Terinsafi dengan jelas bahwa dalam relung hati, jiwa dan pikiran pembawa dan ulama-ulama Muhammadiyah terdahulu adanya watak dan semangat yang kuat untuk menghadirkan pemahaman dan pengamalan agama terbaik (ahsanu fahma wa ahsanu ‘amala). Setelah diperoleh pemahaman agama terbaik melalui proses Tarjih dan Tajdid lalu kemudian ditanfidzkan, maka selanjutnya mereka memesankan yang secara hakiki bermakna agar warga Muhammadiyah jangan sampai jatuh kepada absolutisme pemahaman agama (taqdis al-afkar ad-diniy), yakni sikap angkuh/sombong dalam beragama, suatu sikap yang memandang hanya Muhammadiyah yang benar.
*******
Di tengah perbedaan pemahaman agama dengan umat Islam lainnya di Indonesia, Muhammadiyah memelihara semangat fastabiqul khairat, yaitu semangat berlomba-lomba untuk menjadi golongan atau individu terbaik dalam menjalankan agama. Semangat fastabiqul khairat ini sesungguhnya juga menjadi nafas dan semangat tarjih dan tajdid. Sikap “berlomba-lomba dalam kebaikan” ini justru dituntut oleh Allah SWT kepada hamba-hambanya. Dalam perbedaan pemahaman dan pengamalan agama dimaksud, bahkan lebih jauh perbedaan agama, Allah berkehendak menguji umat manusia siapa yang paling baik amalnya di antara mereka (liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala). Oleh karena itu kaum beriman dituntut ber-fastabiqul khairat dalam memahami dan menjalankan agama sepanjang hayatnya. (Lihat QS Surat Al-Maidah ayat 48).
Semangat fastabiqul khairat ini tampak sekali terpelihara dengan baik dalam jiwa pemahaman dan pemikiran serta perilaku keagamaan The Founding Fathers dan para ulama Muhammadiyah terdahulu. Mereka menuntunkan pemahaman agama dalam semangat fastabiqul khairat. Semangat ini tercermin dengan jelas dalam tuntunan-tuntunan keagamaan dan organisasi yang mereka wariskan. Sebagai contoh, dalam konteks Tarjih mereka menuntunkan demikian:
Keputusan Majelis Tarjih mulai dari merundingkan sampai kepada menetapkan, tidak ada sifat perlawanan, yakni menentang atau menjatuhkan segala yang tidak dipilih oleh Tarjih itu. Penyelidikan dan pertimbangan dengan berdalil Al-Qur`an dan Hadits, itulah putusan Majelis Tarjih yang dapat mempersatukan dan menjaga Muhammadiyah daripada kemasukan perselisihan yang mesti dilenyapkan. Malah kami berseru juga kepada sekalian ‘ulama, supaya suka membahas pula, akan kebenaran Majelis Tarjih itu, dimana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat dalilnya diharap supaya diajukan, syukur kalau dapat memberikan dalilnya yang lebih tepat dan terang, yang nanti akan dipertimbangkan pula, diulangi penyelidikannya, kemudian kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan. Sebab waktu mentarjihkan itu ialah menurut sekedar pengertian dan kekuatan kita, pada waktu itu. (Lihat “Penerangan Tentang Hal Tarjih” Nukilan dari Suara Muhammadiyah No. 6/1355 (1936) muka 145 dalam Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1432/2011, h. 382).
Tuntunan ini dikeluarkan sebagai respon terhadap sebagian warga Muhammadiyah yang pada masa itu berpandangan bahwa pemahaman agama yang benar hanyalah yang diputuskan oleh Majelis Tarjih. Sementara pemahaman agama di luar keputusan Tarjih tidak benar. Dalam konteks ini, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengingatkan bahwa keputusan Majelis Tarjih tidaklah untuk menentang, apa lagi menjatuhkan pemahaman agama yang tidak dipilih oleh Majelis Tarjih.
Selanjutnya, konsisten dengan tuntunan di atas, yang merupakan pengukuhan terhadap sikap dan semangat keagamaan yang terbuka dan lapang, maka pada masa kepemimpinan K.H. Mas Mansur dirumuskan langkah Muhammadiyah 1938-1940 yang secara formal dinyatakan sebagai “12 Langkah Muhammadiyah”. Salah satu langkah dimaksud (langkah ke-2) yaitu “Memperluas Faham Agama”. Langkah ke-2 ini memberi makna bahwa pemahaman agama Muhammadiyah adalah pemahaman agama yang lapang, terbuka dan tidak fanatik buta. Ditegaskan dalam langkah ke-2 ini, dengan mengutip hadits, bahwa agama itu lapang, dan tidak ada orang yang bersempit-kaku dalam beragama, melainkan sikap sempit-kakunya itu sendiri yang membuat dia susah dan repot dalam mengamalkan agama.
Lebih lanjut, tuntunan di atas koherean atau sejalan dengan rumusan tentang al-Qiyas dalam Kitab al-Masa`il al-Khams (Kitab Masalah Lima):
…wa ma’a al-’ilmi anna ayya qararin yuttakhadzu, innama huwa tarjihun baina al-ara`i al-ma’rudhati duna ibthali ayyi ra`yin mukhalifin. (... dan dengan MENGINSYAFI bahwa tiap-tiap keputusan yang diambil olehnya itu hanya sekedar mentarjihkan di antara pendapat-pendapat yang ada, tidak berarti menyalahkan pendapat yang lain.) (Lihat bab Kitab Masalah Lima dalam Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1432/2011).
Terinsafi dengan jelas bahwa dalam relung hati, jiwa dan pikiran pembawa dan ulama-ulama Muhammadiyah terdahulu adanya watak dan semangat yang kuat untuk menghadirkan pemahaman dan pengamalan agama terbaik (ahsanu fahma wa ahsanu ‘amala). Setelah diperoleh pemahaman agama terbaik melalui proses Tarjih dan dan Tajdid lalu kemudian ditanfidzkan, maka selanjutnya mereka memesankan yang secara hakiki bermakna agar warga Muhammadiyah jangan sampai jatuh kepada absolutisme pemahaman agama (taqdis al-afkar ad-diniy), yakni sikap angkuh/sombong dalam beragama, suatu sikap yang memandang hanya Muhammadiyah yang benar.
Berpijak kepada penjelasan di atas, maka dapat dimengerti bahwa Muhammadiyah sesungguhnya membimbing warga Muhammadiyah dan ummat Islam agar ber-fastabiqul khairat dalam beragama. Ruh fastabiqul khairat ini, tentu saja adalah keterbukaan, kelapangan, kemajuan dan dinamisasi dalam memahami dan mengamalkan agama.
Penting digarisbawahi bahwa Islam yang digerakkan Muhammadiyah adalah Islam yang sadzajah, Islam yang lugu, apa adanya, Islam yang menurut Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Saw, dan menjalankannya dengan menggunakan akal pikiran yang sesuai ruh Islam. (Lihat penjelasan Kepribadian Muhammadiyah dalam buku Manhaj Gerakan Muhammadiyah, h. 48). Islam yang demikian ini adalah Islam yang hanifiyyatus samhah (lurus dan lapang), alami, natural, sebagaimana Islam dalam perspektif pokok Nabi Saw dan para shabat beliau.
Jiwa Keagamaan Muhammadiyah v.s. Paradigma Sunnah-Bid’ah
Jiwa keagamaan Muhammadiyah, sebagaimana dengan singkat ditunjukkan di atas adalah jiwa keagamaan yang tawadhu’ (rendah hati), tasamuh (lapang/toleran), dan tawassuth (wasathiyah/moderat). Jiwa keagamaan seperti inilah yang telah tumbuh dan berkembang dalam jiwa pendiri dan ulama Muhammadiyah masa lalu dan tetap terwariskan hingga kini. Jiwa keagamaan Muhammadiyah ini tentu saja berbeda dengan jiwa kegamaan yang berparadigma (bermodekan) Sunnah-Bid’ah yang bersifat hitam-putih, sempit, kaku dan tertutup. Penting disadari bahwa mode Sunnah-Bid’ah ini adalah bentuk jiwa keagamaan yang tidak sesuai dengan spirit beragama yang dituntunkan Al-Qur`an dan Sunnah.
Mode berpikir Sunnah-Bid’ah (S-B) pernah fenomenal di lingkungan warga Muhammadiyah tahun 80-an hinga 90-an di Tapanuli Bagian Selatan dan di berbagai tempat di Indonesia. Mode ini harus diakui bertentangan dengan jiwa keagamaan yang diwariskan oleh ulama-ulama generasi pendahulu Muhammadiyah. Mode S-B ini memiliki spirit menentang dan melawan segala pemahaman agama yang dipandang bid’ah. Mode S-B ini sesungguhnya bukanlah bawaan asli Muhammadiyah, tetapi mode luar yang tidak selayaknya menginfiltrasi pemahaman agama warga Muhammadiyah.
Celakanya, mode S-B ini kemudian subur di berbagai tempat dan berdampak mengganggu keutuhan Muhammadiyah. Bahkan mereka yang telah terpengaruh mode S-B ini, ada yang bersikap menentang pemahaman agama Muhammadiyah. Dan puncaknya, ada yang keluar dari Muhammadiyah. Mereka pada bagian ini tidak segan-segan memburuk-burukkan Muhmmadiyah. Tentu saja sikap ini sangat disayangkan, karena tanpa mereka sadari, sebenarnya mereka telah jatuh pada perilaku yang buruk dalam beragama. Bahkan lebih jauh dapat jatuh pada pengkultusan pemahaman agama sendiri.
Penutup
Jiwa asli dan sejati pemahaman agama Muhammadiyah adalah pemahaman yang terbuka, lapang, dinamis dan berkemajuan. Jiwa asli dan sejati ini dijaga dan dipelihara melalui manhaj (metodologi) gerakan yang terbuka dan dinamis pula yaitu Manhaj Tarjih dan Tajdid. Melalui penerapan manhaj yang demikian ini maka diikhtiarkan mengemuka pemahaman dan pengamalan agama terbaik pula (ahsanu dina), yaitu pemahaman agama yang lapang, terbuka, dinamis dan berkemajuan. Konsekuensinya, Muhammadiyah menolak pemahaman agama yang jumud, sempit, kaku, fanatik buta serta anti kemajuan. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar