Pada pembahasan ini, kita akan mendiskusikan filsafat keilmuan di dunia Islam era awal, yaitu mulai abad ke-9 M. Perkembangan filsafat di dunia Islam, tentu tidak dapat dipisahkan dari filsafat keilmuan sebelumnya.
Bagaimana hubungan historisnya dengan filsafat keilmuan Yunani Kuno?
Perkenalan umat Islam dengan filsafat yaitu ketika kekuasaan umat Islam memasuki wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi pusat-pusat peradaban dan keilmuan Imperium Romawi. Abad ke VII M, ekspansi kekuasaan Islam berlangsung sedemikan dahsyat memasuki Mesir, Syiria, Mesopotamia (Irak), dan Persia. Saat inilah dimulai kontak antara Islam dan filsafat Yunani (termasuk tentunya sains, seni, dll). Filsafat Yunani telah lama masuk ke daerah-daerah ini bersamaan dengan penaklukan Alexander The Great dari Macedonia ke kawasan Asia dan Afrika Utara. Alexander berkeinginan menguasai sekaligus menyatukan kebudayaan negeri-negeri yang ditaklukkannya, baik di Barat maupun di Timur. Karena itu, dibukalah pusat-pusat pengkajian kebudayaan dengan menjadikan kebudayaan Yunani sebagai inti kebudayaannya. Gerakan ini terkenal dengan gerakan Hellenisme. Hasil dari usaha ini, dikenallah pusat kebudayaan di Athena dan Roma untuk bagian Barat, sedangkan di Timur dikenal Alexandria (Iskandariyah) di Mesir, Antioch di Suriah, Jundisyapur di Mesopotamia, dan Bactra di Persia.*
Objek Utama Pembahasan Filsafat Keilmuan Islam
Pembahasan filsafat keilmuan Islam bertumpu pada Tuhan, yang oleh Al-Kindi disebut sebagai Al-Haqq al-Awwal. Hal ini nanti akan tampak jelas pada kajian ontologi keilmuan/metafisika para filsuf Muslim. Hal ini tentu menjadi perbedaan mendasar dengan filsafat Yunani.
Pandangan Al-Kindi tentang Ilmu
Al-Kindi, dengan nama lengkap Abu Yusuf Ya'kub ibn Ishaq ibn al-Shabbah ibn Imran ibn Muhammad ibn al-Asy'as ibn Qais al-Kindi, lahir di Kufah sekitar 185 H (801 M). Ia hidup pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah ketika Abbasiyah dipimpin oleh Al-Amin [809-813 M], Al-Ma'mun [813-833], Al-Mu'tashim [833-842], Al-Watsiq [842-847]; dan Al-Mutawakkil [847-861]. Masa-masa ini adalah masa kejayaan Daulay Abbassiyah yang ditandai dengan perkembangan intelektual yang pesat yang ditandai pula dengan berkembangnya paham rasional Mu'tazilah.1]
Al-Kindi membagi ilmu ke dalam dua kelompok besar, yaitu 'ilmu ilahiy (wahyu) dan 'ilmu insaniy (ilmu rasional). Kebenaran 'ilmu ilahiy (wahyu) bersifat mutlak, sementara kebenaran 'ilmu insaniy (pengetahuan rasional) bersifat relatif. Filsafat adalah 'ilmu insaniy.
Ketika, pada masa ia hidup, sebagian orang mempertentangkan wahyu dan filsafat, bahkan mencela filsafat, Al-Kindi melakukan pembelaan dengan menunjukkan keterpaduan agama dan filsafat dalam mencari kebenaran. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar (bahts 'an al-haqq, knowledge of truth). Al-Qur`an, menurutnya, bahkan membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan kebenarannya. Di sini, Al-Kindi menunjukkan bahwa ---dalam hal pencarian kebenaran--- Al-Qur`an membimbing dan membantu filsafat. Dengan demikian, misi Al-Qur`an dan misi filsafat sama-sama merentangkan kebenaran bagi manusia. Dengan pemahaman demikian ini, kebenaran yang dibawa Al-Qur`an tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dibawa filsafat. Karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan ilmu kalam (teologi) sendiri bagian dari filsafat. Sementara kaum Muslimin diwajibkan mempelajari ilmu kalam (teologi).1]
Lebih lanjut, Al-Kindi berpandangan bahwa bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus merupakan tujuan dari kedua wilayah keilmuan ini. Agama yang menyejarah dalam hidup dan kehidupan manusia bersumber dari wahyu. Pemahaman terhadap wahyu membutuhkan akal. Filsafat juga mempergunakan akal. Filsafat ---secara radikal--- mencari mencari Al-Haqq al-Awwal (Yang Benar Pertama). Bagi Al-Kindi, Al-Haqq al-Awwal ini adalah Tuhan. Filsafat, dengan demikian, membahas soal Tuhan. Sementara dalam agama, Tuhan pulalah yang menjadi pokok (ushul) dan asasnya. Pembahasan filsafat tentang Tuhan ini bagi Al-Kindi merupakan asyraf al-falsafah (filsafat paling agung).3]
Lebih jauh, Al-Kindi menyatakan bahwa orang yang menolak filsafat adalah orang yang menolak kebenaran. Orang seperti ini dapat dikelompokkan kepada "kafir", karena orang seperti ini sesungguhnya telah jauh dari kebenaran, meskipun ia mengangggap dirinya paling benar.
Pandangan Ontologi Al-Farabi dan Ibnu Sina
Pandangan ontologi Al-Farabi bertumpu pada konsep Al-Maujud al-Awwal, yang ia pahami sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Pemikiran ini sebenarnya kelanjutan dari pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonisme. Konsep ini tidak bertentangan dengan dengan konsep tauhid dalam ajaran Islam. Ingat bahwa Al-Qur`an menyatakan: Huwa al-awwalu wal akhiru wazhzhahiru wal bathinu. Dalam argumentasi tentang bukti adanya Tuhan sebagai al-Maujud al-Awwal, Al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud. Menurutnya segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternatif ketiga.4]
Mumkin al-wujud tidak akan berubah menjadi wujud aktual tanpa adanya wujud yang menguatkan. Wujud yang menguatkan itu bukan dirinya tapi Wajib al-Wujud. Walau demikian, mustahil terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum), karena rentetan sebab akibat akan berakhir pada Wajib al-Wujud.
Bagi Al-Farabi, Tuhan (Wajib al-Wujud) adalag 'Aql murni. Ia Esa adanya. Yang menjadi objek berpikirnya hanya substansi-Nya saja. Ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain untuk memikirkan substansi-Nya. Jadi Tuhan adalah 'Aql, 'Aqil, dan Ma'qul (Akal, Substansi yang berpikir, dan Substansi yang yang dipikirkan). Tuhan juga 'Ilm, 'Alim, dan Ma'lum (Ilmu, Substansi yang Mengetahui dan Substansi yang Diketahui).
Pandangan Epistemologi Al-Ghazali
Imam Ghazali (1058-1111). Al-Ghazali, di masa-masa akhir pengembaraan intelektualnya, pernah mengalami depresi. Saat itu ia meragukan pengetahuan indrawi, karena tangkapan indra sering meleset dari kebenaran. Ia juga meragukan kebenaran pengetahuan rasional. Karena penalaran rasio masih bersandar kepada materi dengan cerapan indra. Akhirnya, Ghazali berpandangan bahwa ilmu yang benar hanya lahir dari pemahaman yang benar tentang Allah. Pandangan yang terakhir inilah yang disebut ma'rifatullah. Ma'rifatullah bagi Al-Ghazali adalah puncak ilmu pengetahuan. Ia adalah kelezatan ruhaniah tertinggi.
Catatan:
*Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jilid II, h. 46; Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 9.
1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 17.
2] Hasyimsyah Nasution, h. 17.
3] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 12.
4] Hasyimsyah Nasution, h. 35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar