Dalam dunia ilmiah yang dipimpin oleh Barat ---terutama oleh Amerika--- saat ini, intelektual Muslim tidak saja mewarisi metodologi dan produk ilmunya, tapi juga asumsi-asumsi filosofisnya. Asumsi-asumsi filosofis itu pada hakikatnya bukan bagian dari apa yang disebut ilmiah. Mengapa? Karena asumsi-asumsi filosofis itu tidak dapat diukur dan dibuktikan. Hanya saja, oleh Barat dipandang sebagai kebenaran. Harus diakui, tanpa asumsi-asumsi filosofis semacam itu, maka apa yang disebut dengan dunia ilmiah tentu tidak akan terbangun. Istilah lain yang hemat saya cocok untuk sebutan bagi asumsi-asumsi filosofis itu adalah akidah ilmiah.
Syirikisme dalam Akidah Ilmiah Barat
Pandangan berbau syirik dalam akidah ilmiah (asumsi filosofis ilmu) Barat di antaranya, pertama, manusia dan alam semesta sebagai objek ilmu bukanlah ciptaan Tuhan, tapi terjadi secara evolutif. Alam semesta dimulai dari big bang, sementara manusia berasal dari evolusi panjang binatang yang berujung pada kera dan akhirnya menjadi manusia. Kedua, yang ilmiah (ilmu yang benar) hanyalah yang indrawi, faktual atau dapat diukur dan dibuktikan oleh alat indera manusia. Sementara informasi keilmuan yang tidak dapat dibuktikan oleh alat indera manusia, maka tidak dipandang sebagai kebenaran. Akibatnya, dengan perspektif seperti ini, wahyu ilahi tidak boleh masuk ke dalam dunia ilmiah karena banyak informasinya tidak dapat dibuktikan dan diuji secara ilmiah. Ketiga, manusia dan alam sebagai objek ilmu tidak lebih dari makhluk mekanik. Jadi tak obahnya seperti mesin. Manusia dan alam bekerja menurut hukum-hukum mekanis yang dapat dengan mudah dipelajari. Dengan demikian, tidak perlu mempelajari aspek metafisik pada alam semesta dan aspek psiko-spiritual manusia.
Demikianlah beberapa asumsi filosofis dalam dunia ilmiah Barat yang terwariskan kepada kaum intelektual Muslim di negeri ini. Akibatnya, ketika ada ilmuan yang membawa perspektif keislaman dalam kajian ilmiah, maka dengan cepat sebagian saintis kita di negeri ini menyebutkan sebagai deskripsi yang tidak ilmiah. Mereka yang menolak perspektif keislaman itu sebenarnya telah terjebak dalam syirikisme ilmiah Barat.
Keharusaan Keragaman Asumsi Filosofis dalam Dunia Ilmiah
Semestinya, asumsi filosofis dunia ilmiah itu beragam. Pemaksaan kepada suatu asumsi filosofis tertentu sesungguhnya bertentangan dengan semangat pencarian kebenaran dalam dunia ilmu pengetahuan, karena akan terjadi stagnasi dalam pengembangan ilmu. Oleh karena itu, Barat dan siapa pun semestinya harus bersikap demokratis dalam pengembangan ilmu. Ilmu tidak boleh dibiarkan berkembang hanya dilandasi oleh satu paradigma ilmiah tertentu.
Memang belakangan telah terjadi perkembangan paradigma keilmuan di Barat yang didasari asumsi-asumsi filosofis yang berbeda dengan yang diyakini oleh kaum positivistik. Para penyokong gerakan ini menyebutnya sebagai paradigma pos-positivisme. Kemunculan paradigma semacam ini sebagai kritik dan anti tesa terhadap dominasi paradigma positivisme dalam dunia ilmiah. Di antara bentuk pos-positivisme ini misalnya muncul teori relativitas Einstein, filsafat fenomenologi, aliran psikologi humanistik, dan sebagainya. Hanya saja, dalam sains, paradigma positivisme tampaknya sangat dominan menguasai benak ilmuan Muslim di Negeri ini. Di sisi lain, paradigma pos positivisme tidak kompatibel dengan keislaman kaum Muslim. Oleh karena itu tidak ada jalan lain, kecuali intelektual umat ini mengkonstruk paradigma keilmuan baru sebagai turunan dari Qur`an dan Sunnah. Paradigma itulah yang kita sebut dengan paradigma tauhidik. Paradigma tauhidik ini diharapkan dapat membersihkan akidah ilmiah umat Islam. Allahu Akbar. Entah kapan paradigma tauhidik (paradigma islami) ini benar-benar melandasi pengembangan keilmuan kita.***
Gambar: Menghadiri Rapat Kerja Perencanaan Kegiatan dan Anggaran T.A. 2021 IAIN Padangsidimpuan 22/09/2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar