Rabu, 14 Juni 2023

GERAKAN PEMURNIAN KEAGAMAAN YANG NATURAL: CATATAN RENUNGAN DAN PENGALAMAN

Artikel singkat ini menjelaskan realitas gerakan pemurnian pemahaman agama yang dibawakan oleh Muhammadiyah di Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) dan paparan tentang tawaran gerakan pemurnian yang natural/alami (thabi'iy).

Penulis yang lahir di Pasaman Barat kurang lebih 52 tahun yang lalu, pertama kali menginjakkan kaki di bumi Tabagsel pada 1991, tepatnya di Kelurahan Ujung Padang Kota Padangsidimpuan. Ketika menjadi mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN SU Padangsidimpuan dari 1991-1996, penulis yang sebelumnya pernah menjadi Ketua Umum PC IPM, aktif sebagai jamaah masjid Taqwa Muhammadiyah dan aktif pula dalam kegiatan-kegiatan Angkatan Muda Ranting Muhammadiyah Kelurahan Ujung Padang. 

Dalam aktifitas masjid inilah penulis berinteraksi dengan pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang berkembang di Kota Padangsidimpuan. Penulis merasakan bahwa narasi pemahaman keagamaan Muhammadiyah Sumatera Barat memiliki titik tekan yang berbeda dengan narasi pemahaman keagamaan di Tabagsel. Secara umum, di Padangsidimpuan, narasi keagamaan yang terbangun adalah fokus kepada upaya membersihkan ummat ---terutama warga dan simpatisan Muhammadiyah--- dari pemahaman agama yang dipandang bercampur dengan takhyul, bid'ah, dan churafat (TBC).

Porsi materi pengajian dengan konten narasi bid'ah dalam ibadah lebih dominan dibanding tema-tema TBC lainnya. Pada masa itu hampir tidak ada ustad Muhammadiyah yang tidak menarasikan bid'ah dalam ibadah pada setiap pengajian (majilis ta'lim). Dari sisi metodologi dan pendekatan kajian keilmuan yang dilakukan lebih condong kepada pendekatan tekstual yang terasa kering dan sempit. Misalnya, ketika seorang ustad menjelaskan maksud ayat:

Wa qul ja'al haqqu wa zahaqal bathilu, innal bathila kana zahuqa.

Artinya:
Dan katakanlah, "Telah datang kebenaran dan telah lenyap kebatilan. Sesungguhnya kebathilan itu akan binasa". Al-Isra'/17 ayat 81.

Ayat ini dipakai sebagai penguat narasi untuk mengeritik bid'ah dalam ibadah. Para ustad ketika itu menjelaskan maksud ayat ini sebagai berikut:

Allah SWT telah membentangkan Sunnah yang benar dan lurus melalui Al-Qur'an dam Hadits yang shahih. Sunnah yang benar dan lurus ini akan bertahan dan abadi. Sementara bid'ah akan binasa dan lenyap.

Pada hal, sebenarnya ayat dimaksud tidak berkaitan dengan narasi Sunnah-Bid'ah. Dalam ayat, sesungguhnya Allah memberi penegasan kepada Nabi Saw agar mengatakan bahwa telah datang Ad-Din al-Haqq (Agama yang Benar), dan telah lenyap kebatilan (Jahiliyah).

Ketika itu, penulis merasakan bahwa perspektif Sunnah-Bid'ah yang kaku benar-benar mencoraki pola pikir keagamaan para ustad. Di sisi lain, sembari menarasikan Sunnah-Bid'ah yang kering dan kaku ini, penceramah agama "melancarkan serangan" kepada mereka yang dipandang pelaku bid'ah dengan menyebut mereka sebagai ahli (penghuni) neraka.

Di sisi lain, aspek takhyul dan churafat yang sering jadi sasaran "serangan" adalah muatan-muatan dalam upacara adat pada pesta perkawinan yang dipandang mempraktikkan kesyirikan. Misalnya "Upa-upa". Upa-upa ini ditandai dengan adanya wujud material "Upa-upa" di antaranya kepala kerbau atau kambing, telor ayam, nasi, garam, dan lainnya. 

Pada umumnya masyarakat Muslim Tabagsel menghormati Upa-upa sebagai wujud benda budaya yang menjadi simbol (perlambang) memohon "hahorasan" (keselamatan, kesehatan) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Penting diketahui bahwa warga masyarakat sesungguhnya tidaklah memiliki keyakinan bahwa benda-benda Upa-upa itu memiliki kekuatan magis sehingga memberi "hahorasan". Mereka hanya menjadikan benda-benda budaya itu sebagai simbol untuk menyampaikan doa-doa yang baik untuk pengantin. Hal ini sebenarnya ibarat seseorang memperlakukan huruf-huruf yang berbentuk kata dan kalimat untuk menuntun doa kepada Tuhan.

Namun, realitasnya para ustad Muhammadiyah pada masa itu tidak berupaya menyelami pandangan budaya masyarakat. Para ustad sangat yakin bahwa masyarakat telah mempraktikkan kesyirikan dan oleh karena itu masyarakat yang demikian sama saja dengan kaum musyrik jahiliyah.

Pandangan demikian ini tentu saja mendapat penolakan keras dari masyarakat Muslim Tabagsel yang memegang teguh nilai-nilai adat-budaya. Sekaligus pula melahirkan sikap anti pati kepada gerakan dakwah Muhammadiyah. Tak pelak, Muhammadiyah dipandang sebagai gerakan yang anti adat dan budaya. Dampak selanjutnya, tidak sedikit dari tokoh dan warga masyarakat menolak keberadaan Muhammadiyah. Dalam pandangan mereka, Muhammadiyah tidak saja merusak paham agama, tapi juga merusak adat-budaya. Di antara pernyataan penolakan mereka, misalnya mereka menyebut masjid Taqwa sebagai masjid dhirar yakni masjid yang membawa mudharat.

Saat artikel ini ditulis, sikap anti pati terhadap gerakan Muhammadiyah masih kuat di tengah masyarakat. Meskipun tensinya telah jauh menurun dibanding pada tahun 90-an yang lalu. Kondisi ini tentu saja menjadi penyebab lambannya perkembangan kuantitas warga Muhammadiyah di Kota Padangsidimpuan.


Gerakan Pemurnian yang Natural: Sebuah Tawaran

1. Filosofi

Untuk menjawab kondisi di atas, maka penting menggairahkan dan menggembirakan gerakan pemurnian Muhammadiyah yang natural. Gerakan keagamaan yang natural adalah gerakan keagamaan yang berdiri di atas hikmah kearifan kenabian. Lebih jelasnya, gerakan pemurnian keagamaan yang dibangun di atas fondasi nilai-nilai kearifan dakwah Rasulillah Saw.

Konsepsi gerakan pemurnian yang natural ini digali dari pandangan mendalam (perspektif fenomenologis) bagaimana sesungguhnya Rasulullah Saw mempersepsi dakwah, cara membawakannya, dan cara penyikapannya terhadap orang atau masyarakat penerima dakwah. Poin-poin pokok pandangan dimaksud adalah:

Pertama, sadar bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Doktrin ini sangat jelas dalam Al-Alqur'an, "La ikraha fi ad-din, qad tabayyana ar-rusydu min al-ghay. Faman yakfur bi at-thaghuti wa yu'min billahi faqadis tamsaka bi al-'urwati al-wutsqa lan fishama laha. Wallahu sami'un 'alim". (Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.) Berdasarkan doktrin ini, hak menentukan pilihan antara memilih atau tidak memilih agama Islam merupakan hak asasi setiap orang. Yang pasti pilihan itu memiliki konsekuensi masing-masing, karena telah terang-jelas antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. Dalam surat ... ayat... disebut dengan jelas bahwa konsekuensi pilihan kepada jalan sesat adalah neraka. Sementara konsekuensi pilihan jalan yang benar adalah surga.

Kedua, sadar bahwa seorang aktivis dakwah Muhammadiyah hanyalah penyampai agama. Jangankan orang beriman yang hanya sebagai pelanjut dan pewaris risalah kenabian, Nabi Saw saja diingatkan oleh Allah bahwa beliau hanyalah seorang penyampai agama. Fa in tawallaw, fa innama 'alaika al-balagh (jika mereka berpaling, maka (sadarilah) bahwa engkau hanyalah penyampai agama.

Ketiga, sadar bahwa tidak ada yang dapat memberi hidayah kepada jalan yang benar selain Allah. Seunggul apa pun kemampuan kita, dan sehebat apa pun dukungan sarana prasarana dakwah kita, harus disadari bahwa kita tidak memiliki daya untuk memberi hidayah kepada orang lain. Hanyalah yang berkuasa memberi hidayah kepada orang untuk menerima kebenaran.

Keempat, sadar bahwa penyampai agama mesti berhati lapang dan menjauhi sikap kasar. Allah berfirman yang terjemahnya: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apa bila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya". (QS Ali Imran ayat 159).

Kelima, sadar bahwa Allah mengehendaki agar ber-fastabiqul khairat dalam menjalankan agama.

Keenam, sadar bahwa Allah menguji hamba-Nya siapa yang terbaik amalnya.

Ketujuh, sadar bahwa seorang aktivis dakwah harus berintegritas (koheren/sesuai antara ucapan dan tindakan).


2. Capaian aksiologis

Capaian aksiologis gerakan pemurnian harus melampaui batasan fiqh, yaitu lubuk pengetahuan 'irfani. Karena ilmu keagamaan yang murni itu sesungguhnya ada di lubuk pengetahuan 'irfani ini. Pada lubuk 'irfani inilah sesungguhnya pemahaman agama yang murni itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar