GERAKAN PEMURNIAN KEAGAMAAN YANG NATURAL: CATATAN PENGALAMAN DAN RENUNGAN

Artikel singkat ini menjelaskan realitas gerakan pemurnian pemahaman agama yang dibawakan oleh Muhammadiyah di Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) dan paparan tentang tawaran gerakan pemurnian yang natural/alami (thabi'iy).

Penulis yang lahir di Pasaman Barat kurang lebih 52 tahun yang lalu, pertama kali menginjakkan kaki di bumi Tabagsel pada Juni 1991, tepatnya di Kelurahan Wek IV Ujung Padang Kota Padangsidimpuan. Ketika menjadi mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN SU Padangsidimpuan dari 1991-1996, penulis yang sebelumnya pernah menjadi Ketua Umum PC IPM, aktif sebagai jamaah masjid Taqwa Muhammadiyah dan aktif pula dalam kegiatan-kegiatan Angkatan Muda Ranting Muhammadiyah Kelurahan Wek IV Ujung Padang. 

Dalam aktifitas masjid inilah penulis berinteraksi dengan pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang berkembang di Kota Padangsidimpuan. Penulis merasakan bahwa narasi pemahaman keagamaan Muhammadiyah Sumatera Barat memiliki titik tekan yang berbeda dengan narasi pemahaman keagamaan di Tabagsel. Secara umum, di Padangsidimpuan, narasi keagamaan yang terbangun adalah fokus kepada upaya membersihkan keyakinan ummat ---terutama warga dan simpatisan Muhammadiyah--- dari pemahaman agama yang dipandang bercampur dengan takhyul, bid'ah, dan churafat (TBC).

Porsi materi pengajian dengan konten narasi bid'ah dalam ibadah lebih dominan dibanding tema-tema TBC lainnya. Pada masa itu hampir tidak ada ustad Muhammadiyah yang tidak menarasikan penolakan terhadap bid'ah dalam ibadah pada setiap pengajian (majilis ta'lim). Dari sisi metodologi dan pendekatan kajian keilmuan yang dilakukan lebih condong kepada pendekatan tekstual yang terasa kering,  sempit, dan kaku. Misalnya, penjelasan seorang ustad tentang maksud ayat:

Wa qul ja'al haqqu wa zahaqal bathilu, innal bathila kana zahuqa.

Artinya:
Dan katakanlah, "Telah datang kebenaran dan telah lenyap kebatilan. Sesungguhnya kebathilan itu akan binasa". (Al-Isra'/17 ayat 81).

Ayat ini dipakai sebagai penguat narasi  keritik terhadap bid'ah dalam ibadah. Para ustad ketika itu menjelaskan maksud ayat ini sebagai berikut: Allah SWT telah membentangkan Sunnah yang benar dan lurus melalui Al-Qur'an dam Hadits yang shahih. Sunnah yang benar dan lurus ini akan bertahan dan abadi. Sementara bid'ah akan binasa dan lenyap.

Ayat dimaksud sebenarnya tidak berkaitan dengan narasi Sunnah-Bid'ah. Makna ayat justru berisi penegasan kepada Nabi Saw agar mengatakan bahwa telah datang Ad-Din al-Haqq (Agama yang Benar), dan telah lenyap kebatilan (Jahiliyah).

Ketika itu, penulis merasakan bahwa perspektif Sunnah-Bid'ah yang kaku benar-benar mencoraki pola pikir keagamaan para ustad. Di sisi lain, sembari menarasikan Sunnah-Bid'ah yang kering, sempit, dan kaku ini, penceramah agama "melancarkan serangan" kepada mereka yang dipandang pelaku bid'ah dengan menyebut mereka sebagai ahli (penghuni) neraka.

Di sisi lain, aspek takhyul dan churafat yang sering jadi sasaran "serangan" adalah muatan-muatan dalam upacara adat pada pesta perkawinan yang dipandang mempraktikkan kesyirikan. Misalnya "Upa-upa". Upa-upa ini ditandai dengan adanya wujud material/benda-benda "Upa-upa" di antaranya kepala kerbau atau kepala kambing, telor ayam, nasi, garam, dan lainnya. Pada umumnya masyarakat Muslim Tabagsel menghormati "Upa-upa" sebagai wujud benda budaya yang menjadi simbol (perlambang) memohon "hahorasan" (keselamatan, kesehatan) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Penting diketahui bahwa secara umum warga masyarakat masa belakangan ini tidaklah memiliki keyakinan bahwa benda-benda "Pangupa" atau "Upa-upa" itu memiliki kekuatan magis sehingga dapat memberi "hahorasan". Mereka hanya menjadikan benda-benda budaya itu sebagai simbol untuk menyampaikan doa-doa yang baik buat pengantin. Hal ini sebenarnya sudah hampir sama dengan seseorang memperlakukan huruf-huruf yang berbentuk kata dan kalimat sebagai simbol untuk menuntun doa kepada Tuhan.

Namun, realitasnya para ustad Muhammadiyah pada masa itu tidak berupaya menyelami dengan baik pandangan antropologi-budaya masyarakat. Akibatnya, para ustad mempersepsi bahwa masyarakat telah mempraktikkan kesyirikan dan oleh karena itu sama saja dengan kaum musyrikin jahiliyah.

Pandangan para ustadz demikian ini tentu saja mendapat penolakan keras dari tokoh-tokoh masyarakat Muslim Tabagsel yang memegang teguh nilai-nilai adat-budaya. Sekaligus pula melahirkan sikap anti pati kepada gerakan dakwah Muhammadiyah. Tak pelak, Muhammadiyah dipandang sebagai gerakan yang anti adat dan budaya. Dampak selanjutnya, tidak sedikit dari tokoh dan warga masyarakat menolak keberadaan Muhammadiyah. Dalam pandangan mereka, Muhammadiyah tidak saja merusak paham agama, tapi juga merusak adat-budaya. Di antara pernyataan penolakan mereka di masa lalu, misalnya mereka menyebut masjid Taqwa sebagai masjid dhirar yakni masjid yang membawa mudharat.

Saat artikel ini ditulis, sikap anti pati terhadap gerakan Muhammadiyah masih mencoraki pemikiran dan sikap sebagian masyarakat. Meskipun tensinya telah jauh menurun dibanding pada tahun 90-an yang lalu. Kondisi ini tentu saja menjadi salah satu faktor penyebab lambannya perkembangan kuantitas warga Muhammadiyah di Kota Padangsidimpuan.


Renungan: Konsep Dasar Gerakan Pemurnian yang Natural

1. Basis Etika Gerakan Dakwah

Untuk menjawab kondisi di atas, maka penting menggairahkan dan menggembirakan gerakan pemurnian Muhammadiyah yang natural. Gerakan keagamaan yang natural adalah gerakan keagamaan yang berdiri di atas hikmah kearifan kenabian. Lebih jelasnya, gerakan pemurnian keagamaan yang dibangun di atas fondasi nilai-nilai kearifan dakwah Rasulillah Saw.

Konsepsi gerakan pemurnian yang natural ini digali dari pandangan mendalam (perspektif fenomenologis) bagaimana sesungguhnya Rasulullah Saw mempersepsi dakwah, cara membawakannya, dan cara penyikapannya terhadap orang atau masyarakat penerima dakwah. Berikut poin-poin pokok yang mesti menjadi basis etika gerakan dakwah:

Pertama, sadar bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Doktrin ini sangat jelas dalam Al-Alqur'an surat Al-Baqarah/2 ayat 256, "La ikraha fi ad-din, qad tabayyana ar-rusydu min al-ghay. Faman yakfur bi at-thaghuti wa yu'min billahi faqadis tamsaka bi al-'urwati al-wutsqa lan fishama laha. Wallahu sami'un 'alim". (Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang [teguh] pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui). Berdasarkan doktrin ini, hak menentukan pilihan antara memilih atau tidak memilih agama Islam merupakan hak asasi setiap orang. Yang pasti pilihan itu memiliki konsekuensi masing-masing, karena telah terang-jelas antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. Dalam surat Al-Kahfi ayat 29 disebut dengan jelas bahwa konsekuensi pilihan kepada jalan sesat adalah neraka. Sementara konsekuensi pilihan jalan yang benar adalah surga.

Kedua, sadar bahwa seorang aktivis dakwah Muhammadiyah hanyalah penyampai agama. Jangankan orang beriman yang hanya sebagai pelanjut dan pewaris risalah kenabian, Nabi Saw saja diingatkan oleh Allah bahwa beliau hanyalah seorang penyampai agama. ...wa qul lilladzina utul kitaba  wal ummiyyina a-aslamtum, fain aslamu faqadihtadau, fa in tawallaw, fa innama 'alaika al-balagh, wallahu bashirun bill'ibad. (... Dan katakanlah kepada orang-orang yang diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam? Jika mereka masuk Islam sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk. Dan jika mereka berpaling, maka (sadarilah) bahwa engkau hanyalah penyampai agama. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. [QS Ali Imran/3 ayat 20]).

Ketiga, sadar bahwa tidak ada yang dapat memberi petunjuk (hidayah) kepada jalan yang benar selain Allah. Seunggul apa pun kemampuan kita, dan sehebat apa pun dukungan sarana prasarana dakwah kita, harus disadari bahwa kita tidak memiliki daya untuk memberi hidayah kepada orang lain. Hanyalah yang berkuasa memberi hidayah kepada orang untuk menerima kebenaran. Allah berfirman: Fa dzakkir innama anta mudzakkir. Lasta 'alaihim bi mushaithir (Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau [Muhammad] hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, QS Al-Ghasyiyyah/88 ayat 21-22). Dalam surat Yunus/10 ayat 35: Qul hal min syuraka`ikum man yahdi ilal haqqi, qulillahu yahdi lilhaqqi... (Katakanlah, "Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran).

Keempat, sadar bahwa penyampai agama mesti berhati lapang dan menjauhi sikap kasar. Allah berfirman yang terjemahnya: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apa bila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya". (QS Ali Imran/3 ayat 159).

Kelima, sadar bahwa Allah mengehendaki agar ber-fastabiqul khairat dalam menjalankan agama. Konsekuensi lebih lanjut "tidak ada paksaan dalam agama" adalah perlunya menjaga etos fastabiqul khairat. Setiap muslim mesti sadar sesadar-sadarnya bahwa ia tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk memaksa orang mengikuti pemahaman agamanya. Oleh karena itu, ingat firman Allah, "...fastabiqul khairat, ilallahi marji'ukum jami'a, fayunabbi`ukum bima kuntum fihi takhtalifun" (...berlomba-lombalah dalam kebaikan. Kalian semua akan kembali kepada Allah. Dia-lah nanti yang akan menjelaskan tentang hal yang kamu perselisihkan,- Al-Ma`idah/5 ayat 48).

Keenam, sadar bahwa Allah menguji hamba-Nya siapa yang terbaik amalnya. Allah SWT mengingatkan bahwa kehadiran manusia di muka bumi ini memiliki tujuan yang jelas, yaitu hendak menguji manusia siapa yang terbaik amalnya. Allah berfirman: Alladzi khalaqal mauta wal hayata liyabluwakum ayyukum ahsanu 'amala. Wahuwal 'azizul ghafur (Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,- QS Al-Mulk/67 ayat 2). Dalam konteks keragaman (pluralitas), manusia diuji bagaimana hidup harmonis dalam perbedaan, apakah perbedaan pemahaman internal umat Islam, atau perbedaan dalam keyakinan (agama) antara umat Islam dengan umat agama atau kepercayaan lain.

Ketujuh, sadar bahwa seorang aktivis dakwah harus berintegritas (koheren/sesuai antara ucapan dan tindakan). Terkait integritas ini, Allah Swt., mengingatkan dengan cara menyebut fakta sejarah kaum Yahudi yang menunjukkan perilaku kidzb (dusta) dalam bersikap dan berprilaku. Allah Swt., berfirman. "...kabura maqtan 'indallahi an taqulu mala taf'alun" (... amat besar dosanya di sisi Allah, orang yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka perbuat, QS Ash-Shaf/61 ayat 3).

2. Capaian aksiologis

Capaian aksiologis gerakan pemurnian harus melampaui batas-batas fiqh, yaitu mesti sampai pada lubuk pengetahuan 'irfani. Karena ilmu keagamaan yang murni itu sebenarnya ada pada lubuk pengetahuan 'irfani ini. Dan pengetahuan 'irfani inilah sesungguhnya pengetahuan agama yang sesungguhnya itu. Dengan demikian, dalam beragama tidak cukup pada aspek eksoteris (legal-formal), tapi harus masuk ke aspek esoteris (esensi dan substansi) agama.

3. Capaian Epistemologis

Dalam Muhammadiyah penekanan terhadap capaian pengetahuan 'irfani ini telah ditegaskan dengan ditetapkannya penggunaan pendekatan 'irfani (selain pendekatan bayani dan burhani) dalam kajian agama. Dalam operasionalnya, pendekatan bayani, burhani, dan 'irfani diterapkan secara sirkular-dialektis. Ketiga pendekatan ini dibantu dengan ilmu-ilmu modern (sosiologi, antropologi, dan hermeneutika) bekerja sama dalam interaksi metodologis yang intens untuk menghasilkan pengetahuanyang integratif (utuh). Berdasarkan operasi metodologis demikian ini, maka kajian agama dalam Muhammadiyah diikhtiarkan melahirkan pemahaman agama yang menyatukan fiqih dan ilmu 'irfani (tasauf).

Dengan demikian, capaian pemurnian yang realitasnya selama ini baru pada fase fiqih, harus dapat terlampaui hingga masuk ke fase ilmu ma'rifat al-qalbiyyah. Hanya saja penting ditekankan sekali lagi bahwa dalam Muhammadiyah ilmu fiqih dan ma'rifat al-qalbiyyah ini harus satu yang padu. Tidak boleh terpisah. Dengan demikian, capaian pemurnian keagamaan Muhammadiyah adalah kesatuan kaifiyyat, hai`at, juz'iyyat, dan haqiqat pengetahuan agama.


 Penutup

Jika dikomparasikan antara konsep-konsep dasar Muhammadiyah dengan realitas pemikiran, perilaku, dan sikap bermuhammadiyah warga persyarikatan, tampak sekali ada jarak yang mesti disatukan. Jika jarak ini semakin lebar, maka pola bergama warga dapat menjadi ekstrim dan bahkan radikal. Namun bila jarak dimaksud semkin dekat, maka pola beragama warga akan semakin natural (sadzajah, thabi'i, alami). Keberagamaan warga persyarikatan yang natural akan menjadi kekuatan ideologis dakwah yang amat kokoh, yang selanjutnya menyampaikan warga Muhammadiyah kepada penganutan agama terbaik (asanu dina). Insya Allah. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...