Dalam filsafat Barat, filsafat keilmuan pra Socrates dipandang awal manusia berpikir filsafat. Topik filsafat yang pertama kali dipersoalkan adalah topik-topik ontologi. Ingat bahwa, ontologi adalah cabang filsafat yang mempertanyakan tentang hakikat yang ada.
Tercatat dalam sejarah filsafat bahwa Thales Miletus-lah (sekitar 580 SM) orang pertama disebut-sebut sebagai filosof sungguhan pertama (the first true philosopher). Apa di antara yang jadi pemikiran filsafatnya?
Thales melihat alam sekelilingnya. Ia mengamati seekor lembu yang memakan rumput dan minum air, tetapi bisa mengeluarkan susu (tentu di samping yang lain-lain). Apa yang terjadi? Perubahan. Jika ada perubahan, tentu ada sesuatu yang berubah, tetapi (ada pula yang, pen.*) tidak berubah. Atau dengan kata lain, apakah unsur asli dan hakiki dari semua benda yang ada di alam ini?1]
Sebelum Thales sampai ke tingkat memikirkan unsur asli dan hakiki (substansi) benda yang ada di alam, ia telah memiliki pengetahuan awal yang terwariskan dari orang-orang tua bahwa dalam alam ini ada empat unsur yaitu: udara, air, api dan tanah. Thales kemudia mengembangkan analisisnya filsafatnya tentang empat unsur pokok ini. Ia berpandangan bahwa salah satu dari unsur yang empat itu tentu ada unsur asli dan hakiki. Tetapi yang mana? Dari keempat unsur ini, air adalah yang paling jelas penomena berubahnya.
Sungai mengalir membentuk delta. Air membeku menjadi es. Es ditimpa panas mencair menjadi air kembali, dan jika dipanaskan lebih tinggi lagi malah berubah menjadi uap, menjadi udara. Dan udara yang bergerak menjadi angin yang menghembus api. Kalau begitu unsur hakiki itu adalah air. Segala benda di alam ini unsur aslinya adalah air. Alam semesta ini pada awalnya tercipta dari air, atau unsur dasar dari seluruh benda bumi ini.2]
Dalam perspektif fisika modern, penjelasan Tales itu tentu saja mengandung kekeliruan. Hanya saja dalam konteks zaman itu, pemikiran ini amat tinggi, maju dan berharga. Penjelasan Thales itu bagi kita saat ini berharga bukan karena isinya (content), tapi karena bentuknya (form), yaitu form berpikirnya.3]
Bentuk (form) berpikir rasional Thales ---bahwa disebalik semua yang ada ini ada zat tertinggi dan hakiki yang menjelaskan tentang perubahan, dan zat tertinggi itu sendiri tidak berubah--- merupakan suatu loncatan berpikir yang jauh, yang selanjutnya membuka ruang dialektika pemikiran filsafat yang lebih kritis dan luas.
Suatu anti tesis dari pemikiran Thales muncul dari Anaximander (sekitar 610-546). Ia mengajukan argumentasi:
...jika sekiranya semua benda adalah air, tentu sudah lama segalanya berubah menjadi air. Lagi pula, bagaimana air bisa berubah bentuk menjadi lawannya, yakni api? Bagaimana suatu kualitas dapat menimbulkan lawannya?4]
Bagi Anaximander, benda hakiki (the ultimate stuff) tidak mungkin salah satu dari empat unsur dimaksud. Tapi pasti sesuatu yang berada di luar empat unsur tersebut. The ultimate staff itu mestinya sesuatu yang tidak dapat diindera (non empirik), tidak bisa diatur, dan selalu dinamis (tidak tetap).
Ia menyebutnya Yang Tak Terbatas (The Unlimited). Penjelasan demikian ini tidak memuaskan, bahkan di kalangan murid-murid Anaximander sendiri. Apa gunanya sesuatu yang tidak terbatas, tidak tertentukan, lain dari yang lain dengan sesuatu, (sementara sesuatu, pen.) yang (disebut ini, pen.) sama sekali tidak ada. Kebanyak mengatakan tidak lebih baik (dari pemikiran Thales, pen.), bahkan sebagian menyatakan keduanya sama saja karena Ex Nihilio Nihil (Tidak ada yang timbul dari yang tidak ada). Menyadari hal ini mereka terus mencari.5]
Bagaimana dari Apeiron (The Unlimited) timbul alam semesta yang banyak ragam ini? Anaximander menjelaskan bahwa berawal dari Apeiron keluar yang panas dan dingin. Tidak diketahui dengan jelas apa zat yang panas dan dingin itu. Selanjutnya yang panas membalut yang dingin. Efeknya, dari yang dingin itu muncul yang cair dan beku. Benda beku inilah kemudian menjadi bumi. Api yang membalut yang dingin itu kemudian pecah terpencar, maka terjadilah matahari, bulan dan bintang.6]
Ada pun bumi yang kita tempati ini pada mulanya dibalut oleh uap yang basah. Karena bumi terus berputar, maka yang basah berangsur menjadi kering, yang tersisa menjadi lautan pada bumi.7]
Diskusi ontologis tentang yang "ada" ini berlanjut terus hingga ke Heraclitus (540-480 SM) dan Parmenides (lahir 540 SM). Dua tokoh ini memiliki pemahaman yang berbeda tentang substansi yang "ada". Heraclitos berpendapat bahwa yang ada hanyalah "perubahan". Dan unsur pembuat perubahan itu adalah api. Api, kelihatannya lebih ia pahami secara simbolik; simbol perubahan.
Heraclitus menarik beberapa kesimpulan yang mengejutkan dari pandangan ini. Realita bukanlah terdiri dari sejumlah sesuatu/benda, tetapi merupakan suatu proses dari penciptaan dan pemusnahan yang terus menerus. Heraclitus terkenal dengan ungkapan-ungkapannya, "War is King" (Peperangan adalah Raja). Anda tidak mungkin melangkah dua kali pada sungai yang sama (You can't step in the same river twice). Semuanya berubah kecuali perubahan itu sendiri (everything changes but changes itself).8]
sementara Parmenides berpendapat bahwa yang ada memang benar-benar ada. Parmenides beranggapan bahwa Heraclitos keliru dalam memahami yang "ada". Apa yang disebut oleh Heraclitos tentang perubahan yang terjadi pada setiap entitas hanyalah perubahan bentuk. Tidak ada perubahan pada esensi. Jadi yang ada (esensi) tetap ada (esensi). Hanya ada yang ada.
Pythagoras (lahir antara 580-570) seorang filsuf pra Socrates yang juga memiliki pemikiran filsafat yang unik dan spesifik. Ia memiliki perhatian kepada bentuk-bentuk material dan penyucian jiwa. Terkait esensi bentuk-bentuk material, menurutnya dapat dipahami melalui angka.
Realisme Plato
Plato (427-347 SM) tidak lagi sekedar membicarakan filsafat tentang ada (ontologi), tapi juga epistemologi dan aksiologi. Tema dominan dalam filsafat Plato adalah dualisme metafisik antara yang real dan aktual. Dunia fenomena yang memanifestasikan diri secara indrawi adalah representasi dari dunia real. Plato menyatukan pendapat Heraclitus dan Parmenides tentang hakikat yang ada (Lubis: 80).
Untuk sampai ke dunia real ini, Plato memulainya dengan teori bentuk. Dalam teori bentuk, Plato menjelaskan bahwa dari berbagai bentuk yang terindra oleh manusia, yang sangat banyak ragamnya itu, manusia terinspirasi untuk mempersepsi idea di balik berbagai bentuk itu. Dari inspirasi dan persepsi terhadap "bentuk" ini, selanjutnya rasio manusia naik ke tingkat berpikir lebih tinggi dan abstrak hingga menangkap ide-ide sempurna. Kesempurnaan menurut Plato hanya ada di alam idea (ideal), tidak di alam indrawi (Lavine: 37-38).
Plato berpandangan bahwa yang "ada tetap" itu adalah alam idea, sementara "ada yang berubah" adalah seluruh wujud materi di alam indrawi. Hubungan kedua alam ini menurutnya yaitu alam indrawi adalah gambaran (tashawwur, abstraksi, manifestasi) dari alam idea.
Pengetahuan yang sebenarnya itu ada pada alam idea (idea), sementara persepsi indra manusia terhadap semua objek indrawi hanyalah gambaran dari apa yang ada di alam idea. Dalam alam idea itu telah ada seluruh konsep semua yang tampak di alam semesta ini. Berdasarkan pemahaman demikian, Muhammad Baqir Ash-Shadr menyebut bahwa pandangan Plato tentang pengetahuan dapat disebut sebagai teori "pengingatan kembali". Disebut demikian karena bagi Plato segala konsep ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia dari berbagai objek material pada hakikatnya adalah "mengingatkan kembali" konsep-konsep abadi (yang tetap dan tidak berubah) di alam idea.
Realisme Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) adalah murid dari Plato. Selama dua ribu tahun, Aristoteles dijuluki Sang Filosof. Di kalangan filsuf Muslim, ia digelari al-Mu'allim al-Awwal (Lubis: 82-83). Ia lama berguru kepada Plato. Ia berbeda dengan gurunya dalam memahami realitas dan sekaligus pula berbeda dalam pandangan epistemologi.
Ia berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh dari sens indrawi terhadap objek-objek yang dapat diindra. Ia memahami kebenaran sebagai kesesuaian antara pengetahuan dan kenyataan. Kebenaran ada ketika representasi mental otak (idea) sesuai dengan hal-hal yang ada di dunia objektif. Ingat teori kebenaran korespondensi.
1]Nur A. Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum (Medan: IAIN Press, 2011), h. 69.
2]Nur A. Fadhil Lubis, h. 69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar