Rabu, 19 April 2023

BERMUHAMMADIYAH SECARA NATURAL: MAKNA HAKIKI GERAKAN KEMBALI KEPADA AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

"Bermuhammadiyah secara natural (alamiah) merupakan cara bermuhammadiyah yang berupaya menjalankan agama sebagaimana  dipahami berdasarkan inner perspective Assabiqunal Awwalun (kaum Muhajirin dan Anshar) dalam beragama. Corak beragama generasi Muslim awal ini adalah corak beragama yang fitrati, lapang, dan terbuka. Simpul keberagamaan seperti ini diistilahkan dengan keberagamaan yang hanifiyatus samhah (Sadzajah)."

*******


Muhammadiyah salah satu organisasi dakwah dan pendidikan yang memiliki jargon gerakan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah (ar-ruju' ila al-Qur'an wa as-Sunnah). Tidak sedikit warga dan simpatisan Muhammadiyah memahami jargon ini dalam perspektif pemakanaan yang simplistik, sempit, dan kaku. Contoh pemaknaan sempit jargon "kembali kepada Al-Quran dan Sunnah" adalah penyamaannya hanya sekedar "gerakan pemurnian agama dari Takhyul, Bid'ah, dan Churafat (TBC)." 

Amat penting dipahami bahwa gerakan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah sesungguhnya adalah gerakan yang mengajak berislam sebagaimana kaum As-Sabiqunal Awwalun (para sahabat Rasulillah dari kalangan Muhajirin dan Anshar), yakni suatu penganutan agama yang fitrati, sadzajah, natural, atau alami.

Corak pemahaman keagamaan As-Sabiqunal Awwalun yang diidealkan oleh banyak kelompok umat Islam, tak terkecuali Muhammadiyah adalah keberagamaan yang hanifiyatus samhah, yakni keberagaman yang naluriah yang berhasrat kepada pencarian kebenaran yang lapang [bukan simplistik, parsial, kaku, dan sempit]. Karena memang Islam adalah agama yang diperuntukkan Allah sesuai dengan fitrah manusia. Ingat bahwa, Din al-Islam disebut juga Din al-Fithrah (agama fitrah).


Menghindar dari Keberagamaan yang Disetir Paradigma Ideologis Tertentu

Keberagamaan yang naluriah akan membebaskan seorang Muslim dari penganutan agama yang disetir oleh paradigma ideologis tertentu. Misalnya paradigma ideologis yang memotivasi permusuhan kepada kelompok lain yang dipandang mempraktikkan bid'ah. Penting digarisbawahi bahwa ideologi gerakan keagamaan yang menyulut rasa permusuhan ---misalnya kepada orang yang dipandang mengamalkan bid'ah--- sesungguhnya bertentangan dengan karakteristik asasi pendidikan dan dakwah Islam yang  bi al-hikmah wa al-mau'izhat al-hasanah (hikmah kebijaksanaan dan pengajaran yang baik).   Oleh karena itu gerakan pemurnian agama yang membawa umat Islam kepada pemahaman agama yang fitrati (natural, alamiah) sangat strategis, penting, dan harus menjadi gerakan bersama. Hal ini sekaligus menyelamatkan umat dari pemahaman agama yang sempit, kaku, dan fanatik buta.


Bagaimana Cara Mendapatkan Pemahaman Keagamaan yang Fitrati (Naluriah)?

Cara yang dituntunkan oleh Manhaj Tarjih dan Tajdid adalah memahami setiap nash/teks Al-Quran dan Sunnah yang dirujuk  melalui pendekatan bayani, burhani, dan 'irfani dalam suatu proses berpikir sirkuler-dialektis. Pendekatan ini tentu saja dipadu dengan pendekatan modern dalam kajian Islam seperti pendekatan hermeneutika, sosiologi, dan antropologi. Penerapan manhaj demikian ini tentu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang kompeten dalam menerapkan metodologi ini.

Untuk warga di tingkat bawah dapat diperkenalkan dan dituntun menerapkan cara sederhana dalam mendapatkan pemahaman keagamaan yang natural.  Cara dimaksud yaitu menyatukan pemahaman tekstual dan kontekstual ketika memahami nash/teks Al-Quran dan As-Sunnah yang dijadikan rujukan. Sebagai contoh: Mengambil pemahaman terhadap hadits isbal (menjulurkan pakaian yang menutup mata kaki). 

Salah satu nash/teks hadits tentang ini yaitu: 

"Man jarra izaarahu la yuriidu illa al-khuyalaa-a lam yanzhurullaahu ilaihi yaumal qiyaamati." (HR Ahmad No. 5075).

Artinya:
Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya, dan maksudnya tiada lain selain sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat.

Pemahaman terhadap makna tekstual hadits ini mesti dipadu dengan pemahaman terhadap konteks sosial-historis-psikologis hadits ini saat disampaikan oleh Rasulullah Saw. 

Konteks sosio-historis-psikologis suatu nash/teks dalil dapat diketahui melalui ayat atau  hadits lain yang terkait, atsar sahabat, dan atau sirah. Dalam hadits Muslim Nomor 3893 diketahui bahwa konteks hadits isbal ini terkait dengan penguasa Bahrain yang saat berjalan ia menghentakkan kaki dan pakaiannya menyeret di lantai. Abu Hurairah berkata, "Amir datang! Amir datang!" Rasulullah kemudian bersabda, "Allah tidak akan melihat kepada orang yang memanjangkan kainnya karena sombong."

Berbeda halnya dengan kasus Abu Bakar. Dalam hadis Bukhari Nomor 3392 dijelaskan bahwa ketika Nabi Saw menyatakan  hadis isbal sebagaimana tersebut di atas, Abu Bakar berkata, "Sesungguhnya sebelah dari pakaianku menjulur, kecuali aku menahannya (mengangkatnya)." Rasulullah kemudian bersabda, "Innaka lasta tashna'u dzalika khuyalaa-a." (Artinya: Sesungguhnya kamu melakukan itu bukan bermaksud sombong).

Setelah memadukan pemahaman tekstual (bayani) dan kontekstual (burhani), maka dapat dipahami bahwa larangan isbal itu bukan larangan lidzatihi (larangan semata-mata terkait material pakaian yang menutup mata kaki), tetapi larangan lighairihi, yakni larangan aspek esensial di luar material pakaian yaitu sikap sombong yang dipertontonkan oleh mereka yang bermegah-megah dalam berpakaian. Penting diperhatikan bahwa Nabi sendiri dalam shalat sering memakai sepatu yang menutup mata kaki.

Pemahaman tekstual dan kontekstual ini akan semakin sempurna dan mendalam jika dipadu lagi dengan pemahaman 'irfani. Pemahaman 'irfani akan memberi kita pemaknaan ruhaniah tentang maksud sesungguhnya pelarangan isbal. Di sini diperlukan pengerahan wawasan spiritual mendalam dalam merenungkan makna larangan sikap sombong (mukhillah atau khuyalaa') dalam berpakaian. Dengan pendekatan 'irfani akan dipahami tujuan hakiki dari pelarangan sifat sombong yaitu agar kaum beriman mencapai keyakinan tauhid yang bersih-murni sehingga setiap orang beriman benar-benar ikhlas menerima dan menjalankan agama (mukhlushina lahu ad-din).

Akhirnya dengan penerapan pendekatan tekstual (bayani), kontekstual (burhani), dan spiritual ('irfani) akan diperoleh pemahaman yang utuh, komprehensif, dan mendalam terkait pelarangan isbal.


Penutup Kata

Bermuhammadiyah secara natural (alamiah) merupakan cara bermuhammadiyah yang berupaya menjalankan agama sebagaimana  dipahami berdasarkan inner perspective Assabiqunal Awwalun (kaum Muhajirin dan Anshar) dalam beragama. Corak beragama generasi Muslim awal ini adalah corak beragama yang fitrati, lapang, dan terbuka. Simpul keberagamaan seperti ini diistilahkan dengan keberagamaan yang hanifiyatus samhah (sadzajah). Hemat penulis, corak beragama seperti ini pulalah yang diwariskan oleh para The Founding Fathers Muhammadiyah, terutama K.H. Ahmad Dahlan dan Nyai Siti Walidah Dahlan. Allahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar