Thomas Djamaluddin menyebut bahwa kriteria wujudul hilal (wujudnya hilal) dalam menetapkan awal bulan Qamariah adalah kriteria yang telah usang. Meskipun kriteria wujudul hilal tidak bisa dibantah, dan perhitungannya terbukti secara ilmiah, namun ia tetap berpandangan bahwa kriteria paling ilmiah dalam menetapkan awal bulan mestilah berpatokan kepada rukyah, tepatnya imkanur rukyah (visibilitas hilal). Karena kriteria ini ---menurutnya--- memadukan hasil perhitungan astronomis (ilmu hisab/falak) dengan hasil pengamatan empirik.
Mantan Kepala LAPAN ini berkali-kali mengeritik Muhammadiyah terkait kriteria wujudul hilal ini. Bahkan sebagian pimpinan Muhammadiyah memandang berbagai kritikan itu sudah bernada mencemooh organisasi besar ini.
Thomas Djamaluddin, tampaknya membela pandangan bahwa makna perintah rukyah dalam hadits (shumu li ri'yatihi wa afthiru liru'yatihi= berpuasalah karena melihat hilal, dan akhirilah puasa karena melihat hilal) itu mesti dengan mata kepala (ru'yah bi al-'ain), sebagaimana secara verbal dipraktikkan oleh Nabi Saw dan para sahabat di abad ke-7 M. Dikatakan demikian, karena sampai hari ini, ia tidak dapat menerima atau menoleransi pandangan Muhammadiyah bahwa rukyah dapat juga dilakukan dengan ilmu (ru'yah bi al-'ilm). Ia tampak membela pandangan mayoritas ulama di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) bahwa rukyah itu bersifat ta'abbudi (syar'i) dan dengan demikian wajib dilaksanakan.
Berbeda dengan NU, Muhammadiyah berpandangan bahwa rukyah bersifat ta'aqquli (wilayah rasional, ijtihadiyah). Rukyah hanyalah salah satu cara dari pilihan cara yang ada dalam menentukan awal bulan Qamariyah. Pada masa lalu, karena genarasi awal Islam ---sebagaimana disebut dalam salah satu hadits sahih Bukhari--- adalah ummat yang ummi, yaitu ummat yang tidak pandai tulis-baca dan menghitung (menghisab), maka cara yang paling mudah dan sederhana dalam menentukan hilal telah terbit adalah dengan cara melihat dengan mata kepala. Dalam perkembangan berikutnya, kurang lebih tiga abad setelah era Nabi Saw, ditemukan ilmu hisab (astronomi) yang dapat menghitung gerak benda-benda planet seperti gerak matahari, bumi dan bulan. Dengan ilmu ini, dapat dihitung secara tepat kapan bulan baru (hilal) terbit.
Oleh karena itu, dengan ditemukannya ilmu baru ini, maka cara lama (rukyah bi al-'ain) sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Justru metode rukyah inilah yang telah usang. Mempertahankan rukyah justru akan menghambat harapan untuk unifikasi (penyatuan) kalender Hijriyah global. Dampak selanjutnya, munculnya kesulitan-kesulitan lain dalam memprediksi peristiwa-peristiwa sosial keagamaan yang besar (terutama puasa Ramadhan, Idul Fithri, dan Idul Adha) di masa depan yang saling pengaruh dengan faktor lain, seperti faktor sosial-ekonomi. Akibatnya, umat Islam tidak dapat melakukan perencanaan yang matang dalam mengantisipasi dampak sosial, ekonomi, dan kamtibmas peristiwa sosial keagamaan di masa depan.
Anomali Imkanur Rukyah 3 Derajad
Dietetapkannya kriteria imkanur rukyah (visibiltas hilal) 3 derajad, sesungguhnya menegaskan bahwa era rukyatul hilal telah irrelevant. Hal ini bermakna, jika imkanur rukyah dijadikan patokan untuk memastikan hilal sudah wujud atau belum, maka sebenarnya kegiatan rukyatul hilal sudah tidak diperlukan. Oleh karena itu menjadi tidak relevan jika tetap melakukan rukyah sementara posisi hilal di bawah 3 derajad, karena diayakini ---setidaknya hingga saat ini--- bahwa hilal di bawah 3 derajad tidak mungkin dapat dirukyah dengan alat yang canggih sekali pun. Sebaliknya, menjadi tidak relevan pula melakukan rukyatul hilal jika menurut hisab posisi hilal 3 derajad atau lebih, karena berdasarkan pengalaman empirik, hilal telah dapat dirukyah pada posisi 3 derajad di atas ufuk.
Apa Benar Muhammadiyah Tidak Taat Pemerintah?
UUD 1945 Pasal 29 menitahkan bahwa Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Pasal ini menjadi garis tegas bahwa Negara tidak boleh masuk ke dalam ajaran agama. Dalam kaitan inilah sebenarnya Negara tidak boleh terlibat dalam penetapan hukum dalam agama, apa lagi terkait dengan penetapan ibadah. Dengan demikian, Negara hanya berwenang memfasilitasi kehidupan keagamaan.
Atas dasar berpikir seperti inilah, mengapa Muhammadiyah berpandangan bahwa terkait dengan penetapan 1 Ramadhan pemerintah tidak perlu terlibat. Pemerintah cukup menetapkan libur Syawal. Sementara, terkait penetapan 1 Ramadhan biarlah menjadi urusan masing-masing Ormas Islam.
Jika pemerintah tetap melibatkan diri dalam penetapan hukum agama ini, maka terjadilah rezimentasi ajaran agama. Tidak bisa tidak, dalam konteks ini pemerintah akan berpihak kepada pemahaman keagamaan tertentu. Sementara pemahaman keagamaan lain yang berbeda akan terdiskriminasi.
Tawadhu' (Rendah Hati) Mencari Kebenaran
Begitu pun, dengan ketawadhu'an sebagai hamba Allah yang terus mencari kebenaran, mari kita berfastabiqul khairat dalam beragama. Amat penting disadari bahwa perbedaan ijtihadiyah keagamaan yang muncul adalah rahmat Allah yang besar untuk memperkaya sekaligus mendinamisasi umat ke arah pemahaman dan pengamalan keagamaan yang makin sempurna. Yakinlah bahwa perbedaan adalah ujian dari Allah untuk membuktikan siapa di antara ummat ini yang paling baik amal (aktualisasi) keagamaannya. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar