"...inkonsistensi dalam memperlakukan dalil ini penting segera diakhiri. Jika tidak, maka umat Islam tidak akan pernah dengan segera mendapat kepastian waktu puasa Ramadhan dan Idul Fithri sebagaimana waktu-waktu shalat dan sahur. Umat Islam juga tidak akan pernah memiliki kalender Hijriyah global yang berlaku di seluruh negeri-negeri Muslim di muka bumi ini."
*******
Jika kita memahami dalil-dalil rukyah hanya dengan pendekatan tekstual, maka dapat disimpulkan bahwa hampir semua nash Al-Quran dan Hadits yang memberi petunjuk tentang penentuan waktu-waktu ibadah mesti dilakukan dengan rukyah (pengamatan). Lihatlah nash-nash berikut ini:
QS Al Isra'/17 ayat 78:
اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْاٰ نَ الْـفَجْرِ ۗ اِنَّ قُرْاٰ نَ الْـفَجْرِ كَا نَ مَشْهُوْدًا
"Dirikanlah sholat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (dirikan pula sholat) subuh. Sungguh, sholat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)."
Petunjuk ayat ini sangat jelas bahwa untuk menentukan awal waktu shalat Zuhur yaitu dengan me-rukyah matahari apakah sudah tergelincir. Sementara ibadah shalat lain seperti Ashar, Maghrib, Isya, dan Shubuh ---sebagai penjelasan ayat di atas--- diberi petunjuk oleh Nabi Saw., supaya me-rukyah bayang-bayang, senja, dan fajar shadiq. Kesemua ini selalu terkait dengan matahari.
Hadits riwayat Bukhari:
...صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته
QS Al Baqarah/2 ayat 187:
اُحِلَّ لَـکُمْ لَيْلَةَ الصِّيَا مِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَآئِكُمْ ۗ هُنَّ لِبَا سٌ لَّـكُمْ وَاَ نْـتُمْ لِبَا سٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّکُمْ كُنْتُمْ تَخْتَا نُوْنَ اَنْفُسَکُمْ فَتَا بَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَا لْــئٰنَ بَا شِرُوْهُنَّ وَا بْتَغُوْا مَا کَتَبَ اللّٰهُ لَـكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَا شْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَـكُمُ الْخَـيْطُ الْاَ بْيَضُ مِنَ الْخَـيْطِ الْاَ سْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَا مَ اِلَى الَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَا شِرُوْهُنَّ وَاَ نْـتُمْ عٰكِفُوْنَ ۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّا سِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ
"Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa."
Dalam ayat ini ---secara tekstual--- menegaskan bahwa untuk mengetahui berakhirnya waktu sahur sebagai tanda dimulainya menahan dalam puasa adalah dengan me-rukyah benang. Jika jelang Shubuh itu telah jelas tampak perbedaan benang putih dan benang hitam, maka berakhirlah waktu Sahur.
Hingga saat ini, umat Islam Indonesia telah bersepakat untuk menggunakan ilmu hisab secara murni pada penentuan waktu-waktu shalat fardhu, dan penentuan waktu sahur, meskipun secara tekstual dalil Al-Quran terkait sebenarnya menyuruh untuk me-rukyah matahari, bayang-bayang, senja, dan benang.
Agak aneh, mayoritas ulama Indonesia tidak sependapat kalau hanya menggunakan hisab untuk penentuan awal dan akhir Ramadhan. Hisab saja menurut mayoritas ulama ini tidak cukup. Jadi harus dibarengi dengan rukyah. Karena hukum rukyah itu ---menurut ulama kelompok ini--- wajib syar'i.
Pertanyaannya, mengapa pada penentuan waktu-waktu shalat dan waktu sahur dipandang sah hanya dengan ilmu hisab? Sementara dalam menentukan awal dan akhir puasa mesti dengan rukyah (dimana hisab di sini hanya berposisi pemberi petujuk bagi rukyah)? Dalam hal ini, apa yang membedakan status hukum penentuan waktu ibadah shalat dan ibadah puasa? Bukankah, kalau mau konsisten dengan rukyah, semua nash Quran dan Hadits tentang waktu-waktu shalat, puasa dan sahur juga menghendaki dilakukannya rukyah? Mengapa tidak dengan rukyah saja semuanya? Atau sebaliknya dengan hisab semuanya?
Apa yang menjadi pertimbangan utama dalam sikap keilmuan yang tampak inkonsisten dalam memperlakukan dalil ini? Kebenaran objektif yang luhurkah atau kebenaran yang masih subjektif? Kalau pertimbangannya kebenaran objektif yang luhur, mengapa perlakuan terhadap dalil-dalil terkait rukyah dalam ibadah ini berbeda? Allahu a'lam bi al-shawwab.
Goog job
BalasHapusGood job
BalasHapus