Rabu, 18 Agustus 2021

JENGGOT DAN ISBAL (CELANA MENUTUP MATA KAKI): DIPERSOALKAN?

 "Hampir saja mereka yang sama-sama mengaku beriman itu adu jotos karena berbeda pendapat tentang jenggot dan isbal,"  kata seorang teman. "Di mesjid tempat saya biasa shalat, seorang khatib "diadili" usai Jum'atan oleh beberapa jama'ah hanya karena bagian bawah celananya menutup mata kaki," kata teman lainnya.

Gambaran kejadian seperti disebutkan di atas juga dialami di berbagai daerah. Umat Islam, yang sama-sama mengaku beriman kepada Tuhan dan Nabi yang sama berseteru hanya karena jenggot dan isbal. Satu pihak berpandangan bahwa mencukur jenggot dan isbal hukumnya haram, karena mengingkari Sunnah Nabi yang sharih (jelas). Sebaliknya, kaum muslim lainnya berpandangan bahwa mencukur jenggot dan isbal tidak termasuk dalam kategori substantif bagi keislaman seseorang. Bahkan yang terakhir ini berpandangan bahwa soal jenggot dan isbal hanya kategori budaya dalam Islam. Jadi bukan kategori perintah syar'iyyah yang wajib diamalkan.

Mereka yang mengikuti pandangan bahwa mencukur jenggot dan isbal hukumnya haram secara mutlak didasarkan kepada pemahaman tekstual hadis yang ketat. Hadis itu misalnya: Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat." (HR Bukhari). 

"Selisihilah (bedakanlah dirimu dengan) orang musyrik. Potong kumismu dan biarkan jenggotmu." (HR Muslim).

Sementara mereka yang mengikuti pemahaman bahwa berjenggot dan isbal itu hanyalah masalah budaya mendasarkan pemahaman ini kepada konteks sosio historis munculnya hadis-hadis jenggot dan isbal tersebut. Jadi menurut pendapat ini tidak semua perintah Nabi itu bersifat syar'iyah diniyyah. Untuk memahami yang demikian ini diperlukan pemahaman yang luas dan dalam tentang agama.

Pemahaman yang disebut terakhir ini melihat bahwa dari segi urgensitasnya, dalam ajaran agama ada dua kategori yang penting yaitu kategori ushul (pokok/substantif) dan ada kategori furu' (cabang/non substantif). 

Kategori substantif (ushul) dalam keislaman di antaranya beriman kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat, Kitab-kitab, dan para Nabi.  Kemudian menegakkan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, membantu keluarga dekat, anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, peminta-peminta, dan hamba sahaya. Selanjutnya bersabar dalam berbagai keadaan. (Lihat Al-Baqarah: 177).

Pengingkaran terhadap hal-hal pokok (ushul) sebagaimana disebut pada surat Al-Baqarah ayat 177 tersebut dapat menyebabkan seorang Muslim masuk golongan orang-orang yang merugi diakhirat. 

Sebaliknya soal kumis, jenggot dan isbal --- karena bukan termasuk kategori ushul (substantif)--- maka tidak akan membawa seorang Muslim masuk neraka.

Bagi pemahaman seperti ini ---sekali lagi--- hal-hal pokok dalam surat Al-Baqarah 177 inilah yang wajib diperjuangkan terus-menerus. Jadi bukan simbol-simbol seperti kumis, jenggot dan isbal itu.

Begitu pun, umat Islam yang berbeda pemahaman ini mestilah saling menghormati. Harus kita sadari  akan selalu ada orang yang nyaman berpaham agama secara tekstual (harfiah), dan akan ada pula yang lebih nyaman berpaham agama secara substansial dan kontekstual (maknawiyah/tadabburiyah). Hal yang tidak boleh terjadi adalah munculnya orang-orang di antara kita yang memaksakan pemahamannya. Siapa pun,  kalau jatuh kepada sikap memaksakan pemahaman, maka ia telah berprilaku menindas orang lain dalam beragma. Sikap menindas adalah sikap seorang thaghut. Allahu a'lam.

Kampus IAIN Psp, 18 Agustus 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar