ASA
MERAIH KUALITAS INSAN CITA:
Catatan
Pengalaman Pribadi Meraih Gelar Doktor
Oleh: Dr.
Anhar Nasution, M.A.
Email:
anhar_nasution@iain-padangsidimpuan.ac.id
Saya anak keempat dari enam
bersaudara yang lahir dari keluarga petani kecil di suatu kampung di Pasaman
Barat, Sumatera Barat pada 14 Desember 1971. Ayah, Taudin Nasution yang hanya
mengenyam pendidikan sampai kelas V pesantren, adalah seorang yang tegas dan
keras dalam mengawal ibadah dan pendidikan anak-anaknya. Ayah tidak segan
memukul anak-anaknya menggunakan tangkai sapu rumah jika ketahuan meninggalkan
shalat atau bolos dari sekolah. Bagi ayah ketika itu, anak-anaknya harus
menyelesaikan pendidikan minimal tingkat SLTA. Hanya saja, takdir berkata lain,
ketika saya baru saja tamat Sekolah Dasar, ayah dipanggil oleh Allah SWT ke
hadirat-Nya, sehingga beliau tidak menyaksikan semua anak-anaknya menyelesaikan
SLTA, kecuali anak yang paling besar. Dengan ditinggal ayah, maka ibu tercinta
(Rasimah Lubis) yang tidak tamat Sekolah Rendah, mengambil alih tanggung jawab mengasuh
dan membimbing anak-anaknya. Ibunda yang memiliki semangat jihad yang kuat
dalam membesarkan anak-anaknya ini berhasil menyaksikan dua orang anaknya
menjadi sarjana dan dua orang lainnya menamatkan SLTA, satu orang memilih untuk
tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP, dan yang paling kecil meninggal
dunia saat masih empat tahun.
Meskipun hanya sebentar bersama ayah,
tapi ada hal-hal yang sangat menginspirasi perjalanan pendidikan saya kemudian.
Ayah ketika itu, secara tidak langsung, mengenalkan tokoh-tokoh modernis Muslim
Indonesia. Cara yang dilakukannya ketika itu yaitu dengan memberi saya buku
Serial Khutbah Jum’at dan meminta saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar
untuk membacanya. Buku ini, di samping berisi khutbah serial bulanan, juga
berisi artikel keislaman yang ditulis oleh tokoh-tokoh modernis Muslim
Indonesia semisal Muhammad Natsir, Hamka, Endang Saifuddin Anshari, Nurcholish
Madjid, dan lain-lain. Meskipun ketika itu saya benar-benar tidak paham wacana
dalam buku dimaksud, tapi berhasil memotivasi diri saya untuk pada saatnya
memahami dengan baik wacana pemikiran modernis Muslim di Indonesia.
Dengan dorongan demikian, saya
berharap dapat melanjutkan pendidikan ke lembaga pendidikan Islam yang lebih
bonafid di kota besar. Tapi apa daya, ibu saya hanya sanggup menyekolahkan
anak-anaknya pada Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah yang dikelola oleh
Muhammadiyah yang berjarak 3,5 km dari kampung. Praktis saya berjalan kaki
selama enam tahun pulang pergi menuntut ilmu pada madrasah kebanggaan
masyarakat di kampung kami tersebut. Selama enam tahun itu pula, saya harus
menyediakan waktu untuk membantu ibu saya membantu pekerjaan di sawah dan di
kebun karet. Alhamdulillah, pada 1991 saya lulus dari Madrasah Aliyah.
Ada pengalaman menarik saat di bangku
Madrasah Aliyah. Pengalaman ini juga sangat mempengaruhi perkembangan
intelektualku kemudian. Pada periode 1989-1991, saya diamanahkan menjadi Ketua
Umum Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Dari organisasi pelajar ini
saya mendapat pengalaman berharga dalam mengasah kepemimpinan, keorganisasian
dan keintelektualan. Puncak pengalaman berharga itu adalah ketika tahun 1990,
saya bersama Gusmizar Sitohang, Sekretaris Umum PC IPM yang kami pimpin saat
itu mengikuti Musyawarah Wilayah (Musywil) Ikatan Pelajar Muhammadiyah di
Padang. Sebagai pelajar yang datang dari kampung, kami merasa surprise,
ternyata sebagian peserta Musywil itu adalah mahasiswa yang telah akrab dengan
wacana intelektual Muslim modern Indonesia. Sebagaimana biasanya, kegiatan
Musywil selalu dirangkai dengan sesi-sesi seminar ilmiah yang membahas
tema-tema aktual sosial-politik dan keislaman pada saat itu. Tak pelak, momen
Musywil ini begitu membekas bagi perkembangan dan pengembaraan intelektualku
kemudian.
Dengan latar belakang pengalaman
demikian, saya benar-benar percaya diri untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
sarjana. Ketika itu, saya berharap bisa melanjutkan pendidikan ke Kota Padang.
Tapi apa boleh buat, keadaan ekonomi keluarga yang tidak mendukung, akhirnya
saya mengikuti ajakan abang yang paling sulung ¾Syukron Nasution¾ untuk melanjutkan pendidikan pada
Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara yang berlokasi di Padangsidimpuan. Abang
meyakinkan bahwa ia akan membantu biaya perkuliahan dan mencarikan pekerjaan tambahan
jika saya memilih kuliah di Padangsidimpuan.
Menjadi Mahasiswa
Sebelum
berangkat ke Padangsidimpuan yang saat itu memerlukan waktu tempuh bus 12 jam
dari kampung, ibu berpesan bahwa beliau hanya dapat mengirimkan beras dan
sedikit uang lauk pauk setiap bulan. Sedangkan biaya kuliah, harus saya cari sendiri
dengan bantuan abang yang sudah enam tahun tinggal di Padangsidimpuan. “Kalau
sanggup dengan keadaan seperti itu, silakan kamu berangkat”, kata Mak (ibu)
saya. Saya jawab, “Gak apa-apa Mak. Saya berangkat saja. Kalau pun akhirnya
kuliah saya tidak selesai karena terbentur biaya, yang penting saya sudah
pernah mengalami kuliah”. Alhamdulillah pada Juli 1991, diterima sebagai
mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara yang berlokasi di
Padangsidimpuan. Saya bangga dengan status sosial “mahasiswa” ini. Lebih
membanggakan lagi, dari 18 orang angkatan saya pada Madrasah Aliyah hanya 3
orang yang melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Saat mengikuti perpeloncoan (saat itu
nama kegiatannya disebut Masa Ta’aruf Mahasiswa, disingkat Matama), saya
merasakan seperti pengulangan pengalaman saja. Hal ini karena ketika aktif di
organisasi pelajar, kegiatan yang mirip polanya dengan Matama sudah pernah
dilakukan. Begitu pula ketika memasuki perkuliahan pada semester I dan II,
hanya mata kuliah tertentu yang saya rasakan membangun dan mencerahkan
intelektualitas, yaitu Filsafat Pendidikan dan Ilmu Sosial Dasar yang diasuh
oleh seorang dosen muda enerjik, Irwan Saleh Dalimunthe. Bahkan pada tingkat
tertentu, wacana keislaman yang menantang ketika masih pelajar, justru rasanya tidak
memiliki kelanjutan pada tahun pertama perkuliahan. Rasa kecewa terhadap atmosfir
intelektualitas mulai muncul pada tahun pertama itu. Di tengah rasa kurang
terpuaskan secara intelektual, saya menemukan iklim di luar kampus yang
kemudian memotivasi untuk terus membangun pencerahan diri, yaitu berupa
disukusi-diskusi lepas di luar perkuliahan dengan dosen muda dan mahasiswa-mahasiswa
senior. Beberapa dosen muda saat itu yang melayani diskusi adalah Irwan Saleh
Dalimunthe dan Nurmawati Lubis. Sementara di antara mahasiswa senior yang rajin
melayani perdebatan adalah Samruddin Nasution, Anshori Nasution, Palit
Dalimunthe, Dahlan Siregar dan Nahriyah Fata Harahap.
Bagi saya saat itu, dosen muda dan
mahasiswa senior yang sebagian disebut namanya di atas adalah “guru” di luar
kelas perkuliahan yang berperan memuaskan dahaga intelektual yang saya alami. Jujur,
saya tertarik dengan pribadi-pribadi yang sebagian namanya tersebut di atas.
Saya mencari tahu riwayat dan komunitas intelektual mereka. Ternyata mereka
adalah alumni dan aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), suatu wadah berhimpun
bagi intelektual muda yang belum saya kenal kiprahnya saat masih pelajar.
Satu-satunya petunjuk yang membalikkan ingatan saya dengan nama HMI saat itu
adalah Kalender Korps HMI Wati (Kohati) Cabang Padangsidimpuan yang dipajang oleh abang saya di dinding rumah.
HMI sebagai Kampus
Kedua
Praktis
tahun pertama kuliah saya belum memutuskan untuk aktif di organisasi ekstra
universiter, meskipun telah pernah “diprospek” oleh organisasi ekstra kampus
lainnya. Namun sejak memasuki semester kedua, melalui perkenalan lebih jauh dengan
dosen muda dan mahasiswa senior yang nota bene adalah alumni dan aktifis
HMI, saya semakin tertarik kepada HMI. Secara agak subjektif saya melihat
tipikal intelektualitas alumni dan aktifis HMI yang berbeda dengan yang lain.
Di tambah lagi, saya semakin tertarik kepada HMI ketika membaca riwayat hidup yang
ditulis pada karya beberapa tokoh yang saya sukai pemikirannya, ternyata mereka
adalah mantan aktivis HMI. Di antara tokoh dimaksud adalah Nurcholish Madjid,
Imaduddin Abdul Rahim, A.M. Saefuddin dan Azyumardi Azra. Akhirnya pada awal
semester III saya memutuskan untuk mendaftarkan diri mengikuti Latihan Kader I
(Basic Training).
LK I HMI bagi saya benar-benar
memuaskan dahaga intelektual. Wacana keislaman yang pernah mengganggu pikiran
saat masih pelajar, mendapat tindak lanjut pada forum LK I ini. Bahkan lebih
dari itu, LK I ini telah menumbuhkan dorongan yang amat kuat bagi saya untuk
mengembangkan kemampuan intelektual. Materi Nilai Identitas Kader atau Nilai
Dasar Perjuangan dan Tafsir Independensi bagi saya betul-betul menggugah
wawasan keislaman. Dampak yang muncul pasca LK-I, daya baca buku saya semakin
hebat. Tidak saja itu, kami juga membiasakan diri berdebat ilmiah hingga larut
malam. Pada masa-masa ini, HMI bagi saya memiliki derajat intelektual yang
lebih tinggi dari kampus. Tak pelak, Indeks Prestasi saya pun benar-benar anjlok
pada semester III dan IV hingga berada pada IP paling rendah di kelas.
Pada 1994, saya berkesempatan mengikuti
Latihan Kader II (Intermediate Training) di Padang. Suatu kesempatan
yang telah lama saya harapkan. Pada forum LK II ini, saya merasa semakin
tercerahkan. Semangat intelektual saya semakin hebat. Meskipun secara formal
akademik, saya adalah mahasiswa prodi Pendidikan Agama Islam (PAI), tapi hemat
saya HMI berhasil memberi saya kompetensi akademik di bidang filsafat dan
pemikiran Islam. Kompetensi ini saya buktikan dengan menulis skripsi yang
berbau filsafat ilmu yaitu tentang konsep integrasi keilmuan pada lembaga
pendidikan Islam. Menurut kawan-kawan seangkatan saat itu, kajian skripsi
seperti ini adalah suatu kajian yang sulit. Skripsi berbau filsafat ilmu ini
berhasil mengantar saya meraih gelar Sarjana Agama (S.Ag.) pada 09 Mei 1996.
Pasca selesai dari pendidikan strata
satu, saya ditantang untuk menjadi tenaga keagamaan pada desa binaan Fakultas
Tarbiyah IAIN SU Padangsidimpuan. Informasi yang saya terima saat itu,
teman-teman seangkatan menghindar untuk menjadi petugas desa binaan dimaksud. Alasannya
karena jauh dari Padangsidimpuan dan masyarakatnya terdiri dari Muslim dan
Kristen yang berimbang. Alhamdulillah berbekal pengalaman di HMI saya dapat
beradaptasi dengan baik di tengah warga masyarakat yang plural. Bahkan saya
berteman baik dengan seorang guru SMP yang beragama Kristen Protestan.
Diangkat sebagai
Dosen PNS
Pada
pertengahan 1997, berdasarkan informasi radio tentang penerimaan CPNS
Departemen Agama, teman Kristiani ini mendorong saya segera pulang ke
Padangsidimpuan dan menjatuhkan surat lamaran sebagai CPNS dosen pada almamater
saya. Alhamdulillah, pada Maret 1998
saya diangkat sebagai dosen PNS setelah satu tahun bekerja sebagai petugas desa
binaan. Melihat kompetensi intelektual yang saya miliki, kampus memberi
kepercayaan kepada saya mengasuh mata kuliah filsafat. Saya berusaha
melaksanakan tugas sebagai dosen ini dengan baik sekaligus pula ditugaskan
menjadi staf kemahasiswaan. Pada 2001 saya kembali melanjutkan pendidikan pada
jenjang strata dua bersama-sama dengan istri Nur Azizah yang juga dosen pada
perguruan tinggi yang sama. Untuk memantapkan kompetensi kefilsafatan, saya
memilih prodi pemikiran Islam pada Program Pascasarjana IAIN SU Medan.
Kuliah Strata Dua
Pada
akhir 2003, saya berhasil meraih gelar Master of Arts (M.A.) dalam bidang
Pemikiran Islam dengan menulis tesis tentang filsafat etika dengan fokus
kajian perspektif Hamka tentang
kebahagiaan. Meski terlambat, pendidikan strata dua makin memantapkan
kompetensi kefilsafatan dan pemikiran Islam yang diperoleh ketika aktif di HMI.
Secara substantif materi perkuliahan S.2 itu rasanya seperti pendalaman dan
pengembangan saja dari wacana pemikiran dan keislaman yang pernah kami perdebatkan
selama ber-HMI. Hemat saya, meskipun mungkin ini kebetulan saja, jika diukur
kesinambungan keilmuan prodi S.1 Pendidikan Agama Islam dengan materi
perkuliahan strata dua, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wacana
keislaman HMI lebih bersinambung dengan materi S.2 Pemikiran Islam. Tentang
kesinambungan dan kapasitas intelektual strata dua ini, saya teringat perkataan
seorang senior ¾meskipun saya anggap sebagai seloroh, tapi dalam batas
tertentu hemat saya ada benarnya¾ bahwa kata beliau alumni Intermediate
Training (LK II) yang sunguh-sungguh melakukan pengembangan diri akan
memiliki kapasitas yang sama dengan seorang sarjana strata dua. Kemudian
lanjutnya, alumni Advance Training (LK III) yang bersungguh-sungguh
dalam memfollow-up dirinya, maka ia akan memiliki kapasitas keilmuan
strata tiga.
Ungkapan
senior ini menurut saya tidaklah terlalu berlebihan. Hal mana karena pelatihan
LK II menuntut pesertanya memiliki kemampuan berpikir sintesis sebagaimana
kemampuan yang diharapkan dari alumni strata dua. Sementara pelatihan LK III ¾menurut para senior¾ menuntut kemampuan untuk merumuskan
konsep, pemikiran bahkan teori baru yang dibutuhkan untuk implementasi misi
kekhalifahan kader HMI. Dengan demikian, tampak bahwa tuntutan LK III
berbanding sejajar dengan tuntutan strata tiga. Namun sedikit agak saya
sayangkan, selama aktif di HMI, saya tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti
latihan kepemimpinan tingkat pari purna (LK III) di “sekolah kader” HMI itu.
Meraih Gelar Doktor
Setelah
tujuh tahun selesai dari pendidikan S.2, seorang alumni senior Prof. Dr.
Dja’far Siddik, M.A., (wafat pada pertengahan tahun 2019) berpesan dengan
serius bahwa saya harus melanjutkan pendidikan strata tiga. Kalau tidak,
menurut beliau, dosen yang masih S.2 akan terus tertinggal dan semakin tidak
dibutuhkan kiprahnya dalam pengembangan SDM perguruan tinggi. Apa yang
dipesankan oleh beliau ini terbukti kebenarannya. Di lingkungan Perguruan
Tinggi Keagamaan Negeri terjadi perubahan kelembagaan dengan berbagai regulasi
yang baru. Bab dan fasal tertentu regulasi dimaksud mengharuskan jenjang
pendidikan tertentu untuk jabatan akademik dan jabatan tugas tambahan
(pimpinan). Sebagai contoh, dosen yang masih bergelar S.2 tidak lagi memiliki
peluang untuk mengusul ke jabatan guru besar. Begitu pula untuk jabatan
pimpinan seperti Dekan dan Rektor.
Setelah purna tugas dari jabatan
Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Padangsidimpuan (sekarang IAIN Padangsidimpuan) pada 2010, saya mohon izin
kepada Ketua STAIN saat itu, Dr. Ibrahim Siregar, MCL untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang strata tiga. Beliau memberi izin belajar dengan tetap
melaksanakan tugas sebagai dosen tetap. Agar tugas sebagai dosen tetap ini terlaksana
dengan baik, maka saya memilih Program Doktor pada IAIN Imam Bonjol Padang
(sekarang UIN Imam Bonjol Padang).
Belajar pada tingkat strata tiga
tentu tidaklah mudah bagi orang seperti saya yang kala itu sudah berumur jelang
40 tahun. Namun setelah melihat kawan-kawan satu kelas, yang sebagian besar
usianya lebih tua, maka percaya diri saya dalam belajar semakin mantap. Dari 16
orang kelas prodi Pendidikan Islam, ternyata saya adalah orang termuda keempat.
Dengan demikian, ada 12 orang anggota kelas yang lebih tua dari saya.
Hingga tahun ketiga saya sangat
bersemangat menyelesaikan studi S.3. bahkan saya berambisi sebagai orang
pertama di kelas yang meraih gelar doktor. Untuk tujuan ini saya memulai
langkah-langkah dan pada tahap awal, saya menjadi orang paling awal telah
menyelesaikan tahap seminar judul proposal disertasi. Namun demikian, pada
proses selanjutnya, saya terbentur dengan perubahan judul dan metodologi.
Semula proposal disertasi yang saya tawarkan adalah penelitian kualitatif, tapi
oleh salah seorang pembimbing II disertasi meminta saya untuk menggunakan
metode penelitian pengembangan (Research & Development). Menurut
penguji bersangkutan, judul yang saya tawarkan hanya dapat dilanjutkan dengan
metode penelitian R&D dimaksud.
Perubahan metodologi ini benar-benar
memukul semangatku menyelesaikan disertasi. Hal ini karena saat itu saya
betul-betul buta dengan metodologi R&D ini. Sejak S.1 hingga S.3, saya
tidak pernah mendapat penjelasan tentang metode penelitian pengembangan ini di
dalam dan di luar kelas. Oleh karena itu, perubahan metodologi ini betul-betul
pukulan telak bagi semangat juang saya untuk menjadi orang pertama meraih gelar
doktor di kelas. Suatu waktu, saya mencoba membujuk pembimbing II agar
dikembalikan lagi ke metodologi kualitatif. Hasilnya kandas. Pembimbing tetap
pada pendirian bahwa jika metodologi ditukar, maka objek penelitian pun harus
dirubah. Ini artinya saya harus kembali lagi dari nol. Perasaan saya saat itu
benar-benar campur aduk. Dampaknya, urusan disertasi saya tinggalkan selama
setahun penuh.
Awal tahun keempat di kampus,
Direktur Pascasarjana mengundang seluruh mahasiswa yang belum merampungkan
urusan disertasi. Alhamdulillah, semangat juang kembali muncul. Saya mencoba
mencari tahu apa “barang” yang bernama R&D itu dari teman yang pernah
menggunakan R&D ini dalam penelitiannya. Belum puas dengan penjelasan
teman, selanjutnya saya berkali-kali menyambangi Perpustakaan Pascasarjana
Universitas Negeri Padang untuk melihat beberapa disertasi yang menerapkan
R&D dalam risetnya. Upaya ini kembali membangkitkan self confident pada
diri saya untuk menyelesaikan disertasi. Meskipun berjalan lambat, dan harus
rehat beberapa fase waktu karena gangguan kesehatan, penelitian disertasi yang
bagi saya sangat rumit dan berliku ini berhasil diselesaikan. Berkat rahmat dan
ridha Allah, riset R&D saya tentang model integrasi agama dan sains pada
Madrasah Aliyah Negeri di Kota Padangsidimpuan ini berhasil dirampungkan pada
2017. Praktis saya menghabiskan waktu tujuh tahun dalam perjuangan meraih gelar
doktor. Meski demikian, ternyata saya adalah orang kedua selesai dari kelas
prodi S.3 Pendidikan Islam angkatan 2010 pada Pascasarjana UIN Imam Bonjol
Padang.
Penutup Kata
Saya merasakan dan menyadari bahwa institusi perguruan tinggi dan HMI sebagai “kampus kedua” telah bersinergi dengan amat strategis dalam membangun keunggulan kompetitif pada diri pribadi saya. Suatu keunggulan kompetitif yang menjadi cerminan kualitas insan cita HMI. Oleh karena itu, hemat saya, jika seorang kader HMI sungguh-sungguh memadukan spirit insan citanya dengan spirit akademik kampusnya, maka para kader akan tumbuh menjadi SDM unggul yang akan selalu dibutuhkan oleh umat dan bangsa. Wallahu a’lam.
_____________________________________
Gambar : Penulis bersama keluarga tercinta pada Idul Adha 1441 H/31 Juli 2020
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusInspiratif sekali. Tapi sayang pas cerita perjuangan 7 tahun menggapai Doktornya terlalu pendek dan kurang dramatis. hehehe
BalasHapusMonggo mampir https://habibi.iain-padangsidimpuan.ac.id/?m=1
7 tahun yg habiskan umur. Malu-maluin generasi. Hihihi
BalasHapus