Sabtu, 08 April 2023

MEMPERTAHANKAN RUKYAH: INKONSISTENSI DALAM BERDALIL?



"...inkonsistensi dalam memperlakukan dalil ini penting segera diakhiri. Jika tidak, maka umat Islam tidak akan pernah dengan segera mendapat kepastian waktu puasa Ramadhan dan Idul Fithri sebagaimana waktu-waktu shalat dan sahur. Umat Islam juga tidak akan pernah memiliki kalender Hijriyah global yang berlaku di seluruh negeri-negeri Muslim di muka bumi ini."

*******


Jika kita memahami dalil-dalil rukyah hanya dengan pendekatan tekstual, maka dapat disimpulkan bahwa hampir semua nash Al-Quran dan Hadits yang memberi petunjuk tentang penentuan waktu-waktu ibadah mesti dilakukan dengan rukyah (pengamatan). Lihatlah nash-nash berikut ini:

1. Penentuan Waktu-waktu Shalat
QS Al Isra'/17 ayat 78:

اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْاٰ نَ الْـفَجْرِ ۗ اِنَّ قُرْاٰ نَ الْـفَجْرِ كَا نَ مَشْهُوْدًا

"Dirikanlah sholat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (dirikan pula sholat) subuh. Sungguh, sholat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)."

Petunjuk ayat ini sangat jelas bahwa untuk menentukan awal waktu shalat Zuhur yaitu dengan me-rukyah matahari apakah sudah tergelincir. Sementara ibadah shalat lain seperti Ashar, Maghrib, Isya, dan Shubuh ---sebagai penjelasan ayat di atas--- diberi petunjuk oleh Nabi Saw., supaya me-rukyah bayang-bayang, senja, dan fajar shadiq. Kesemua ini selalu terkait dengan matahari.

Hadits riwayat Muslim Nomor 966 berikut menuntun untuk merukyah bayang-bayang dan matahari petang:

 وقت الظهر اذا زالت الشمس  وكان ظل الرجل كطوله مالم يحضر العصر ووقت العصر مالم تصفر الشمس   
Artinya:
Waktu Zuhur yaitu ketika matahari telah condong dan bayangan seseorang sama panjang dengan orangnya sebelum tiba waktu Ashar. Dan waktu shalat Ashar selama matahari belum menguning... dst. 


2. Penentuan Awal dan Akhir Puasa Ramadhan
Hadits riwayat Bukhari:

...صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته

Artinya: 
Berpuasalah karena me-rukyah-nya (melihat hilal), dan berbukalah (akhirilah puasa Ramadhan) karena melihatnya (hilal).

Hadits ini  salah satu dalil yang dijadikan tumpuan mayoritas ulama Indonesia untuk mempertahankan rukyat al-hilal yang diberi anggaran biaya yang relatif besar oleh Negara setiap tahun. Bahkan tidak sedikit ulama yang berpandangan bahwa rukyah itu bersifat ta'abbudi. Posisi perintah untuk rukyah mesti ditaati sebagaimana perintah untuk shalat. Jadi, menurut pandangan ini wajib hukumnya melakukan rukyah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Berbeda dengan Muhammadiyah dan beberapa ormas lain yang memandang rukyah bersifat ta'aqquli. Oleh karena dipandang bersifat ta'aqquli (lebih tepatnya bersifat metodologis/manhaji), maka rukyah dapat diganti dengan metode lain yaitu hisab, karena hisab dipandang lebih dapat memberi kepastian bagi ummat. Sikap demikian ini dipahami sebagai pengamalan ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits terkait, misalnya surat Yunus ayat 10 yang mengisyaratkan dengan sangat jelas tentang kebolehan hisab.

3. Penentuan Waktu Sahur
QS Al Baqarah/2 ayat 187: 

اُحِلَّ لَـکُمْ لَيْلَةَ الصِّيَا مِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَآئِكُمْ ۗ هُنَّ لِبَا سٌ لَّـكُمْ وَاَ نْـتُمْ لِبَا سٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّکُمْ كُنْتُمْ تَخْتَا نُوْنَ اَنْفُسَکُمْ فَتَا بَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَا لْــئٰنَ بَا شِرُوْهُنَّ وَا بْتَغُوْا مَا کَتَبَ اللّٰهُ لَـكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَا شْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَـكُمُ الْخَـيْطُ الْاَ بْيَضُ مِنَ الْخَـيْطِ الْاَ سْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَا مَ اِلَى الَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَا شِرُوْهُنَّ وَاَ نْـتُمْ عٰكِفُوْنَ ۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّا سِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

"Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa."

Dalam ayat ini ---secara tekstual--- menegaskan bahwa untuk mengetahui berakhirnya waktu sahur sebagai tanda dimulainya menahan dalam puasa adalah dengan me-rukyah benang. Jika jelang Shubuh itu telah jelas tampak perbedaan benang putih dan benang hitam, maka berakhirlah waktu Sahur.


Inkonsistensi dalam Berdalil?

Hingga saat ini, umat Islam Indonesia telah bersepakat untuk menggunakan ilmu hisab secara murni pada penentuan waktu-waktu shalat fardhu, dan penentuan waktu sahur, meskipun secara tekstual dalil Al-Quran  terkait sebenarnya menyuruh untuk me-rukyah matahari, bayang-bayang, senja, dan benang.

Agak aneh, mayoritas ulama Indonesia tidak sependapat kalau hanya menggunakan hisab untuk penentuan awal dan akhir Ramadhan. Hisab saja menurut mayoritas ulama ini tidak cukup. Jadi harus dibarengi dengan rukyah. Karena hukum rukyah itu ---menurut ulama kelompok ini--- wajib syar'i.

Pertanyaannya, mengapa pada penentuan waktu-waktu shalat dan waktu sahur dipandang sah hanya dengan ilmu hisab? Sementara dalam menentukan awal dan akhir puasa mesti dengan rukyah (dimana hisab di sini hanya berposisi pemberi petujuk bagi rukyah)? Dalam hal ini, apa yang membedakan status hukum penentuan waktu ibadah shalat dan ibadah puasa? Bukankah, kalau mau konsisten dengan rukyah, semua nash Quran dan Hadits tentang waktu-waktu shalat, puasa dan sahur juga menghendaki dilakukannya rukyah? Mengapa tidak dengan rukyah saja semuanya? Atau sebaliknya dengan hisab semuanya?

Apa yang menjadi pertimbangan utama dalam sikap keilmuan yang tampak inkonsisten dalam memperlakukan dalil ini? Kebenaran objektif yang luhurkah atau kebenaran yang masih subjektif? Kalau pertimbangannya kebenaran objektif yang luhur, mengapa perlakuan terhadap dalil-dalil terkait rukyah dalam ibadah ini berbeda? Allahu a'lam bi al-shawwab.


Kata Penutup

Sebagai orang awam, hemat penulis inkonsistensi dalam memperlakukan dalil ini penting segera diakhiri. Jika tidak, maka umat Islam tidak akan pernah dengan segera mendapat kepastian waktu puasa Ramadhan dan Idul Fithri sebagaimana waktu-waktu shalat dan sahur. Umat Islam juga tidak akan pernah memiliki kalender Hijriyah global yang berlaku di seluruh negeri-negeri Muslim di muka bumi ini. Menurut para ahli, satu-satunya cara untuk penetapan kalender Hijriyah global ini hanyalah dengan perhitungan ilmu astronomi (ilmu hisab) yang disepakati bersama. Allahu a'lam.

Gambar:
Menghadiri Musyawarah Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Padang Sidempuan, Sabtu 08 April 2023.

2 komentar: