Sabtu, 24 September 2022

MANUSIA: PERSPEKTIF PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



Apa perlunya kajian tentang manusia dalam pengembangan filsafat, pemikiran, konsep, teori dan praktik pendidikan Islam? Atau apa urgensinya memahami hakikat manusia bagi pendidikan?

Jawaban pokok, karena manusia menjadi objek sekaligus subjek pendidikan. Pendidikan adalah upaya manusia mendidik manusia. Atau upaya manusia "memanusiakan" manusia. Oleh karena itu, sebelum proses pendidikan dimulai, maka makhluk Tuhan yang disebut "manusia" ini harus dipahami secara teologis, filosofis, psikologis, sosiologis, bahkan saintifik. Dengan pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang manusia maka terpahamilah apa manusia itu sesungguhnya, bagaimana hakikatnya, bagaimana asal kejadiannya, bagaimana visi dan tujuan hidupnya, bagaimana bentuk pendidikannya dan cara-cara mendidiknya dan bagaimana cita ideal kepribadiannya (insan kamil).

Konsep Manusia: Perspektif Al-Quran
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa Allah memulai penciptaan mausia dari tanah. Kemudian Allah menjadikan keturunan manusia dari sari pati air yang hina. Kemudian Allah menyempurnakan kejadian biologis dan psikis manusia dan meniupkan ruh kepadanya. Selanjutnya Allah menjadikan bagi manusia pendengaran, penglihatan dan hati (af'idah) [As Sajdah ayat 7-9]. Dengan ketiga sarana yang amat penting ini manusia menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang berbudaya dan berperadaban.

Dalam surat As-Sajdah 7-9, diperoleh informasi yang memperlihatkan tahapan proses penciptaan atau kejadian manusia sbb:
  1. Manusia pertama (Adam a.s.) diciptakan dari tanah. Sementara anak turunannya dari air yang hina (من ماء مهين).
  2. Allah menumbuhkan jasad manusia dalam rahim ibu.
  3. Allah meniupkan ruh.
  4. Allah menjadikan bagi manusia pendengaran, penglihatan dan hati (وجعل لكم السمع والابصار والافءدة).
Hal paling sentral dalam kejadian manusia adalah ditiupkannya ruh yang berasal dari Allah sendiri ke dalam tubuh jismiyah manusia yang pertumbuhan biologisnya telah disangga oleh jiwa tumbuh-tubuhan (nafs an-nabatiyyah) dan jiwa hewani (an-nafs al-hayawaniyyah). Dari ruh ini kemudian manusia memiliki sarana psikis lain yaitu akal dan kalbu. Fuad ---dalam kajian para ahli tasauf---- adalah lapis tertentu dari qalbu. Terkait qalbu, ada yang menjelaskan demikian: Allah melengkapi manusia sarana yang dapat menjadi barometer baik-buruk dan benar-salah yaitu qalbu. Hal ini bermakna bahwa kalbu manusia menyimpan pengetahuan tentang baik dan buruk, serta benar dan salah. Di dalam qalbu terdapat fuad. Dalam fuad terdapat lubb. Dalam lubb terdapat sirr, dalam sirr terdapat nur.

Dengan adanya jiwa (nafs) dan ditiupkannya ruh, maka dengan sendirinya manusia telah memperoleh ilham dari Allah yaitu dua jalan yang bertolak belakang yaitu jalan fujur (fasik) dan jalan takwa (فالهمها فجورها وتقوىها). Jalan takwa itu dipatron oleh fitrah (فاقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التي فطر الناس عليها), sehingga manusia lahir memiliki tabiat berketuhanan atau berkepercayaan. Tabiat ini membuat manusia cendrung kepada kebenaran, kebaikan dan kesucian. Dengan fitrah itu, maka setiap anak manusia membutuhkan kepercayaan kepada yang kudus untuk sandaran dirinya yang lemah. Oleh karena itu, secara hakiki, tidak ada manusia yang benar-benar ateis. Realitasnya, kalau manusia gagal menemukan Tuhan yang sebenarnya, maka ia akan mencari tuhan palsu  atau ia menuhankan dirinya sendiri (ومن الناس من اتخذ الهه هواه).
Dengan ditiupnya ruh ke dalam jismiyah manusia, maka manusia menjadi makhluk yang by nature berkecendrungan dekat dengan Tuhan. Hal ini karena Tuhan telah menitipkan kepada manusia potensi-potensi Ilahiyah yang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan pembelajaran. Potensi-potensi itu sebagaimana terangkum dalam Asma' al-Husna (Nama-nama Allah yang Indah). Nama-nama yang Indah itu tentu saja menyimbolkan shifat dan af'al (sifat dan perbuatan) Allah. 
Keseluruhan Asma' al-Husna itu hanya diberikan dengan kadar tertentu kepada manusia. Tentu saja dengan kadar kualitas yang sangat dan sangat kecil dan tidak mungkin sama dengan Allah. Yang jelas masing-masing Asma' Allah dimaksud ada pada diri manusia. Untuk menyebut contoh: Allah adalah Ar-Rahman. Pada diri manusia ada potensi Ar-Rahman. Allah adalah Ar-Rahim, dalam diri manusia ada potensi Ar-Rahim. Allah adalah Al-Malik, manusia memiliki potensi Al-Malik, dst.

Konsep Fitrah dan Pengembangan Pendidikan
Di atas dijelaskan bahwa fitrah adalah patron penciptaan manusia. Imam Ghazali mengartikan fitrah dengan makna al-mailu ila al-haqqi (kecondongan kepada al-haqq (kebenaran). Setiap anak manusia ---secara thabi'iy/ by nature--- condong kepada dan atau mendambakan kebenaran. Jiwa manusia menunduk kepada kebenaran. Kebenaran (al-Haqq) itu sendiri adalah nama lain dari Allah SWT. Rasa ( dzauq) tentang yang benar itu sesungguhnya adalah rasa qalbiyah kita tentang Al-Haqq (Allah SWT). Disebut demikian karena al-haqq (kebenaran) memang milik Allah (الحق من ربك فلا تكونن من الممترين). Kebenaran demikian ini adalah kebenaran tertinggi. Noeng Muhadjir menyebutnya "kebenaran empirik-transendental". Kebenaran lainnya adalah turunan dari kebenaran empirik-transendental ini, yaitu ---secara top down--- kebenaran empirik-etik, kebenaran empirik-logik, dan kebenaran empirik-sensual.

Realitas fitrah pada diri manusia memberi petunjuk kepada kita bahwa manusia adalah makhluk yang sejak dilahirkan telah memiliki potensi bawaan untuk beragama yang hanif (دين حنيف). Anak manusia lahir sebagai individu yang suci dari dosa. Proposisi fitrah ini sangat berbeda dengan teori tabula rasa John Locke (1632-1704). John Locke berpandangan bahwa manusia lahir tidak membawa potensi atau bakat-bakat alamiah. Manusia, menurutnya dilahirkan oleh ibunya bagaikan kertas putih. Makna kertas putih ini yaitu tidak membawa potensi atau bakat alamiah. Interaksi dengan orang lain serta lingkungan tempat tumbuh dan berkembangnyalah yang menentukan perkembangan kepribadiannya. Konsep tabula rasa sama sekali tidak memiliki hubungan dengan Ketuhanan. Manusia di sini dipahami hanya makhluk jasmaniyah yang memiliki intelek yang lebih sempurna dan cerdas dari monyet. Berbeda dengan proposisi fitrah di atas yang menegaskan bahwa makna suci bagi anak manusia adalah suci atau bersih dari dosa, condong secara naluriah kepada Tuhan, dan memiliki potensi dan bakat bawaan sebagaimana terkandung dalam Asma' al-Husna.

Dengan cara pandang seperti ini, maka pemikiran dan konsep pendidikan mesti dikonstruk untuk menumbuhkembangkan potensi fitrah anak. 

Deduksi-koheren pandangan demikian ini terhadap pendidikan yaitu keseluruhan pemikiran, konsep dan teori pendidikan yang dikembangkan harus berorientasi kepada penumbuhkembangan potensi fitrah anak manusia sebagai 'abdullah dan khalifatullah fi al-ardh, sehingga ia tumbuh kembang menuju pribadi insan kamil. Allahu a'lam bi al-shawwab.



Gambar:
Perjalanan suasana hujan naik mobil travel saat melewati jalan tol di tengah kota Jakarta menuju Bandung 22 September 2022.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar