Secara empirik, masing-masing orang pasti bisa merasakan bahwa ada 2 (dua) elemen psikologis penting yang berperan dominan ketika kita beribadah kepada Allah, yaitu:
1. Akal (rasio)
2. Qalbu (hati)
Selanjutnya, secara empirik juga kita akan merasakan bahwa jalan nalar akal (rasio) kita punya kecenderungan kepada 2 (dua) jalan berbeda:
1. Ke luar kesadaran, dan
2. ke dalam kesadaran.
Kesadaran itu sendiri ada pada qalbu kita. Untuk membuktikan kesadaran ada dalam qalbu, cukup dengan menutup sementara pandangan mata kita atau nalar liar otak kiri kita terhadap objek luar. Ketika hal ini dilakukan, kita akan langsung merasakan bahwa kesadaran kita langsung mengaktual. Perlu diketahui bahwa dalam qalbu itu ada lubuk kesadaran Ilahiyah (Ketuhanan). Lubuk kesadaran Ilahiyah inilah yang diistilahkan dengan Fu'ad.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, maka secara epistemologis dapat dijelaskan bahwa khusyuk itu adalah upaya menahan liarnya jalan nalar menuju ke luar kesadaran, dan membuka jalan nalar yang lapang menuju ke dalam kesadaran.
Tampaknya, jalan nalar yang menuju ke luar kesadaran inilah yang disebut dengan jalan otak kiri, sementara jalan nalar menuju ke dalam kesadaran disebut dengan jalan otak kanan.
Bagaimana pengalaman empirik kita masing-masing saat beribadah Shalat? Penulis sendiri merasakan bahwa seringkali ketika mulut ini komat-kamit membaca bacaan Shalat, nalar penulis berjalan menuju luar kesadaran. Saat penomena ini terjadi maka yang menjadi objek nalar saya adalah hal-hal di luar diri saya. Dalam keadaan seperti ini, na'udzubillah, Tuhan-pun seolah kita tinggalkan. Tetapi jika arus nalar yang menuju luar kesadaran itu kita stop, dan kita arahkan menuju ke dalam kesadaran, maka "kita kembali bersama Tuhan".
Allah SWT membimbing cara yang amat cerdas mengarahkan jalan nalar menuju ke dalam kesadaran, yaitu dengan bersikap tadharru' (rendah hati), khufyah (lemah lembut), khauf (takut), dan thama' (harap). Tentang hal ini penulis teringat nasehat seorang ulama, "Sebelum engkau berdiri di atas sajadah itu, buang jauh-jauh perasaan dan sikap sombongmu supaya Allah mendengar komat-kamit zikirmu."
Nasehat ulama itu logis sekali. Secara aksiologis shalat memang mendidik untuk rendah hati. Ketika kita berdiri dan mengucapkan Allahu Akbar, kita mengagungkan Kemahabesaran Allah sembari kita meredam egoisme kita. Dalam setiap bergerak memasuki fase-fase gerakan shalat, kita mengucapkan ucapan dahsyat ini di tambah ucapan-ucapan lain setiap perhentian fase-fase gerakan shalat. Kesadaran kita pun menghunjam ke fu'ad (lubuk hati) kita bahwa "kita tidak ada apa-apanya, kita makhluk yang lemah dan tak berdaya. La haula wala quwwata illa billah."
Allahu a'lam.
Catatan tambahan:
Analisis di atas masih berbau asumtif. Untuk analisis yang utuh perlu melihat kaitan elemen akal dan qalbu dengan ruh dan nafs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar