Rabu, 25 Mei 2022

PROSES-PROSES SOSIOHISTORIS PEMAHAMAN HUKUM AQIQAH


Pemahaman hukum fiqh seorang ulama terhadap suatu objek hukum tidak lepas dari inner perspective (idea primer) yang ada dalam lubuk pikiran yang mendasari proses berpikir hukum. Sebagai contoh:

1. Dalam hadis disebutkan secara terang bahwa aqiqah itu dilaksanakan pada hari ke-7 kelahiran (fi yaumi sabi'ihi), tapi sebagian ulama membolehkan pada hari lainnya bahkan setelah anak berumur lebih dari 2 tahun. Mengapa sebagian ulama dimaksud tidak ketat berpegang kepada makna tekstual hadis, karena inner perspective yang mereka pegangi yaitu: "Yang penting ummat ini menunjukkan ketaatan dalam beragama. Jadi biarlah tidak pada hari ke-7. Mudah-mudahan kesadaran untuk mengamalkan agama semakin tumbuh dalam lubuk jiwa ummat. Karena itu semangat keagamaan ini jangan dimatikan."
2. Ada pula yang berpegang kepada makna zhahir (tekstual) hadits. Inner perspective yang diperpegangi yaitu: "Kami cinta kepada Rasulillah Saw, maka kami tak mau menyelisihi ajarannya. Bagi kami ucapan Rasulillah yang shahih itu sama dengan wahyu (wama yanthiqu 'anil hawa, in huwa illa wahyun yuha). Petunjuk hari ke-7 dalam hadits itu pasti yang terbaik dan pasti pula ada rahasia eskatalogisnya."
3. Ada pula yang inner perspective-nya adalah aspek kebahasaan. Ulama pada bagian ini melihat bahwa teks Hadits tentang 'aqiqah menggunakan kata "ghulam" bukan "shabiy" (bayi). Kata "ghulam" (anak) dalam teks hadits (كل غلام رهينة بعقيقته) dapat dimaknai sebagai anak yang berumur 0 - 12 tahun. Oleh karena itu tidak mengapa jika melakukan aqiqah hingga anak berumur 12 tahun.
4. Ulama sufi/tarekat tertentu lebih lapang lagi. Mereka dalam bagian ini berpendapat bahwa aqiqah itu adalah syariat. Sementara yang utama dalam beragama itu adalah wilayah hakikat. Oleh karena itu tidak mengapa meskipun ia sendiri suatu waktu yang mengaqiqahkan dirinya.

Jika yang pertama itu perspektifnya mendidik orang banyak dengan ketaatan dalam beragama, maka yang kedua perspektifnya yaitu ketaatan primordial yang bersifat vertikal. Sementara yang ketiga, perspektif berpikirnya murni kebahasaan dan nyaris berlepas diri dari pertimbangan aspek ketarbiyahan (pendidikan hukum) dan keta'abbudiyahan (ketaatan vertikal). Yang terakhir perspektif berpikirnya murni perspektif sufistik yang nyaris lepas dari syariat.
Demikianlah beberapa himpunan pemahaman. Akhirnya mari kita berfastabiqul khairat dalam beragama.
Allahu a'lam.

Gambar: Selepas penyerahan santri kepada orang tua/wali santri Ponpes Modern Al-Kautsar Muhammadiyah, Harau, Kab. Lima Puluh Kota 21 Mei 2022.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar