Kamis, 13 Oktober 2022

HAKIKAT ILMU: PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


"...dalam perspektif pendidikan, Allah-lah Muaddib (Pendidik) Maha Agung. Allah yang memulai pendidikan manusia, menentukan tujuannya, mengarahkannya, mengirimkan para Nabi untuk menyampaikan ilmu-Nya."
*******

Ilmu
Ilmu ( علم) artinya pengetahuan. Ilmu, ada yang dicari (hushuliy) dan ada yang diperoleh (hudhuriy). Ilmu hushuliy didapatkan melalui aktifitas membaca, belajar dan meneliti (lihat misalnya QS Al-'Alaq/96: 1-5). Sementara ilmu hudhuriy diperoleh melalui pewahyuan, ilham atau intuisi (lihat misalnya QS An-Nahl/16: 44).

Islam berbeda dengan Barat dalam memaknai ilmu. Bagi Islam, ilmu itu adalah salah satu dari sifat Allah. Allah sendiri ---dalam Asma' al-Husna--- disebut juga Al- 'Alim (العليم) artinya Maha Berilmu. Dalam penunjukan Adam a.s., sebagai khalifah disebutkan bahwa Allah SWT mengajarkan kepada Adam semua nama-nama benda (asma'a kullaha) (Al-Baqarah: 30). Asma' ini tentu saja ilmu pengetahuan. Artinya, Allah dengan sengaja membekali dan mengajarkan ilmu kepada manusia. 
Dalam At-Tafsir Al-Muyassar disebut demikian: 
وبيانا لفضل ادم عليه السلام علمه الله اسماء الاشياء كلها ثم عرض مسميتها على الملاءكة قاءلا لهم : اخبرني باسماء هءولاء الموجودات ان كنتم في انكم اولى بالاستخلاف في الارض منهم
(Terjemahan bebas: Surat Al-Baqarah ayat 30 adalah suatu penjelasan tentang keutamaan Adam a.s., bahwa Allah mengajarkan kepadanya keseluruhan nama-nama segala sesuatu, kemudian Allah menguji para malaikat mengucapkan/menjelaskan nama-nama itu dengan mengatakan kepada mereka, "Sampaikanlah kepada-Ku keseluruhan nama-nama entitas-entitas itu, jika benar kalian lebih pantas menjadi khalifah dari manusia di muka bumi ini").

Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an, setelah Allah SWT membekali Adam a.s., ilmu pengetahuan, maka beliau diamanahi tugas melakukan transformasi budaya dan peradaban. Proses ini berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya sampai hari ini.
Terkait pemilikan ilmu pengetahuan ini, Allah SWT juga mengingatkan bahwa semula manusia tidak memiliki ilmu pengetahuan sedikitpun tentang berbagai hal. Allah SWT kemudian melengkapi manusia dengan indra utama untuk menyerap pengetahuan yaitu pendengaran, penglihatan dan hati (fu'ad). Allah berfirman:

وَا للّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْــئًا ۙ وَّ جَعَلَ لَـكُمُ السَّمْعَ وَا لْاَ بْصٰرَ وَا لْاَ فْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur." (QS. An-Nahl 16: Ayat 78).

Oleh karena itu, dalam perspektif pendidikan, Allah-lah Muaddib (pendidik) Maha Agung. Allah yang memulai pendidikan manusia, menentukan tujuannya, mengarahkannya, mengirimkan para Nabi untuk menyampaikan ilmu-Nya.

Ilmu Allah itu ditunjukkan melalui ayat-ayat-Nya yang terdiri dari ayat tanziliyah (qauliyah), ayat anfusiyah (nafsiyah), dan ayat kauniyah (afaqiyah). Dalam pengembangannya, ayat qauliyah menghasilkan 'ulum ad-diniyyah, ayat anfusiah menghasilkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, sementara ayat kauniyah menghasilkan sains. Perlu dinyatakan disini bahwa aspek jasmani manusia termasuk ayat kauniyah.

Coba perhatikan, ternyata secara esensial-filosofis, ilmu-ilmu itu secara hakiki satu dan integral (tidak terpisah-pisah) dan bersumber dari Tuhan Yang Maha Satu, Allah SWT. Pemisahan dibutuhkan hanya untuk kebutuhan praktis-sosiologis saja. Hal ini karena saking Maha Luasnya ilmu Allah, ditambah sangat terbatasnya kemampuan manusia. Jadi, sangat tidak mungkin bagi manusia mempelajari semuanya.

Untuk keperluan ini, manusia kemudian memilih dan menentukan batas-batasnya dan mendalami apa yang diminatinya. Dampaknya muncullah spesialisasi (pembidangan) ilmu.

Perspektif Filsafat Keilmuan Barat tentang Ilmu
Barat membagi ilmu kepada: knowledge (pengetahuan biasa [common sense/ good sense]), science (ilmu pengetahuan alam), dan philosophy (filsafat). Sejak kebangkitan filsafat positivisme, Barat mencoret teologi dari wilayah keilmuan. Auguste Comte (1798-1857) menempatkan theology sebagai tingkat paling rendah dan paling primitif perkembangan ilmu. Manusia, menurut Comte, jika semakin cerdas, maka semakin tidak butuh lagi kepada theology (agama). Pada gilirannya nanti, manusia juga tidak butuh kepada metafisika. Manusia modern yang berperadaban menurutnya hanya butuh kepada ilmu pengetahuan positif-objektif, yaitu ilmu yang didasarkan kepada fakta empirik. Di luar penomena dan fakta empirik, bukan wilayah ilmu pengetahuan. Dengan demikian juga tidak perlu dipelajari.

Filsafat positivisme inilah yang menjadi landasan sains modern Barat yang menjelma menjadi Saintisme dan Objektivisme di Barat hingga saat ini. Fenomena inilah yang disebut para ahli sebagai religiusitas modern Barat yang mengenyampingkan Tuhan dari kehidupan.

Para ilmuan Muslim sejak dahulu memiliki cara pandang berbeda dengan kaum positivisme Barat. Secara konsisten, bagi ilmuan Muslim, teologi (pengetahuan tentang Tuhan) adalah wilayah paling tinggi ilmu pengetahuan. Al-Kindi menyebutnya sebagai asyraf al-falsafah (filsafat paling luhur). Di bawahnya ---secara berturut--- filsafat, sains, dan pengetahuan biasa. Dalam literatur Arab: 'Ulum ad-diniyyah, falsafah, 'ulum al-'aqliyah dan 'ilmu al-hissiyah (ilmu-ilmu keagamaan, filsafat, ilmu-ilmu rasional, dan pengetahuan indrawi).



Sumber Ilmu: Indra, Akal dan Hati
Sesungguhnya sumber dari segala sumber ilmu itu adalah Allah SWT. Dalam pembahasan ini, sumber di sini dipahami sebagai sarana dan media insani dari mana ilmu terpancar. Indra adalah sumber bagi ilmu-ilmu empirik, akal adalah sumber bagi ilmu-ilmu rasional, sementara hati adalah sumber bagi 'ilmu ilahiyyin (ilmu ketuhanan). Ketiga sumber pokok ini tidak boleh dipisahkan. Jika dipisahkan maka lahirlah ilmu-ilmu yang dikhotomik, yang bertentangan dengan naluriah dan thabi'iyah manusia. Peradaban Barat modern dengan sekularismenya dan peradaban Islam dengan dikhotomi, bahkan trikhotomi/trialisme keilmuannya ---yang ditandai kecondongan kuat mistisismenya pasca abad ke-12--- telah mengalami kondisi ini.
Dari sisi metodologi, indra dengan metode induktif, akal dengan metode deduktif, dan hati dengan metode 'irfani, juga harus berjalan beriringan dan padu (integral). Dengan cara demikian maka dihasilkanlah ilmu-ilmu integratif.

Ma'rifatullah: Puncak Ilmu
Jika ketiga sumber dan metode keilmuan terintegrasi, maka kajian dalam semua jenis keilmuan akan berujung pada ma'rifatullah
Ma'rifatullah adalah pengetahuan tentang Allah. Inilah capaian aksiologis tertinggi yang akan dicapai setiap ilmuan.
Pencapaian ma'rifatullah ini adalah amanat Ilahi. Di atas telah disebutkan bahwa semua objek ilmu adalah ayat Allah. Dalam bahasa lain, semua objek ilmu adalah tanda atau simbol Kemahabesaran Allah. Oleh karena itu, pada hakikatnya, semua yang dipelajari di penjuru langit dan bumi ini "berbicara" tentang Allah SWT.

Ingatlah firman Allah yang menjelaskan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi ---yang menjadi objek ilmu pengetahuan--- bertasbih, sujud, dan berserah diri kepada Allah SWT.


Gambar:
Atas:
Rumput hijau pinggir jalan By Pass sekitar Masjid Syekh Zainal Abidin Padang Sidempuan 09 Oktober 2022.

Bawah:
Bersama Prof. Muhammad Khair Al-Ghabbani dari Turkiye saat akan mengisi Seminar di UIN Syahada Padang Sidempuan 05 Oktober 2022.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar