal tingkat SLTA. Hanya saja, takdir berkata lain, ketika saya baru saja tamat Sekolah Dasar, ayah dipanggil oleh Allah SWT ke hadirat-Nya, sehingga beliau tidak menyaksikan semua anak-anaknya menyelesaikan SLTA, kecuali anak yang paling besar. Dengan ditinggal ayah, maka ibu tercinta (Rasimah Lubis) yang tidak tamat Sekolah Rendah, mengambil alih tanggung jawab mengasuh dan membimbing anak-anaknya. Ibunda yang memiliki semangat jihad yang kuat dalam membesarkan anak-anaknya ini berhasil menyaksikan dua orang anaknya menjadi sarjana dan dua orang lainnya menamatkan SLTA, satu orang memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP, dan yang paling kecil meninggal dunia saat masih empat tahun.

Meskipun hanya sebentar bersama ayah, tapi ada hal-hal yang sangat menginspirasi perjalanan pendidikan saya kemudian. Ayah ketika itu, secara tidak langsung, mengenalkan tokoh-tokoh modernis Muslim Indonesia. Cara yang dilakukannya ketika itu yaitu dengan memberi saya buku Serial Khutbah Jum’at dan meminta saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar untuk membacanya. Buku ini, di samping berisi khutbah serial bulanan, juga berisi artikel keislaman yang ditulis oleh tokoh-tokoh modernis Muslim Indonesia semisal Muhammad Natsir, Hamka, Endang Saifuddin Anshari, Nurcholish Madjid, dan lain-lain. Meskipun ketika itu saya benar-benar tidak paham wacana dalam buku dimaksud, tapi berhasil memotivasi diri saya untuk pada saatnya memahami dengan baik wacana pemikiran modernis Muslim di Indonesia.

Dengan dorongan demikian, saya berharap dapat melanjutkan pendidikan ke lembaga pendidikan Islam yang lebih bonafid di kota besar. Tapi apa daya, ibu saya hanya sanggup menyekolahkan anak-anaknya pada Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah yang dikelola oleh Muhammadiyah yang berjarak 3,5 km dari kampung. Praktis saya berjalan kaki selama enam tahun pulang pergi menuntut ilmu pada madrasah kebanggaan masyarakat di kampung kami tersebut. Selama enam tahun itu pula, saya harus menyediakan waktu untuk membantu ibu saya membantu pekerjaan di sawah dan di kebun karet. Alhamdulillah, pada 1991 saya lulus dari Madrasah Aliyah.

Ada pengalaman menarik saat di bangku Madrasah Aliyah. Pengalaman ini juga sangat mempengaruhi perkembangan intelektualku kemudian. Pada periode 1989-1991, saya diamanahkan menjadi Ketua Umum Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Dari organisasi pelajar ini saya mendapat pengalaman berharga dalam mengasah kepemimpinan, keorganisasian dan keintelektualan. Puncak pengalaman berharga itu adalah ketika tahun 1990, saya bersama Gusmizar Sitohang, Sekretaris Umum PC IPM yang kami pimpin saat itu mengikuti Musyawarah Wilayah (Musywil) Ikatan Pelajar Muhammadiyah di Padang. Sebagai pelajar yang datang dari kampung, kami merasa surprise, ternyata sebagian peserta Musywil itu adalah mahasiswa yang telah akrab dengan wacana intelektual Muslim modern Indonesia. Sebagaimana biasanya, kegiatan Musywil selalu dirangkai dengan sesi-sesi seminar ilmiah yang membahas tema-tema aktual sosial-politik dan keislaman pada saat itu. Tak pelak, momen Musywil ini begitu membekas bagi perkembangan dan pengembaraan intelektualku kemudian.

Dengan latar belakang pengalaman demikian, saya benar-benar percaya diri untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana. Ketika itu, saya berharap bisa melanjutkan pendidikan ke Kota Padang. Tapi apa boleh buat, keadaan ekonomi keluarga yang tidak mendukung, akhirnya saya mengikuti ajakan abang yang paling sulung ¾Syukron Nasution¾ untuk melanjutkan pendidikan pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara yang berlokasi di Padangsidimpuan. Abang meyakinkan bahwa ia akan membantu biaya perkuliahan dan mencarikan pekerjaan tambahan jika saya memilih kuliah di Padangsidimpuan.

Menjadi Mahasiswa

Sebelum berangkat ke Padangsidimpuan yang saat itu memerlukan waktu tempuh bus 12 jam dari kampung, ibu berpesan bahwa beliau hanya dapat mengirimkan beras dan sedikit uang lauk pauk setiap bulan. Sedangkan biaya kuliah, harus saya cari sendiri dengan bantuan abang yang sudah enam tahun tinggal di Padangsidimpuan. “Kalau sanggup dengan keadaan seperti itu, silakan kamu berangkat”, kata Mak (ibu) saya. Saya jawab, “Gak apa-apa Mak. Saya berangkat saja. Kalau pun akhirnya kuliah saya tidak selesai karena terbentur biaya, yang penting saya sudah pernah mengalami kuliah”. Alhamdulillah pada Juli 1991, diterima sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara yang berlokasi di Padangsidimpuan. Saya bangga dengan status sosial “mahasiswa” ini. Lebih membanggakan lagi, dari 18 orang angkatan saya pada Madrasah Aliyah hanya 3 orang yang melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.

Saat mengikuti perpeloncoan (saat itu nama kegiatannya disebut Masa Ta’aruf Mahasiswa, disingkat Matama), saya merasakan seperti pengulangan pengalaman saja. Hal ini karena ketika aktif di organisasi pelajar, kegiatan yang mirip polanya dengan Matama sudah pernah dilakukan. Begitu pula ketika memasuki perkuliahan pada semester I dan II, hanya mata kuliah tertentu yang saya rasakan membangun dan mencerahkan intelektualitas, yaitu Filsafat Pendidikan dan Ilmu Sosial Dasar yang diasuh oleh seorang dosen muda enerjik, Irwan Saleh Dalimunthe. Bahkan pada tingkat tertentu, wacana keislaman yang menantang ketika masih pelajar, justru rasanya tidak memiliki kelanjutan pada tahun pertama perkuliahan. Rasa kecewa terhadap atmosfir intelektualitas mulai muncul pada tahun pertama itu. Di tengah rasa kurang terpuaskan secara intelektual, saya menemukan iklim di luar kampus yang kemudian memotivasi untuk terus membangun pencerahan diri, yaitu berupa disukusi-diskusi lepas di luar perkuliahan dengan dosen muda dan mahasiswa-mahasiswa senior. Beberapa dosen muda saat itu yang melayani diskusi adalah Irwan Saleh Dalimunthe dan Nurmawati Lubis. Sementara di antara mahasiswa senior yang rajin melayani perdebatan adalah Samruddin Nasution, Anshori Nasution, Palit Dalimunthe, Dahlan Siregar dan Nahriyah Fata Harahap.

Bagi saya saat itu, dosen muda dan mahasiswa senior yang sebagian disebut namanya di atas adalah “guru” di luar kelas perkuliahan yang berperan memuaskan dahaga intelektual yang saya alami. Jujur, saya tertarik dengan pribadi-pribadi yang sebagian namanya tersebut di atas. Saya mencari tahu riwayat dan komunitas intelektual mereka. Ternyata mereka adalah alumni dan aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), suatu wadah berhimpun bagi intelektual muda yang belum saya kenal kiprahnya saat masih pelajar. Satu-satunya petunjuk yang membalikkan ingatan saya dengan nama HMI saat itu adalah Kalender Korps HMI Wati (Kohati) Cabang Padangsidimpuan yang  dipajang oleh abang saya di dinding rumah.

HMI sebagai Kampus Kedua

Praktis tahun pertama kuliah saya belum memutuskan untuk aktif di organisasi ekstra universiter, meskipun telah pernah “diprospek” oleh organisasi ekstra kampus lainnya. Namun sejak memasuki semester kedua, melalui perkenalan lebih jauh dengan dosen muda dan mahasiswa senior yang nota bene adalah alumni dan aktifis HMI, saya semakin tertarik kepada HMI. Secara agak subjektif saya melihat tipikal intelektualitas alumni dan aktifis HMI yang berbeda dengan yang lain. Di tambah lagi, saya semakin tertarik kepada HMI ketika membaca riwayat hidup yang ditulis pada karya beberapa tokoh yang saya sukai pemikirannya, ternyata mereka adalah mantan aktivis HMI. Di antara tokoh dimaksud adalah Nurcholish Madjid, Imaduddin Abdul Rahim, A.M. Saefuddin dan Azyumardi Azra. Akhirnya pada awal semester III saya memutuskan untuk mendaftarkan diri mengikuti Latihan Kader I (Basic Training).

LK I HMI bagi saya benar-benar memuaskan dahaga intelektual. Wacana keislaman yang pernah mengganggu pikiran saat masih pelajar, mendapat tindak lanjut pada forum LK I ini. Bahkan lebih dari itu, LK I ini telah menumbuhkan dorongan yang amat kuat bagi saya untuk mengembangkan kemampuan intelektual. Materi Nilai Identitas Kader atau Nilai Dasar Perjuangan dan Tafsir Independensi bagi saya betul-betul menggugah wawasan keislaman. Dampak yang muncul pasca LK-I, daya baca buku saya semakin hebat. Tidak saja itu, kami juga membiasakan diri berdebat ilmiah hingga larut malam. Pada masa-masa ini, HMI bagi saya memiliki derajat intelektual yang lebih tinggi dari kampus. Tak pelak, Indeks Prestasi saya pun benar-benar anjlok pada semester III dan IV hingga berada pada IP paling rendah di kelas.

 Pada 1994, saya berkesempatan mengikuti Latihan Kader II (Intermediate Training) di Padang. Suatu kesempatan yang telah lama saya harapkan. Pada forum LK II ini, saya merasa semakin tercerahkan. Semangat intelektual saya semakin hebat. Meskipun secara formal akademik, saya adalah mahasiswa prodi Pendidikan Agama Islam (PAI), tapi hemat saya HMI berhasil memberi saya kompetensi akademik di bidang filsafat dan pemikiran Islam. Kompetensi ini saya buktikan dengan menulis skripsi yang berbau filsafat ilmu yaitu tentang konsep integrasi keilmuan pada lembaga pendidikan Islam. Menurut kawan-kawan seangkatan saat itu, kajian skripsi seperti ini adalah suatu kajian yang sulit. Skripsi berbau filsafat ilmu ini berhasil mengantar saya meraih gelar Sarjana Agama (S.Ag.) pada 09 Mei 1996.

Pasca selesai dari pendidikan strata satu, saya ditantang untuk menjadi tenaga keagamaan pada desa binaan Fakultas Tarbiyah IAIN SU Padangsidimpuan. Informasi yang saya terima saat itu, teman-teman seangkatan menghindar untuk menjadi petugas desa binaan dimaksud. Alasannya karena jauh dari Padangsidimpuan dan masyarakatnya terdiri dari Muslim dan Kristen yang berimbang. Alhamdulillah berbekal pengalaman di HMI saya dapat beradaptasi dengan baik di tengah warga masyarakat yang plural. Bahkan saya berteman baik dengan seorang guru SMP yang beragama Kristen Protestan.

Diangkat sebagai Dosen PNS

Pada pertengahan 1997, berdasarkan informasi radio tentang penerimaan CPNS Departemen Agama, teman Kristiani ini mendorong saya segera pulang ke Padangsidimpuan dan menjatuhkan surat lamaran sebagai CPNS dosen pada almamater saya.  Alhamdulillah, pada Maret 1998 saya diangkat sebagai dosen PNS setelah satu tahun bekerja sebagai petugas desa binaan. Melihat kompetensi intelektual yang saya miliki, kampus memberi kepercayaan kepada saya mengasuh mata kuliah filsafat. Saya berusaha melaksanakan tugas sebagai dosen ini dengan baik sekaligus pula ditugaskan menjadi staf kemahasiswaan. Pada 2001 saya kembali melanjutkan pendidikan pada jenjang strata dua bersama-sama dengan istri Nur Azizah yang juga dosen pada perguruan tinggi yang sama. Untuk memantapkan kompetensi kefilsafatan, saya memilih prodi pemikiran Islam pada Program Pascasarjana IAIN SU Medan.

 

Kuliah Strata Dua

Pada akhir 2003, saya berhasil meraih gelar Master of Arts (M.A.) dalam bidang Pemikiran Islam dengan menulis tesis tentang filsafat etika dengan fokus kajian  perspektif Hamka tentang kebahagiaan. Meski terlambat, pendidikan strata dua makin memantapkan kompetensi kefilsafatan dan pemikiran Islam yang diperoleh ketika aktif di HMI. Secara substantif materi perkuliahan S.2 itu rasanya seperti pendalaman dan pengembangan saja dari wacana pemikiran dan keislaman yang pernah kami perdebatkan selama ber-HMI. Hemat saya, meskipun mungkin ini kebetulan saja, jika diukur kesinambungan keilmuan prodi S.1 Pendidikan Agama Islam dengan materi perkuliahan strata dua, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wacana keislaman HMI lebih bersinambung dengan materi S.2 Pemikiran Islam. Tentang kesinambungan dan kapasitas intelektual strata dua ini, saya teringat perkataan seorang senior ¾meskipun saya anggap sebagai seloroh, tapi dalam batas tertentu hemat saya ada benarnya¾ bahwa kata beliau alumni Intermediate Training (LK II) yang sunguh-sungguh melakukan pengembangan diri akan memiliki kapasitas yang sama dengan seorang sarjana strata dua. Kemudian lanjutnya, alumni Advance Training (LK III) yang bersungguh-sungguh dalam memfollow-up dirinya, maka ia akan memiliki kapasitas keilmuan strata tiga.

Ungkapan senior ini menurut saya tidaklah terlalu berlebihan. Hal mana karena pelatihan LK II menuntut pesertanya memiliki kemampuan berpikir sintesis sebagaimana kemampuan yang diharapkan dari alumni strata dua. Sementara pelatihan LK III ¾menurut para senior¾ menuntut kemampuan untuk merumuskan konsep, pemikiran bahkan teori baru yang dibutuhkan untuk implementasi misi kekhalifahan kader HMI. Dengan demikian, tampak bahwa tuntutan LK III berbanding sejajar dengan tuntutan strata tiga. Namun sedikit agak saya sayangkan, selama aktif di HMI, saya tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti latihan kepemimpinan tingkat pari purna (LK III) di “sekolah kader” HMI itu.

 

Meraih Gelar Doktor

Setelah tujuh tahun selesai dari pendidikan S.2, seorang alumni senior Prof. Dr. Dja’far Siddik, M.A., (wafat pada pertengahan tahun 2019) berpesan dengan serius bahwa saya harus melanjutkan pendidikan strata tiga. Kalau tidak, menurut beliau, dosen yang masih S.2 akan terus tertinggal dan semakin tidak dibutuhkan kiprahnya dalam pengembangan SDM perguruan tinggi. Apa yang dipesankan oleh beliau ini terbukti kebenarannya. Di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri terjadi perubahan kelembagaan dengan berbagai regulasi yang baru. Bab dan fasal tertentu regulasi dimaksud mengharuskan jenjang pendidikan tertentu untuk jabatan akademik dan jabatan tugas tambahan (pimpinan). Sebagai contoh, dosen yang masih bergelar S.2 tidak lagi memiliki peluang untuk mengusul ke jabatan guru besar. Begitu pula untuk jabatan pimpinan seperti Dekan dan Rektor.

Setelah purna tugas dari jabatan Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Padangsidimpuan (sekarang IAIN Padangsidimpuan) pada 2010, saya mohon izin kepada Ketua STAIN saat itu, Dr. Ibrahim Siregar, MCL untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang strata tiga. Beliau memberi izin belajar dengan tetap melaksanakan tugas sebagai dosen tetap. Agar tugas sebagai dosen tetap ini terlaksana dengan baik, maka saya memilih Program Doktor pada IAIN Imam Bonjol Padang (sekarang UIN Imam Bonjol Padang).

Belajar pada tingkat strata tiga tentu tidaklah mudah bagi orang seperti saya yang kala itu sudah berumur jelang 40 tahun. Namun setelah melihat kawan-kawan satu kelas, yang sebagian besar usianya lebih tua, maka percaya diri saya dalam belajar semakin mantap. Dari 16 orang kelas prodi Pendidikan Islam, ternyata saya adalah orang termuda keempat. Dengan demikian, ada 12 orang anggota kelas yang lebih tua dari saya.

Hingga tahun ketiga saya sangat bersemangat menyelesaikan studi S.3. bahkan saya berambisi sebagai orang pertama di kelas yang meraih gelar doktor. Untuk tujuan ini saya memulai langkah-langkah dan pada tahap awal, saya menjadi orang paling awal telah menyelesaikan tahap seminar judul proposal disertasi. Namun demikian, pada proses selanjutnya, saya terbentur dengan perubahan judul dan metodologi. Semula proposal disertasi yang saya tawarkan adalah penelitian kualitatif, tapi oleh salah seorang pembimbing II disertasi meminta saya untuk menggunakan metode penelitian pengembangan (Research & Development). Menurut penguji bersangkutan, judul yang saya tawarkan hanya dapat dilanjutkan dengan metode penelitian R&D dimaksud.

Perubahan metodologi ini benar-benar memukul semangatku menyelesaikan disertasi. Hal ini karena saat itu saya betul-betul buta dengan metodologi R&D ini. Sejak S.1 hingga S.3, saya tidak pernah mendapat penjelasan tentang metode penelitian pengembangan ini di dalam dan di luar kelas. Oleh karena itu, perubahan metodologi ini betul-betul pukulan telak bagi semangat juang saya untuk menjadi orang pertama meraih gelar doktor di kelas. Suatu waktu, saya mencoba membujuk pembimbing II agar dikembalikan lagi ke metodologi kualitatif. Hasilnya kandas. Pembimbing tetap pada pendirian bahwa jika metodologi ditukar, maka objek penelitian pun harus dirubah. Ini artinya saya harus kembali lagi dari nol. Perasaan saya saat itu benar-benar campur aduk. Dampaknya, urusan disertasi saya tinggalkan selama setahun penuh.

Awal tahun keempat di kampus, Direktur Pascasarjana mengundang seluruh mahasiswa yang belum merampungkan urusan disertasi. Alhamdulillah, semangat juang kembali muncul. Saya mencoba mencari tahu apa “barang” yang bernama R&D itu dari teman yang pernah menggunakan R&D ini dalam penelitiannya. Belum puas dengan penjelasan teman, selanjutnya saya berkali-kali menyambangi Perpustakaan Pascasarjana Universitas Negeri Padang untuk melihat beberapa disertasi yang menerapkan R&D dalam risetnya. Upaya ini kembali membangkitkan self confident pada diri saya untuk menyelesaikan disertasi. Meskipun berjalan lambat, dan harus rehat beberapa fase waktu karena gangguan kesehatan, penelitian disertasi yang bagi saya sangat rumit dan berliku ini berhasil diselesaikan. Berkat rahmat dan ridha Allah, riset R&D saya tentang model integrasi agama dan sains pada Madrasah Aliyah Negeri di Kota Padangsidimpuan ini berhasil dirampungkan pada 2017. Praktis saya menghabiskan waktu tujuh tahun dalam perjuangan meraih gelar doktor. Meski demikian, ternyata saya adalah orang kedua selesai dari kelas prodi S.3 Pendidikan Islam angkatan 2010 pada Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang.

 

Penutup Kata

Saya merasakan dan menyadari bahwa  institusi perguruan tinggi dan HMI sebagai “kampus kedua” telah bersinergi dengan amat strategis dalam membangun keunggulan kompetitif pada diri pribadi saya. Suatu keunggulan kompetitif yang menjadi cerminan kualitas insan cita HMI. Oleh karena itu, hemat saya, jika seorang kader HMI sungguh-sungguh memadukan spirit insan citanya dengan spirit akademik kampusnya, maka para kader akan tumbuh menjadi SDM unggul yang akan selalu dibutuhkan oleh umat dan bangsa. Wallahu a’lam.

_____________________________________

Gambar : Penulis bersama keluarga tercinta pada Idul Adha 1441 H/31 Juli 2020

    

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Inspiratif sekali. Tapi sayang pas cerita perjuangan 7 tahun menggapai Doktornya terlalu pendek dan kurang dramatis. hehehe

    Monggo mampir https://habibi.iain-padangsidimpuan.ac.id/?m=1

    BalasHapus
  3. 7 tahun yg habiskan umur. Malu-maluin generasi. Hihihi

    BalasHapus