By: Anhar dan Candra Adi Putra
Pengetahuan 'irfani adalah pengetahuan ruhaniah (spiritual) yang kudus tentang Kemahabesaran, Kemahaagungan dan Kemahamuliaan Allah SWT. Al-Qur`an memberi bimbingan bahwa pengetahuan kita tentang objek-objek indrawi (empirik) mesti berpuncak kepada pengetahuan tentang Allah itu sendiri. Pengetahuan yang demikian ini disebut dengan pengetahuan 'irfani atau dalam istilah Imam Al-Ghazali dinamakan ma'rifatullah.
Mari kita renungkan ayat di bawah ini:
اَفَلَا يَنْظُرُوْنَ اِلَى الْاِ بِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ
"Maka tidaklah mereka memerhatikan unta, bagaimana diciptakan?"
وَاِ لَى السَّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ
"Dan langit, bagaimana ditinggikan?"
وَاِ لَى الْجِبَا لِ كَيْفَ نُصِبَتْ
"Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan?"
وَاِ لَى الْاَ رْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
"Dan bumi bagaimana dihamparkan?" (Al-Ghasyiyah 17-20).
Maksud hakiki ayat ini tentu saja agar kaum beriman mampu melihat secara mendalam bahwa pada penciptaan unta, langit, bumi dan gunung mengandung pesan yang sangat jelas tentang Kemahabesaran penciptanya, yaitu Allah SWT.
Selanjutnya surat Ali Imran ayat 190-191 juga memberi bimbingan bahwa pengetahuan tentang ciptaan Allah (dapat dibaca: sains) akan mengantarkan pelajar atau ilmuan Muslim kepada pengetahuan tentang Allah (ma'rifatullah). Dalam ayat dimaksud dapat dimaknakan bahwa pelajar atau ilmuan Muslim adalah seorang Ulul albab. Ulul albab disebut oleh ayat adalah orang yang senantiasa berzikir (zikrullah) dan berpikir (atau mengkaji) ciptaan Allah. Secara aksiologis (perspektif nilai ilmu pengetahuan), hasil dari zikir dan pikir akan membuahkan kesadaran ilahiyah (ketuhanan) yang dalam dengan buah iman dan takwa yang kuat.
Dalam perspektif epistemologi (perspektif filsafat dalam memperoleh ilmu), ayat-ayat Al-Quran yang disebut di atas membimbing pelajar dan ilmuan Muslim agar:
Menangkap dan merenungkan dengan baik dan mendalam makna Ilahiyah (Ketuhanan) tentang penciptaan unta; langit yang ditinggikan; gunung yang ditegakkan; dan bumi yang dihamparkan; penciptaan langit dan bumi serta penomena siang-malamnya.
Untuk menangkap makna Ilahiyah itu tentu lebih dulu harus dicari makna ilmiahnya (makna rasional dan empirikalnya). Makna ilmiah dipahami melalui akal dan indera, yang selanjutnya mengantar kepada makna ilahiyah yang dipahami melalui qalbu (hati).
Pesan epistemologis ayat di atas ---sangat jelas--- supaya ilmuan atau pelajar Muslim memadukan indra, akal dan qalbu dalam mempelajari alam (ayat kauniyah).
Tanggapan Candra Adi Putra:
Semua ayat yang diujungnya ada ungkapan afala yatafakkarun/ afala ya'qilun (apakah kalian tidak berfikir/berakal) dan lainnya menurut pandangan ilmu saya yang sedikit ini, itu ayat-ayat teo antropo ecocentris. Berarti kita diminta meneliti..walohua'alam
Anhar:
Ya benar Mas Can. Hanya saja suruhan berpikir dalam ayat itu tidak boleh berhenti pada batasan rasio dan empiri sebagaimana mode berpikir ilmiah Barat itu. Tapi harus naik lagi ke tingkat 'irfani (pengetahuan tentang Tuhan).
Candra:
Yang saya pahami begitu Pak.. setelah dipikirkan maka makin beriman, bukan malah makin jauh dari Tuhan.
Ada kisah seorang mantan pilot jet tempur jaman perang dunia dulu (dimana jet tempur dulu blm pakai masker oxygen). Dia terbang tinggi "mendaki" langit... makin sesak napasnya...
Suatu waktu dia menemukan ayat dalam Quran Surat Al-An'am/ 6: 125. Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Dia kemudian kaget bagaimana Nabi Muhammad tahu kalau makin ke atas oxigen makin tipis dan dada sesak... Maka dengan 1 ayat ini dia diberitakan masuk Islam.. Hal menarik, pemilihan kata dalam Alquran.. bukan mendaki gunung tapi mendaki langit.... itu yang bikin muallaf takjub. Masya Allah... Gitu pak.. menurut saya ini contoh pemahaman berparadigma teoantropoecocentris... Wallahu a'lam.
Anhar:
Exactly mas Can.
Rahasia-rahasia sains, apakah konsep atau teori yang rumit, yang melahirkan ketakjuban pada hati ilmuan, tentu saja mesti tertuju kepada ketakjuban terhadap Sang Penciptanya (Allah SWT).
Kalau kondisi seperti ini terjadi, maka seorang ilmuan telah bersentuhan dengan ilmu 'irfani.
Terintegrasilah pikir, zikir dan amal dalam aktifitas keilmuannya. Kondisi ini yang diharapkan oleh paradigma teoantropoekosentris itu.
Candra:
Satu lagi pak ayat yang bikin astronom atheis terbelalak tentang asal mula alam semesta dan sumber khidupan adalah air. Para astronom ketika melihat exoplanet maka yang dicari adalah unsur air. Mereka kaget baca ayat berikut ini:
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Al Qur’an, 21:30).
Saya baca dari kisah astronom atheis bahwa dengan ayat itu akhirnya pintu hidayah terbuka baginya untuk menerima Islam. Jadi, hanya perlu satu ayat untuk membuat seorang atheis masuk Islam.. Tapi kita baca Quran tiap hari --yang saya rasakan --iman gak nambah2 Pak..."intropeksi diri" . Kurang ilmu irfani sepertinya pak WR???
Anhar:
Setuju mas Can.
Apa yang disebut oleh mas Candra ini adalah contoh-contoh bagaimana seorang ilmuan akhirnya sujud (tunduk) di hadapan Allah. Ia telah melewati pengetahuan sains yg rasional dan empirikal.
Kalau pengetahuan Sains kita dan generasi kita masih dalam batas-batas rasional-empirikal --- tidak pernah naik lebih tinggi ke wilayah pengetahuan Ilahiyah--- maka sama saja kita dengan ilmuan Barat yang positivistik (bahkan ateistik) itu. Semoga Allah mengampuni kita.
(Dari chat diskusi pada grup WA "Dosen Tetap IAIN Psp" 02 April 2022 dengan sedikit penyempurnaan redaksi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar