Minggu, 24 Oktober 2021

FILSAFAT KEILMUAN DUNIA ISLAM ERA KLASIK

Filsafat keilmuan di dunia Islam era klasik dapat mulai dilacak pada Al-Kindi yang hidup pada abad ke 9 M. Membaca penjelasan Harun Nasution dapat diketahui bahwa beliau telah mencurahkan pemikiran filsafat pada bagaimana hubungan wahyu dan akal (rasio) yang nota bene menjadi sumber ilmu pengetahuan. 

Al-Kindi berpendapat bahwa wahyu dan akal (rasio) tidak bertentangan. Bahkan bagi Al-Kindi, wahyu dan akal dapat disatukan dalam mencari kebenaran. Al-Kindi berargumen bahwa tujuan filsafat (dapat dibaca: akal) adalah kajian/pembahasan tentang yang benar dan wahyu itu pula objek pembahasannya. Bahkan wahyu menyajikan informasi yang kebenarannya lebih tinggi dari kebenaran 'aqliyah (rasional). Dengan demikian, dua sumber yang amat penting bagi manusia ini sama-sama membahas kebenaran. Dengan demikian dilihat dari perspektif tujuan, maka genre wahyu dan akal ini benar-benar sama, yaitu jika akal (rasio) bergerak-berjalan menuju kebenaran, maka wahyu membentangkan kebenaran.

Secara hirarkis, semuan filsuf Muslim, dan tentu saja Al-Kindi memandang posisi wahyu lebih tinggi dari akal. Akal dalam perspektif ini membantu dan membimbing akal dalam menemukan kebenaran. Jika wahyu menyebutkan Al-Haqq (Allah SWT) sebagai tujuan akhir pencarian, maka daya akal juga berjalan menuju Al-Haqq. Demikianlah, Al-Kindi menginspirasikan bahwa kegiatan keilmuan dengan akal sebagai lokomotifnya terintegrasi dengan wahyu yang berposisi sebagai pembantu dan pembimbing bagi akal dalam menemukan kebenaran.

Al-Farabi, filsuf Muslim yang lahir setelah Al-Kindi, lebih merinci fase/tingkatan pencapaian akal dalam mencapai kebenaran ilmu pengetahuan. Rincian dimaksud sebagai berikut:

1. Akal potensil (العقل الهيولاني), akal yang kemampuannya baru sebatas menyimpan dan mengolah laporan indera dari objek-objek material-indrawi dalam bentuk yang sederhana.

2. Akal aktual (العقل بالفعل), akal yang kempuannya telah dapat mengolah objek-objek material/indrawi dan mengabstraksikannya menjadi makna, arti dan bentuk.

3. Akal mustafad (العقل المستفاد), yakni akal perolehan, akal yang yang telah dapat menangkap makna dan bentuk-bentuk abstrak yang lebih tinggi yang tidak terkait dengan hal-hal material-indrawi dan mempunyai kemampuan mengadakan komunikasi dengan akal ke-10 (malaikat Jibril) dan menerima limpahan ilmu darinya.

Satu tingkat kemampuan akal dapat naik ke tingkat di atasnya hanya dengan bantuan 'aql al-fa'al yang terpisah darinya dengan cara menyinarinya.

Dengan demikian 'aql al-fa'al bagi Al-Farabi melanjutkan limpahan cahaya Allah kepada akal di bawahnya. Perlu dijelaskan di sini bahwa tingkatan akal di sini maksudnya adalah tingkatan dayanya. Jadi, orang-orang tertentu dengan latihan terus-menerus dalam menyempurnakan daya akalnya dapat sampai kepada akal tertinggi (aql al-fa'al). Hal ini tentu saja maksudnya tingkat kemampuan abstraksi akal dalam menangkap ilmu pengetahuan dari berbagai objek baik yang material maupun yang non material. Kemampuan akal serupa ini menurut Al-Farabi sudah setingkat dengan kemampuan akal para Nabi. Perbedaannya, jika para Nabi dianugerahi kemampuan akal yang tinggi, maka para filsuf (manusia biasa) mesti melakukan latihan-latihan yang sungguh-sungguh untuk sampai kepadanya.

Tampak bahwa perjalanan akal versi Al-Farabi ini dimulai dari kemampuan mengolah dan menalar objek yang material sampai kepada objek non material dengan tingkat abstraksi pengetahuan yang paling tinggi. Pada tingkat paling tinggi ini, bagi sebagian pemikir Muslim  bukan lagi pekerjaan akal semata, tapi sudah melibatkan ketajaman mata hati. Namun Al-Farabi menyebutnya sebagai area perjalanan akal manusia.

Di sisi lain, Imam Ghazali berpandangan bahwa tingkat tertinggi capaian pengetahuan manusia biasa adalah ma'rifatullah. Istilah ini ia berikan sebagai nama bagi puncak pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang hadhrat rububiyyah (hadirat ketuhanan). Pengetahuan serupa ini adalah pengetahuan tentang Allah sendiri.

Jika pengetahuan indrawi hanya berupa informasi tentang tanda-tanda adanya Allah ('ain al-yaqin), dan pengetahuan rasional baru abastraksi filosofis yang masih tingkatan 'ilm al-yaqin (kebenaran rasional), maka pengetahuan tentang hadhrat rububiyyah adalah pengetahuan yang sudah sampai kepada tingkat haqq al-yaqin. Inilah tingkat tertinggi pengetahuan manusia berupa abstraksi sufistik yang diyakini kebenarannya lahir dan batin.

Imam Ghazali menyebut ma'rifatullah ini sebagai pengetahuan paling indah dan berseri. Karena tidak ada lagi objek pengetahuan yang paling indah selain hadhrat rububiyyah sendiri. Untuk sampai ke tingkat ini, tidak lagi melalui olah rasio, tapi melalui olah qalbu (hati) melalui tahapan maqamat ash-shufiyyah (tangga pendakian spiritual) yang lazim dalam tasawuf.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar