Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ وَا خْتِلَا فِ الَّيْلِ وَا لنَّهَا رِ وَا لْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّا سَ وَمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَآءِ مِنْ مَّآءٍ فَاَ حْيَا بِهِ الْاَ رْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ کُلِّ دَآ بَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَا لسَّحَا بِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَآءِ وَا لْاَ رْضِ لَاٰ يٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
"Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan ayat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti." (Al-Baqarah/2: 164
Terkait ayat Al-Quran di atas, ada informasi Hadis yang perlu menjadi perenungan. Isi Hadis dimaksud sebagai berikut:
Aisyah, istri Nabi mengatakankan bahwa ia menyaksikan Nabi Saw., menangis dalam Tahajjudnya, yaitu ketika berdiri, rukuk, mengangkat kepala dari rukuk dan sepanjang shalatnya. Aisyah kemudian bertanya, "Wahai Rasul Allah, apa yang menyebabkan engkau menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Rasulullah menjawab, "Bagaimana tidak menangis. Sebagai hamba seharusnya aku banyak bersyukur, tetapi mengapa tidak melakukannya, sementara Allah menurunkan firman-Nya: "Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, ... dst. (Lihat Al-Baqarah: 164 di atas).
Aisyah melanjutkan ceritanya: "Kemudian beliau Saw., berkata, "Celaka bagi orang yang membacanya, dan tidak mau berpikir terhadap kandungannya."
Dari perspektif filsafat ilmu, Nabi Saw secara 'amali (demonstratif) mengajarkan kepada kaum beriman bahwa:
Pertama, ayat Al-Quran dan hadis di atas berisi bimbingan aksiologi ilmu pengetahuan. Bimbingan aksiologis dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, pemahaman atau pengetahuan yang benar terhadap alam semesta dengan berbagai penomenanya akan melahirkan kesadaran terhadap nilai-nilai Ilahiyah, insaniyah dan kauniyah (Ketuhanan, Kemanusiaan dan Kealaman).
Kedua, selanjutnya pemahaman terhadap ayat-ayat qauliyah (wahyu) dan ayat-ayat insaniyah (manusia) atau ayat kauniyah (alam semesta) dengan pikiran yang lurus dan qalbu yang suci akan mengantarkan seorang Muslim kepada puncak kesadaran diri sebagai 'ibadurrahman (hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) yang bersyukur kepada-Nya ('abdan syakura). Hamba yang bersyukur adalah hamba yang benar-benar sadar akan kasih dan sayang Allah dan kebergantungan dirinya kepada Allah serta kelemahannya di sisi Allah. Kondisi jiwa yang bersyukur ini membuatnya selalu zikirullah (mengingat Allah) dalam kondisi apa pun, ikhlas menghambakan diri kepada-Nya dan senantiasa penuh harap akan pertolongan-Nya.
Ketiga, objek yang digambarkan Allah dalam ayat di atas adalah alam semesta dan penomena ciptaan-Nya yang juga menjadi objek kajian Sains. Allah menegaskan bahwa, bagi orang yang beriman (sudah tentu juga termasuk Saintis yang beriman), objek kajian berupa alam semesta ini adalah bagian dari ayat (tanda-tanda kebesaran) Allah.
Keempat, kesadaran yang dalam terhadap ayat-ayat Allah ini akan mengantarkan orang atau Saintis beriman kepada penghayatan qalbiyah (hati, 'irfani, atau intuitif) terhadap makna-makna yang terkandung dalam Asma' Allah (Nama-nama Allah yang Indah dan Agung). Dengan demikian pengetahuan sains seorang Muslim, tidak lagi hanya sekedar pengetahuan rasional dan empirikal, tetapi telah naik kepada pengetahuan 'irfani (ilham atau intuitif).
Pengakuan terhadap urgensi pemaduan ilmu rasional-empirikal dan ilmu ''irfani ini tidak saja telah digelorakan ilmuan Muslim zaman keemasan peradaban Islam masa lalu, tetapi juga oleh segelintir ilmuan Barat yang besar seperti Albert Einstein. Einstein pernah menyatakan bahwa ilmu yang utuh adalah ilmu yang merupakan perpaduan ilmu rasional-empirikal dan mistis intuitif.
Kelima, dengan sampainya seorang Saintis atau pelajar Sains kepada pengetahuan 'irfani ini, maka kepribadiannya akan terbentuk menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah SWT ('abdan syakura) dan tentu pula akan berproses menjadi insan kamil (insan paripurna). Allahu a'lam.
Gambar: Pembahasan Draf Perpres UIN di Mercure Hotels
Tidak ada komentar:
Posting Komentar