Kamis, 10 Maret 2022

BERDOSA JIKA PENGETAHUAN SAINS KITA HANYA SEBATAS PENGETAHUAN RASIONAL DAN EMPIRIKAL

Pengetahuan sains yang hanya sampai batas pengetahuan rasional, empirikal, teknologis dan teknis merupakan pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah. Marilah renungkan ayat Allah berikut:

اَللّٰهُ الَّذِيْ رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَا لْقَمَرَ ۗ كُلٌّ يَّجْرِيْ لِاَ جَلٍ مُّسَمًّى ۗ يُدَبِّرُ الْاَ مْرَ يُفَصِّلُ الْاٰ يٰتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَآءِ رَبِّكُمْ تُوْقِنُوْنَ

Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menundukkan matahari dan bulan; masing-masing beredar menurut waktu yang telah ditentukan. Dia mengatur urusan (makhluk-Nya), dan menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu. (QS. Ar-Ra’d 13: Ayat 2)

Dalam ayat Al-Quran di atas, dengan gamblang ditunjukkan bahwa maksud penggambaran ciptaan (alam semesta) dan penomenanya yang berada dalam kekuasaan Allah agar manusia yakin pertemuan dengan Tuhannya.

Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang secara esensil memiliki makna yang sama dengan ayat Al-Quran di atas. Sebagai Maha Pendidik, Allah SWT berkali-kali menjelaskan objek-objek di alam semesta dan berbagai penomenanya. Tujuannya adalah agar manusia mengagungkan Asma’-nya, mengetahui Kemahabesaran-Nya dan meyakini pertemuan dengan-Nya.

Jika Allah SWT sebagai Maha Berilmu menegaskan bahwa alam semesta dan isinya serta penomenanya merupakan ayat-ayat Allah (tanda-tanda/simbol Kemahabesaran Allah) kepada manusia, maka siapa pun ilmuan Muslim yang menjelaskan alam semesta dan penomenanya wajib melihatnya sebagai bagian penjelasan tentang ayat-ayat Allah.

Oleh karena itu seorang ilmuan, dosen atau guru Muslim, ketika memahami sains dan menjelaskannya kepada orang lain tidak boleh hanya berhenti pada penjelasan rasional, empirikal, teknologis dan teknis. Karena, sekali lagi, apa pun pengetahuan yang kita peroleh tentang alam semesta, sungguh pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan tentang ayat-ayat Allah (ayat kauniyah).

Barat memang telah berhasil dalam propagandanya merubah paradigma (mode) berpikir sebagian besar ilmuan Muslim era modern-kontemporer ini. Buktinya banyak dari saintis Muslim, bahkan dosen dan guru yang mengikuti pandangan bahwa ilmu sains tidak ada hubungannya dengan wahyu (agama). Dampaknya terpeliaharalah pandangan bahwa Sains adalah Sains an sich. Sains itu rasional dan empirikal (indrawi). Jangan campurkan dengan penjelasan metafisis, dan apa lagi wahyu (agama). Tujuan Sains hanya kemaslahataen lahiriyah (duniawi). Tidak lebih dari itu. Demikian gambaran singkat propaganda itu.

Dalam perspektif Al-Quran, pemahaman paradigmatif demikian tentu saja bertentangan dengan kehendak Ilahi yang menyebut semua objek Sains adalah min ayatillah (bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah). Dengan demikian, segala rumus, penyimbolan dan deskripsi kita tetang apa pun objek di alam semesta adalah tanda-tanda tentang Allah. Tanda itu jika ditransendensikan tentu mengandung makna Kemahaagungan, Kemahabesaran, Kemahasempurnaan, Kemahasucian Allah serta Kemahaan Asma’ Allah lainnya. Untuk lebih menajamkan ingatan dan pemahaman bahwa semua objek sains adalah ayat Allah, lihat misalnya Al-Quran surat Fussilat ayat 53:

Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat  (tanda-tanda kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?

Berdasarkan penjelasan di atas, amat penting jadi penegasan bahwa pemahaman dan penjelasan Sains harus tertransendensikan melampaui batas-batas rasional, empirik, teknologis dan teknikal. Jika batas ini terlampaui  maka amanat Ilahi tentang tujuan pembacaan ayat-ayat kauniyah akan tercapai. 

Capaian ilmu pengetahuan pada tahap terakhir ini telah sampai kepada pengetahuan ‘irfani, yaitu pengetahuan qalbiyah (hati) yang indah dan berseri tentang  Allah itu sendiri (ma'rifatullah). Suatu pengetahuan di atas/melampaui akal (rasio) dan indra (empiri). Implikasi lebih lanjut, ilmu Sains akan berfungsi meningkatkan keimanan dan ketakwaan mereka yang mempelajari dan mendalaminya. Allahu a’lam.


 


 



4 komentar:

  1. Dalam pendidikan Islam, kerangka
    epistemologi yang dikembangkan harus memadukan dan mensinergikan antara nalar bayani, burhani dan irfani...

    BalasHapus
  2. Betul sekali adinda. Sinergi dan pemaduan nalar bayani, burhani dan 'irfani itu harus menjadi distinksi berpikir dosen-dosen UIN, IAIN dan STAIN. Sehingga kita berbeda dengan ilmuan yang tersekulerkan.

    BalasHapus
  3. Trimakasih ilmunya bang.
    Bagaimana kita meyakinkan dan menempatkan IPTEK dan sains itu memiliki keterbatasan dalam memaknai ayat ayat Al Qur an yg sudah sempurna dan akan terjadi. Semisal peristiwa isra' dan mi'raj Rasulullah.

    BalasHapus
  4. Iptek atau Sains yang masih berpijak kepada paradigma positivistik di samping memiliki keterbatasan juga bersifat paradok jika digunakan memaknai ayat Al-Quran. Tetapi jika pemikiran Sains telah melewati batas-batas rasional-empirikal, maka qalbu akan membawa nalar kita ke lubuk hati Al-Quran. Jika sudah demikian, maka peristiwa Isra' Mikraj akan menjadi bacaan yang indah bagi nalar Sains yang dibawa oleh qalbu itu.

    BalasHapus