Allah berfirman:
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَا مُ مِسْكِيْنٍ
Artinya:
“ …dan bagi
orang-orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi
makan seorang miskin…” (QS Al-Baqarah: 184)
Secara
tekstual, kata tha’am dalam frase idhafah tha’amu miskin bermakna
makanan. Dari kata kerja bentuk lampau (fi’l madhi) tha-’i-ma. Dalam kalimat misalnya
tha’ima at-tha’am bermakna akalahu (makan, -Kamus Al-Munawwir: 852).
Tha’ima at-tha’am dapat juga
diartikan merasai makanan. Di sisi lain,
para sahabat seperti Anas bin Malik, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas tampak mengartikan
membayar fidyah dengan memberi makanan kepada kaum miskin (dalam atsar disebut
misalnya yuth’imani ‘an kulli yaumin
muddan li al-miskin atau tuth’imu kulla yaumin miskinan muddan, -lihat
misalnya Sunan al-Kubro, Al-Baihaqiy, No. 8079). Karena itulah tampaknya mengapa potongan
surat Al-Baqarah ayat 184 di atas diterjemahkan oleh Tim Penterjemah Kemenag menjadi:
“ …dan bagi orang-orang yang berat
menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…”.
Dengan demikian kata tha’am dalam
ayat maknanya “makanan”. Pertanyanyaan selanjutnya, bagaimana makna
sesungguhnya tha’am itu, apakah bahan makanan atau makanan yang siap
untuk dimakan?
Untuk
menjawab pertanyaan seperti ini maka penting menggunakan pendekatan burhani,
bahkan pendekatan ‘irfani. Pendekatan ini berguna untuk menelusuri secara
hermenetis atau secara sosio-kultural-intelektual
bagaimana Nabi Saw., dan selanjutnya para sahabat mempersepsi makna tha’am dan fidyah dalam ayat dimaksud dan bagaimana pula mereka mengamalkannya dalam kehidupan sosial
keagamaan mereka. Dengan demikian, makna tekstual akan dikonfirmasi dengan makna
yang diperoleh secara kontekstual. Mengapa pendekatan burhani penting?
Karena, jika hanya pendekatan tekstual, maka sering kali makna sesungguhnya teks
(nash) tidak dapat ditangkap secara utuh. Hal ini biasanya dikarenakan
teks seperti itu tidak menggambarkan secara komprehensif maksud sebenarnya apa yang terkandung dalam teks tersebut.
Sementara
pendekatan ‘irfani berguna untuk menangkap makna hakikat (terdalam) dari syari’at fidyah ini. Pertanyaan tentang ini misalnya dalam konteks apa sejatinya penerimaan kaum
beriman terhadap syariat fidyah. Bagaimana pula orientasi spiritual yang dituju oleh pengamalan fidyah dimaksud. Jawabannya, tentu saja harus ditempatkan dalam konteks
ridha dan cinta seorang mukmin yang dalam kepada apa pun syari’at yang diturunkan Allah
SWT. Dan harus diorientasikan kepada semangat spiritual unjuk persembahan terbaik seorang hamba kepada Allah SWT sebagai pengganti ibadah puasa Ramadhan yang ditinggalkan.
Pertimbangan
bayanai, burhani, dan ‘irfani harus saling melengkapi ---dalam suatu metode berpikir sirkuler
dialektis. Dengan cara demikian, maka dapatlah seorang pengkaji membuat simpulan pemahaman hukum yang
diikhtiarkan benar-benar dikehendaki dan diridhai Allah SWT.
Dalam kasus
fidyah ini, kaum muslimin diberi tutunan berdasarkan atsar ash-shahabat bahwa nilai fidyah per satu hari puasa
adalah 1 (satu) mud (1 mud = 0,5 liter/kl. 0,6 kg. Lihat HPT h. 172). Jika pendekatan kajiannya tekstual, maka tuntunan memberi
makan 1 (satu) mud ini dapat dipahami yakni: Memberi fakir miskin 1
(satu) mud beras yang belum dimasak. Dengan demikian, makna tha’am (makanan)
di sini adalah material makanan yang belum dimasak.
Namun, jika
dipahami secara kontekstual, maka tuntunan memberi makan 1 (satu) mud ini dapat
pula dipahami yaitu: Memberi makanan 1 (satu) mud beras sebagaimana
kelaziman yang ada pada suatu tempat, yaitu nasi yang sudah siap makan (nasi
beserta lauknya). Pada poin ke-2 ini, makna tha’am dipahami sebagai
makanan yang siap untuk dimakan.
Untuk
mendapatkan makna kontekstual nilai fidyah, maka perlu penelusuran terhadap inner
perspective para sahabat tentang fidyah dan bagaimana mereka mengamalkannya
dalam kehidupan keagamaan mereka. Dalam penelusuran terhadap sejumlah atsar
sahabat akan ditemui suatu perspektif bahwa fidyah itu mereka maknai
sebagai memberi makan yang ready untuk dimakan kepada kaum miskin. Dan makanan dimaksud adalah makanan pokok yang lazim untuk satu orang miskin per 1 (satu) hari puasa. Hal ini dipertegas dengan pengamalan Anas bin Malik
r.a., ketika ia membayar fidyah. Beliau membuat roti satu periuk besar, lalu
dibagikan kepada 30 orang fakir miskin (Tafsir Al-Azhar, Juz II, h. 122).
Sangat mungkin Anas bin Malik r.a., menyiapkan 30 mud tepung gandum lalu beliau
memasaknya.
Simpulan
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa makna paling tepat fidyatun tha'amu miskin pada Al-Baqarah ayat 184 adalah makanan yang ready (siap) untuk dimakan seukuran makan satu orang miskin per 1 (satu) hari puasa yang ditinggalkan. Ukuran makan satu orang miskin ini dapat dikonversi kepada mata uang seharga makanan dimaksud. Allahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar