Rabu, 09 Maret 2022

JALAN KETIGA (JALAN IRFANI): PENYEMPURNA BERPIKIR ILMIAH

Jalan klasik dalam berpikir ilmiah yaitu jalan deduktif dan induktif. Jalan deduktif adalah jalan pertama, sementara jalan induktif adalah jalan kedua. Perpaduan kedua jalan berpikir klasik ini disebut dengan jalan berpikir ilmiah.

Lalu, apa jalan ketiga? Jalan ketiga adalah jalan 'irfani (intuitif). 

Jalan Deduktif dan Induktif
Jalan deduktif adalah jalan rasional pencarian ilmu yang bergerak dari postulasi/aksioma tertentu ke proposisi yang bermakna khusus. Jadi jalan deduktif itu suatu jalan berpikir dari proposisi umum/kulli/mayor menuju proposisi khusus/juz'i/minor. Jalan deduktif ini benar-benar jalan rasional atau jalan 'aqliyah. Ia memanfaatkan proposisi umum sebagai batu uji bagi proposisi minor yang menjadi turunannya. Dengan demikian, jalan deduktif ini benar-benar memakai teori koherensi/konsistensi dalam pembuktian logikanya. 
Jalan deduksi ini ---karena dari atas ke bawah--- sangat membantu bagi manusia dalam mengkonstruk suatu pemikiran yang koheren mulai dari grand idea/grand theory hingga ke application theory. Atau mulai dari konsep umum hingga ke konsep yang lebih khusus.

Di sisi lain, jalan induktif membantu manusia untuk merumuskan konklusi umum atau proposisi umum dari hal-hal partikular empirik. Dalam ruang populer, jalan induktif dipahami sebagai jalan berpikir dari khusus ke umum. Atau dari juz'i ke kulli. Dengan demikian, induksi itu tampaknya seperti jalan sebaliknya dari deduksi. Jika deduksi mengalir dari umum ke khusus dalam wilayah rasional, maka induksi mengalir dari khusus ke umum dalam wilayah empirikal (indrawi).
Jalan induksi ini salah satu kebutuhan berpikir  (tuntutan akal) manusia untuk memperoleh makna umum dari berbagai kesamaan yang ada pada objek-objek partikular-indrawi. Kesamaan sifat, bentuk atau karakter pada masing-masing objek ini lalu dirumuskan suatu proposisi/pernyataan umum yang mengikat secara bersama masing-masing objek dimaksud. Contoh untuk hal ini misalnya kita mengambil kesimpulan umum dari kesukaan keluarga XY (yang terdiri dari A, B, C, D, E, F, G) terhadap durian:
Objek-objek partikular (juz'i) di keluarga XY tentu saja A, B, C, D, E , F dan G. Ketika masing-masing ditanya, "Apakah Anda menyukai durian?" Maka A menjawab, "Suka". B, C, D, E dan F juga mengatakan suka. Proposisi umum yang dapat ditarik dari masing-masing jawaban itu adalah: "Keluarga XY menyukai durian". Atau "Tidak ada satu pun dari keluarga XY yang tidak menyukai durian.
Jalan induksi ini sangat populer dalam dunia sains. Ingat misalnya bagaimana hukum Archimedes yang terkenal dan sudah klasik lahir dari proses induksi ini.

Berpijak kepada penjelasan di atas, tampak bahwa jalan deduksi benar-benar bertumpu kepada akal (rasio), sementara jalan induksi berumpu kepada indra (empiri). Perpaduan kedua jalan inilah yang oleh ilmuan Barat disebut sebagai jalan berpikir ilmiah. Sebenarnya ada satu lagi jalan yang amat penting yaitu jalan 'irfani (intuitif) yang berulang kali disebut dalam Kitab Suci umat Islam dan telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw., para sahabat, ulama dan filosof muslim klasik.

Bagaimana jalan 'irfani (intuitif)?
Jalan irfani adalah jalan ilmu yang bertumpu kepada qalbu (hati). Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa jalan qalbu inilah sesungguhnya yang menjadi penentu untuk sampai kepada ilmu yang hakiki (ilmu paling puncak; ilmu yang sempurna; 'ilm haqq al-yaqin). Argumen ini tentu saja sangat berdasar dari Al-Quran dan Sunnah.

Jalan 'irfani adalah kelanjutan dari jalan deduksi dan atau induksi. Jalan irfani membawa nalar deduksi dan atau induksi seorang pencari ilmu sampai kepada ma'rifatullah (pengetahuan irfani/intuitif tentang Allah atau lokus pengatahuan Ilahiyah). 
Jalan 'irfani yang bertumpu pada qalbu ini dimulai dari upaya qalbu memahami hasil pencarian deduksi dan atau induksi. Qalbu bekerja dengan cara merasakan, menyadari dan menghayati hasil pencarian rasio dan indra. Selanjutnya qalbu akan memberi abstraksi atau gambaran kepada akal untuk selanjutnya abstraksi dimaksud dirumuskan oleh akal menjadi rumusan ilmu pengetahuan.
Contoh abstraksinya sebagai berikut:
Seorang yang melakukan penelitian dalam bidang sains biologi misalnya menemukan bahwa pasien-pasien yang mengalami hipertensi ketika diperdengarkan musik klasik, terjadi proses biologis penurunan tensi darah. 
Penalaran selanjutnya, ketika si peneliti menggunakan nalar 'irfani maka qalbunya akan memperoleh kesan dan kesadaran ilahiyah bahwa hukum Tuhan (sunnatullah) bekerja secara rapi yang terwujud dalam respon hormonal dalam menurunkan tensi darah.
Kesan dan kesadaran ilahiyah dimaksud akan menyempurnakan informasi rasional dan empirikal yang diperoleh secara saintifik tersebut. 
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan sains yang diperoleh tidak lagi sekedar informasi teknis, teknologis, empirikal dan rasional tetapi sudah naik ke tingkat makna Ilahiyah. Implikasinya, ilmu demikian ini tidak saja bernilai duniawi tetapi juga ukhrawi. Wallahu a'lam.


Gambar: Rapat Pleno Pembahasan Harmonisasi 5 Draf Perpres UIN Tanggal 07 Maret 2022.

7 komentar:

  1. Apakah kemampuan irfani mahasiswa dapat diasah melalui jalur akademik?
    Misalnya melalui kuliah, praktikum atau kegiatan ekstrakurikulum?

    BalasHapus
  2. Betul sekali. Karena kemampuan irfani itu dapat diajarkan. Misalnya ketika seorang guru menjelaskan makna ilahiyah dari suatu penomena alam, sebenarnya secara kognitif ia telah mengajarkan kemampuan irfani.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo program khusus mengasah kemampuan irfani belum ada di PTKI ya pak?

      Hapus
  3. Membangun pemikiran Transendentalisme

    BalasHapus
  4. Ya, ilmu irfani adalah bagian yang terpisahkan dari banyak ilmuan muslim kontemporer.

    BalasHapus
  5. Iya ayahanda, Mendidik pikiran tanpa mendidik hati adalah bukan pendidikan yang sesungguhnya.

    BalasHapus