"Hal yang amat HARAM dilakukan adalah memaksakan pemahaman kita kepada orang lain. Mengapa amat HARAM karena kita membunuh keinsafan insaniyah orang untuk menimbang benar-salah, dan baik-buruk terhadap apa yang kita sampaikan. Pemaksaan ini merenggut kemerdekaan orang untuk menentukan pilihan (ikhtiar). Perlu diketahui bahwa kemerdekaan memilih ini salah satu hal paling asasi dan amat berharga yang diberikan Tuhan kepada manusia."
*******
Perbedaan jalan memahami agama itu diperlukan, bahkan mesti ada. Jika tidak ada maka tidak akan tumbuh dinamika dan perkembangan pemahaman keagamaan. Bayangkan misalnya, di dunia ini hanya ada satu bentuk/corak pemahaman agama. Dampaknya, orang-orang tidak lagi akan bertanya apakah keberagamaannya sudah benar atau sudah menuju sempurna. Manusia pun hampir pasti akan mudah jenuh dengan corak beragama yang satu warna ini. Karena tidak sesuai dengan natur jiwa dan pikirannya yang butuh dinamika perbedaan.
Jangankan soal perbedaan pemahaman agama di internal kaum muslimin, bahkan soal berbeda agama antar ummat/pemeluk pun dibiarkan oleh Tuhan tumbuh dan berkembang. Sekiranya Tuhan memaksakan kehendakNya, niscaya manusia di muka bumi ini dijadikanNya satu ummah saja (ولو شاء الله لجعلكم امة واحدة). Tapi Allah tidak mau seperti itu kan? Dengan keragaman agama ini Allah bermaksud menguji masing-masing pemeluknya, siapa di antara masing-masing ummat beragama itu yang paling baik amalnya (yang paling dekat kepada Millah Ibrahim) (ليبلوكم ايكم احسن عملا). [Lihat surat Al-Maidah ayat 48].Dalam hal perbedaan pemahaman ini pun, tujuannya itu juga: Yaitu ujian bagi setiap orang beriman, siapa di antara kaum beriman yang paling baik amalnya.
----- Hal yang amat HARAM dilakukan adalah memaksakan pemahaman kita kepada orang lain. Mengapa amat HARAM karena kita membunuh keinsafan insaniyah orang untuk menimbang benar-salah dan baik-buruk apa yang kita sampaikan. Pemaksaan ini merenggut kemerdekaan orang untuk menentukan pilihan (ikhtiar). Perlu diketahui bahwa kemerdekaan memilih ini salah satu hal paling asasi dan amat berharga yang diberikan Tuhan kepada manusia.
----- Terkait upaya pengembangan pemahaman atau pemikiran keagamaan ini, kita pernah mendiskusikan urgensi pendekatan bayani, burhani dan irfani.
-----Memadakan pendekatan bayani saja dalam memahami nas/teks agama, maka akan muncullah pemahaman yang kaku, tekstual atau letter lijck. Oleh karena itu perlu pendekatan burhani atau pemahaman kontekstual dengan menerapkan kaidah-kaidah ilmu modern seperti sosiologi, antropologi dan hermeneutika.
----- Realitasnya, dua pendekatan ini juga belum cukup. Mengapa? Karena pemahaman yang baik dari aspek paling hakiki dari agama tidak akan diperoleh kalau hanya dengan bayani dan burhani. Aspek paling hakiki itu adalah aspek ruhaniyah (sufistik/spiritualistik). Untuk mendapatkan pemahaman aspek terakhir ini maka perlu pendekatan irfani yaitu memahami makna terdalam di balik teks dan konteks dengan keinsafan batin yang mendalam dan sensitifitas nurani yang kuat.
-----Operasi metodologis pendekatan irfani ini tidak bisa berdiri sendiri, ia butuh pendekatan bayani sekaligus burhani. Dengan demikian, untuk memperoleh pemahaman agama yang komprehensif dan mendalam, ketiga pendekatan ini harus dioperasikan secara bersama dalam hubungan dialogis melingkar (sirkuler-dialektis).
-----Untuk menyebut contoh: "Perdebatan tentang kebolehan shalat sunat antara dua Azan Jum'at yang lazim disebut shalat Qabliyah Jumat." Memang, dalam perspektif bayani, tidak ditemukan dalil yang sharih sebagai landasan pengamalan shalat Qabliyah Jum'at ini. Hanya saja, jika shalat-shalat di luar shalat fardhu dilihat dalam konteks yang lebih luas, maka akan diperoleh poin-poin penting yang menuntun nalar kita bahwa Nabi Saw., tidak membentangkan perspektif pemahaman yang sempit dan membuat batasan-batasan kaku dalam hal shalat Tathawwu' (Sunnat). Artinya, terkait shalat sunnat ini, selain ada waktu-waktu yang ditradisikan dan waktu-waktu yang dilarang, ada pula waktu-waktu yang dibebaskan untuk shalat sesuai dengan keperluan dan kemampuan kita dengan tetap memperhatikan prinsip keseimbangan hidup duniawi dan ukhrawi. Perlu juga menjadi perhatian bahwa Nabi Saw., bahkan tidak memberi nama khusus untuk berbagai shalat Tathawwu' itu. Justru para ahli Fiqh-lah yang kemudin membuat namanya, mangategorinya, mengatur batasan-batasannya dan menetapkan waktu-waktunya yang relatif terdisiplin.
-----Selanjutnya, nalar kita akan lebih lapang lagi mempersepsi keberadaan shalat Qabliyah Jumat ini jika dilihat dalam perspektif cinta dan ketundukan hamba kepada Khaliq-nya. Kira-kira, andaikan Nabi Saw., masih hidup, lalu seseorang menyampaikan perilaku ibadahnya kepada Nabi, "Ya Rasulullah, demi cinta dan ketaatanku kepadamu, aku sangat berharap Allah mengampuni dosa-dosaku sehingga aku dapat bersamamu kelak dalam surga. Oleh karena itu, sebelum imam/khatib naik mimbar, ku manfaatkan waktu luang untuk ibadah Tathawwu' di antara dua azan Jumat sebagai tambahan ibadah bagiku."
-----Kira-kira, bagaimana respon Rasulullah Saw., terhadap orang yang menerjemahkan ketundukan ruhaniahnya kepada Tuhan dengan cara seperti itu? Apakah Rasulullah akan menghentikannya? Jika kita dalami kepribadian Rasulullah dan kita lihat cara-cara beliau merespon para sahabat, maka ---Allahu a'lam--- sangat mungkin Rasulullah akan senyum sebagai tanda keridaan beliau terhadap orang tersebut.
----Di sisi lain, ada pula ulama yang disiplin memahami juz'iyyat, hai'at dan kaifiyyat ibadah berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah. Oleh karena, menurutnya tidak ditemukan dalil yang sharih tentang Qabliyah Jumat ini, maka ia berkesimpulan bahwa shalat sunnat seperti ini tidak disyari'atkan. Bahkan ia mengategorikannya sebagai bid'ah yang harus ditinggalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar